Sumber Gambar: https://www.facebook.com |
Talu adalah sebuah Nagari, ibu kota dari Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat. Kecamatan Talamau terdiri dari 3 Kanagarian,
setelah dikeluarkan dari Kabupaten Pasaman. Pemekaran Kabupaten Pasaman
menjadi dua kabupaten memecah Kecamatan Talamau menjadi 2 Kecamatan
yang terpisah. Kanagarian Cubadak dan Simpang Tonang digabung membentuk
Kecamatan Duo Koto menjadi bagian Kabupaten Pasaman. Sedangkan Kanagarian Talu, Sinuruik dan Kajai tetap sebagai Kecamatan Talamau
menjadi bagian dari Kabupaten Pasaman Barat. Pasca pemecahan Kabupaten,
maka lokasi Kecamatan Talamau yang tadinya terletak di tengah-tengah
Kabupaten Pasaman, sekarang terletak dipinggiran kedua kabupaten.
Menurut buku Tambo Minangkabau dan adatnya terbitan Balai Pustaka th
1956, Talu adalah salah satu tepatan dari Pagaruyung disamping tepatan- tepatan lainnya. Sebagaimana ditulis pada Bab I pucuak adat yang ada
disebut dunsanak batali darah ka Pagaruyuang. Terbentuknya Nagari Talu
mengikuti proses nagari nan ampek:
Sri Maharajo dirajo dari Pagaruyung membuat taratak dipertemuan Batang Tolu dengan Batang Poman. Taratak berkembang menjadi dusun atau kampung. Dusun/kampung berkembang menjadi Koto disebut Koto Dalam. Setelah memenuhi syarat baampek suku, bapandan pakuburan , babalai bamusajik, bakorong bakampuang dan lain- lain berkembang menjadi nagari.
Menurut kata-kata adat :
“Manuruik warih nan bajawek sarato umanah nan ditarimo tantangan nagari Talu. Tatkalo nagari kadiunyi , buek sudah kato lah abih, ukua jo jangko lah salosai adaik lah olah jo ranjinyo, sawah lah sudah jo lantaknyo. Sawah balantak basupadan, ladang baagiah babintalak, padang babari balagundi, rimbo baagiah balinjuang, bukik dibari bakarakatau. Nagari dibari babatasan, ka ilia supadan Sungai Abuak dengan Daulaik Parik Batu, ka mudiak Aia Panarahan dengan Tuanku Rajo Sontang, ka baraik babateh jo Kiawai ka timur babateh jo Sundata, ka ateh ka ambun jantan ka bawah ka kasiak bulan didorong dek gurindam kato adaik. Dari mulo Sri Maharaja Diraja mambuek taratak jadi kampuang,kampuang jadi koto sampai jadi nagari iyo balaku titiak dari ateh, lareh Koto Piliang Datuak Katumanggungan.”
Melayu [oleh Agam Van Minangkabau]:
Menurut waris yang diterima dan amanah yang diterima tentang Negeri Talu. Tatkala negeri akan dihuni, dibuat sudah kata sudah habis, ukur dengan jakar sudah selesai, adat sudah ada dengan rajinya, sawah sudah selesai dengan pematangnya, sawah berpematang berbatasan, ladang diberi babintalak, padang diberi berlagundi, rimba diberi balinjuang, bukit diberi berkarakatau. Negeri diberi berbatasan, ke hilir berbatasan Sungai Abuak dengan Daulat Parit Batu, ke mudik Air Panarahan dengan Tuanku Raja Sontang, ke barat berbatas dengan Kiawai, ke timur berbatas dengan Sundata, ke atas ke embun jantan, ke bawah ke pasir bulan, didorong dengan gurindam kata adat. Dari mula Sri Maharaja Diraja membuat taratak menjadi kampung, kampung menjadi koto, sampai menjadi negeri. Telah berlaku menitik dari atas, Laras KOto Piliang Datuk Ketumangguangan.
Luhak ba pangulu, rantau barajo itu kato pepatah Minang. Pasaman adalah daerah rantau dimana terdapat banyak pucuak adat sebagai rajo, lareh Koto Piliang antara lain:
Daulat Parik Batu di Pasaman
Tuanku Bosa di Talu
Rajo Bosa di Sundatar Lubuk Sikaping
Tuanku Rajo Sontang di Cubadak
Daulat Yang dipertuan di Kinali
Yang Dipertuan Padang Nunang di Rao
dan lain- lain
Negeri Talu barajo Tuanku Bosa pucuak adat sebagai rajo. Sistem Datuk Katumanggungan, Lareh Koto Piliang. Wilayah daulat Tuanku Bosa disebut Kabuntaran Tolu yang jauh lebih luas dari wilayah Nagari Talu saat ini. Wilayah Kabuntaran Talu adalah :
Utara berbatas dengan Teluk Rantau/ Rajo Sontang
Selatan berbatasan dengan Wilayah Daulat Parit Batu
Timur berbatasan dengan Sundatar
Barat berbatasan dengan Muara Kiawai dan wilayah Daulat Parit Batu
Dalam perkembangannya wilayah kabuntaran Talu menyusut dengan terbentuknya nagari Kajai dan Sinuruik. Sekarang wilayah Tuanku Bosa disebut Salingka Nagari Talu yang luasnya persis sama dengan nagari Talu. Kajai terbentuk dengan kesepakatan 2 (dua) rajo badunsanak disebut “sako dari Daulat Parit Batu, pusako dari Tuanku Bosa“.
