Disalin dari kiriman FB Ammar Syarif
Asal-Usul Raja dan Rakyat Rokan IV Koto - Bagian VII
Asal-Usul Raja dan Rakyat Luhak Rokan IV Koto merupakan naskah tunggal (codex unicus) koleksi Museum Nasional yang bernomor kode MI.441, berukuran 22 x 18,5 cm dan terdiri atas 19-28 baris setiap halaman. Naskah terdiri dari 85 halaman dan ditulis dengan tinta hitam dengan menggunakan kertas bergaris. Huruf yang dipakai adalah huruf Latin berbahasa Melayu dengan ejaan Melayu Lama. Tulisannya masih baik dan terbaca tetapi kertasnya sudah berwarna cokelat. Naskah ini tercatat dalam Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Jakarta, 1972:215, Yaarboek, 1933:247, dan Notulen Maret, 1924.
Naskah ini dibukukan kembali dengan judul Asal-Usul Raja dan Rakyat Rokan dan diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayan pada tahun 1996. Pengalihaksaraannya dilakukan oleh Dra. Putri Minerva Mutiara, sedangkan penyuntingannya oleh Drs. S. Amran Tasai, M.Hum.
Berikut ini ialah isi kitabnya (bagian VII).
----------
Bagian II: https://www.facebook.com/.../permalink/1520602568123609/ atau [Bagian.2]
Bagian III: https://www.facebook.com/.../permalink/1524530557730810/ atau [Bagian.3]
Bagian IV: https://www.facebook.com/.../permalink/1551065735077292/ atau [Bagian.4]
Bagian V: https://www.facebook.com/.../permalink/1552785414905324/ atau [Bagian.5]
Bagian VI: https://www.facebook.com/.../permalink/1556559844527881/ atau [Bagian.6]
BAHAGIAN YANG KEDELAPAN
Menyatakan perihal raja yang kedelapan memerintah dalam Luhak Rokan, yaitu Yang Dipertuan Sakti nama Seto kemenakan Yang Dipertuan Sakti nama Lahit yang tersebut di atas ini.
Adalah tatkala Yang Dipertuan Sakti nama Lahit mangkat, maka Seto ada berumur kira-kira dua tahun. Pada waktu itu kerajaan Luhak Rokan dipangku oleh ayahanda Seto nama Ukuh gelar Sutan Rokan lamanya kira-kira 23 tahun. Tetapi, Seto kira-kira 14 tahun telah diangkat menjadi raja dalam Luhak Rokan bergelar Yang Dipertuan Sakti. Dan, saudaranya nama Gudimat diangkat bergelar Sutan ZainaI. Arkian, setelah Yang Dipertuan Sakti nama Seto berumur kira-kira 25 tahun maka kerajaan Luhak Rokan pun terserahlah padanya sendiri sebab ayahnya pun telah tua. Maka Yang Dipertuan itu pun tetaplah di atas takhta kerajaan bersemayam dalam Negeri Rokan.
Syahdan. maka tersebutlah perkataan saudara ibu Yang Dipertuan itu yang kecil bergelar Maya Siti, yang melarikan dirinya ke Luhak Rambah sebab berkelahi dengan suaminya di Kota Bunga Tanjung yang tersebut pada bahagian yang ketujuh di atas ini. Sesampai Maya Siti itu dengan kawan-kawannya di Luhak Rambah, maka berladang-Iadanglah ia di situ. Tiada berapa lamanya dapat khabar oleh Yang Dipertuan Sakti Rambah. Maka dijemputnyalah Maya Siti dibawanya ke Negeri Rambah.
Dalam hal yang demikian itu menyuruh utusanlah Yang Dipertuan Sakti nama Seto, akan menjemput Maya Siti dan kawan-kawanya kembali ke Negeri Rokan. Maka adalah yang jadi utusan pada masa itu ialah dalam suku Melayu Pekomo bergelar Perdana Menteri dan seorang dalam suku Mais bergelar Paduka Raja.
