Pict: Halo Nusa
Tulisan ini disalin dari laman merawai.com, ditulis oleh Zera Permana. Merupakan tafsiran dari si penulis dari berbagai fakta sejarah, tambo, atau mungkin sahaja hikayat dan legenda yang ia terima dari generasi sebelumnya. Tambo tidak pernah menuturkan dengan terang-terangan mengenai (Tanah Basa) Negeri Asal orang Minangkabau ataupun rombongan yang dibawa oleh Sultan Maharajo Dirajo atau siapa sesungguhnya sosok sang Niniak (Maharajo Dirajo) tersebut.
____________________
Marewai.com - Bangsa Sawo Matang di pedalaman Sumatra disebut Bangsa Malayu.[1] Di Minangkabau orang bangsa ini dikenal dengan Malayu Ranah Tigo Jurai yang tinggal dikaki gunung pedalaman Sumtera. Namun, kenapa orang Sumatra yang tinggal di dataran tinggi tidak semuanya yang sawo matang?
Kedatangan bangsa-bangsa ke Minangkabau dalam “Tambo Alam, Tambo Silsilah Rajo-rajo Minangkabau, Tambo Bongka Nan Piawai”, menjabarkan kedatang bangsa dari gelombang kedua (Melayu Muda)[2] disebut dengan kedatangan dinasti Sri Maharajo Dirajo, yang membawa beberapa bangsa dari belahan dunia untuk mendiami pedalaman Sumatra Bagian Tengah; Bangsa Kuciang Siam, Bangsa Kambiang Hutan, Bangsa Harimau Campo, Bangsa Anjiang Mualim (Sinyaru Kayangan) serta bangsa-bangsa di Ulak Tanah Basa (Urhun Ajni) dan negeri Tanah Basa (Mekah dan Madinah sekarang).[3] Bangsa-Bangsa inilah yang disebut dengan Bangsa Melayu Suwarnabhumi Pulau Sumatra Bagian Tengah. Telah terjadi pembauran yang panjang dengan moyang Melayu Tua yang tinggal awal di perdalaman Sumatera, sehingga dikenal dengan nama Negeri Malayu Ranah Tigo Jurai dan Malayu Tapi Aie yang tinggal disalah satu Hilir Sungai Besar bernama Batanghari.
Peradaban yang dibangun Bangsa Sawo Matang bersama bangsa-bangsa yang dibawa oleh Sri Maharajo Dirajo ke pedalaman Minangkabau disebut dengan Negeri Melayu Swarnabhumi Malayu Minangkabau. Akan tetapi perpindahan peradaban Bangsa-bangsa ini dikenal dengan “Malayu”, mashur dengan nama “Malayu Batang Hari”, negeri kuala oleh orang hulu Batang Hari Negeri Ranah Tiga Jurai. Peradaban ini dinamakan dengan nama “Bumi Malayu” yang lebih dikenal dengan Kerajaan Malayu. Kerajaan Malayu yang mengalami pasang naik dan surut semenjak abad 7 Masehi, dan timbul kembali besar pada abad ke 12 sd 14, meninggalkan nama “Malayu” untuk semua inti kerajaan, baik yang di hilir maupun di hulu pergunungan dengan sebutan “Manang Kabau” atau disebut dengan Minangkabau. Akan tetapi sebelum bernama Minangkabau di masa pemerintahan seorang Raja Melayupura pada tahun 1101 M yang bernama Suryanarayana, dalam Parasasti Srilangka yang diumumkan oleh Prof. Saranath Paramavitana dalam karyanya “Ceylon And Sriwijaya, Essays Offerend To G-E. Luce, Artibus Asiae I, 1955” pada halaman 91 – 92, menyebutkan seorang pangeran dari Melayupura (Minangkabau Menyebut Malayu Kampuang Dalam), mengalahkan Manabrahmana dari Srilanka, dan juga pangeran itu di nobatkan sebagai Maharaja, pangeran itu disebut “Surya Narayana”. Dan pangeran ini yang menundukan Kerajaan Cola, dan untuk selanjutnya kerajaan Cola tengelam selamanya.