Kalau dulunya batas Kabuntaran Talu dengan langgam Pasaman di Sungai Abuak (rambut), setelah itu Tuanku Bosa berbatas dengan Kajai di Jembatan Panjang. Sedangkan dengan Sinurut belum pemah disebut ungkapan seperti dengan Kajai, sampai sekarang disebut “tangguak duo karuntuang ciek“. Namun batas nagari sesuai dengan batas pemerintahan yang sudah dibuat sejak pemerintahan Belanda. Dulu Kabuntaran sekarang disebut Salingka Nagari Talu dengan batas- batas sebagai berikut:
Utara dengan Nagari Sinurut / Teluk Rantau
Selatan dengan Nagari Kajai / Daulat Parit Batu
Barat dengan Muaro Kiawai
Timur dengan Sundatar.
Wilayah ini menjadi batas Nagari Talu sebagai wilayah Pemerintahan formal Kenagarian Talu. Terdapat 3 pemerintahan adat yang berdekatan wilayahnya dengan system Datuk Katumanggungan barajo :
Daulat Parit Batu dari Pagaruyung mendirikan pemerintahan disebut Langgam Pasaman di Parit Batu Simpang Empat.
Tuanku Bosa dari Pagaruyung yang mendirikan pemerintahan di Kabuntaran Talu
Tuangku Rajo Sontang dari Tapanuli Selatan yang diberikan Wilayah dan mendirikan pemerintahan di Teluk Rantau.
Ketiga Raja ini pernah mengadakan perjanjian di Talu persisnya di Koto Dalam . Hasil perundingan adalah perjanjian bahwa sama-sama menghormati, tidak akan saling mengganggu atau saling menganiaya. Lengkapnya kesepakatan tersebut adalah ” Seorang dihaluan, seorang dikemudi dan seorang dikelok pembuntaran. Dalam pepatah berbunyi ” Kerbau badur di Parit Batu, kerbau balung di Talu, runcing tanduk tajam garaham lalu ka Sontang. Yaitu tali pilin tigo, atau tigo tungku sajarangan , kalau condong tungkek manungkek, kalau jatuah butia mambutia, kalau hanyuik tolong manolong.
Kalau di kerajaan Daulat Parit Batu bersua orang bersalah hukumannya Tohok Perang artinya dosa tidak boleh disembah, utang tidak boleh dibayar.
Kalau di kerajaan Tuanku Bosa di Talu bersua orang bersalah hukumannya Andam Karam, artinya utang boleh dibayar, salah boleh ditimbang.
Kalau di kerajaan Tuanku Rajo Sontang di Teluk Rantau bersua orang bersalah hukumannya melukai sekali setahun, membunuh sekali belum, artinya didenda sehabis-habisnya seekor kerbau dan beras secukupnya.
Cerita turun temurun menyatakan asal nama Talu adalah dari pertemuan tiga raja ini yang dalam bahasa Batak tiga adalah Tolu. Maka daerah kabuntaran Talu dikukuhkan sebagai Tolu. Bagitu pula salah seorang kemenakan Tuanku Bosa ke VII bernama Puti Tolu, kemungkinan lahir setelah perjanjian tiga raja ini. Kemungkinan waktu pelaksanaan perjanjian ini pada awal abad XIV. Waktu datangnya Sri Maharajo Dirajo dan membuat taratak, begitu pula tahun Sri Maharaja dinobatkan jadi Tuanku Bosa I tidak diketahui, tidak ada catatan tertulis mengenai sejarah Tuanku Bosa I s/d VI.
Riwayat pembentukan Nagari Talu dari yang diterima turun temurun dan beberapa catatan adalah sebagai berikut :
Sri Maharaja Diraja dan rombongan tiba di Talu dari Pagaruyuang melalui Payakumbuh. Membuat taratak di patomuan Batang Tolu dengan Batang Poman dibawah bukit barisan. Setelah beberapa waktu datang dunsanak dari Pagaruyuang bergabung dengan rombongan Sri Maharaja, diberi tanah, perumahan dimudiak kampuang.
Beberapa waktu kemudian datang lagi dunsanak dari Pagaruyuang, diberi tanah perumahan di mudiak kampuang lagi, jadilah 3 induak badunsanak tinggal di Koto Dalam. Terakhir datang lagi dunsanak laki- laki dari Kinali yang juga berasal dari Pagaruyuang.
Karena tanah dikampung Koto Dalam telah penuh maka Tuanku Bosa menyerahkan tanah dan menyuruh Taruntun mambuek kampung di aie nan joniah toluak nan barombun dengan membao dunsanak padusi dari Koto Dalam. Kampung yang didirikan Taruntun tersebut sekarang bernama Toluak Ambun suku Jambak, niniak mamaknya bergelar Majo Sadeo. Karena Bundo Kanduang Toluak Ambun adalah dari Koto Dalam yang ikut pindah bersama Taruntun, maka turunannya di Toluak Ambun ditetapkan Puti Koto Dalam. Puti Koto Dalam di Toluak Ambun selalu dijemput dengan siriah jo carano, untuk menghadiri upacara adat di Koto Dalam. Sedangkan Taruntun yang belum berkeluarga mencari pasangan hidup ke utara sampai ke daerah Mandailing. Taruntun mendapat jodoh seorang istri dari Desa Batahan Tapanuli Selatan dengan marga Nasution.
Secara berangsur- angsur Sri Maharaja mendirikan kampung dan mengangkat pangulu atau datuk untuk memimpin masing- masing kampung. Jika kita cermati status pangulu dan datuk, serta lokasi kampung yang dibentuk dapat disimpulkan beliau memperhatikan :
Kemudahan kehidupan masyarakat kampung dekat sungai ( air) dan tanah yang dapat dibuat sawah.
Unsur komunikasi, tidak terlalu jauh dapat dijangkau bunyi tabuah
Unsur keamanan Koto Dalam.