Sesampai utusan itu ke Negeri Rambah, tiada mau Raja Rambah melepas Maya Siti kembali ke Rokan. Dan, kedua utusan itu dibunuh oleh Raja Rambah di atas balai Rambah sampai mati. Kemudian, daripada Maya Siti pun kahwinlah dengan Yang Dipertuan Sakti Rambah. Dengan hal yang demikian itu jadi bermusuhlah antara Rokan dan Rambah. Dan Maya Siti pun tetaplah berdiam di Negeri Rambah. Lama-kelamaan Maya Siti pun memperbuat negeri ke Lubuk Napal, yaitu pada Sungai Dua Tanah yang dibeli oleh suku Nan Enam di kota Bunga Tanjung pada Raja Kepenuhan.
Hatta Maya Siti dengan suaminya Yang Dipertuan Sakti Rambah pun mengadakan anak banyaknya tiga orang, yaitu dua laki-Iaki dan satu perempuan. Sampai sekarang itulah pihak Yang Dipertuan Sakti di Rambah. Dalam hal yang demikian itu Maya Siti pun mangkatlah di situ dan Lubuk Napal pun tinggallah ditunggu oleh orang suku Nan Enam yang lari dahulu bersama dengan Maya Siti itu. Demikianlah adanya.
Maka sekarang disambunglah lagi ceritera Yang Dipertuan Sakti nama Seto yang tinggal bersemayam di Negeri Rokan. Kemudian setelah mati utusan yang disuruhkan ke Rambah yang tersebut di atas, maka tetaplah Luhak Rokan dan Rambah bermusuh-musuhan sehingga menjadikan peperangan. Oleh sebab itu, terbitlah pikiran Yang Dipertuan Sakti nama Seto hendak mengadakan raja pembantunya, menjaga negeri Kota Ujung Batu Tinggi sebab negeri itu jauh ke hilir dan hampir kepada Rambah. Sebab itu, mufakatlah Yang Dipertuan itu dengan Datuk wazir yang berempat, yaitu Rokan, Pandalian, Sikebau, dan Ujung Batu Tinggi, bahasa akan mengangkat adiknya Gudimat bergelar Yang Dipertuan Besar, memerintah dan menjaga Kota Ujung Batu Tinggi. Kemudian setelah putuslah mufakat Yang Dipertuan dengan wazirnya yang berempat, maka orang pun beralatlah mengangkat saudara Yang Dipertuan itu bergelar Yang Dipertuan Besar akan memerintahkan orang di Kota Ujung Batu Tinggi. Dan saudara perempuan Yang Dipertuan yang tua bergelar Permaisuri dan yang muda bergelar Paduka Syah Alam.
Sehabis beralat itu Yang Dipertuan Besar Gudimat pun teruslah hilir ke Kota Ujung Batu Tinggi bersama dengan Datuk Bendahara Itam di Kota Ujung Batu Tinggi. Maka Yang Dipertuan Besar itu pun tetaplah memerintah di bawah Yang Dipertuan Sakti, serta bersemayam di Kota Ujung Batu Tinggi.
Kemudian kira-kira dua tahun lamanya Yang Dipertuan Besar Gudimat memerintah di Kota Ujung Batu Tinggi, maka orang pada Negeri Ujung Batu Tinggi pun berpindahlah memperbuat negeri pada Negeri Ujung Batu sekarang. Dan, tetaplah Yang Dipertuan Besar Gudimat memerintah di situ sehingga mangkat Yang Dipertuan itu di sana, lalu dikuburkan di situ. Adalah Yang Dipertuan itu mengadakan putra dua orang, yaitu satu laki-Iaki dan satu perempuan. Demikianlah halnya orang suku Nan Enam dahulu, mula-mula dari Kota Kecil pindah ke Kota Bunga Tanjung, dari situ pindah ke Kota Ujung Batu Tinggi, kemudian pada Negeri Ujung Batu sekarang, seperti yang tersebut di atas ini. Sehingga inilah diceriterakan dahulu.
