SUARA MUHAMMADIYAH, Bukan hanya dihadiri oleh
anggota Muhammadiyah dari kalangan laki-laki saja kongres ke-19 di
Minangkabau melainkan banyak dihadiri pula dari kalangan perempuan.
Mereka tidak hanya dari sekitar Bukittinggi, melainkan hampir seluruh
daerah Minangkabau. Bintang Islam melaporkan: “Mereka beloem sama poeas
dengan adanja Openbaar Aisjijah, sehingga mereka sama menghadiri
openbaar Moehammadijah jang sebenarnja choesoes oentoek kaoem laki-laki.
Dan kaloe mereka akan ditolak oleh HW, jang mendjaga persidangan, maka
didjawabnja: “sebab apakah kami tida boleh masoek. Toch ini vergadering,
persidangan oemoem”. Didjawab oleh HW, dengan tegas: “Betoel ini
persidangan oemoem, akan tetapi oemeom boeat koem laki-laki, sedang
kaoem perempoen tidak kami sediakan tempat.”. Maka didjawablah oleh
mereka: “Biarlah, maksoed kami datang ini, boekanlah oentoek doedoek
dikoersi, akan tetapi hendak mendengarkan choetbah-choetbah jang memang
penting itoe. Dan kalau Commite tidak menjediakan tempat, baiklah nanti
kami berdiri dibawah pohon, asal bisa mendengar soeara speeker” dan
teroes masoek kemedan persidangan.” (Bintang Islam, No. 3,/VIII/1930, h.
130-137).
Kutipan tersebut menunjukan bahwa warga Muhammadiyah sangat antusias mengikuti jalannya agenda-agenda kongres, bahkan kalau dicermati lagi persidangan-persidangan tersebut bukan hanya diikuti oleh peserta yang menjadi utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah melainkan juga warga umum. Sebelumnya, pembukaan yang diselenggarakan di lapangan diiringi dengan arak-arakan dan pawai di sekitar kota Bukittinggi. Begitu pula dengan pemberitaan pers, di mana wakil-wakil pers datang ke arena kongres untuk meliput kegiatan tersebut.
Dalam kongres terdapat materi-materi yang sangat hangat dan aktual dibicarakan oleh para anggota, termasuk persoalan yang sesungguhnya tidak diagendakan. Yaitu, perdebatan tentang fiqh perempuan terkait dengan kasus Siti Rasyidah dari ‘Aisyiyah Padang Panjang yang akan tampil di depan anggota kongres untuk berpidato sebagaimana juga sudah dilaksanakan pada waktu kongres di Solo. Masalah ini dipersoalkan oleh para ulama Minangkabau seperti Abdul Karim Amrullah dan Jamil Jambek. Dalam pandangan mereka, haram hukumnya perempuan tampil di depan publik karena bisa mendatangkan fitnah. Selain Abdul Karim perdebatan tersebut juga diikuti oleh Syaikh Abdul Wahab Amrullah, Syaikh Daud Rasyidi, Syaikh H Abbas Abdullah Padang Japang, AR Sutan Mansur, Hamka, dan beberapa tokoh lainnya. Sedangkan di pihak Pengurus Besar Muhammadiyah diwakili oleh KH Mas Mansur, KH Abdul Mu’ti, KH. Ibrahim, KH Mukhtar, KH Hisyam, Mohammad Yunus Anis, Raden H Hajid, H Aslam, Muhammad Toerki, Mas Soebandi, Muhammad Wahib dan Moetoeco. Sementara itu, dari pihak ‘Aisyiyah dihadiri oleh Nyai Dahlan, Siti Murji’ah, Siti Hayyinah, dan Siti Rasyidah sendiri.
Perdebatan tentang fiqh perempuan tersebut tidak dapat dielakkan karena dalam pandangan Muhammadiyah perempuan berbicara di depan publik dapat dibenarkan. Sedangkan bagi ulama Minangkabau hal itu termasuk bagian yang terlarang. Akhirnya, perdebatan tersebut dapat diselesaikan sebelum pembukaan kongres dengan kearifan sehingga tidak menimbulkan ekses yang merugikan baik bagi Muhammadiyah maupun ulama Minangkabau. Kedua pihak sama-sama sepakat bahwa perempuan berbicara di depan publik hukumnya makruh dan makruh itu dapat hilang kalau ada suatu kepentingan (Hamka, Muhammadiyah… h. 53).