Kapan Koto Dalam memenuhi persyaratan menjadi nagari, ba ampek suku, bakorong bakampuang, basosok bajarami, balabuah batapian, barumah batanggo, basawah baladang, babalai bamusajik dan bapandan pakuburan tidak diketahui secara pasti. Begitu pula kapan Sri Maharaja Diraja mengangkat dirinya menjadi Tuanku Bosa ke I tidak diketahui. Tidak ada catatan tertulis, begitu pula cerita turun temurun putus ditengah jalan tidak sampai ke generasi sekarang.
Namun dapat disimpulkan bahwa nagari terbentuk pada zaman Sri Maharaja diraja sehingga beliau mengangkat diri jadi raja, Tuanku Bosa II Panjang Bulu Mato yang dimakamkan di Pangka Sapek dibuatkan kuburan 7 tingkat yang masih utuh sampai sekarang. Konon menurut cerita kuburan dibuat tujuh tingkat karena saat beliau wafat sudah ada 7 andiko dibawahnya. Tuah beliau pula, dimana pohon maransi yang tumbuh diatas kuburan bertingkat tujuh, bercabang tujuh pula dari bawah. Untuk mengurus Koto Dalam, Tuanku Bosa dibantu oleh tiang pendek dengan gelar Angku Mudo. Dibidang agama . syarak dibantu oleh Tuanku Kadhi. Dari catatan niniak – niniak terdahulu terlihat pembagian tugas dan tanggung jawab yang tertib yaitu :
Angku Mudo selalu dari induak mudiak
Tuanku Kadhi selalu dari induak tongah
Tuanku Bosa selalu dari induak ilia yang datang pertama.
Campur Tangan Belanda dan Awal Mula Konflik Perebutan Kekuasaan
Mulai dari Tuanku Bosa I Sri Maharaja Diraja, sampai dengan Tuanku Bosa XI Mandak berasal dari induak ilia, kecuali Tuanku Bosa XII Tangiang dari Induak Tongah. Berbeda dengan Tuanku Bosa sebelum- sebelumnya, sejak dulu Tuanku Bosa diangkat Belanda manjadi Tuanku Lareh, sedangkan, alm Tangiang diangkat Belanda menjadi Tuanku Lareh baru 20 th setelah itu menjadi Tuanku Bosa. Pada tahun 1907 Belanda memensiunkan Mandak Tuanku Bosa XI dan mengangkat Tangiang sebagai Tuanku Lareh. Selama 20 tahun mulai tahun 1907 s/d 1927 terdapat 2 pemerintahan di Talu yaitu pemerintahan adat oleh Tuanku Bosa XI Mandak dan pemerintahan Belanda oleh Tuanku Lareh Tangiang.
Sampai tahun 2007 telah 14 orang yang memangku jabatan Tuanku Bosa dengan urutan sebagai berikut :
1. Tuanku Bosa I, Maharaja diraja pendiri pemerintahan adat Talu, dimakamkan dikuburan Pangka Sapek
2. Tuanku Bosa II, Panjang Pulu Mato dimakamkan dikuburan Godang. Kuburan beliau bertingkat 7 yang menggambarkan waktu itu baru 7 andiko dibentuk. Diatas kuburan 7 tingkat ini tumbuh pohon yang bercabang tujuh pula. Padahal diatas kuburan Tuanku Bosa I pohon yang sama tumbuh tanpa cabang sampai setinggi ± 10 M.
3. Tuanku Bosa III, bergelar Tuanku Sundatar, dimakamkan di Sundatar Lubuk Sikaping.
4. Tuanku Bosa IV.Godang Hiduang dimakamkan dikuburan Godang.
5. Tuanku Bosa V Kociak Bunyi, dimakamkan dikuburan Godang
6. Tuanku Bosa VI Durian Tanjung dimakamkan dikuburan Godang
7. Tuanku Bosa VII Orang Tuo Jarung, dimakamkan dikuburan Godang.
8. Tuanku Bosa VIII Sutan Jamin memerintah sebagai tuanku lareh dari tahun 1840 s/d 1845. Memangku jabatan sebagai Tuanku Bosa s/d tahun 1854 sampai beliau meninggal dunia dan makamkan di kuburan Aie Tabik. Pada tahun 1845 karena sakit beliau mangulipah, menyerahkan tugas dan wewenang Tuanku Bosa dan jabatan Tuanku Lareh kepada kemenakan beliau Sutan Soru Alam. Beliau mangulipah [memimpin] semasa hidup.
9. Tuanku Bosa IX, Sutan Soru Alam memerintah dalam 2 periode:
Tahun 1845 s/d 1854 sebagai pemangku jabatan Tuanku Bosa dan sebagai wakil Tuanku Lareh, Tuanku Bosa dan Tuanku Lareh tetap dijabat Tuanku Bosa VIII Sutan Jamin meskipun tidak aktif karena sakit. Tahun 1854 s/d 1871 Resmi diangkat menjadi Tuanku Bosa IX dan memangku jabatan Tuanku Lareh, setelah Tuanku Bosa VIII wafat tahun1871 dimakamkan di pemakaman Aie Tobik.
10. Tuanku Bosa X, Sigigi. Tumbuh gigi sejak lahir, memerintah tahun 1871 s/d 1874. Wafat tahun 1874 dimakamkan dipemakaman Aie Tobik.
11. Tuanku Bosa XI Mandak, memerintah sebagai Tuanku Lareh 1874 s/d 1907. Pada tahun 1907 beliau dipensiunkan Belanda dari jabatan Tuanku Lareh. Disebut sebagai Tuanku Bosa Pensiun. Meninggal sebagai Tuanku Bosa dan pensiunan Tuanku Lareh pada tahun 1931 dimakamkan dikuburan Kapunduang.