Syahdan, kembalilah ceritera kepada Yang Dipertuan Sakti nama Seto yang tinggal bersemayam dalam Negeri Rokan duduk di atas takhta kerajaan Luhak Rokan IV Koto. Maka adalah Yang Dipertuan mengadakan putra dua orang laki-Iaki. Yang tua bergelar Sutan Rokan dan yang muda bergelar Tengku Maharaja. Dan saudaranya Yang Dipertuan pada masa itu lagi muda belum mengadakan putra.
Maka, sekarang diceriterakanlah perihal datuk-datuk dan kampung-kampung di bahagian IV Koto di Bukit. Tatkala asal datuk-datuk dan kampung-kampung itu akan didirikan ialah pada masa Yang Dipertuan Sakti nama Seto, raja yang kedelapan yang memerintah dalam Luhak Rokan IV Koto dan saudara Yang Dipertuan Besar Gudimat yang memerintah di Ujung Batu.
Maka mula-mula diceriterakanlah perihal Datuk Bendahara Muda kampung Pakis. Adalah dahulunya satu kaum orang dari Kota Raja Rau, laki-Iaki dan perempuan semuanya adalah lima belas kelamin. Datanglah ia ke Luhak Rokan ini menepat kepada suatu sungai yang sedikit besar, sebelah kanan Sungai Rokan, yang dinamakan orang Sungai Pakis sekarang. Maka segala orang itu setiba di situ kerjanya memperbuat ladang dan kampung di mana kampung Pakis sekarang. Pada waktu itu ada sebatang tumbuh-tumbuhan yang di tepi sungai hampir kampung itu bernama Pakis, ditebang oleh mereka itu akan titian ke seberang. Oleh sebab itulah, sungai itu dinamakan sungai Pakis.
Kemudian, dalam dua tahun lamanya mereka itu berladang di sana, pindahlah berladang ke Sungai Dua, yaitu pada sungai Dasan. Kemudian, kira-kira tiga tahun lamanya mereka itu tinggal di sana kembalilah mereka itu ke kampungnya dekat Sungai Pakis yang tersebut di atas ini, serta memperbuat kampung dan ladang pula di situ. Berapa lamanya mereka itu di sana, mufakatlah ia hendak meminta pangkat pada kampung yang ditungguinya itu kepada raja, serta mereka itu mencari segala alat perkakas dan adat orang meminta soko kepada raja, yaitu kerbau 1 ekor dan emas 20 riyal dan beras secukupnya. Kemudian, setelah cukup segala alat perkakas yang tersebut, mereka itu pun hilirlah ke Ujung Batu, mendapat Datuk Bendahara Ujung Batu minta dibawa menghadap Yang Dipertuan Besar nama Gudimat. Setiba di situ, Bendahara Ujung Batu pun membawa mereka itu kepada Yang Dipertuan, serta mempersembahkan maksud orang yang datang itu, yaitu meminta pangkat dan soko orang besar di Kampung Pakis. Pada ketika itu Yang Dipertuan pun menerima suka akan maksud orang yang datang itu. Sehabis itu, Datuk Bendahara Ujung Batu dan orang yang datang itu pun menyembelih kerbau persembahan yang dibawa orang itu. Dan, Yang Dipertuan pun memberi pangkat kepada orang yang datang itu bergelar Datuk Bendahara Muda kepala kampung Pakis. Setelah itu, Datuk Bendahara Muda Pakis yang baharu diangkat itu pun kembalilah pada kampungnya di Pakis. Demikianlah, asalnya Datuk Bendahara Muda Pakis meminta sokonya pada raja.
