Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
_____________________________
Pada tanggal 13
September 1956 Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta meresmikan pembukaan
Universitas Andalas di Bukittinggi. Ini menandai berdirinya universitas negeri
(PTN) di Sumatra. Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan tiga PTN yang
semuanya berada di Jawa, yakni Universitas Gadjah Mada yang berpusat di
Djogjakarta (didirikan tahun 1949), Universitas Indonesia yang berpusat di
Djakarta (didirikan tahun 1950) dan Universitas Airlangga di Soerabaja
(didirikan tahun 1954). Bersamaan dengan pendirian Universitas Andalas di
Bukittinggi juga didirikan PTN baru di Sulawesi yang berpusat di Makassar yang
diberi nama Universitas Hasanoeddin.
Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D (1951) |
Lantas mengapa gagasan
pendirian universitas di Sumatra yang berbasis tiga kota tidak terlaksana? Lalu
mengapa usulan nama universitas di Sumatra dengan nama Universitas
Adityawarman tidak terwujud? Dan,
mengapa universitas di Sumatra dipusatkan di Bukittinggi dan kemudian
namanya disebut Universitas Andalas? Semua
pertanyaan ini sepintas tidaklah terlalu penting, tetapi jawaban
terhadap
pertanyaan-pertanyaan ini justru menjadi berguna untuk menjelaskan peta
awal
pembentukan universitas (PTN) di Indonesia, di Sumatra dan di Sumatra
Tengah.
Universitas Andalas yang berada di Sumatra Tengah inilah kelak yang
menjadi cikal bakal Universitas Andalas di Kota Padang yang sekarang.
Usulan nama universitas di Sumatra diberi
nama Adityawarman berasal dari Menteri Pendidikan Mr. Mohamad Jamin. Nama Adityawarman
tidak diinginkan oleh Wakil Presiden Drs. Mohamad Hatta dan mengusulkan nama
Imam Bondjol. Nama Tuanku Imam Bondjol juga tidak sesuai, Dekan Fakultas
Kedokteran di Bukittinggi Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D mengusulkan nama universitas
dengan nama Andalas. Usulan Prof. Mohamad Sjaaf yang akhirnya dipatenkan
menjadi nama Universitas Andalas.
Rencana Universitas di Sumatra
Kota Padang adalah kota
tua, ibukota Provinsi Pantai Barat Sumatra (Province Sumatra’s Westkust) di era
kolonial Belanda. Akan tetapi di era Republik Indonesia, bukan kota Padang yang
dijadikan ibukota Provinsi Sumatera Tengah melainkan Bukittinggi (sesuai di era
pendudukan Jepang). Setelah terjadi pemekaran di Sumatra Tengah (Djambi dan
Riau masing-masing menjadi provinsi), nama Provinsi Sumatra Tengah dihilangkan,
Residentie Sumatra Barat ditingkatkan statusnya menjadi provinsi . Sehubungan
dengan likuidasi Provinsi Sumatra Tengah dan dibentuknya Provinsi Sumatra
Barat, maka pada tanggal 29 Mei 1958 ibukota di Bukittinggi dipindahkan ke Kota
Padang. Dalam konteks inilah Universitas Andalas terbentuk. Provinsi Sumatra
Tengah adalah salah satu dari tiga provinsi di (pulau) Sumatra. Dua provinsi
lainnya adalah Provinsi Sumatra Utara yang beribukota Medan dan Provinsi
Sumatra Selatan yang beribukota Palembang..
Dalam fase transisi (pasca pengakuan
kedaulatan RI), arsitektur Provinsi Sumatra Tengah (Sumatera Barat, Riau dan
Djambi) masih belum menentu. Ibukota provinsi sendiri masih belum ditentukan
apakah di Bukittinggi atau di Padang. Kenyataannya Gubernur Ruslan Muljohardjo
adakalanya berkantor di Bukittinggi dan ada kalanya di Padang. Ini karena
sebelumnya, ibukota RI berada di Bukittinggi. Tarik menarik ini menggambarkan
situasi sebelumnya antara Djakarta yang federalis dan Djokjakarta yang
republiken (De nieuwsgier, 15-02-1951). Residen Sumatera Barat, Aboe Bakar
Djaar menjadi ketua komisi pembentukan ibukota Provinsi Sumatra Tengah bersama Wali
Kota Bukittinggi (Eny Karim) dan Wali Kota Padang (Abdul Hakim Nasution /Rasjidin).
Komisi ini masih bekerja (De nieuwsgier, 15-02-1951). Untuk banyak hal terkesan
peran Gubernur di wilayah Sumatera Barat lebih banyak diperankan oleh Residen
Aboe Bakar Djaar (De nieuwsgier, 17-10-1951). Apakah Gubernur Ruslan
Muljohardjo lebih terkonsentrasi di Riau dan Djambi? Dalam fase inilah di
Padang didirikan perguruan tinggi hukum.
Het nieuwsblad voor Sumatra,
22-08-1951: ‘Hogeschool di Padang. Hari-hari ini, perguruan tinggi hukum
pertama di Sumatra, ‘Pantjasila’ di Padang, secara resmi dibuka, termasuk hadir
mantan Perdana Menteri Presiden Moh. Natsir dan Prof. Hazairin Harahap pada
upacara tersebut. Para dosen yang akan memberi kuliah di kampus ini adalah Dr
Harun al Rasjid, Mr. Prawoto, Mr. Egon Hakim, Mr.Mak Kin San dan Mr. Nazaroedin.