12. Tuanku Bosa XII Tangiang. Diangkat menjadi Tuanku Bosa pada tahun 1927, pada saat mana Tuanku Bosa XI Mandak masih hidup. Sebelum memangku jabatan Tuanku Bosa beliau menjabat sebagai Tuanku lareh menggantikan Mandak Tuanku Bosa XI pada tahun 1907. Pada tahun 1927, Controleur Talu meminta kepada Tuanku Bosa XI Mandak untuk memberi izin kepada Tangiang, Wali Nagari menjabat Tuanku Bosa. Dengan berat hati Tuanku Bosa XI Mandak terpaksa menyetujui permintaan Controleur tersebut. Atas persetujuan itulah Tangiang diangkat menjadi Tuanku Bosa XII. Pada hari panobatan Tangiang menjadi Tuanku Bosa, seluruh rumah induak ilia ditutup, baik pintu maupun jendela sebagai tanda tidak setuju.
Mulai tahun 1927 sampai tahun 1931 Talu memiliki 2 rajo yaitu :
Tuanku Bosa XII Tangiang, merangkap wali nagari
Tuanku Bosa XI, Mandak pensiunan Tuanku Lareh.
Belanda sebagai pemerintah kolonial punya kekuasaan mengatur segala sesuatu sesuai dengan kepentingan pemeritahannya. Tuanku Bosa XII Tangiang meninggal di Talu pada tahun 1959. Selama 32 tahun memangku jabatan Tuanku Bosa, tuanku lareh dan walinagari, almarhum Tangiang tidak pernah memakai pakaian kebesaran Tuanku Bosa yaitu saluak ameh sebagai makhota dan korih ameh. Beliau selalu memakai saluak dari batik dan pedang panjang dalam upacara resmi. Pakaian kebesaran Tuanku Bosa tersimpan rapi dirumah Puti Koto Dalam almarhum Hadiah, yang bertugas menyimpan dan merawat pakaian tersebut.
Saat mengawinkan putera beliau, Munir St. Lembak Tuah, beliau meminjam saluak dan korih omeh [keris emas] untuk dipakai marapulai. Dua hari sehabis upacara baralek godang [kenduri besar] kedua pakaian dikembalikan ke Koto Dalam ke rumah Puti dengan ucapan terima kasih. Pakaian kebesaran tetap tersimpan dan terawat dengan baik dirumah Puti Koto Dalam Induak Ilia. Patut dihormati sikap beliau yang tidak memakai pakaian kebesaran Tuanku Bosa, padahal jika beliau ingin dengan kekuasaan sebagai Tuanku Bosa dan sebagai wali nagari tidak sulit untuk mengambil makhota tersebut, namun tidak dilaksanakan.
Dimasa tua atau saat menjelang wafat beliau tidak melaksanakan tugas suksesi sesuai dengan adat yaitu beliau tidak mangulipah dan tidak berwasiat menetapkan siapa penggantinya. Beliau tidak menerapkan, hiduik bakarilahan [melepaskan tahta selagi hidup], mangulipah dan atau mati batungkek bodi [setelah wafat digantikan kamanakan]. Sikap beliau tersebut tentu berdasarkan bisikan hati nuraninya yang mungkin menyatakan itu bukan pakaiannya (mahkota) dan bukan hak serta wewenangnya ( suksesi).
Namun setelah kepergian beliau, cucu kemenakan almarhum dari Induak Tongah dan Induak Mudiak mulai menggulir isu “sako balega cahayo batimbang” (jabatan Tuanku Bosa harus bergilir di tigo induak), tidak didominasi Induak Ilia seperti dulu dari Tuanku Bosa I sampai dengan XI. Induak Ilia tidak pernah menganggapi isu tersebut, karena tidak sesuai dengan adat yang berlaku yang diterima turun temurun.
13. Tuanku Bosa XIII Iskandar Zulkarnaini dinobatkan pada bulan september 1984 dan dilewakan pada 28 – 29 juni 1985 di rumah godang kaum di Padang Panjang dihadiri oleh pejabat tingkat kecamatan, kabupaten dan propinsi.
14. Tuanku Bosa XIV, H. Fadlan Maalip Tuanku Soru Alam, seorang dokter, ahli kesehatan masyarakat, pensiunan pegawai negeri mendapat gelar bangsawan Kanjeng Raden Haryo Husododiningrat dari Pkubuwono XII Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sejarah berulang pada dua orang pewaris trah Tuanku Bosa yang kebetulan mendapat gelar sama yaitu Soru Alam,
Sutan Sorualam Tuanku Bosa IX, menerima kulipah dari mamandanya Tuanku Bosa VIII tahun 1845, dan menerima wasiat sebagai pengganti pada th 1854.
Tuanku Sorualam Tuanku Bosa XIV, menerima kulipah dan wasiat dari kakaknya Tuanku Bosa XIII pada bulan Februari dan Maret 2007.
Proses pengangkatan Tuanku Bosa XIV mendapat hambatan dari pemangku Angku Mudo dan Duo Mamak Tuo, Induak Mudiak dan Induak Tongah. Isu soko balega cahayo batimbang, dihembuskan dengan keras. Ditambah lagi isu Angku Mudo Tiang Pendek otomatis jadi Tiang Panjang kalau Tuanku Bosa wafat.
Struktur Adat Nagari Talu
Sesuai dengan sistim adat Datuak Katumanggungan, Talu barajo yaitu Tuanku Bosa. Adat bajanjang naik batanggo turun. Semua ciri sistim Datuak Katumanggungan terdapat di nagari Talu yaitu :
1. Barajo, Tuanku Bosa, Otokrasi
2. Suku Koto piliang yaitu: Jambak, Malayu, Mandailiang, Maih, Piliang, Tanjung dan Sikumbang.
3. Jumlah datuk/ penghulu genap- 16 + 4 +4
4. Proses Suksesi
Turun temurun dari ninik kamamak, dari mamak ka kamanakan di kampung Koto Dalam Talu, Suku Jambak. Rueh tumbuh dibuku, tuneh tumbuah dimato dibatang nan sabatang.
