Disalin dari kiriman FB A'al
Penghuni tertua Candi Muara Takus ialah keturunan Putri Seri Dunia yang datang dengan keluarganya dari Pariangan Padang Panjang (Minangkabau). Kecantikannya yang begitu masyhur membuat penguasa Hindu (raja) di sana pada saat itu ingin meminangnya. Putri Seri Dunia menerima pinangan raja tersebut dengan syarat dia harus membangunkan sebuah istana untuk Putri Seri Dunia. Raja memenuhinya dan bekas istana tersebut masih dapat dijejaki di Muara Takus. Raja kembali ke tempat asalnya untuk mempersiapkan pernikahan itu.
Dalam pada masa itu, sekelompok pasukan Batak datang ke Muara Takus. Seorang kerabat Putri Seri Dunia yang bernama Sutan Palembang, menuliskan surat kepada penguasa Hindu dengan memberikan pengirim segantang biji (benih) dalam sebuah keranjang untuk menyampaikan pesan ke penguasa Hindu betapa banyaknya pasukan Batak yang datang ke Muara Takus, malah jumlah pasukan Batak yang ada lebih banyak daripada jumlah biji dalam keranjang yang dikirimkan. Namun, penguasa Hindu tidak kembali lagi ke Muara Takus.
Ketika pasukan Batak itu tiba di Muara Takus, kota dalam keadaaan sepi. Putri Seri Dunia dan pengikutnya telah melarikan diri ke dalam hutan dan dia telah menikah dengan seorang datuk dari Minangkabau. Dia kemudian melahirkan seorang putra yang bernama "Indo Dunia" dan sampai hari ini ada sebuah tempat di Muara Takus yang disebut "Galangan Indo Dunia". Indo Dunia tumbuh menjadi seorang pemuda dan pemuda inilah yang kelak menjadi penguasa Muara Takus dan diteruskan oleh Raja Pamuncak (Datuk di Balai) ketika seluruh negeri telah beralih ke Islam.
Kisah legenda lainnya ialah sebagai berikut. Salah satu penguasa terakhir Muara Takus bernama Raja Bicau. Dia tidak memiliki anak laki-laki. Ketika anak perempuannya yang tua akan menikah dengan Maharaja Johor, semua orang datang untuk menghadiri pesta dan sabung ayam.
Di antara tamu yang hadir ialah dua orang bersaudara yang bernama Singa Menjadian dan Singa Mendedean yang baru saja menetap di Gunung Malelo di hulu Sungai Kampar. Mereka berasal dari Rao. Sementara yang lainnya menyatakan bahwa mereka berasal dari Palembang. Salah seorang dari mereka ingin menikahi salah seorang anak perempuan Raja Bicau. Namun ditolak karena orang tersebut memiliki penyakit kulit yang mengerikan.
Raja Bicau kemudian mengirimkan sekeranjang benih atau biji-bijian dan selembar sapu tangan miliknya kepada kemenakannya yang bernama Singa Merdekeh, Raja Kuamang (Panti, Pasaman) dan meminta dia untuk mengirimkan pasukan sebanyak jumlah benih atau biji-bijian yang Raja Bitjau itu kirimkan padanya, karena pasukan Batak datang dengan senjata besar dan menyerang Muara Takus. Dalam pertempuran itu, raja terakhir, Panjang Jungur, mati.
Di Batu Bersurat, pasukan Batak melemparkan sebuah batu kaligrafi ke sungai dan berkata, "Jika batu itu muncul lagi ke permukaan air, maka kita akan kembali ke Muara Takus."
Di Pematang Gadang, pasukan Batak mendapat perlawanan. Pokok-pokok besar dilemparkan dan ditimpakan kepada pasukan Batak. Mayat-mayat Batak memenuhi sungai dan menimbulkan bau busuk sehingga sungai itu dinamakan "Sungai Sibusuk". Dari sini, mayat-mayat Batak tersebut masuk ke Kampar dan hanyut melewati tempat yang kemudian bernama Bangkai-inang atau Bangkinang (Mayat Batak). Dalam bahasa Batak, "Inang", artinya "Ibu".
Di masa lampau, selalu dikatakan bahwa ada aliran bawah tanah yang menghubungkan Kampar Kanan dengan Kampar Kiri. Ada satu cerita yakni seorang yang bernama Indo Chatib dari Suku Bendang (salah satu suku/clan yang ada di Minangkabau) pergi memancing di sekitar Koto Air Tiris. Dia mengejar sebuah ikan yang masuk ke dalam sebuah lubang di tepi sungai. Dia memegang erat-erat tali yang digunakan untuk menangkap ikan dan dengan mudahnya dia mengikuti ikan tadi, namun akhirnya Indo Chatib sampai di Kampar Kiri.
Cerita lain yang lebih kredibel dan dipercaya ialah dahulu ada gua stalaktif di dekat Kampung Batu Balah. Air yang menetes dalam gua membentuk aliran air yang mengalir ke bawah tanah menuju Gunung Sahilan.
Sebelumnya, Muara Takus disebut "Si Jangkang" (sebuah tumbuhan) atau "Telago Undang". Nama tersebut berasal dari kata "Takut", nama sebuah anak sungai Kampar, disebut begitu karena di tempat itu, orang-orang merasa takut dengan penguasa Muara Takus.
Muara Takus memerintah negeri-negeri yang ada di sekitar. Misalnya, Rokan harus melakukan ziarah ke Muara Takus sebelum melakukan penobatan agar calon raja diolesi oleh semacam air lemon yang teksturnya mirip dengan air jus. Pada saat hari lahir permaisuri, seluruh penghulu di Bangkinang datang untuk mengadakan sebuah adat istiadat atau prosesi yang dipimpin oleh penghulu Muara Takus di bawah payung kuning.
Catatan:
1) Kisah ini diambil dari Buku "Forgotten Kingdoms in Sumatra" yang ditulis oleh F. M. Schnitger, Ph.D, dan diterbitkan di Leiden, Belanda, pada 1939, halaman 39-43.
2) F. M. Schnitger pernah menjabat sebagai konservator Museum di Palembang dan pemimpin ekspedisi arkeologis dan antropologis di Sumatra pada 1935, 1936, dan 1938. Sumber asli dalam teks berbahasa Inggris dan saya tuliskan kembali dalam Bahasa Indonesia (bukan menerjemahkan teks secara literal).
Daftar Pustaka:
Schnitger, F. M. 1939. Forgotten Kingdoms in Sumatra. Leiden: E. J. Brill