Sejauh ini 80 mahasiswa telah terdaftar’. Het nieuwsblad voor Sumatra,
14-01-1952: ‘Jajasan ‘Sriwidjaja’ pada tanggal 17 Agustus akan memprakarsasi
pembentukan jangka panjang fakultas hukum ‘PantjasĆ¼a’ di Padang sebagai salah
satu fakultas dengan performa terbaik di Sumatera Tengah. Jajasan ‘Sriwidjaja’
bermaksud untuk membuka lebih banyak fakultas di Padang’.
Di Padang sendiri, pasca pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda, hanya beberapa orang Indonesia ahli hukum,
diantaranya Mr. Egon Hakim pengacara terkenal Kota Padang. Mr. Egon Hakim dan
kawan-kawan mendirikan Perguruan Tinggi Hukum di Padang pada tahun 1951.
Perguruan tinggi di Padang ini diberi ‘Pantjasila’ yang didukung oleh mantan
Wali Kota Padang, Dr. Abdul Hakim Nasution (yang notabene ayah dari Mr. Egon
Hakim). Egon Hakim adalah satu dari dua Indonesia yang sekolah SMA dan sekolah
hukum di Beanda.
Pada saat dibentuk
fakultas ekonomi di Palembang pada tahun 1953, muncul usulan untuk menyatukan
semua fakultas di Sumatra menjadi satu universitas. Boleh jadi usulan ini
bermula di Palembang karena pembentukan fakultas ekonomi di Palembang disokong
oleh Presiden Ir. Soekarno (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1952). Pendirian fakultas ekonomi di
Palembang juga didukung oleh Presiden Universitas Indonesia Prof. Mr. Soepomo.
Ph.D yang turut hadir dalam peresmian (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 03-11-1953). Dalam acara peresmian fakultas ekonomi di
Palembang ini disebutkan yang mengelola adalah Jajasan Perguruan Tinggi
Sjakhyakirti. Usulan ini ternyata direspon positif dari dari dua kota dimana
sudah terdapat perguruan tinggi. Di Padang pada tahun 1951 telah didirikan
Perguruan Tinggi Hukum ‘Pantjasila’ dan di Medan telah dibentuk Jajasan
Universitas Sumatra Utara yang telah mendirikan fakultas kedokteran pada tahun
1952.
Di Medan sejak 1951 muncul gagasan
Gubernur Sumatra Utara yang baru, Abdul Hakim Harahap untuk mendirikan
universitas di Medan. Gubernur Abdul Hakim Harahap, mantan Wakil Perdana
Menteri RI di Djogjakarta, segera membentuk Jajasan Universitas Sumatra Utara
dan menggalang dana dari semua penduduk di Provinsi Sumatra Utara (Residentie
Atjeh, Residentie Tapanoeli dan Residentie Sumatra Timur) sebesar Rp 1,- per
orang. Abdul Hakim Harahap adalah ahli ekonomi di era kolonial Belanda, adik
kelas Mohamad Hatta di sekolah Prins Hendrik School di Batavia.
Akhirnya persiapan pembentukan
fakultas kedokteran sebagai salah satu fakultas dari universitas tersebut
selesai dan diresmikan. Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-08-1952: ‘Pagi ini
Menteri Dalam Negeri Mohamad Roem, Menteri Pertanian Mohamad Sardjan dan
Menteri Pendidikan Dr. Bahder Djohan tiba di Medan dan pada siang hari juga
akan tiba Menteri Sosial, Anwar Tjokroaminoto. Keempat menteri akan hadir besok
pagi (20-08-1952) pada pembukaan fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara’.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-08-1952: ‘Di hadapan lima menteri dan banyak
tokoh terkemuka lainnya, fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara di
Medan secara resmi dibuka hari ini oleh Ketua Dewan Pimpinan Jajasan Universitas
Sumatra Utara, Gubernur Abdul Hakim Harahap. Para dekan fakultas kedokteran di Djakarta
dan di Soerabaja juga turut hadir, serta perwakilan dari Gubernur Sumatra
Tengah dan Perguruan Tinggi Hukum ‘Pantjasila’ di Padang. Gubernur Abdul Hakim Harahap
menyatakan dalam pidato pembukaannya bahwa sebuah universitas di Medan adalah
keinginan masyarakat seluruh Sumatera Utara, sebuah harapan. yang tercermin
dalam kontribusi sukarela sebesar Rp. I.- per orang. Walikota AM Djalaluddin
bertindak sebagai Ketua Kurator Universitas Sumatera Utara’,
Pembentukan Universitas Andalas
Ketika usulan
pembentukan universitas di Sumatra mulai menguat, Kementerian Pendidikan
(Menteri Pendidikan Mohamad Jamin) boleh jadi merasa perlu untuk melakukan
reorganisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Muncullah gagasan Kementerian
Pendidikan untuk menambah tiga lagi perguruan tinggi negeri (PTN). Selain
Universitas Gadjah Mada yang berpusat di Djogjakarta dan Universitas Indonesia
yang berpusat di Djakarta ditambah satu universitas di Soerabaja, satu
universitas di Sumatra dan satu universitas di Sulawesi. Universitas Gadjah
Mada fakultasnya selain di Djogjakarta juga terdapat di Soerabaja; Universitas
Indonesia fakultasnya selain di Djakarta juga terdapat di Bandoeng, Bogor,
Soerabaja dan Makassar. Dalam rencana reorganisasi pendidirkan tinggi oleh Kementerian
Pendidikan ini juga mengusulkan soal nama universitas. Nama universitas di Sumatra
disebut dengan nama Adityawarman (lihat De
nieuwsgier, 19-05-1954).
