Disalin dari kiriman
FB Sailan GuideDELEGASI ADAT KHUSUS
RANTAU KAMPAR KIRI KE PAGARUYUNG
(Alkisah : Tigo Datuok Batuah Setia Amanah Rantau Kampar Kiri, Yang Mampu Menaklukkan Istana Raja Alam Minangkabau di Pagaruyuang)
Bermula Kisah...
Dalam Buku Tambo Adat " Menyigi Perjalanan Adat-Istiadat Rantau Kampar Kiri Dalam Minang" Buah Pena dari Alm. Haji Munir Junu Dt. Bandaro, Khalifah Luwak Ujung Bukit. Dikisahkah bahwa, semenjak di serahkannya Rantau Kampar Kiri pada abad ke 14 masehi oleh penguasa Dinasti Kuntu Darussalam terakhir " Raja Berdarah Puti" yang bertahta Koto Tenggi Batang Siontan ( Kuntu Lama) kepada Penguasa Kerajaan Majapahit di Sumatra (Yuvaraja) Sang Hiyang Sono Saripati, Adityawarman yang Dipertuan Suravaca (Suruaso). Semenjak itu Rantau Kampar Kiri di atur melalui Orang Besar Raja Alam Minangkabau yang bertempat Tinggal di hulu Sibayang Kiri yakni Datuk Penghulu Laras Sibayang Datuk Bandaro Hitam di Negeri Pangkalan Serai.
Setelah lebih kurang 200 tahun lamanya masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri tidak memiliki Raja (Hak otonomi). Pada masa itu masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri adalah sebuah kawasan yang diperintah oleh seorang Penghulu Laras Subayang dengan pusat administrasi pemerintahan di hulu Sungai Sibayang. Untuk menjalankan adat ( Antau Jawuo Diulangi, Antau Dokek di kenono). Akibar Panjang dan jawuhnya rentang kendali pemerintahan antara negeri-negeri dari muara sungai ke hulu sungai subayang, sebagai ibu kota Laras dan dari ibu kota Laras (Laghe) ke ibu Kota Luwak di Tanah Datar serta ibu Kota Alam Minangkabau di Pagaruyuang yang terletak jawuh di bawah Gunung Marapi, dimana untuk mencapai ibu Kota Luwak dan Pusat Kerajaan Pagaruyuang harus mendaki Bukit dan menyeberangi ribuan anak sungai.
Akibat jauhnya rentang kendali pemerintahan, sehingga Rantau Kampar Kiri menjadi kurang terurus masyarakart adatnya dalam bidang pembangunan dan bidang kesempatan untuk berpartisifasi di sector ekonomi, politik, social maupun perkembangan ilmu dan teknologi pada masa itu. Hal ini membuat kemunduran dalam bidang peradaban, tertinggal di bandingkan masyarakat adat di Alam Minangkabau lainnya. Kondisi kesulitan hidup ini yang membuat sebuah “ KESADARAN” bagi masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri untuk kembali membangun sebuah tatanan politik yang dekat dengan masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri, yang mudah dalam berkoordinasi antar negeri-negeri serta terletak di tengah-tengah jalur transportasi antara sungai-sungai. Terkoneksi dalam bidang lalu lintas ekonomi serta dekat dengan jalur Internasional peradaban manusia yakni “Selat Malaka”.
Pada awal akhir abad ke 15 masehi para Ninik-Mamak, orang besar negeri-negeri serantau Kampar Kiri mengadakan sebuah Pertemuan Besar di Negeri Kuntu. Negeri Kuntu itu adalah Kota besar dan kota dagang pada waktu itu. Pada masa lalunya Negeri Kuntu adalah juga Ibu Kota Kerajaan Kuntu Darussalam. Datuk Rajo Godang adalah Penguasa adat yang dituakan dalam Laras Subayang Pada masa itu, negeri Kuntu disebut dalam Tombo Adat dengan Sebutan:
Disitu Zakat di Gantang,
Gantang Si Puluik jo Padi,
Disitu mulo Adat di Kombang,
Di Kombang Indak Kucuik lai (Lagi)".