Maka tersebutlah pula perihal kampung Pemandang. Adalah dahulunya satu kaum orang laki-Iaki dan perempuan dari Kejai sebelah Rau, masuk ke Luhak Rokan menepat ke kampung Sungai Kijang. Kemudian, setelah tiga tahun ia tinggal di kampung Sungai Kijang, mereka itu pun lalulah IV Koto di Bukit sekarang, yaitu pada sungai yang sedikit besar pada hilir Sungai Pakis yang tersebut dahulu. Sesampai di situ mereka itu pun mencahari tanah akan dibuat kampung, hampiran sungai yang tersebut. Pada ketika itu, segala mereka itu pun naiklah pada suatu bukit yang tinggi, lalu memandang kiri dan kanan, buat melihat tanah yang akan tempat kampungnya. Maka terlihatlah oleh mereka itu suatu tanah yang sedikit datar hampir tepi sungai di bawah bukit itu. Sebab itulah, dinamakan orang sungai itu Sungai Pemandang.
Kira-kira dua tahun lamanya mereka itu tinggal berladang di situ. Maka hilirlah ia ke Ujung Batu akan meminta tanah dan soko. Setelah sampai di Ujung Batu, Yang Dipertuan Besar pun mengangkat kepala kampung itu bergelar Bendahara Raja. Maka adalah ia sama-sama diangkat dengan Bendahara Pakis tahadi.
Adapun kerbau yang dipersembahkan orang Pemandang ialah kerbau persembahan orang Pakis dibelinya. Karena kerbau yang dipersembahkan orang itu tiadalah disembelih, hanyalah dikembalikan dan diganti dengan uang enam riyal. Itulah yang dinamakan orang kerbau kurus, sebab namanya sahaja memotong kerbau, tetapi hanyalah menerima uang enam riyal sahaja. Demikianlah hal kampung Pakis dan Pemandang waktu diangkat oleh Yang Dipertuan Besar nama Gudimat.
Maka tersebutlah pula perihal Kampung Tanjung Medan. Adalah dahulunya satu kaum orang datang dari Caranting Rau, masuk ke Luhak Rokan, menepat di Sungai Kijang. Mereka itu pun berpindah pula ke Kampung Pemandang. Kemudian, kira-kira 32 tahun mereka itu di Kampung Pemandang, hilirlah ia ke Ujung Batu, menghadap Yang Dipertuan Besar Gudimat, akan meminta tanah buat kampung dan meminta sokonya di kampung itu. Dan lagi, mereka itu mempersembahkan pula kepada Yang Dipertuan itu, yaitu seperti persembahan ketika orang beroleh pangkat. Pada ketika itu Yang Dipertuan pun memberi tanah akan tempat kampung itu, yaitu kepada hampiran Teluk Munang sekarang, serta diberikan tanah selaras sungai Munang sahaja. Adalah kepala dari orang itu diangkat bergelar Bendahara Sati dan kampungnya dinamakan Tanjung Medan.
Maka tiga kepala kampung di empat kota di bukit yang tersebut di atas ini ialah mula-mula asal yang diangkat oleh Yang Dipertuan Besar Gudimat di Ujung Batu. Sehabis mengangkat orang besar itu baharulah ia memberi khabar kepada saudaranya Yang Dipertuan Sakti nama Seto yang tersebut di atas. Demikianlah halnya IV Kota di Bukit sebelah hilir waktu dahulunya.
Maka tersebutlah pula perihal kampung Si Jernih. Adalah dahulunya satu kaum orang laki-Iaki dan perempuan datang dari Kota Benio Tinggi, masuk ke Luhak Rokan, tinggal di Luhak Ingu. Setelah setahun lamanya, ia pun pindah berladang dan membuat kampung ke suatu cabang pada Sungai Pusu. Dalam lima tahun lamanya maka terdengarlah oleh mereka itu bahasa orang Pakis kepalanya telah dapat pangkat bergelar Bendahara Muda. Oleh sebab itu, mereka itu pun datang pula mendapatkan Datuk Bendahara di Rokan, hendak dibawa menghadap Yang Dipertuan Sakti nama Seto. Karena mereka itu hendak mempersembahkan bahasa ia hendak meminta tanah ulayat dan soko pada kampung yang dibuatnya itu. Kemudian, sesampai mereka itu menghadap Yang Dipertuan, dipersembahkan oleh Bendahara Negeri Rokan maksud orang yang datang itu. Maka titah Yang Dipertuan, "Kalau mereka itu mau mengisi adat menuangi lembaga, boleh dikasih tanah dan pangkat."