Kongres di Minangkabau melahirkan beberapa putusan yang sangat fundamental, di antaranya; Pertama, penolakan Muhammadiyah terhadap kebijakan pemerintah kolonial berkaitan dengan hari libur sekolah dari bulan puasa menjadi bulan Juli. Kedua, pembentukan “consul” sebagai perwakilan Pengurus Besar yang diangkat oleh Pengurus Besar atas usul dari konferensi daerah. Ketiga, Kongres juga memutuskan berkaitan dengan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah tentang pemindahan hari libur sekolah dari bulan puasa kepada bulan Juli.
Di balik kesuksesan pelaksanaan kongres tersebut, sebagaimana dijelaskan di atas, tentunya tidak bisa lepas dari fungsi dan peran ulama Minangkabau seperti Abdul Karim Amrullah dan Jamil Jambek dalam memberikan dorongan dan dukungannya. Penilaian tersebut bukan hanya datang dari kalangan internal Muhammadiyah melainkan pihak luar juga memandang seperti itu. Pemerintah kolonial misalnya, menilai bahwa agenda-agenda yang terdapat di dalam arena kongres tersebut merupakan pengaruh dari ulama tersebut. Syaikh Jamil Jambek sempat dipanggil oleh Asisten Residen Bukittinggi guna mengklarifikasi terhadap pelaksanaan kongres tersebut terutama terkait dengan putusan kongres dan kritikan tajam yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah terhadap kebijakan pemerintah.
Selain pemanggilan terhadap Jamil Jambek, secara organisasi Muhammadiyah di Minangkabau juga mendapat intimidasi dan tekanan kuat dari pemerintah. Pemanggilan ulama tersebut juga berimbas kepada penghentian bantuannya kepada Muhammadiyah terhitung sejak hari pemanggilan Jamil Jambek tersebut karena dipandang telah menentang kebijakan pemerintah. Bukan hanya penghentian bantuan, kebijakan politik yang diambil pemerintah semakin mempersempit ruang gerak dakwah Muhammadiyah dengan memperlakukan pengawasan yang ketat (Khatib Pahlawan Kayo dan Marjohan, 2010: 103-104). Kebijakan dan sikap penguasa pemerintah ini diturunkannya sampai kepada eselon pemerintah di bawahnya serta kepada penguasa-penguasa pribumi. Semua pertemuan dan tabligh-tabligh dilarang sehingga banyak terjadi insiden di cabang-cabang Muhammadiyah. Meskipun demikian, Muhammadiyah tetap bergerak dan menjalankan aktivitasnya tanpa terpengaruh oleh kebijakan politik pemerintah kolonial tersebut. Bahkan, semakin kuat tekanan dari pemerintah dan kaki tangannya, Muhammadiyah semakin kuat dan kukuh.
Kesuksesan kongres itu menjadi momentum bagi penanaman Muhammadiyah di ranah Minang. Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Saalah, kian subur dan berkembang di mana-mana. Pada masa ini semboyan “Muhammadiyah dinagarikan, nagari dimuhammadiyahkan” semakin kukuh di dalam pergerakan persyarikatan. Hal ini bergulir dan memompa semangat jihad bagi semua aktifis Muhammadiyah hingga ke ranting-ranting. Tekad dan semangat tersebut menghasilkan terbukanya akses dalam memperluas wilayah Muhammadiyah sampai ke Pesisir Bandar Sepuluh Selatan (Pesisir Selatan), sampai ke bekas Kerajaan Indra Pura dan Tapan, sampai mendaki ke Kerinci memenuhi setiap dusun negeri itu. Selain itu, organisasi reformis dan modernis ini juga menjalar dengan cepat ke daerah Lintau, Payakumbuh, Sulit Air, Tilatang Kamang, Matur, Solok, Pulau Punjung dan di Koto Tangah Padang (St. Zaili Asril dkk (ed), 2000: 36). Ke utaranya, Muhammadiyah merambah ke Talu, Cubadak, Simpang Empat, Sukomananti, Katigan, Sungai Aur Silaping dan Air Bangis.