Di dalam Pertemuan Besar itu (Syuro Siyasah) Lahir sebuah kesepakatan bersama untuk kembali mendirikan Adat “ Undang-Undang” seperti masa lampau yakni “ Kerajaan Kuntu Darussalam pada abad ke 12-14 masehi. Berhubung pada masa lampau kekuasaan atas undang ini telah diserahkan oleh Raja Berdarah Puti (Mamak) pada kemenakannya ( Adityawarman[1]/Sanghiyang Sono Saripati) pada kedatangan beliau dari Palembang dan kekuasaan atas Undang itu telah dibawah oleh Adityawarman merantau ke Palembang (ibu Kota awal Malayupura. Dari Palembang kekuasaan atas Undang itu dibawah oleh Adityawarman kerumah istrinya (Puti Jailan) di Kota[2] Suruaso (Suravaca) Pagaruyuang. Di Kota Suruaso itu Adityawarman di sebut Yang Di Pertuan Suruaso Dang Tuanku Raja Alam Minangkabau di Balai Gudam Pagaruyuang. Maka jalan satu-satunya secara Legal Konstitusional Adat, kekuasaan atas undang-undang harus kembali di jemput ke Suruaso/Pagaruyung, dan di bawah kembali ke Rantau Kampar Kiri.
Untuk menjemput undang-udang tidak mungkin dilakukan secara ILEGAL ( Sakotu Badotak-Sakotu Patah/Gerakan Pemberontakan) Menjemput undang tentu dengan alur dan jalannya. Pada masa dahulu Daulat diserahkan secara damai dan baik-baik tentu menjemputnya juga dengan cara damai dan baik-baik (Jopuik Minyak Jo Air/ menjemput Minyak dengan Air, Jopuik Pisoko Jo Soko/ Jemput Pisoko dengan Soko). Yang pasti yang dijemput wajib terbawa (Jopuik-Tabawo), ndak lalu dondang di air di darat kito tanjak kan (melalui berbagai cara/yang memungkinkan dan beradab, indak dapek sakali dipaduo, ndak dapek di paduo dipatigo (Perjuangan yang berkesinambunga). Ini adalah amanat Syura Siyasah di Negeri Kuntu, Rantau Kampar Kiri. Untuk menjalankan Amanah Syura Siyasah maka dibentuk sebuah “Delegasi Khusus” Masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri Ke Pagaruyuang untuk berunding dan bernegosiasi dengan Yang Di Pertuan Raja Alam Minangkabau yakni “ Raja Gamuyang Bin Sultan Bakilap Alam”.
Di dalam tombo adat Rantau Kampar Kiri, delegasi Khusus ini dibentuk beberapa kali ada tetuo adat yang menyebutkan di bentuk tuju kali, tiga kali, ada juga tetuo adat yang menyebutnya dibentuk dua kali. Upaya perundingan untuk menjemput “undang-Undang” atau Daulat ini bukanlah sebuah usaha yang “Instan dan Mudah” sebuah usaha besar tentu juga memiliki resiko dan tingkat kesulitan yang besar (semakin tinggi batang kayu, kuat pula terpaan anginnya/tinggi cita-cita tentu besar pula usaha dan pengorbanan untuk mencapai tujuan). Dalam tulisan kali ini, penulis menjelaskan proses penjemputan “Pisoko Daulat” Ke Pagaruyuang sebanyak dua kali misi.
Didalam tulisan tetuo adat dan foklor disebutkan “Delegasi Pertama” ini beranggotakan yaitu:
1. Datuk Bandaro Hitam (Pucuk Laras Subayang) sebagai Pemandu Jalan Ke Pagaruyuang
2. Datuk Singo Lipat kain (Pucuk Rantau negeri Koto Tuo Lipat kain Kampar Kiri) sebagai Juru Banding atau Ketua Delegasi.