Boleh jadi Kementerian Pendidikan
menghambat usulan yang semakin menguat dalam pembentukan universitas di Sumatra
yang berbasis tiga kota. Hal ini boleh jadi karena dari sudut pandang pusat
(Djakarta) bahwa di (pulau) Sumatra terdapat tiga provinsi yang masing-masing
beribukota di Medan (Provinsi Sumatra Utara); Bukittinggi (Provinsi Sumatra
Tengah); dan Palembang (Provinsi Sumatra Selatan). Lalu, Sekretaris Jenderal
Kementerian Pendidikan M. Hutasoit segera melakukan penjajakan langsung ke
daerah. Hasilnya, M. Huta Soit mengumumkan akan membentuk universitas di
Sumatra yang fakultas-fakultasnya berada di Batoesangkar (membentuk baru
fakultas pedagogik) dan di Paijakoemboeh (membentuk baru fakultas pertanian)
serta fakultas kedokteran (yang sudah berlangsung) dan fakultas hukum di Medan;
serta fakultas ekonomi di Palembang (sudah terbentuk) (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode,
18-06-1954). Kota Padang tampaknya gigit jari.
Perguruan Tinggi Hukum ‘Pantjasila’ terkesan tidak disertakan dalam proses pembentukan
universitas di Sumatra.
Dalam perkembangannya, nasib pembentukan universitas di Sumatra yang berbasis antar kota antar
provinsi
semakin tidak jelas. Ini sehubungan dengan perubahan yang tiba-tiba bahwa Kementerian
Pendidikan hanya fokus dalam pembentukan tiga PTN yakni di Soerabaja, Sumatra
Tengah dan di Makassar. Suhubungan dengan hal tersebut Gubernur Sumatra Tengah telah
menerima surat dari Kementerian Pendidikan yang
mengizinkan pembukaan sebuah universitas di Bukittinggi (De nieuwsgier,
24-07-1956). Dalam hal ini, Gubernur diminta untuk mengajukan
proposal mengenai pembukaan ini.
De nieuwsgier, 24-07-1956 |
Untuk mempersiapkan
proposal tersebut Gubernur Muljohardjo telah mengundang dua guru besar
pertanian dari Bogor dan Djogjakarta (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-08-1954). Juga Gubernur menyebutkan
fakultas kedokteran akan kesulitan karena tidak adanya rumah sakit tempat para
siswa dapat berlatih. Tentang lembaga pendidikan tinggi Pantjasila di Padang,
Gubernur menjelaskan bahwa masalah ini
masih dalam penelitian. Pemerintah provinsi Sumatera Tengah akan segera mengirim
delegasi ke Djakarta untuk meminta pemerintah mengambil alih lembaga pendidikan
tinggi ini demi kepentingan pendidikan di Sumatra Tengah. Disebutkan langkah
pertama sekarang adalah menyelesaikan fakultas paedagogische di Batusangkar tahun
ini yang kemungkinan fakultas ini akan didirikan lebih cepat dari fakultas
pertanian di Paijakoemboeh.
Het nieuwsblad voor Sumatra,
22-09-1954: ‘Gubernur Sumatera Tengah, Ruslan Muljohardjo, yang merupakan
bagian dari delegasi ke Djakarta dalam proses akuisisi perguruan tinggi
Universitas Pantjasila di Kota Padang untuk menghadap Menteri Pendidikan Mr.
Mohamad Jamin. Pemilihan Universitas
Pantjasila karena pertimbangan teknis yang mana komite telah memiliki dua
fakultas, Untuk memperkuat dan menambah satu lagi fakultas diperlukan
Universitas Pantjasila. Pertimbangannya karena perguruan tinggi hukum Pancasila
(prodinya) telah mencapai derajat pengesahan CI dan CII (mungkin akreditasi A
dan B). Menteri tidak bersedia hadir, delegasi dalam diskusi diwakili oleh Bahder
Djohan. Para anggota delegasi lainnya, Mr. Aboe Bakar Djaar, Mohd. Sjafei dan
Z. Arifin Aliep. Meski diminta untuk menunggu hasil keputusan, komite berencana
untuk tidak kembali sampai mereka diterima oleh Menteri’.