Kependekaran Raja Melayupura ini dengan nama Surya Narayana. Apakah betul, ada tokoh ini di Minangkabau?
Tambo Silsilah Rajo-Raja Minangkabau menjelaskan seorang pendekar yang tinggal di Hulu Sungai Batang Hari di negeri Rawang Hitam di kaki Gunung Salasih Kembardua (Gunuang Talang Kabupaten Solok sekarang) dengan dua orang saudaranya yang melawan Jawi Orok/sapi besar (Ranjendra Cola) dapat dipukul mudur dari Negeri Kubuang Tigobaleh (Kabupaten Solok) hingga sampai diburu ke negeri asalnya Tandun Sori (colamadala). Pendekar ini dikenal dengan nama Ampanglimo Sinaro bergelar Rajo Kalokamo. Kemudian pergi ke Malayu Kampuang Dalam mempunyai istri Puti Sangsito (Dewi Sang Shita) di Minangkabau lebih populer sebutan Puti Lenggogeni. Raja ini yang sezaman dengan Raja Negeri Ranah Tigo Jurai Pedalam Minangkabau di Pariangan dengan nama raja “Puti Jatojati” dengan suaminya Datuk Dingalau Guo Duato. Ampanglimo Sinaro/ Datuek Sinaro menyandang gelar hiyasan nama Mauliwarmadewa, lengkapnya “Maharaja Surya Narayana Mauliwarmadewa”. Gelar ini sebuah ciri khas raja-raja Melayupura (Malayu Kampuang Dalam). Kemudian digantikan oleh anaknya Tuangku Bagindo Ratu dalam Parasati Ghahi dikenal dengan Kamraten An Mahaka Srimat Trilokyaraja Maulibussanawarmadewa. Raja ini kemudian digantikan pula oleh putra baginda Tuanku Rajo Tianso. Raja ini tidak terdapat keterangan, baik dari prasasti maupun dari kitab-kitab lainnya. Melihat dari nama gelar raja, kemungkinan Raja ini bergelar resmi Triwangsa atau lebih lengkapnya Kamratan An Maharaja Srimat Triwangsaraja Mauliwarmadewa.
Tuanku Rajo Tianso memerintah dari kecil menggantikan ayahanda-nya, sehingga baginda di tahrikh memerintah kerajaan berkisaran 85 tahun sekitar tahun 1190 -1275 M. Sedangkan dimasa pemerintahan ayahnya yang berkisar 40 tahun 1150 – 1190 Kerajaan Melayu yang tampil dengan nama Swarnabhumi mencangkup wilayah yang sangat luas di Nusantara. Kitab “Liang Wai Tai Ta” tulisan Choku Fe, diterbitkan pada tahun 1176, kemudian dikutip kembali oleh Chau Juka dalam kitabnya “Chu Fan Chi” menyebutkan wilayah Swarnabhumi (San Fo Thi) selain daerah inti, meliputi; 1. Pahang (Pang Fong) 2. Terengganu (Tong Ya Nong) 3. Langka Suka (Ling Ya Si Kia) 4. Kelatan (Ki La Tan ) 5. Kuala Brang (Fo Lo An ) 6. Cerating (Ji Lo Ting) 7. Ch’ileng Mai 8. Paka (Pa T’a) 9. Tambralingga (Tan Ma Ling) 10. Grahi (Kia Lo Hi ) 11. Palembang (Fa Lin Fong). Berkas Wilayah Inti Sriwijaya, 12 Sunda (Pasundan, Jawa Barat, Sun To) 13 Kampai (Ken Pi) 14. Lambri (Lamuri, Aceh, Lan Wu Li) dan 15. Srilangka (Sailan, Sahilan, Ceylon, Si Lan). Sedangkan daerah inti bagian Tengah Sumatra tidak disebutkan karena masih daerah inti Swarnabumi.
Bersambung..