3. Datuk Singo Tanjung Belit (Pucuk Negeri Tanjung Belit, Khalifah Ujung Bukit) sebagai Dubalang/Pengawal.
Pada Misi Pertama Delegasi Khusus Masyarakat Adat ke Pagaruyuang menjemput Pisoko Daulat “ Undang-Undang”. Pihak Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Minangkabau memberikan Apresiasi dan dukungan atas usaha baik dari Orang Kampar kiri untuk memiliki “Daulat sendiri” sebab usaha menjemput daulat ini tentu memiliki dasar sejarah dan dasar hukum yang jelas. Bukan sebuah upaya mendapatkan kekuasaan dengan jalan yang Inkostitusional apalagi saparatisme. Misi khusus ini juga memjelaskan dasar sejarah yang “Legalitas” mengapa masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri kembali menjemput Daulat ke Pagaruyuang. Sebab pada masa dahulu Hak Daulat Rantau Kampar Kiri diserahkan secara baik-baik kepada Yang Dipertuan Surava Adityawarman yang merupakan kemekanan Raja Berdarah Putih di Rantau Kampar Kiri. Hak Daulat yang di serahkan itu yang ingin “Di minta kembali”. Hak Daulat itu dalam adat hanya ada tiga jenis yaitu :
1. Untuok ( Hak Milik)
2. Boghi, (Pemberian/hibah)
3. Anak mereka ( Waris).
Disebabkan Delegasi pertama ini “Meminta Daulat”, maka Daulat yang Di Pertuan Pagaruyuang memberikan Hak Daulat yang diminta oleh Masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri, yakni seorang ‘Anak “ yang berwajah tampan, gagah dan elok budi sebagai Raja Rantau Kampar Kiri. Maka dengan diberinya “Hak Daulat” yang diminta maka resmi sudah Rantau Kampar Kiri memiliki Daulat yang diminta itu. Karena Daulat ini dapat karena diminta, sehingga daulat yang dibawa ke Rantau Kampar Kiri tidak ada “hubung kait lagi dengan Daulat yang Dipertuan Pagaruyuang”. Dengan kata lain MERDEKA secara penuh dari “Daulat Yang Dipertuan Pagaruyuang” yang merupakan Keturunan Saki-baki dari Sang Hiyang Sono Sari Pati/ Adityawarman.[3]
Setelah mendapatkan “Daulat” yang diminta maka, Delegasi pertama ini segera kembali ke Rantau Kampar kiri membawa daulat pemberian tersebut. Setelah Sampai ke Rantau Kampar kiri maka diadakan acara “Proklamasi kemerdekan” berdirinya Kerajaan Rantau Kampar Kiri sebagai “Negara sendiri”. Sebagai Syarat utama berdirianya sebuah Negara Merdeka adalah di baiatnya seorang Raja/ Pemimpin bagi sebuah wilayah dan rakyat. Dalam upacara kemerdekaan itu datang sudia-siasat dari para tetuo adat apakah “Raja yang akan di bai’at/Nobat/Disombah” merupakan “Waris” dari Raja Alam Minanagkabau yang pertama “ Dang Tuanku Raja Alam Minangkabau”. Sehingga Kerajaan yang akan dibentuk bukanlah Kerajaan yang terpisah secara Politik dan nasab dari susur jalur Keturunan dan Politik Kenegaraan Pagaruyuang di Alam Minangkabau.
Datuk Singo sebagai Ketua delegasi menyatakan bahwa untuk memastikan bahwa Raja yang di Nobat adalah Keturunan lansung atau Asli dari Raja Alam Minangkabau yang pertama, maka harus meminta kepastian dari “ Anak Raja itu sendiri ” sebab di dalam misi menjemput ‘Daulat” hal tersebut belum dijelaskan oleh Sang Raja. Karena meminta daulat sendiri maka diberi “Daulat sendiri” yakni seorang anak ditunjuk sebagai Raja di Rantau Kampar Kiri.
Sebagai Ketua Delegasi, Datuk Singo berpendapat bahwa untuk memastikan itu wajib diadakan upacara Baiat (Sombah) penobatan pemimpin bagi Negara Merdeka yang bernama Kerajaan Rantau Kampar Kiri ini. Setelah diadakan Upacara Sombah (Penobatan Raja) tidak lama setelah itu Raja Rantau Kampar Kiri ini Wafat ( Mati Muda). Dengan bahasa lain “ Rencana Kerajaan Rantau Kampar Kiri Merdeka” ini mati Muda,(Layu Sebelum Berkembang).