Pembentukan PTN di
Soerabaja dan Makassar pada dasarnya adalah pemekaran dari Universitas
Indonesia, dimana fakultas kedokteran di Soerabaja dan fakultas ekonomi di
Makassar sudah eksis. Hanya universitas di Sumatra, dalam hal ini universitas
di Sumatra Tengah benar-benar baru.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-10-1954 |
Setelah
Universitas Airlangga terbentuk dan diresmikan pada tanggal 10 November 1954, nasib pembentukan universitas di Sumatra yang berbasis antar kota antar
provinsi benar-benar hilang dari peredaran. Yang
jelas dalam pembentukan universitas di Sumatra tidak lagi menyertakan Medan dan
Palembang, tetapi hanya membentuk universitas Sumatra di Sumatra Tengah saja yang hanya terdiri dari fakultas pertanian di
Paijakoemboeh dan fakultas pedagogik di Batoesangkar dengan membentuk baru
fakultas kedokteran di Bukittingi plus fakultas hukum yang sudah ada di Padang.
Nama universitas di Sumatra Tengah disebutkan dengan nama Adityawarman. Disebutkan bahwa
pembentukan Universitas Adityawarman di Sumatra Tengah dan Universitas Hasanoeddin di
Sulawesi hampir selesai. (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 05-10-1955). Boleh jadi hal ini yang membuat mahasiswa menyindir Presiden dan Menteri Pendidikan dengan protes halus yang berbunyi ‘Akuilah Universitet SU’.
Menyadari peta pembentukan
pendidikan tinggi di Indonesia, Jajasan Universitas Sumatra Utara berpacu
dengan waktu. Setelah fakultas kedokteran, Jajasan Universitas Sumatra Utara
telah mendirikan fakultas hukum dan fakultas sastra. Sementara itu, upaya fakultas
ekonomi di Palembang sedikit tampak melambat. Fakultas ekonomi di Palembang
sebelumnya menusulkan pembentukan universitas di Sumatra karena ingin
mengandalkan dua fakultas yang sudah eksis di Padang dan Medan.
Pembentukan universitas
di Sumatra Tengah semakin jelas dan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Pemerintah pusat juga melakukannnya dengan penuh perhatian. Wakil Presiden
Mohamad Hatta meresmikan pembukaan fakultas pertanian di Paijakoemboeh (De
vrije pers: ochtendbulletin, 30-11-1954). Dalam peresmian ini turut hadir
Menteri Pendidikan Mohamad Jamin. Selanjutnya setelah selesai persiapan
pembentukan fakultas kedokteran di Bukittinggi, kembali Wakil Presiden Mohamad
Hatta datang ke Bukittinggi untuk meresmikan.
Het nieuwsblad voor Sumatra,
06-08-1955: ‘Atas perintah Menteri Pendidikan, Prof. Sjaaf diangkat sebagai dekan
fakultas kedokteran di Bukittinggi pada 1 September. Menurut Harian Penerangan,
pada saat yang sama pada tanggal 1 September juga sebagai dekan fakultas matematika
dan ilmu alam. Prof. Sjaaf, yang merupakan dekan fakultas kedokteran di Soerabaja,
akan bertindak sebagai dekan di Bukittinggi selama tiga bulan’.
Het nieuwsblad voor Sumatra,
12-09-1955: ‘Wakil Presiden membuka dua fakultas. Wakil Presiden Drs. Mohamad Hatta
pada hari Rabu di Bukitttinggi membuka secara resmi fakultas kedokteran dan
fakultas matematika dan ilmu alam, dimana banyak pejabat pemerintah dan
orang-orang terkemuka dari Sumatera Utara dan Sumatra Selatan hadir. Menteri Pendidikan
Ir. Soewandi juga hadir dalam upacara tersebut. Dengan dibukanya dua fakultas
baru ini, kini Provinsi Sumatra Tengah telah memiliki empat fakultas. Dua
fakultas lainnya adalah fakultas pedagogik di Batusangkar dan fakultas
pertanian di Paijakoemboeh. Untuk pembentukan dua fakultas yang baru dibuka
Bupati Agam dan Wali Kota Bukittinggi telah menyerahkan 100 hektar lahan kepada
pemerintah, yang terletak di Baso antara Bukittinggi dan Paijakoemboeh. Pembangunan dua fakultas itu sudah dimulai
oleh Mohamad Jamin yang ketika itu sebagai Menteri Pendidikan pada kabinet
sebelumnya’.
Upaya Mohamad Jamin dan
Mohamad Hatta untuk mewujudkan universitas di Sumatra Tengah sangatlah besar.
Meski Mohamad Jamin tidak menjabat lagi sebagai Menteri Pendidikan, tetapi upayanya
selama ini sudah membuahkan hasil karena tidak lama lagi universitas di Sumatra
Tengah akan diresmikan. Nama universitas di Sumatra Tengah sudah ditetapkan
sebagai Universitas Andalas, nama yang diusulkan oleh dekan fakultas kedokteran
di Bukittinggi Prof. Mohamad Sjaaf (lihat kembali De nieuwsgier, 24-07-1956). Siapa
yang menjadi Presiden Universitas Andalas juga sudah ditetapkan oleh
pemerintah.
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-08-1956: ‘Pada Sidang Kabinet
diputuskan bahwa Prof. Dr. Mohamad Sjaaf ditunjuk sebagai Presiden Universitas
Andalas di Bukittinggi’.
Dalam peresmian
Universitas Andalas, Wakil Presiden Mohamad Hatta masih bersedia datang meski
usulnya untuk nama universitas dengan nama Tuanku Imam Bondjol diganti dengan
usul Mohamad Sjaaf dengan nama Andalas. Inilah kenegarawanan seorang Mohamad
Hatta, asli Bukittinggi.