5. Rumah gadang Baanjuang, pintu ditengah- tengah panjang rumah gadang
6. Simbol – Kelapa, Pucuak bulek tungga.
Disarikan dari Buku Adaik Salingka Nagari Talu (2008)
Sumber:
http://www.rangtalu.net/nagari-talu.html
Minangkabau.org
Rahmad Qadri
_______________________
Disalin dari kiriman Irwan Effendi di Grup Ranah Minang: Maso Saisuak & Maso Kini
Diterbitkan pada 3 April 2020
Sri Maharajo dirajo dari Pagaruyung membuat taratak dipertemuan Batang Tolu dengan Batang Poman. Taratak berkembang menjadi dusun atau kampung. Dusun/kampung berkembang menjadi Koto disebut Koto Dalam. Setelah memenuhi syarat baampek suku, bapandan pakuburan , babalai bamusajik, bakorong bakampuang dan lain- lain berkembang menjadi nagari.
Menurut kata-kata adat :
“Manuruik warih nan bajawek sarato umanah nan ditarimo tantangan nagari Talu. Tatkalo nagari kadiunyi , buek sudah kato lah abih, ukua jo jangko lah salosai adaik lah olah jo ranjinyo, sawah lah sudah jo lantaknyo. Sawah balantak basupadan, ladang baagiah babintalak, padang babari balagundi, rimbo baagiah balinjuang, bukik dibari bakarakatau. Nagari dibari babatasan, ka ilia supadan Sungai Abuak dengan Daulaik Parik Batu, ka mudiak Aia Panarahan dengan Tuanku Rajo Sontang, ka baraik babateh jo Kiawai ka timur babateh jo Sundata, ka ateh ka ambun jantan ka bawah ka kasiak bulan didorong dek gurindam kato adaik. Dari mulo Sri Maharaja Diraja mambuek taratak jadi kampuang,kampuang jadi koto sampai jadi nagari iyo balaku titiak dari ateh, lareh Koto Piliang Datuak Katumanggungan.”
Melayu [oleh Agam Van Minangkabau]:
Menurut waris yang diterima dan amanah yang diterima tentang Negeri Talu. Tatkala negeri akan dihuni, dibuat sudah kata sudah habis, ukur dengan jakar sudah selesai, adat sudah ada dengan rajinya, sawah sudah selesai dengan pematangnya, sawah berpematang berbatasan, ladang diberi babintalak, padang diberi berlagundi, rimba diberi balinjuang, bukit diberi berkarakatau. Negeri diberi berbatasan, ke hilir berbatasan Sungai Abuak dengan Daulat Parit Batu, ke mudik Air Panarahan dengan Tuanku Raja Sontang, ke barat berbatas dengan Kiawai, ke timur berbatas dengan Sundata, ke atas ke embun jantan, ke bawah ke pasir bulan, didorong dengan gurindam kata adat. Dari mula Sri Maharaja Diraja membuat taratak menjadi kampung, kampung menjadi koto, sampai menjadi negeri. Telah berlaku menitik dari atas, Laras KOto Piliang Datuk Ketumangguangan.
Luhak ba pangulu, rantau barajo itu kato pepatah Minang. Pasaman adalah daerah rantau dimana terdapat banyak pucuak adat sebagai rajo, lareh Koto Piliang antara lain:
Daulat Parik Batu di Pasaman
Tuanku Bosa di Talu
Rajo Bosa di Sundatar Lubuk Sikaping
Tuanku Rajo Sontang di Cubadak
Daulat Yang dipertuan di Kinali
Yang Dipertuan Padang Nunang di Rao
dan lain- lain
Negeri Talu barajo Tuanku Bosa pucuak adat sebagai rajo. Sistem Datuk Katumanggungan, Lareh Koto Piliang. Wilayah daulat Tuanku Bosa disebut Kabuntaran Tolu yang jauh lebih luas dari wilayah Nagari Talu saat ini. Wilayah Kabuntaran Talu adalah :
Utara berbatas dengan Teluk Rantau/ Rajo Sontang
Selatan berbatasan dengan Wilayah Daulat Parit Batu
Timur berbatasan dengan Sundatar
Barat berbatasan dengan Muara Kiawai dan wilayah Daulat Parit Batu
Dalam perkembangannya wilayah kabuntaran Talu menyusut dengan terbentuknya nagari Kajai dan Sinuruik. Sekarang wilayah Tuanku Bosa disebut Salingka Nagari Talu yang luasnya persis sama dengan nagari Talu. Kajai terbentuk dengan kesepakatan 2 (dua) rajo badunsanak disebut “sako dari Daulat Parit Batu, pusako dari Tuanku Bosa“.
Kalau dulunya batas Kabuntaran Talu dengan langgam Pasaman di Sungai Abuak (rambut), setelah itu Tuanku Bosa berbatas dengan Kajai di Jembatan Panjang. Sedangkan dengan Sinurut belum pemah disebut ungkapan seperti dengan Kajai, sampai sekarang disebut “tangguak duo karuntuang ciek“. Namun batas nagari sesuai dengan batas pemerintahan yang sudah dibuat sejak pemerintahan Belanda. Dulu Kabuntaran sekarang disebut Salingka Nagari Talu dengan batas- batas sebagai berikut:
Utara dengan Nagari Sinurut / Teluk Rantau
Selatan dengan Nagari Kajai / Daulat Parit Batu
Barat dengan Muaro Kiawai
Timur dengan Sundatar.