Pasca kongres ke-19 di Minangkabau, pertumbuhan Muhammadiyah ditandai dengan pertambahan jumlah anggota yang semakin meningkat. Pertumbuhan tersebut hampir merata di seluruh Sumatera Barat. Menurut Hasan Byk Dt Marajo, sebagaimana dikutip Obert Fernando (2000: 35), organisasi yang paling banyak anggotanya terutama sampai Jepang masuk ke Sumatera Barat adalah Muhammadiyah.•
Kutipan tersebut menunjukan bahwa warga Muhammadiyah sangat antusias mengikuti jalannya agenda-agenda kongres, bahkan kalau dicermati lagi persidangan-persidangan tersebut bukan hanya diikuti oleh peserta yang menjadi utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah melainkan juga warga umum. Sebelumnya, pembukaan yang diselenggarakan di lapangan diiringi dengan arak-arakan dan pawai di sekitar kota Bukittinggi. Begitu pula dengan pemberitaan pers, di mana wakil-wakil pers datang ke arena kongres untuk meliput kegiatan tersebut.
Dalam kongres terdapat materi-materi yang sangat hangat dan aktual dibicarakan oleh para anggota, termasuk persoalan yang sesungguhnya tidak diagendakan. Yaitu, perdebatan tentang fiqh perempuan terkait dengan kasus Siti Rasyidah dari ‘Aisyiyah Padang Panjang yang akan tampil di depan anggota kongres untuk berpidato sebagaimana juga sudah dilaksanakan pada waktu kongres di Solo. Masalah ini dipersoalkan oleh para ulama Minangkabau seperti Abdul Karim Amrullah dan Jamil Jambek. Dalam pandangan mereka, haram hukumnya perempuan tampil di depan publik karena bisa mendatangkan fitnah. Selain Abdul Karim perdebatan tersebut juga diikuti oleh Syaikh Abdul Wahab Amrullah, Syaikh Daud Rasyidi, Syaikh H Abbas Abdullah Padang Japang, AR Sutan Mansur, Hamka, dan beberapa tokoh lainnya. Sedangkan di pihak Pengurus Besar Muhammadiyah diwakili oleh KH Mas Mansur, KH Abdul Mu’ti, KH. Ibrahim, KH Mukhtar, KH Hisyam, Mohammad Yunus Anis, Raden H Hajid, H Aslam, Muhammad Toerki, Mas Soebandi, Muhammad Wahib dan Moetoeco. Sementara itu, dari pihak ‘Aisyiyah dihadiri oleh Nyai Dahlan, Siti Murji’ah, Siti Hayyinah, dan Siti Rasyidah sendiri.
Perdebatan tentang fiqh perempuan tersebut tidak dapat dielakkan karena dalam pandangan Muhammadiyah perempuan berbicara di depan publik dapat dibenarkan. Sedangkan bagi ulama Minangkabau hal itu termasuk bagian yang terlarang. Akhirnya, perdebatan tersebut dapat diselesaikan sebelum pembukaan kongres dengan kearifan sehingga tidak menimbulkan ekses yang merugikan baik bagi Muhammadiyah maupun ulama Minangkabau. Kedua pihak sama-sama sepakat bahwa perempuan berbicara di depan publik hukumnya makruh dan makruh itu dapat hilang kalau ada suatu kepentingan (Hamka, Muhammadiyah… h. 53).
Kongres di Minangkabau melahirkan beberapa putusan yang sangat fundamental, di antaranya; Pertama, penolakan Muhammadiyah terhadap kebijakan pemerintah kolonial berkaitan dengan hari libur sekolah dari bulan puasa menjadi bulan Juli. Kedua, pembentukan “consul” sebagai perwakilan Pengurus Besar yang diangkat oleh Pengurus Besar atas usul dari konferensi daerah. Ketiga, Kongres juga memutuskan berkaitan dengan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah tentang pemindahan hari libur sekolah dari bulan puasa kepada bulan Juli.