Usulan nama universitas di Sumatra
Tengah oleh Prof. Mohamad Sjaaf, yang juga asli Bukittinggi, dengan nama
Universitas Andalas patut diapresiasi. Prof. Mohamad Sjaaf boleh jadi menyadari
bahwa Provinsi Sumatra Tengah terbilang cukup beragam (Residentie Sumatra
Barat, Residentie Riau dan Residentie Djambi). Formulasi ini boleh jadi Prof.
Mohamad Sjaaf mengikuti formulasi penaman universitas di Provinsi Sumatra Utara
oleh Gubernur Abdul Hakim Harahap dengan memberi nama Universitas Sumatra Utara
(karena Provinsi Sumatra Utara juga beragam yang terdiri dari Residentie
Tapanoeli, Residentie Sumatra Timur dan Residentie Atjeh). Tentu saja berbeda
konteksnya dengan penamaan unversitas di Djogjakarta (Universitas Gadjah Mada)
dan universitas di Soerabaja (Universitas Airlangga).
Kehadiran Mohamad Hatta,
Wakil Presiden dalam hal ini peresmian Universitas Andalas yang dilaksanakan
pada tanggal 13 September 1956 merupakan wujud keseriusannya bahwa universitas
di Sumatra Tengah, apapun namanya harus didorong untuk lebih mampu
mengembangkan diri ke depan. Kehadiran Mohamad Hatta dalam peresmian lebih pada
untuk mensosialisasikan spirit persatuan dan kesatuan.
De nieuwsgier, 30-08-1956: ‘Wakil
Presiden Mohamad Hatta akan berangkat 9 September ke Makassar, untuk hadir pada
pembukaan Universitas Hasanuddin, yang akan berlangsung pada 10 September. Wakil
presiden pada tanggal 11 September di Djakarta dan kemudian diharapkan
berangkat ke Bukittinggi keesokan harinya untuk menghadiri pembukaan Universita
Andalas’.
Algemeen Indisch
dagblad: de Preangerbode, 13-09-1956: Wakil Presiden Drs. Mohamad Hatta kemarin
pagi menuju pembukaan resmi dari Universita Andalas dan kini telah kembali dari Bukittinggi. Dalam
pembukaan itu turut hadir Menteri pendidikan. Sarino Mangunpranoto, Menteri
Kesehatan, Dr. Sinaga, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, M Hutasoit.
Menteri Pendidikan, Sarino Mangunpranoto menyatakan dalam sebuah wawancara
dengan PIA, bahwa sebelum tahun 1960 sebuah universitas baru di Sumatra Utara
akan dibuka. Setelah ini, jumlah universitas tidak akan lagi diperluas. Lebih
lanjut, menteri menyatakan bahwa jika jumlah sekolah menengah kejuruan memadai
nantinya aliran ke universitas akan berkurang, sehingga enam universitas cukup
untuk Indonesia’.
Terhitung mulai 1 Oktober memulai studi di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial di Universitas Andalas di Padang (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-10-1956).
Dengan demikian sudah
diresmikan sebanyak lima PTN di Indonesia. Yang pertama Universitas Gadjah Mada
di Djogjakarta diresmikan pada tanggal 18 Desember 1949 dan kemudian di
Djakarta Universitas Indonesia diresmikan pada tanggal 2 Februari 1950. Pada
tanggal 10 November 1954 di Soerabaja diresmikan
Universitas Airlangga. Pada tahun 1956 ini dua universitas negeri diresmikan
yakni Universitas Hasanoeddin di Makassar pada tanggal 10 September 1956 dan
Universitas Andalas di Bukittinggi pada tanggal 13 September 1856. Universitas
Hasanoeddin di Makassar dan Universitas Andalas di Bukittinggi pada dasarnya
kelahiran kembar yang diresmikan beda tiga hari. Pada saat peresmian
Universitas Andalas, Menteri Pendidikan mengatakan akan membuka satu lagi
universitas negeri di Medan (Universitas Sumatra Utara) dan enam universitas
cukup untuk seluruh Indonesia.
Sementara itu, sejumlah universitas
yang dikategorikan sebagai perguruan tinggi swasta sudah cukup banyak yang
didirikan. Perguruan tinggi yang didirikan tersebut ada yang diinisiasi oleh
mayarakat dan juga yang langsung diinisiasi oleh pemerintah daerah (seperti
gubernur dan wali kota). Di Djogjakarta sudah sejak lama berdiri Universitas
Islama Indonesia; di Padang muncul Jajasan Sriwidjaja mendirikan fakultas
pertama fakultas hukum; di Medan Jajasan Universitas Sumatra Utara mendirikan
fakultas kedokteran, di Bandoeng Jajasan Universitas Merdeka mendirikan
fakultas hukum dan fakultas ekonomi; di Palembang Jajasan Satjakitri mendirikan
fakultas ekonomi. Selain itu juga telah didirikan sejumlah akademi, seperti
Akademi Nasional dan Akademi Wartawan di Djakarta (yang dipimpin oleh Parada
Harahap). Fakultas hukum dari Jajasan Sriwidjaja di Padang telah diakusisi
menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Andalas.