Wilayah ini menjadi batas Nagari Talu sebagai wilayah Pemerintahan formal Kenagarian Talu. Terdapat 3 pemerintahan adat yang berdekatan wilayahnya dengan system Datuk Katumanggungan barajo :
Daulat Parit Batu dari Pagaruyung mendirikan pemerintahan disebut Langgam Pasaman di Parit Batu Simpang Empat.
Tuanku Bosa dari Pagaruyung yang mendirikan pemerintahan di Kabuntaran Talu
Tuangku Rajo Sontang dari Tapanuli Selatan yang diberikan Wilayah dan mendirikan pemerintahan di Teluk Rantau.
Ketiga Raja ini pernah mengadakan perjanjian di Talu persisnya di Koto Dalam . Hasil perundingan adalah perjanjian bahwa sama-sama menghormati, tidak akan saling mengganggu atau saling menganiaya. Lengkapnya kesepakatan tersebut adalah ” Seorang dihaluan, seorang dikemudi dan seorang dikelok pembuntaran. Dalam pepatah berbunyi ” Kerbau badur di Parit Batu, kerbau balung di Talu, runcing tanduk tajam garaham lalu ka Sontang. Yaitu tali pilin tigo, atau tigo tungku sajarangan , kalau condong tungkek manungkek, kalau jatuah butia mambutia, kalau hanyuik tolong manolong.
Kalau di kerajaan Daulat Parit Batu bersua orang bersalah hukumannya Tohok Perang artinya dosa tidak boleh disembah, utang tidak boleh dibayar.
Kalau di kerajaan Tuanku Bosa di Talu bersua orang bersalah hukumannya Andam Karam, artinya utang boleh dibayar, salah boleh ditimbang.
Kalau di kerajaan Tuanku Rajo Sontang di Teluk Rantau bersua orang bersalah hukumannya melukai sekali setahun, membunuh sekali belum, artinya didenda sehabis-habisnya seekor kerbau dan beras secukupnya.
Cerita turun temurun menyatakan asal nama Talu adalah dari pertemuan tiga raja ini yang dalam bahasa Batak tiga adalah Tolu. Maka daerah kabuntaran Talu dikukuhkan sebagai Tolu. Bagitu pula salah seorang kemenakan Tuanku Bosa ke VII bernama Puti Tolu, kemungkinan lahir setelah perjanjian tiga raja ini. Kemungkinan waktu pelaksanaan perjanjian ini pada awal abad XIV. Waktu datangnya Sri Maharajo Dirajo dan membuat taratak, begitu pula tahun Sri Maharaja dinobatkan jadi Tuanku Bosa I tidak diketahui, tidak ada catatan tertulis mengenai sejarah Tuanku Bosa I s/d VI.
Riwayat pembentukan Nagari Talu dari yang diterima turun temurun dan beberapa catatan adalah sebagai berikut :
Sri Maharaja Diraja dan rombongan tiba di Talu dari Pagaruyuang melalui Payakumbuh. Membuat taratak di patomuan Batang Tolu dengan Batang Poman dibawah bukit barisan. Setelah beberapa waktu datang dunsanak dari Pagaruyuang bergabung dengan rombongan Sri Maharaja, diberi tanah, perumahan dimudiak kampuang.
Beberapa waktu kemudian datang lagi dunsanak dari Pagaruyuang, diberi tanah perumahan di mudiak kampuang lagi, jadilah 3 induak badunsanak tinggal di Koto Dalam. Terakhir datang lagi dunsanak laki- laki dari Kinali yang juga berasal dari Pagaruyuang.
Karena tanah dikampung Koto Dalam telah penuh maka Tuanku Bosa menyerahkan tanah dan menyuruh Taruntun mambuek kampung di aie nan joniah toluak nan barombun dengan membao dunsanak padusi dari Koto Dalam. Kampung yang didirikan Taruntun tersebut sekarang bernama Toluak Ambun suku Jambak, niniak mamaknya bergelar Majo Sadeo. Karena Bundo Kanduang Toluak Ambun adalah dari Koto Dalam yang ikut pindah bersama Taruntun, maka turunannya di Toluak Ambun ditetapkan Puti Koto Dalam. Puti Koto Dalam di Toluak Ambun selalu dijemput dengan siriah jo carano, untuk menghadiri upacara adat di Koto Dalam. Sedangkan Taruntun yang belum berkeluarga mencari pasangan hidup ke utara sampai ke daerah Mandailing. Taruntun mendapat jodoh seorang istri dari Desa Batahan Tapanuli Selatan dengan marga Nasution.
Secara berangsur- angsur Sri Maharaja mendirikan kampung dan mengangkat pangulu atau datuk untuk memimpin masing- masing kampung. Jika kita cermati status pangulu dan datuk, serta lokasi kampung yang dibentuk dapat disimpulkan beliau memperhatikan :
Kemudahan kehidupan masyarakat kampung dekat sungai ( air) dan tanah yang dapat dibuat sawah.
Unsur komunikasi, tidak terlalu jauh dapat dijangkau bunyi tabuah
Unsur keamanan Koto Dalam.
Kapan Koto Dalam memenuhi persyaratan menjadi nagari, ba ampek suku, bakorong bakampuang, basosok bajarami, balabuah batapian, barumah batanggo, basawah baladang, babalai bamusajik dan bapandan pakuburan tidak diketahui secara pasti. Begitu pula kapan Sri Maharaja Diraja mengangkat dirinya menjadi Tuanku Bosa ke I tidak diketahui. Tidak ada catatan tertulis, begitu pula cerita turun temurun putus ditengah jalan tidak sampai ke generasi sekarang.