Setelah itu, orang itu pun menyiapkan segala adat perkakas orang meminta tanah dan soko kepada raja, yaitu kerbau 1 ekor, emas dua puluh, dan beras secukupnya. Apabila siaplah segala alat perkakas yang tersebut, mereka itu pun datanglah menghadap Yang Dipertuan Sakti bersama dengan Datuk Bendahara Negeri Rokan. Sesampai di situ, dipersembahkannyalah segala perkakas itu. Oleh sebab itulah, kepala kampung-kampung itu diangkat bergelar Bendahara Kaya, dan diberi kuasa ulayat, yaitu pada sungai Si Jernih tempat kampungnya itu. Adalah kampungnya itu, dinamai kampung Si Jernih karena sungai yang pada tepi kampung itu sangat jernih airnya.
Sehabis itu mereka itu pun kembalilah pada kampung yang tersebut itu. Demikianlah halnya orang Si Jernih dan Datuk Bendahara Kaya di situ.
Maka adalah pula satu kaum orang yang telah berladang pada Sungai Pusu, di sebelah kampung Si Jernih yang tersebut. Maka sekalian mereka itu telah mendengar bahasa orang Si Jernih telah meminta tanah dan sokonya pada raja. Oleh sebab itu, sekalian mereka itu pun mufakatlah serta datang pula mendapatkan Bendahara di Rokan, serta mempersembahkan seperti persembahan orang Si Jernih tahadi juga. Maka adalah Yang Dipertuan memperkenankan permintaan orang itu. Pada ketika itulah kepala dari orang itu bergelar Bendahara Pusu dan kampungnya dinamai Kampung Kubu Baru karena kampung itu baru didirikan. Demikianlah halnya Datuk Bendahara Pusu kampung Kubu Baru adanya.
Maka sekarang tersebutlah pula perihal Kampung Tinggi. Adalah sekaum orang laki-Iaki dan perempuan dari Langung. Dari situ ke Sungai Bamban yang dinamakan Kampung Tinggi sekarang. Sampai di situ mereka itu pun berladang-Iadang dan memperbuat kampung. Telah lima tahun lamanya mereka itu di situ, datanglah mereka itu menghadap Yang Dipertuan Sakti nama Seto di Rokan, dengan membawa persembahan, seperti persembahan orang Kubu Baru tahadi juga. Tetapi, ditambah dengan seorang sahayanya. Oleh sebab itu, kepala dari orang itu digelarkan Bendahara Lebih karena persembahannya lebih dari lain datuk-datuk di IV Kota di Bukit. Dan, adalah kampungnya dinamakan Kampung Tinggi karena kampungnya itu tinggi tanahnya dari lain-lain tanah yang ada di situ. Dan, tanah diberikan sepanjang kuasa ulayatnya kampung itu.
Maka adalah Datuk yang bertiga yang tersebut di atas ini, waktu mempersembahkan kerbau kepada raja, itu kerbau tiada juga dipotong, hanyalah dibayar sahaja dengan uang banyaknya enam riyal. Itulah yang dinamakan orang kerbau kurus. Demikianlah hal mula asalnya kampung-kampung di IV Kota di Bukit, seperti yang tersebut di atas ini.
Kemudian, kembalilah ceritera kepada Yang Dipertuan Sakti nama Seto yang tersebut di atas ini.