Mangkatnya Raja “Kerajaan Rantau Kampar Kiri Merdeka” ini di terjadi di Bukit Cunduang di hulu Sungai Sibayang, Kemangkatan Raja Rantau Kampar Kiri ini membuat keheboan di bagi Rakyat Rantau Kampar Kiri. Ninik-mamak beserta orang –orang besar Rantau Kampar Kiri kembali melakukan musyawarah (Syuro Siyasah) di dalam syura siyasah itu disepakati bahwa “ akan kembali mengutus delegasi kedua untuk meminta “ Seorang Pewaris” Raja Alam Minangkabau di Pagaruyuang untuk menjadi Raja Muda di Rantau Kampar Kiri. Raja yang Diminta adalah seorang Raja yang merupakan sorang keturunan asli dari Raja Alam Minangkabau di Pagaruyuang, Bukan Raja yang tidak memiliki ketersambungan nasab dan Politik dari Raja Alam Minangkabau.
Misi Delegasi Khusus kedua ini dalam bahasa politk hari ini dapat dijelaskan bahwa, Ninik-Mamak Se Rantau Kampar Kiri “Bukan menginginkan “Negara Merdeka” dari Kerajaan Pagaruyuang yang memerintah Alam Minanangkabau. Merupakan suatu yang “Aneh” jika Ninik-mamak Rantau Kampar Kiri melepaskan diri/merdeka dari Dinasti Pagaruyuang,[4] sedangkan Pendiri Dinasti Pagaruyuang yang memerintah Alam Minangkabau itu sendiri adalah “ Sang Hiyang Sono Sari Patib”Menurut Adat merupakan “ Putra Rantau Kampar Kiri”. Alam Minangkabau itu adalah bagian yang tidak boleh terpisah dari Rantau Kampar Kiri begitu keyakinan dari masyarakat Adat di Rantau Kampar Kiri.[5]
Delegasi Khusus kedua yang dibentuk dan diutus ke Pagaruyuang adalah untuk menjelaskan hal tersebut dan sekaligus meminta seorang Anak Raja (Raja Muda) salah seorang Pewaris Keturunan Darah/Nasab lansung dari Raja Alam Minangkabau yang pertama Adityawarman ( Keturunan Maharaja yang di Rajakan, bukan Raja yang di Rajakan). Dalam bahasa Adat, Raja yang diminta itu adalah ibarat “ Siriah Pulang ke Tampuok, Keris kembali ke Gagang nyo”. Kerajaan Rantau Kampar Kiri bukan kerajaan yang berdiri sendiri tetapi kerajaan yang terkait dengan dengan Alam Minangkabau beserta, seluruh Rantau-Rantau di Alam Minangkabau itu. Bahasa PolitIk hari ini yang di inginkan adalah pembentukan Kerajaan melalui Pemekaran Rantau di Alam Minangkabau bukan pemisahan diri dari Alam Minangkabau. Ahli politik menyebut Kerajaan Bagian (Provinsi) dalam Federasi Kerajaan Minangkabau Pagaruyung ini dengan istilah Kerajaan Vazal.[6]
Untuk menjalankan Misi masyarakat adat kedua ini maka dibentuk utusan khusus yang di komandoi oleh tiga orang Datuk sebagaimana misi pertama yaitu :
1. Datuk Bandaro Hitam Pucuk Laras Subayang Negeri Pangkalan Serai
2. Datuk Singo Rajo Dibanding Pucuk Rantau Negeri Lipat Kain
3. Datuk Andomo (Pucuk Rantau Negeri Domo Ke Khalifaah Kuntu
Datuk Bandaro Hitam ini adalah Datuk Penguasa Adat yang mewakili Kerajaan Pagaruyuang di Rantau Kampar Kiri, dia bergelar Datuk Palindi Panjang. Beliau ini adalah Pemandu Jalan Delegasi Adat Rantau Kampar Kiri ke Ibu Kota Kerajaan Minangkabau di Pagaruyuang. Menurut sejarahnya Datuk Bandaharo Hitam gelar asalnya adalah Datuk Sotie Manyarapia, Urat Besar Bujang Beringin, Rumpunnya di Pangkalan Serai, Urat menjalar ka Pagaruyung, Batang Tajelo di Rantau, Pucuk Sampai ke Gunung Sailan, begitu panjangnya pertalian Datuk Bandaharo Hitam ini. Datuk Bendaharo Hitam memiliki pertalian dengan Datuk "Nan empat Koto" di Antara Sago dan Singgalang Yaitu :