Presiden Universitas Andalas
Prof. Dr. Mohamad Sjaaf menyatakan kepada PIA di Padang bahwa fakultas
matematika dan fisika Universitas Andalas akan dibuka pada awal Maret (Algemeen
Indisch dagblad : de Preangerbode, 04-03-1957). Dengan demikian jumlah fakultas
Universitas Andalas yang sudah melakukan perkuliahan menjadi lima fakultas:
Fakultas Pedagogik, Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum dan
Ilmu Sosial dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam. Menurut De Telegraaf, 13-06-1957
yang mewawancara Prof. Soemitro Djojohadikusumo terungkap bahwa pada bulan
September akan dibuka fakultas ekonomi di Padang.
Pejabat dekan Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia adalah Prof. Djoko Soetono (Het nieuwsblad voor Sumatra,
10-04-1957). Hal ini karena Prof. Soemitro dituduh bersalah dan dilakukan
interogasi [26 Maret] di Bandoeng oleh polisi militer ((Leeuwarder courant :
hoofdblad van Friesland, 27-03-1957). Interogasi ini dilakukan tidak lama setelah Kabinet Boerhanoedin Harahap
dibubarkan pada tangga 3 Maret 1956 yang mana Prof. Soemitro sebagai Menteri Keuangan. Prof.
Soemitro, mantan Menteri Keuangan kembali diinterogasi di Bandoeng pada tanggal
6 dan 7 Mei. Prof. Soemitro mengakui tuduhan itu tidak terbukti. Namun beberapa
hari kemudian muncul pemberitaan bahwa
sudah dikeluarkan perintah penangkapan terhadap mantan Menteri Keuangan Prof.
Soemitro (Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 21-05-1957). Sebelum perintah
penangkapan ini, diduga Prof. Soemitro telah berangkat ke wilayah ‘aman’ di
Sumatra Tengah (wilayah dimana pada tanggal 20 Desember 1956 terjadi kudeta
oleh militer terhadap pemerintah pusat).[1] Saat di wilayah aman inilah besar
kemungkinan Prof. Soemitro diwawancara oleh (koresponden) surat kabar
Telegraaf.
Beberapa hari kemudian Prof.
Soemitro Djojohadikoesoemo membuat penyataan di Padang (Leeuwarder courant:
hoofdblad van Friesland, 28-05-1957). Disebutkan mantan Menteri Keuangan, Dr
Soemitro Djojohadikoesoemo, yang mana surat perintah penangkapan telah dikeluarkan
oleh otoritas militer di Jawa, saat ini berada di Padang di Sumatra Tengah.
Dalam pernyataan yang dibuatnya hari ini, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo
menyangkal permintaan maaf bahwa terlibat dalam malpraktek. Prof. Soemitro
Djojohadikoesoemo mengatakan tidak mematuhi panggilan dari otoritas militer
untuk ditanyai karena dia menolak untuk tunduk pada ‘wilekeurige tyrannie’.
Juga disebutkan Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo tiba di Padang 14 hari yang
lalu. De Volkskrant, 08-06-1957 memuat berita yang bersumber dari kantor berita
AP di Singapoeralis 7 Juni bahwa mantan Menteri Keuangan, Dr Soemitro
Djojohadikoesoemo, yang dicari oleh polisi militer Indonesia, melarikan diri
dari Djakarta dan bergabung dengan gerilyawan Sumatra. Ini dikatakan dalam sebuah
pernyataan bahwa itu (surat pernyataan) diselundupkan ke Singapura. Dalam
pernyataan ini dia menuduh pemerintah Indonesia tirani dan penyalahgunaan
kekuasaan. Dia mengatakan bahwa dia telah melarikan diri dari ibukota pada
tanggal 8.
Prof. Soemitro sebagai seorang
ekonom kaliber internasional yang memiliki ketekunan dalam akademik, di Padang sepakat
untuk rencana untuk membuka fakultas ekonomi. Berdasarkan berita-berita di
surat kabar sudah barang tentu pemerintah maupun parlemen sudah mengetahui
Prof. Soemitro berada di Padang. Oleh karena hubungan pemerintah daerah di
Sumatra Tengah dan pemerintah pusat di Djakarta dalam situasi ‘panas’ (yang
mana pusat telah memblokade Sumatra Tengah) seorang parlemen mempertanyakan
kepada pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan) tentang status Prof. Soemitro
yang telah meninggalkan jabatannya sebagai profesor di Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1957). Oleh karena Prof. Soemitro sudah
lama tidak berada di kampus (meninggalkan jabatannya), Menteri pendidikan, Prof. Dr Prijono, mengatakan telah melakukan kontak dengan Presiden Universitas Indonesia
tentang ‘permasalahan’ Prof. Soemitro dan akan menunggu jawaban hingga bulan
September sebagai respon terhadap pertanyaan anggota parlemen (Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-07-1957). Setelah waktu yang ditunggu cukup
lama dan tidak adanya kejalasan tentang Prof. Soemitro, pemerintah melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan
membuat panggilan terakhir (ultimatum) melalui radio untuk Prof. Dr. Sumitro
Djojohadikusunio, Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia untuk
melanjutkan posisinya sebagai Dekan. Batas waktu panggilan terakhir ini 10 hari
sejak hari Kamis malam (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 11-10-1957). Disebutkan Kementerian Pendidikan akan
mengambil langkah yang tepat terhadap Prof, Soemitro jika, setelah berakhirnya
sepuluh hari ini, sejak 10 Oktober 1957. Panggilan radio ini disiarkan oleh Radio
Djakarta dan ditujukan ke Midden Sumatra atau Menado, dimana menurut anggapan
Kementerian Pendidikan, Prof. Sumitro saat ini tinggal. Dalam panggilan ini dan
panggilan sebelumnya tidak menyebutkan jaminan apapun untuk Prof. Soemitro
Djojohadikoesoemo.
