Foto: Kompasiana |
Oleh: Hasril Chaniago
Berbagai kajian sejarah, sosial, budaya dan antropologi - oleh para sarjana dalam negeri maupun asing - telah memberikan cap terhadap orang Minangkabau sebagai suku bangsa perantau. Banyak sekali buku yang membahas tentang aspek ini, sejak berabad-abad lalu hingga masa kini.
Budaya merantau didasari konsep pengembangan diri, untuk mencapai kemajuan kehidupan dengan tiga cara utama: mencari ilmu, mencari piti, dan mencari pangkat atau status sosial yang lebih tinggi. Agar berhasil di rantau, orang Minang mempunyai cara dan daya adaptasi (penyesuaian diri) yang tergambar dari falsafah hidup mereka: "Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung".
Sebaliknya di kampung halaman sendiri, mereka juga sangat terbuka menerima para pendatang. Bahkan mereka memberikan tempat istimewa untuk orang-orang dari luar. Maka lahirlah di Sumatera Barat nama-nama Kampuang Jao (untuk orang Jawa), Kampuang Cino (untuk orang Cina), Kampuang Nieh (untuk pendatang dari Nias) atau Kampuang Kaliang (untuk orang dari India). Sebaliknya di tanah rantau orang Minang tidak pernah membuat kampung sendiri karena mereka selalu hidup membaur dengan masyarakat setempat. Tidak mau hidup eksklusif dan tertutup.
Tidak pernah ada konflik atau masalah rasial antara orang Minang di Sumatera Barat dengan kaum pendatang. Sebaliknya tidak pernah terjadi konflik antara perantau Minang dengan masyarakat setempat. Jadi agak mengherankan juga, hanya berdasarkan kasus-kasus atau kejadian remeh, atau atas hasil survei yang dangkal, ada yang mengatakan orang Minang "intoleran".
Budaya merantau dengan motivasi dan konsep pengembangan diri, akhirnya membawa orang Minang cukup menonjol dalam berbagai bidang kehidupan atau profesi - dokter, akademisi, politisi, birokrat pemerintahan, pedagang, pengusaha, sastrawan dan seniman, hingga wartawan.
Hardimen Koto adalah salah satu wartawan olahraga yang memulai kariernya dari daerah dan mencapai keberhasilan setelah merantau. Kami pernah satu "kampus" dalam suatu pendidikan kewartawanan, dan pernah pula sama bekerja di harian Singgalang Padang. Saya memilih jalur umum (general) sedangkan Hardimen memilih spesialisasi olahraga dan lebih spesial lagi cabang sepakbola. Spesialisasi ini tidak menyediakan lahan luas untuk wartawan daerah berkembang. Karena itu Hardimen pamit merantau dan berlabuh di grup media besar di Ibukota (pusat).
Di rantau ia mencapai sukses. Hampir tidak ada pencinta sepakbola yang tidak kenal atau paling tidak pernah mendengar nama Hardimen Koto. Dari daerah dia telah melangkah jauh ke dunia global. Hampir tidak ada lagi negara atau kota-kota dunia yang menjadi kiblat sepakbola modern yang tidak dia kunjungi. Meliput dan membuat laporan berbagai pertandingan atau turnamen sepakbola internasional. Selain itu ia juga dikenal sebagai komentartor sepakbola di berbagai stasiun tv nasional dan menjadi kolumnis sepakbola di berbagai media olahraga di pusat.
Tiba-tiba sebulan yang lalu Hardimen menghubungi saya. Menginformasikan dia telah menulis sebuah buku tentang perjalanannya sebagai wartawan olahraga khususnya sepakbola. Judul bukunya keren "The Soccer Traveller". Wah, menarik sekali. Dari gaya reportase Hardimen yang saya kenal, pasti buku ini akan "enak dibaca dan perlu" (meminjam moto Majalah Tempo).
"Selamat, Men. Saya berharap termasuk yang pertama membaca buku Anda," kata saya antusias.
"Terima kasih, In," katanya menyebut nama panggilan saya (kami memang sebaya dan saling panggil nama saja). "Tapi maksud saya, minta In menulis kata pengantar untuk buku tersebut," katanya melanjutkan.
"Wah, apa tidak terbalik tu, Men," jawab saya.
"Apanya yang terbalik?" Tanyanya.
"Masa wartawan daerah menulis kata pengantar untuk buku wartawan pusat yang sudah go internasional. Lagi pula saya tidak banyak tahu dunia atau liputan olahraga," kata saya.
"Jangan begitu lah, In. Soal pusat dan daerah itu kan hanya dalam pikiran saja, kadang dilihat secara sesat pula. Bukankah orang-orang di pusat itu hampir semua juga orang dari daerah," katanya.
Ah, benar juga Hardimen, saya pikir. Semua wartawan hebat di pusat kan juga asalnya dari daerah. Sebutlah Karni Ilyas, Dahlan Iskan, Ilham Bintang, atau Adam Malik, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar dari generasi yang lebih dulu. Yang lahir dan memulai karier dari wartawan olahraga di daerah lalu sukses di pusat juga ada yang saya kenal baik selain Hardimen. Sebutlah misalnya Asro Kamal Rokan . Mulai dari reporter di Medan, lalu sukses setelah merantau ke Jakarta. Pernah jadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Merdeka, Pemimpin Redaksi Harian Republika, dan Pemimpin Umum LKBN Antara.
"Tapi kan saya tidak pernah jadi wartawan olahraga?"
"In tentu punya sisi pandang lain yang saya yakin akan menarik," kilah Hardimen.
Tak bisa mengelak lagi, akhirnya saya tulislah sebuah kata pengantar untuk buku Hardimen Koto. Dengan cara saya saja. Mudah-mudahan berkenan.
Alhamdulillah, informasi terbaru dari Hardimen, "The Soccer Traveller" hampir selesai cetak. Tak sabar ingin segera membaca sampai tuntas.
Disalin dari kiriman FB Hasril Chaniago