1. Datuk Paduko Alam di Negeri Ampalu
2. Datuk Marajo Mudo di Negeri Halaban
3. Datuk Paduko Rajo di Negeri Gaduik
4. Sutan Saidi di Negeri Tabing
Datuk Singo Rajo Dibanding, Pucuk Rantau Negeri Lipat Kain ini adalah seorang pembesar Rantau Kampar Kiri yang memiliki Tuah dan Kemampuan dalam mengawal dan mendukung Logistik dalam rangka perundingan dengan Daulat Raja Alam Minangkabau di Pagaruyuang dengan kata lain Datuk Singo ini adalah Pembesar adat yang Bertuah dan Berdaya (Badayo) di Rantau Kampar Kiri, sehinga dalam setiap pengutusan Delegasi Adat beliau selalu ikut serta.
Datuk Andomo atau (Indomo, sebagai dokumen Adat menulis namanya) adalah Datuk Pucuk Rantau Negeri Subangi/Domo. Negeri Subangi adalah Negeri dimana dokumen Sumpah Sotie Adat dahulu di Rumuskan atau di Tulis. Negeri Subangi adalah Kapalo Koto Negeri Kuntu dalam Kekhalifaan Luwak Kuntu. Dalam Adat, Datuk Indomo ini adalah seorang “Pakar Sejarah dan Ahli Politik” sesuai dengan namanya Andomo atau Indomo, Datuk Ini Berhubung kait dengan “Datuk Indomo di Suravaca/Suruaso (Pagaruyuang).[7] Negeri Suruaso atau Surawasa adalah Negeri tempat dimana Adityawarman (kemenakan Orang Kampar Kiri) di Nobatkan sebagai “Yang Di Pertuan Suruaso” Raja Alam Minangkabau yang pertama. Datuk Andomo di Negeri Subangi atau Domo ini berhubung kait kesana. Dalam delegasi khusus yang dibentuk kedua kali ini, beliau yang di tunjuk sebagai Juru Runding ( Pengatur Siasat) untuk menundukkan Istana Raja Alam Minangkabau di Pagaruyung).
Untuk menundukan Raja Alam Minangkabau di Pagaruyuang, Datuk Indomo ini yang kelak di beri gelar orang besar Raja sebagai “DATUK SANYATO RAJO DI LANGIT”. Untuk menaklukkan Istana Silindung Bulan di Pagaruyuang, Datuk Andomo ini memakai ‘’ SIASAT KUBAK AJO”. Siasat Kubak RAjo (Menjelaskan Sejarah) atau menguliti atau membongkar sesuatu sampai tampak isinya. Kubak adalah ‘teknik perundingan membongar sejarah lama tentang hubung kait Raja Alam Minangkabau dengan Orang dari Rantau Kampar Kiri (Menjelaskan asal-usul dan hubung kait sejarah, Alam Minangkabau dengan Rantau Kampar Kiri secara mendetail dan lengkap). Dalam pepatah adat sejarah diplomasi dan perundingan Kubak Ajo ini di sebut dengan bunyi :
KAIK SADOGAM NAK UGHANG DOMO
ANJAK LAH KOMBUIK UJUANG BUKIK
DI KOMBANG SEJARAH LAMO
TOGHE TA BONAM NAN BA BANGKIK
Para tetuo adat Rantau Kampar Kiri menjelaskan berbagai macam Versi tentang teknik perundingan“ Kubak Ajo” ini. Untuk mendapatkan, Persetujuan dan Dukungan dari Induk Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung untuk pendirian Kerajaan bagian Rantau Kampar Kiri. Di dalam Tombo Adat dan foklor turun-temurun dari tetuo adat di Rantau Kampar Kiri menjelaskan bahwa perjuangan itu akhirnya berbuah manis pada awal abad ke 17 masihi, yakni pada Bulan Jumadil Awwal tahun 1001 