Ekskalasi suhu politik yang terus
meningkat akhirnya di Sumatra Tengah, Letkol Achmad Husein memproklamirkan PRRI
pada tanggal 15 Februari 1958. Sementara itu, ketika Prof. Soemitro berada di
Sumatra Tengah, Prof. Tan Goan Po berangkat dari Batavia menuju Singapoera.
Selain Prof. Soemitro dan Prof. Tan Goan Po sama-sama alumni Rotterdam, juga
ama-sama guru besar di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Tan Goan Po
juga adalah penasehat perusahaan (keluarga) Prof. Soemitro bernama Prabowo
Company di Singapoera. Surat Prof. Soemitro dikirimkan ke Singapoera diduga
sebagai alamat tujuan adalah Prof. Tan Goan Po (yang kemudian menjadi sumber
berita surat kabar). Tidak lama setelah proklamasi PRRI, pusat melancarkan
serangan ke Sumatra Tengah dan Sulawesi Utara. Sementara itu, Prof. Tan Goan Po yang berada di
Singapoera, setelah mendengar terjadi pemboman di
kediamannya di Manado mengundurkan diri sebagai guru besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (Trouw, 28-02-1958). Tidak hanya itu, juga
setelah mendengar Midden Sumatra dibom oleh tentara pusat Prof. Bahder Djohan
juga mengundurkan diri sebagai Presiden Universitas Indonesia (De Volkskrant, 28-02-1958). Prof. Soemitro sendiri, setelah
tidak mengindahkan ultimatum dari Kementerian Pendidikan hingga bulan Oktober
1957 besar dugaan telah diambil tindakan dengan pemecatan Prof Soemitro sebagai guru
besar di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Setelah peresmian
Universitas Andalas diperoleh informasi yang menjadi Presiden Universitas
Andalas adalah Prof. Mohamad Sjaaf (De nieuwsgier, 30-10-1956). Sebelumnya,
Prof. Mohamad Sjaaf bertindak sebagai dekan fakultas kedokteran di Bukittinggi.
Sebagai pengganti Mohamad Sjaaf sebagai dekan adalag Dr. Iljas. Sementara untuk
Ketua Dewan Pengawas adalah Ruslan Muljohardjo (Gubernur Sumatra Tengah).
Sementara di satu sisi tengah dilakukan
penguatan terhadap Universitas Andalas di Sumatra Tengah, tiba-tiba di sisi lain merebak
peristiwa dimana militer di bawah pimpinan Letkol Achmad Husein melakukan
kudeta di Bukittinggi terhadap pemerintah pusat. Rencana pembentukan
universitas di Sumatra Tengah menjadi mengalami distorsi. Gubernur Sumatra
Tengah Muljohardjo telah dilengserkan dari kedudukannya. Sangat disayangkan
karena peran Muljohardjo juga terbilang cukup intens dalam persiapan pembentukan
universitas di Sumatra Tengah.
Proses penguatan universitas
di Sumatra Tengah, Universitas Andalas mulai berkurang dukungannya. Mohamad
Jamin, selaku Menteri Pendidikan sangat bersemangat untuk membentuk universitas
di Sumatra Tengah, tetapi kini Menteri Pendidikan sudah digantikan oleh yang
lain.
Demikian juga baru-baru ini Mohamad
Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Hubungan antara
pemerintah Sumatra Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi dengan pemerintah
pusat di Djakarta menjadi tidak lancar. Apalagi belum ini telah terjadi kudeta
terhadap pemerintah pusat di Bukittinggi. Situasi yang dihadapi oleh pegiat
pendidikan tinggi di Sumatra Tengah dalam posisi wait and see.
Namun dalam
perkembangannya, penegerian Universitas Sumatra Utara tidak pernah terlaksana.
Hal ini boleh jadi pemantapan universitas di Sumatra Tengah dan Sulawesi memang
tidak mudah karena sumberdaya yang terbatas dan pengadaan dosen dan guru besar
yang memang tidak mudah. Tiga universitas sebelumnya juga masih kekurangan
dosen. Akan tetapi, belum hilang ingatan publik penetapan Menteri Pendidikan Sarino
bahwa universitas negeri yang terakhir akan dibentuk di Medan, tiba-tiba muncul
satu kepanitian baru dalam pembentukan universitas di Bandoeng yang diketuai
oleh Mohamad Jamin. Pada 14 Oktober 1956 terbentuklah Panitia Pembentukan
Universitas Negeri (PPUN) di Bandung.