Di balik kesuksesan pelaksanaan kongres tersebut, sebagaimana dijelaskan di atas, tentunya tidak bisa lepas dari fungsi dan peran ulama Minangkabau seperti Abdul Karim Amrullah dan Jamil Jambek dalam memberikan dorongan dan dukungannya. Penilaian tersebut bukan hanya datang dari kalangan internal Muhammadiyah melainkan pihak luar juga memandang seperti itu. Pemerintah kolonial misalnya, menilai bahwa agenda-agenda yang terdapat di dalam arena kongres tersebut merupakan pengaruh dari ulama tersebut. Syaikh Jamil Jambek sempat dipanggil oleh Asisten Residen Bukittinggi guna mengklarifikasi terhadap pelaksanaan kongres tersebut terutama terkait dengan putusan kongres dan kritikan tajam yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah terhadap kebijakan pemerintah.
Selain pemanggilan terhadap Jamil Jambek, secara organisasi Muhammadiyah di Minangkabau juga mendapat intimidasi dan tekanan kuat dari pemerintah. Pemanggilan ulama tersebut juga berimbas kepada penghentian bantuannya kepada Muhammadiyah terhitung sejak hari pemanggilan Jamil Jambek tersebut karena dipandang telah menentang kebijakan pemerintah. Bukan hanya penghentian bantuan, kebijakan politik yang diambil pemerintah semakin mempersempit ruang gerak dakwah Muhammadiyah dengan memperlakukan pengawasan yang ketat (Khatib Pahlawan Kayo dan Marjohan, 2010: 103-104). Kebijakan dan sikap penguasa pemerintah ini diturunkannya sampai kepada eselon pemerintah di bawahnya serta kepada penguasa-penguasa pribumi. Semua pertemuan dan tabligh-tabligh dilarang sehingga banyak terjadi insiden di cabang-cabang Muhammadiyah. Meskipun demikian, Muhammadiyah tetap bergerak dan menjalankan aktivitasnya tanpa terpengaruh oleh kebijakan politik pemerintah kolonial tersebut. Bahkan, semakin kuat tekanan dari pemerintah dan kaki tangannya, Muhammadiyah semakin kuat dan kukuh.
Kesuksesan kongres itu menjadi momentum bagi penanaman Muhammadiyah di ranah Minang. Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Saalah, kian subur dan berkembang di mana-mana. Pada masa ini semboyan “Muhammadiyah dinagarikan, nagari dimuhammadiyahkan” semakin kukuh di dalam pergerakan persyarikatan. Hal ini bergulir dan memompa semangat jihad bagi semua aktifis Muhammadiyah hingga ke ranting-ranting. Tekad dan semangat tersebut menghasilkan terbukanya akses dalam memperluas wilayah Muhammadiyah sampai ke Pesisir Bandar Sepuluh Selatan (Pesisir Selatan), sampai ke bekas Kerajaan Indra Pura dan Tapan, sampai mendaki ke Kerinci memenuhi setiap dusun negeri itu. Selain itu, organisasi reformis dan modernis ini juga menjalar dengan cepat ke daerah Lintau, Payakumbuh, Sulit Air, Tilatang Kamang, Matur, Solok, Pulau Punjung dan di Koto Tangah Padang (St. Zaili Asril dkk (ed), 2000: 36). Ke utaranya, Muhammadiyah merambah ke Talu, Cubadak, Simpang Empat, Sukomananti, Katigan, Sungai Aur Silaping dan Air Bangis.
Pasca kongres ke-19 di Minangkabau, pertumbuhan Muhammadiyah ditandai dengan pertambahan jumlah anggota yang semakin meningkat. Pertumbuhan tersebut hampir merata di seluruh Sumatera Barat. Menurut Hasan Byk Dt Marajo, sebagaimana dikutip Obert Fernando (2000: 35), organisasi yang paling banyak anggotanya terutama sampai Jepang masuk ke Sumatera Barat adalah Muhammadiyah.•
__________________________
Bakhtiar, MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat dan dosen IAIN Imam Bonjol Padang.
Bakhtiar, MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat dan dosen IAIN Imam Bonjol Padang.
disalin dari: http://www.suaramuhammadiyah.id