Namun dapat disimpulkan bahwa nagari terbentuk pada zaman Sri Maharaja diraja sehingga beliau mengangkat diri jadi raja, Tuanku Bosa II Panjang Bulu Mato yang dimakamkan di Pangka Sapek dibuatkan kuburan 7 tingkat yang masih utuh sampai sekarang. Konon menurut cerita kuburan dibuat tujuh tingkat karena saat beliau wafat sudah ada 7 andiko dibawahnya. Tuah beliau pula, dimana pohon maransi yang tumbuh diatas kuburan bertingkat tujuh, bercabang tujuh pula dari bawah. Untuk mengurus Koto Dalam, Tuanku Bosa dibantu oleh tiang pendek dengan gelar Angku Mudo. Dibidang agama . syarak dibantu oleh Tuanku Kadhi. Dari catatan niniak – niniak terdahulu terlihat pembagian tugas dan tanggung jawab yang tertib yaitu :
Angku Mudo selalu dari induak mudiak
Tuanku Kadhi selalu dari induak tongah
Tuanku Bosa selalu dari induak ilia yang datang pertama.
Campur Tangan Belanda dan Awal Mula Konflik Perebutan Kekuasaan
Mulai dari Tuanku Bosa I Sri Maharaja Diraja, sampai dengan Tuanku Bosa XI Mandak berasal dari induak ilia, kecuali Tuanku Bosa XII Tangiang dari Induak Tongah. Berbeda dengan Tuanku Bosa sebelum- sebelumnya, sejak dulu Tuanku Bosa diangkat Belanda manjadi Tuanku Lareh, sedangkan, alm Tangiang diangkat Belanda menjadi Tuanku Lareh baru 20 th setelah itu menjadi Tuanku Bosa. Pada tahun 1907 Belanda memensiunkan Mandak Tuanku Bosa XI dan mengangkat Tangiang sebagai Tuanku Lareh. Selama 20 tahun mulai tahun 1907 s/d 1927 terdapat 2 pemerintahan di Talu yaitu pemerintahan adat oleh Tuanku Bosa XI Mandak dan pemerintahan Belanda oleh Tuanku Lareh Tangiang.
Sampai tahun 2007 telah 14 orang yang memangku jabatan Tuanku Bosa dengan urutan sebagai berikut :
1. Tuanku Bosa I, Maharaja diraja pendiri pemerintahan adat Talu, dimakamkan dikuburan Pangka Sapek
2. Tuanku Bosa II, Panjang Pulu Mato dimakamkan dikuburan Godang. Kuburan beliau bertingkat 7 yang menggambarkan waktu itu baru 7 andiko dibentuk. Diatas kuburan 7 tingkat ini tumbuh pohon yang bercabang tujuh pula. Padahal diatas kuburan Tuanku Bosa I pohon yang sama tumbuh tanpa cabang sampai setinggi ± 10 M.
3. Tuanku Bosa III, bergelar Tuanku Sundatar, dimakamkan di Sundatar Lubuk Sikaping.
4. Tuanku Bosa IV.Godang Hiduang dimakamkan dikuburan Godang.
5. Tuanku Bosa V Kociak Bunyi, dimakamkan dikuburan Godang
6. Tuanku Bosa VI Durian Tanjung dimakamkan dikuburan Godang
7. Tuanku Bosa VII Orang Tuo Jarung, dimakamkan dikuburan Godang.
8. Tuanku Bosa VIII Sutan Jamin memerintah sebagai tuanku lareh dari tahun 1840 s/d 1845. Memangku jabatan sebagai Tuanku Bosa s/d tahun 1854 sampai beliau meninggal dunia dan makamkan di kuburan Aie Tabik. Pada tahun 1845 karena sakit beliau mangulipah, menyerahkan tugas dan wewenang Tuanku Bosa dan jabatan Tuanku Lareh kepada kemenakan beliau Sutan Soru Alam. Beliau mangulipah [memimpin] semasa hidup.
9. Tuanku Bosa IX, Sutan Soru Alam memerintah dalam 2 periode:
Tahun 1845 s/d 1854 sebagai pemangku jabatan Tuanku Bosa dan sebagai wakil Tuanku Lareh, Tuanku Bosa dan Tuanku Lareh tetap dijabat Tuanku Bosa VIII Sutan Jamin meskipun tidak aktif karena sakit. Tahun 1854 s/d 1871 Resmi diangkat menjadi Tuanku Bosa IX dan memangku jabatan Tuanku Lareh, setelah Tuanku Bosa VIII wafat tahun1871 dimakamkan di pemakaman Aie Tobik.
10. Tuanku Bosa X, Sigigi. Tumbuh gigi sejak lahir, memerintah tahun 1871 s/d 1874. Wafat tahun 1874 dimakamkan dipemakaman Aie Tobik.
11. Tuanku Bosa XI Mandak, memerintah sebagai Tuanku Lareh 1874 s/d 1907. Pada tahun 1907 beliau dipensiunkan Belanda dari jabatan Tuanku Lareh. Disebut sebagai Tuanku Bosa Pensiun. Meninggal sebagai Tuanku Bosa dan pensiunan Tuanku Lareh pada tahun 1931 dimakamkan dikuburan Kapunduang.
12. Tuanku Bosa XII Tangiang. Diangkat menjadi Tuanku Bosa pada tahun 1927, pada saat mana Tuanku Bosa XI Mandak masih hidup. Sebelum memangku jabatan Tuanku Bosa beliau menjabat sebagai Tuanku lareh menggantikan Mandak Tuanku Bosa XI pada tahun 1907. Pada tahun 1927, Controleur Talu meminta kepada Tuanku Bosa XI Mandak untuk memberi izin kepada Tangiang, Wali Nagari menjabat Tuanku Bosa. Dengan berat hati Tuanku Bosa XI Mandak terpaksa menyetujui permintaan Controleur tersebut. Atas persetujuan itulah Tangiang diangkat menjadi Tuanku Bosa XII. Pada hari panobatan Tangiang menjadi Tuanku Bosa, seluruh rumah induak ilia ditutup, baik pintu maupun jendela sebagai tanda tidak setuju.