Hijeriyah. Delegasi Khusus kedua yang diutus itu berhasil mendapatkan seorang anak raja (Raja Muda) Kerajaan Pagaruyuang yang diutus secara lansung oleh Raja Alam Minangkabau bersama para pengiringnya yakni Datuk Paduko Tuan ( Datuk Godang/Mamak Raja Muda) dan Datuk Intan di Langik (Datuk Suri Diraja/Penasehat Raja Alam Minangkabau) Di Kampar Kiri gelarnya adalah Datuk Besar Khalifah Luwak Kampar Kiri. Itulah tanda Keturunan Maraja Diraja “ Tando Rajo Ba Panghighiang”. Tanda seorang Raja itu diutus beserta para pengiring/rombongan dari Pusat Kerajaan Pagaruyuang, Bukan di jemput terbawa ( seperti Polisi menjemput paksa seorang tersangka) oleh Ninik-mamak atau utusan masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri. Jemput Daulat dengan penjemputnya, Daulat dibawa dengan pembawanya. “ Di lepas dengan hati nan suci jo muko nan jonie” oleh Raja Alam Minangkabau Yang Dipertuan Raja Gamuyang dan Istrinya yang dipertuan Gadi Puti Andam Dewi, hal ini yang menandakan tidak akan perna terputus hubungana antara Rantau Kampar Kiri dengan seluruh keturunan Raja Alam Minangkabau dimanapun mereka berada. Sebagaimana tidak akan terpisah hubungan antara ayah dengan anak, antara ibu/induk dengan anaknya. Begitu juga hubungan antara Pusat dan Daerah serta hubungan Daerah pemekaran dengan daerah induknya.
Bagaimanapun juga teknik perundingan dan diplomasi “ Kubak Ajo “ ini adalah diplomasi kekeluargaan, Diplomasi Mamak-Kamanakan, Diplomasi Bako-Baki, Anak dipangku kamanakan dibimbiang, ughang sakampuang dipatenggangkan. Lomak dek awak katuju dek ughang, Pighiak-pighiak dagiang. Perundingan “Kubak Ajo” adalah Diplomasi “Ba- awak-awak”. Hubungan kekeluargaan satu bangsa dan satu Negara adalah pada dasarnya adalah “ Diplomasi kekeluargaan” satu bangsa dan Satu Negara adalah satu keluarga. Seperti apapun kepentingan Politik dan ekonomi yang melatar belakanginya tentu harus berdasarkan “ Prinsip Kekeluargaan”
Bukankah Dr. H. Muhammad Hatta (Wakil Presiden RI yang pertama) mengatakan bahwa “ Perekonomian disusun sebagai usaha bersama” berdasarkan Azas kekeluargan, begitu juga POLITIK. Satu Keluarga dalam Adat di Ibaratkan “Satu tanah Air” Nation State (Satu Negara Satu bangsa) dikiki ba’abi Bosi, di basuo ba’abi ayieh “SALUS POPULI SUPREMA LEX” Keselamatan Rakyat Adalah HukumTertinggi. Pembentukan Sebuah Negara bertujuan “Melindungi Segenap bangsa dan Seluruh tanah tumpah darah, memajukan kesejahteraan Umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”.
POLITIK SEJARAH “ KUBAK RAJO” dari Datuk Andomo atau Datuk Nyato Dirajo ini yang mampu menaklukkan Istana Silindung Bulan, Pagaruyung. Buah dari Kebijaksanan dan kecerdasan Datuk ini nantinya yang mendirikan kembali “ DAULAT” RANTAU KAMPAR KIRI DI GUNUANG SAILAN. Daulat ini bukan daulat terpisah tetapi sebuah daulat yang berdiri dan berhubung kait dengan seluruh Daulat-Daulat se Alam Minangkabau. Dalam perjalanan sejarahnya banyak Raja-Raja di Rantau lain bahkan Raja Alam Minangkabau kembali terlahir dari Keturunan Raja Daulat di Rantau Kampar Kiri.
