Gambar: putrhermanto |
Disalin dari FB Buyuang Palala
Religious Muslim ,Muearasipongi .
Tapanoeli - 1895
Penduduk Muara Sipongi dikenal sebagai masyarakat Suku Ulu yang merupakan perantau Minangkabau.
Dalam berkomunikasi sehari-hari, masyarakat Muara Sipongi menggunakan Bahasa Ulu yang banyak kesamaan dengan Bahasa Minangkabau dialek Rao. Disamping Bahasa Ulu, di kawasan ini juga banyak digunakan Bahasa Mandailing yang dituturkan oleh masyarakat pendatang dari kecamatan lain yang sebagian besar adalah Suku Mandailing.
Dalam hal kekerabatan, masyarakat Ulu menggunakan sistem matrilineal. Adat perkawinan orang Ulu mengikuti adat sumando serikat, dimana pihak perempuan menjemput pihak laki-laki. Untuk kehidupan sosial orang Ulu bertumpu pada "Tigo Tungku Sajarangan", dimana mereka sangat menghormati datuk (pimpinan adat), ulama (pimpinan agama), dan pemerintah.
TJ Willer, seorang pejabat yang pernah bertugas di Afdeeling Angkola Mandailing dan Afdeeling Padang Lawas (1841-1846) telah mengidentifikasi orang Loeboe dan orang Oeloe.b Dalam majalah Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839 disebutkan Loeboe memiliki sepuluh kampung besar dengan empat Raja, enam puluh Panghulu dan berpenduduk 10.000 jiwa, termasuk di wilayah Batak.
Sementara pada peta 1854 hanya wilayah (distrik) Oeloe yang diidentifikasi di sebelah timur distrik Pakantan dan distrik Klein Mandailing (Mandailing Djoeloe). Ini dapat ditafsirkan bahwa orang Oeloe berada di sekitar kecamatan Muarasipongi yang sekarang. Dalam hal ini terkesan orang Loeboe dan orang Oeloe saling dipertukarkan atau dianggap sama, tetapi TJ Willer membedakannya secara tegas.
*** Orang Ulu Alak/Urak Ulu di Muara Sipongi ***
Berdasarkan majalah Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839, selain distrik Oeloe terdapat sejumlah distrik yang diidentifikasi yang saling berdekatan yakni Angkola, Mandailing Godang, Padang Lawas, Tambusai, Mandailing Djoeloe, Rao dan Alahan Pandjang (menjadi Bonjol). Semua distrik-distrik ini memiliki raja-raja sendiri, kecuali satu-satunya di distrik Rao (yang berada di bawah Kerajaan Minangkabau/Pagaroejoeng).
Rao memiliki dua puluh kampung besar dengan Radja dari suku Manangkabau dan lima belas Panghulu, sedangkan setiap kampung memiliki sepuluh Panghulu lagi.
Dapat dihitung populasi lanskap (distrik) ini hampir 25.000 jiwa. Secara sukarela diserahkan kepada Pemerintah (Hindia Belanda) pada tahun 1832, populasinya bagaimanapun, menurun lagi pada tahun 1834, tetapi sejak itu lanskap ini diambil kembali oleh pemerintah pada tahun 1835.
Sementara itu Alahan Pandjang memiliki raja sendiri dan tujuh penghulu yang kemudian jatuh ke tangan Padri, suatu pemerintahan sekte agama orang Melayu yang pemerintahannya dijalankan oleh empat imam yang sejak itu disebut Bonjol menggantikan nama Alahan Pandjang.
Dalam perang Padri distrik Alahan Pandjang dikembalikan haknya.
-----------------
==============
Baca juga: Tiga Gelombang Penyebaran Islam di Tapanuli