Ilustrasi Gambar: Suma Id |
RENDANG MINANGKABAU DALAM PERJALANAN SEJARAHNYA DAN CATATAN-CATATAN LAMA
Menurut Asnan (2007), rendang telah menjadi masakan yang tersebar luas sejak orang Minang memutuskan untuk melakukan ekspansi berdagang dengan cara merantau dan berlayar ke Malaka.
“Karena perjalanan melewati sungai dan memakan waktu lama, rendang mungkin menjadi pilihan tepat saat itu sebagai bekal.” Hal ini karena rendang kering sangat awet, tahan disimpan hingga berbulan lamanya, sehingga tepat dijadikan bekal kala merantau atau dalam perjalanan niaga. Lebih lanjut, dalam karya Asnan itu juga diungkapkan mengenai rendang yang muncul secara implisit dari catatan Jenderal Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers, panglima militer dan residen Padang pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tentang kuliner dan sastra Sumatera Barat pada 1827. Stuers seperti dikutip Asnan (2007) menjelaskan bahwa ada satu teknik membuat masakan yang menggunakan susu kelapa yang dihanguskan. Kalimat ini mengarah ke masakan rendang yang secara eksplisit baru disebutkan dalam catatan Belanda pada abad ke-20.
RENDANG DALAM CATATAN PERS INDONESIA
Persebaran orang-orang Minangkabau ke luar pulau Sumatera meningkatkan popularisme rendang ke setiap pelosok nusantara. Selain berkat kegiatan merantaunya, kepopuleran rendang didukung pula oleh sebuah surat kabar asal Sumatera Barat bernama Soenting Melajoe (Sunting Melayu) yang didirikan pada 1912 oleh seorang tokoh kaum muda Minangkabau, yaitu Mahyuddin Datuk Sutan Maharadja. Pembaca surat kabar ini meliputi perantau Minang di luar Minangkabau yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia seperti Bandung, Medan, Bengkulu, Gorontalo, Pulau Pisang (Lampung Barat), Tanjung Karang (Lampung) dan wilayah lainnya. Sebenarnya, surat kabar ini memuat informasi-informasi seputar wanita, sesuai dengan semboyannya yang berbunyi "Soerat Chabar Perempoean di Alam Minangkabau“ (Surat Kabar Perempuan di Alam Minangkabau). Oleh karena itu, salah satu topik yang dimuat dalam surat kabar ini adalah menu-menu resep dan juga resep-resep memasak yang terutama jarang didapat dalam buku-buku masak Jawa.
Akhirnya, resep-resep masakan Minangkabau seperti rendang berhasil dipopulerkan melalui berita-berita yang dimuat pada Soenting Melajoe di awal dasawarsa kedua abad ke-20. Pada masa ini, dilaporkan oleh Mahyuddin Datuk Sutan Maharadja bahwa terdapat banyak surat-surat dari orang-orang Eropa di Palembang, Batavia, hingga Kupang yang dikirim ke kantor redaksi Soenting Melajoe. Dalam surat itu, beberapa di antaranya bersedia mengirim uang tunai demi meminta kiriman "Rendang Alam Minangkabau“. Orang-orang Eropa yang telah mencicipi rendang meyakini bahwa daging awetan seperti rendang dapat mengeraskan pembuluh darah sehingga tak heran jika mereka memohon-mohon kepada perempuan Minangkabau via redaktur Soenting Melajoe agar dibuatkan dan dikirimkan rendang meski jarak jauh memisahkan mereka.
RENDANG DAN PERJALANAN MENUNAIKAN IBADAH HAJI
Tidak hanya menjadi masakan primadona yang diminati bangsa Eropa, rendang pun dijadikan sebagai lauk pilihan yang paling disukai untuk dijadikan bekal makanan perjalanan jauh oleh masyarakat Sumatera Barat. Perjalanan jauh mereka mencapai ke mancanegara, salah satunya negara Arab Saudi. Dengan latar belakang masyarakat yang begitu religius, yakni pengaruh agama Islam yang begitu menjalar dalam sendisendi penduduk Minangkabau, maka tak heran tanah suci Mekkah dijadikan negara tujuan utama untuk mereka singgahi, sekaligus untuk menunaikan ibadah haji.
Seorang Minang berdarah Sunda, Sri, memiliki kenangan masa kecil tentang rendang semasa ia tinggal di Padang Panjang. Sekitar tahun 1940-an, beliau pernah menyaksikan neneknya memasak 5-10 kg daging kerbau dalam sebuah wajan besar, sambil berkisah bahwa rendang adalah bekal penting bagi orang-orang Islam yang akan menunaikan haji. Rendang dianggap memiliki nutrisi tinggi dan tahan lama tanpa harus disimpan di lemari pendingin, dan tidak harus selalu sering dipanaskan atau digoreng ulang. Hal ini juga membuat rendang disukai untuk disimpan lama dan dapat disajikan sewaktu-waktu untuk pesta keluarga dan selamatan. Catatan sejarah ini membuahkan kesimpulan bahwa daging kerbau masih dijadikan bahan utama pembuatan rendang pada pertengahan abad ke-20.
FILOSOFI RENDANG BAGI MASYARAKAT MINANGKABAU
Rendang memiliki posisi terhormat dalam budaya masyarakat Minangkabau. Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Minang Sumatra Barat, yaitu musyawarah dan mufakat, yang berangkat dari empat bahan pokok yang melambangkan keutuhan masyarakat Minang. Secara simbolik, dagiang (daging sapi) melambangkan "niniak mamak" (para pemimpin suku adat), karambia (kelapa) melambangkan "cadiak pandai" (kaum Intelektual), lado (cabai) melambangkan "alim ilama" yang tegas untuk mengajarkan syariat agama, dan pemasak (bumbu) melambangkan keseluruhan masyarakat Minangkabau.
Dalam tradisi Minangkabau, rendang adalah hidangan yang wajib disajikan dalam setiap perayaan adat, seperti berbagai upacara adat Minangkabau, kenduri, atau menyambut tamu kehormatan.
DAFTAR PUSTAKA:
1) Asnan, Gusti. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra. Yogyakarta: Penerbit Ombak
2) Darmayanti, Nani dkk. Relevansi Masakan Rendang dengan Filosofi Merantau Orang Minangkabau. Jurnal Metahumaniora Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran. 7(1). 119-127.