Salah satu pelajaran dari sejarah adalah “ Kejadian yang berulang-ulang” kehidupan manusia dan perilaku manusia itu pada dasarnya tidak ada yang benar-benar baru. Semuanya menurut ilmu sejarah adalah sebuah “PENGULANGAN”.
KEBERHASILAN DELEGASI KHUSUS KEDUA MASYARAKAT ADAT RANTAU KAMPAR KIRI UNTUK MENJEMPUT “DAULAT” KE PAGARUYUANG DAN MEMBAWANYA TANPA TERSERAK DI JALAN, TENTU TIDAK BISA DIPISAHKAN DARI SOLIDNYA DELEGASI YANG DI UTUS DENGAN KUALIFIKASI YANG UTUH YAKNI :
1. SANG MENUNJUK/PEMANDU JALAN (PERSETUJUAN WAKIL PENGUASA INDUK )
2. SANG MENGAWAL PERJALANAN ( LOGISTIK)
3. JURU RUNDING YANG PIAWAI (NEGOSIATOR ULUNG) YANG MAMPU MENEMBUS RUANG TERDALAM SEBUAH ISTANA DAULAT YANG DIPERTUAN RAJA ALAM.
WALLAHUA'LAM BISHOWWAAAAB……………………
BANDAR RAYA SENAPELAN, 31/12/2021
Catatan kaki oleh admin:
[1] Tidak ditemukan nama Adityawarman dalam curaian ataupun naskah adat Minangkabau. Nama ini dihubung-hubungkan terkait hasil penelitian para ahli oleh sebagian orang Minangkabau. Begitu juga dengan angka tahun atau abad, sama sekali tidak digunakan penanggalan apalagi penanggalan Gregorian. Dan temuan arkeologis serta sejarah yang disusun oleh 'para ahli' menyebutkan bahwa asalnya dari Melayu Pura yang lokasinya di Kabupaten Dharmasraya sekarang.
[2] Saruaso adalan nama sebuah Nagari, orang Minangkabau tidak mengenal 'Kota'. Dan Koto tidak sama dengan Kota.
[3] Pagaruyuang ataupun Minangkabau tidak pernah melakukan penjajahan atas negeri manapun, baik di pulau Sumatera maupun diluarnya. Minangkabau mengembangkan hubungan kekerabatan atas kerajaan-kerajaan lain di Negeri Melayu, tidak pernah diminta upeti kepada mereka atau menjadikan rakyat suatu kerajaan sebagai budak. Dalam Istilah adat digunakan Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Kapak Radai, & Timbang Pacahan.
[4] Sebelumnya disebutkan bahwa Rantau Kampar Kiri ingin MERDEKA namun disini disebutkan tak hendak memisahkan diri. Ketidak konsistenan ini bukan dari masyarakat namun dari penulis yang membuat tulisan ini. Tidak menggunakan perspektif adat melainkan bercampur dengan perspektif masa kini dan pendapat para ahli.
[5] Ini merupakan klaim sepihak, karena hal ihwal raja di Minangkabau sendiri diterangkan dengan baik dalam Tambo.
[6] Minangkabau merupakan federasi (yang sangat longgar) dengan Rajo Alam sebagai kepalanya. Kekuasaan raja tidak mencengkram atau otoriter, wewenang dalam pengelolaan nagari atau kerajaan (dirantau nagari disebut kerajaan) sepenuhnya ditangan para penghulu. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk melapor atau meminta persetujuan kepada Raja Alam. 'Kerajaan Bagian' tidak sama dengan provinsi dan tidak ada dalam istilah yang ada ialah Negara Bagian. 'Vasal' bukan istilah adat.
[7] Saruaso dan Pagaruyuang ialah dua nagari berbeda
Baca juga
- Sekilas Kerajaan Gunung Sahilan
- Hubungan Kebudayaan melayu Andiko 44 dengan Luhak Limo Puluah
- Pagaruyuang dan Para Kerabatnya