Lama kelamaan Yang Dipertuan Sakti nama Seto memerintah maka Yang Dipertuan itu pun telah tua betul, sudah ada berumur 100 tahun. Maka pada ketika itu datanglah kesusahan besar, yaitu Luhak Rokan itu diharu oleh si pengaruh yang dinamakan orang "Putih" (Paderi) yaitu satu kaum dari Minangkabau, serupa orang alim mengeraskan agama Islam. Pada masa itu banyaklah negeri-negeri yang dikalahkan oleh orang itu, dengan membunuh raja pada negeri itu, supaya senang mereka itu memerintah sendirinya dan membuat apa sekehendaknya sahaja.
Hatta, datanglah takdir Allah Subhanahu wataala maka mangkatlah Yang Dipertuan Sakti nama Seto dibunuh oleh orang yang mengaruh itu. Dan, mati pulalah kedua putranya, yaitu Sutan Rokan dan Tengku Maharaja. Maka adalah yang tinggal pihak raja pada masa itu, ialah saudara perempuan Yang Dipertuan dua orang, yaitu Siumah gelar Permaisuri dan Suadi gelar Paduka Syah Alam.
Syahdan, orang Negeri Rokan dan dua orang saudara Yang Dipertuan itu pun keluarlah dari Negeri Rokan, sehingga sampai ke V Kota bahagian Bangkinang. Maka tinggallah mereka itu duabelas tahun lamanya. Dalam masa dua belas tahun, yaitu sepeninggal saudara Yang Dipertuan dan orang Negeri Rokan lari ke V Kota yang tersebut pada waktu itu Luhak Rokan tiada diperintah oleh raja atau wakilnya. Adalah halnya pada masa itu raja tiada berdaulat dan besar tiada berandiko, sebab dialahkan oleh Putih (Padri) yang tersebut di atas.
Arkian, setelah dua belas tahun lamanya dapat khabarlah mereka itu bahasa Luhak Rokan telah aman kembali karena pengaruh itu telah dipukul oleh compagnie Belanda. Oleh sebab itu, kembalilah kedua saudara Yang Dipertuan itu ke Negeri Rokan, serta segala kawannya orang Rokan yang ikut itu. Sesampai mereka itu di situ, diperbaikinyalah negeri itu.
Adapun orang Ujung Batu tiada yang lari, sebab tertunggu oleh pengaruh itu . Maka negeri itu dipelihara oleh pengaruh itu, dengan dibikinnya parit dalam. Sampai sekarang ada lagi bekas-bekasnya di situ. Akan orang Negeri Pandalian dan lain-lain pergi juga, tetapi tiadalah lama, sebab perginya tiada jauh.
Adapun Negeri Sikebu makin lama makin lengang juga sehingga lama-kelamaan negeri itu menjadi rimba sampai sekarang ini. Sehingga inilah diceriterakan dahulu hal keadaan Yang Dipertuan Sakti nama Seto, yang digelarkan orang sampai sekarang Marhum Yang Dipertuan berdarah putih. Demikianlah adanya Yang Dipertuan itu memerintah dalam masa 74 tahun sampai waktu mangkatnya.
Syahdan, Luhak Rokan itu waktu baru-baru saudara Yang Dipertuan itu kembali dari V Kota ada kira-kira dua puluh tahun tiada berdiri Yang Dipertuan. Hanyalah Luhak Rokan itu dipangku oleh seorang bangsa keempat suku, nama Dayung gelar Datuk Mahudum suku Mandahiling Negeri Pandalian, bersama dengan Datuk Wazir yang berempat. Tetapi, yang mengepalainya ialah Datuk Mahudum yang tersebut di atas karena ia orang yang berani lagi cerdik, biasa menyelesaikan apa-apa hal. Maka sampailah pangkuannya itu kepada Yang Dipertuan Sakti nama Ahmad.
----------
Bagian IX: https://www.facebook.com/.../permalink/1606982702818928/