Mulai tahun 1927 sampai tahun 1931 Talu memiliki 2 rajo yaitu :
Tuanku Bosa XII Tangiang, merangkap wali nagari
Tuanku Bosa XI, Mandak pensiunan Tuanku Lareh.
Belanda sebagai pemerintah kolonial punya kekuasaan mengatur segala sesuatu sesuai dengan kepentingan pemeritahannya. Tuanku Bosa XII Tangiang meninggal di Talu pada tahun 1959. Selama 32 tahun memangku jabatan Tuanku Bosa, tuanku lareh dan walinagari, almarhum Tangiang tidak pernah memakai pakaian kebesaran Tuanku Bosa yaitu saluak ameh sebagai makhota dan korih ameh. Beliau selalu memakai saluak dari batik dan pedang panjang dalam upacara resmi. Pakaian kebesaran Tuanku Bosa tersimpan rapi dirumah Puti Koto Dalam almarhum Hadiah, yang bertugas menyimpan dan merawat pakaian tersebut.
Saat mengawinkan putera beliau, Munir St. Lembak Tuah, beliau meminjam saluak dan korih omeh [keris emas] untuk dipakai marapulai. Dua hari sehabis upacara baralek godang [kenduri besar] kedua pakaian dikembalikan ke Koto Dalam ke rumah Puti dengan ucapan terima kasih. Pakaian kebesaran tetap tersimpan dan terawat dengan baik dirumah Puti Koto Dalam Induak Ilia. Patut dihormati sikap beliau yang tidak memakai pakaian kebesaran Tuanku Bosa, padahal jika beliau ingin dengan kekuasaan sebagai Tuanku Bosa dan sebagai wali nagari tidak sulit untuk mengambil makhota tersebut, namun tidak dilaksanakan.
Dimasa tua atau saat menjelang wafat beliau tidak melaksanakan tugas suksesi sesuai dengan adat yaitu beliau tidak mangulipah dan tidak berwasiat menetapkan siapa penggantinya. Beliau tidak menerapkan, hiduik bakarilahan [melepaskan tahta selagi hidup], mangulipah dan atau mati batungkek bodi [setelah wafat digantikan kamanakan]. Sikap beliau tersebut tentu berdasarkan bisikan hati nuraninya yang mungkin menyatakan itu bukan pakaiannya (mahkota) dan bukan hak serta wewenangnya ( suksesi).
Namun setelah kepergian beliau, cucu kemenakan almarhum dari Induak Tongah dan Induak Mudiak mulai menggulir isu “sako balega cahayo batimbang” (jabatan Tuanku Bosa harus bergilir di tigo induak), tidak didominasi Induak Ilia seperti dulu dari Tuanku Bosa I sampai dengan XI. Induak Ilia tidak pernah menganggapi isu tersebut, karena tidak sesuai dengan adat yang berlaku yang diterima turun temurun.
13. Tuanku Bosa XIII Iskandar Zulkarnaini dinobatkan pada bulan september 1984 dan dilewakan pada 28 – 29 juni 1985 di rumah godang kaum di Padang Panjang dihadiri oleh pejabat tingkat kecamatan, kabupaten dan propinsi.
14. Tuanku Bosa XIV, H. Fadlan Maalip Tuanku Soru Alam, seorang dokter, ahli kesehatan masyarakat, pensiunan pegawai negeri mendapat gelar bangsawan Kanjeng Raden Haryo Husododiningrat dari Pkubuwono XII Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sejarah berulang pada dua orang pewaris trah Tuanku Bosa yang kebetulan mendapat gelar sama yaitu Soru Alam,
Sutan Sorualam Tuanku Bosa IX, menerima kulipah dari mamandanya Tuanku Bosa VIII tahun 1845, dan menerima wasiat sebagai pengganti pada th 1854.
Tuanku Sorualam Tuanku Bosa XIV, menerima kulipah dan wasiat dari kakaknya Tuanku Bosa XIII pada bulan Februari dan Maret 2007.
Proses pengangkatan Tuanku Bosa XIV mendapat hambatan dari pemangku Angku Mudo dan Duo Mamak Tuo, Induak Mudiak dan Induak Tongah. Isu soko balega cahayo batimbang, dihembuskan dengan keras. Ditambah lagi isu Angku Mudo Tiang Pendek otomatis jadi Tiang Panjang kalau Tuanku Bosa wafat.
Struktur Adat Nagari Talu
Sesuai dengan sistim adat Datuak Katumanggungan, Talu barajo yaitu Tuanku Bosa. Adat bajanjang naik batanggo turun. Semua ciri sistim Datuak Katumanggungan terdapat di nagari Talu yaitu :
1. Barajo, Tuanku Bosa, Otokrasi
2. Suku Koto piliang yaitu: Jambak, Malayu, Mandailiang, Maih, Piliang, Tanjung dan Sikumbang.
3. Jumlah datuk/ penghulu genap- 16 + 4 +4
4. Proses Suksesi
Turun temurun dari ninik kamamak, dari mamak ka kamanakan di kampung Koto Dalam Talu, Suku Jambak. Rueh tumbuh dibuku, tuneh tumbuah dimato dibatang nan sabatang.
5. Rumah gadang Baanjuang, pintu ditengah- tengah panjang rumah gadang
6. Simbol – Kelapa, Pucuak bulek tungga.
Disarikan dari Buku Adaik Salingka Nagari Talu (2008)
Sumber:
http://www.rangtalu.net/nagari-talu.html
Minangkabau.org
Rahmad Qadri
_______________________
Disalin dari kiriman Irwan Effendi di Grup Ranah Minang: Maso Saisuak & Maso Kini
Diterbitkan pada 3 April 2020