Komite yang dipimpin oleh Mohamad
Jamin ini bertugas untuk membentuk Universitas Padjadjaran di Bandoeng dengan
jalan memisahkan dua fakultas Universitas Indonesia (Algemeen Indisch dagblad:
de Preangerbode, 22-01-1957). Dua fakultas tersebut adalah fakultas teknik dan
fakultas matematika dan ilmu alam. Namun Mohamad Jamin mendapat penolakan dari
mahasiswa kedua fakultas tersebut karena lebih menginginkan adanya pembentukan
Universitas Teknologi dan Ilmu Pengetahuan (baca: Institut Teknologi). Panitia
pembentukan Universitas Padjadjaran juga mendapat kesan bahwa dekan fakultas
teknik Prof. Sutedjo juga kurang setuju. Dari komite pembentukan Universitas
Padjadjaran muncul pendapat bahwa kandidat Presiden Universitas Padjadjaran
lebih disukai orang Sunda agar dimungkinkan untuk membawa Universitas Padjadjaran
ke pengembangan penuh.
Pembentukan universitas
di Bandoeng dengan memisahkan dua fakultas di Bandoeng juga mendapat reaksi
dari Presiden Universitas Indonesia, Prof. Bahder Djohan yang tampaknya kurang
sepakat dengan usul itu (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode,
04-02-1957). Presiden Universitas Indonesia, Bahder Djohan mengatakan bahwa
semua profesor Indonesia akan keluar jika pemerintah memutuskan untuk
memisahkan Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam dengan
membentuk universitas baru di Bandung. Penyataan ini disampaikan Bahder Djohan
dalam sambutannya untuk menandai Dies Natalis Universitas Indonesia.
Universitas Sumatra Utara lebih
banyak berdiam diri dengan terus membenahi fakultas-fakultasnya. Universitas
Sumatra Utara tidak terjangkau radar pusat dalam hiruk pikuk pembentukan
universitas di berbagai tempat. Hanya mahasiswa yang pernah memasang spanduk
ketika Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan Mohamad Jamin datang ke Medan
dengan bunyi: ‘Akuilah Universita Sumatra Utara’. Spanduk ini dipasang seiring
dengan akan diresmikannya Universitas Airlangga di Soerabaja pada tanggal 10
November 1954. Secara defacto, Universitas Sumatra Utara lebih siap dinegerikan
jika dibandingkan dengan Universitas Airlangga. Sempat muncul angin segar
ketika Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto saat menghadiri peresmian
Universita Andalas pada tanggal 13 September 1956 di Bukittinggi menyatakan
bahwa sebelum tahun 1960 sebuah universitas (negeri) baru di Sumatra Utara akan
dibuka. Setelah ini, jumlah universitas tidak akan lagi diperluas. Lebih
lanjut, menteri menyatakan bahwa enam universitas sudah cukup untuk Indonesia.
Namun beberapa bulan kemudian muncul komite pembentukan Universitas Padjadjaran
yang diketuai oleh Mohamad Jamin.
Sementara itu, meski
dalam situasi dan kondisi yang tidak kondusif, proses penguatan Universitas
Andalas yang masih berumur muda terus berlangsung yang dipimpin oleh Presiden
Universitas Andalas Prof. Mohamad Sjaaf. Dalam satu kesempatan Prof. Dr.
Mohamad Sjaaf menyatakan kepada media di Padang bahwa fakultas matematika dan ilmu
alam di Universitas Andalas akan dibuka (perkuliahan) pada awal Maret (Algemeen
Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-03-1957). Prof. Mohamad Sjaaf sendiri
tetap tekun sendirian membina Universitas Andalas sekalipun situasi dan kondisi
tidak nyaman dan dukungan semakin berkurang.
Namun kini persoalannya
menjadi lain. Perdana Menteri adalah Ir. Djoeanda dari Bandoeng. Dengan
munculnya pemimpin baru pada Kabinet Djoeanda (sejak April 1957), penegerian
Universitas Sumatra Utara mulai berhembus lagi tetapi pembentukan universitas
di Bandoeng harus juga mendapat prioritas. Pembentukan universitas di Bandoeng
tidak memikirkan pemisahan dua fakultas Universita Indonesia tetapi membentuk
baru uinversitas di Bandoeng dengan memperkuat Universitas Merdeka di Bandoeng.
Lalu Universitas Padjadjaran diresmikan berdiri pada 11 September 1957. Pada
hari yang sama juga membuka peresmian pembukaan fakultas teknik di Soerabaja
(Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 12-11-1957). Dalam pembukaan ini
turut hadir Menteri Urusan Antar Daerah di Indonesia, Dr. FL Tobing, Presiden
Universitas Airlanggan (AG Pringgodigdo), Presiden Universitas Andalas (Mohamad
Sjaaf), Presiden Universitas Padjadjaran (Iwa Kusumasumantri). Catatan:
fakultas teknik di Soerabaja ini kelak menjadi cikal bakal Institut Teknologi
Soerabaja (ITS).
Masih pada bulan yang
sama Universitas Sumatra Utara yang sudah lama berdiri (sejak 1952) dinegerikan
dan diresmikan pada tanggal 20 November 1957. Universitas Sumatra Utara pada
tahun 1956 sudah memiliki empat fakultas (kedokteran, hukum dan ilmu sosial,
pedagogik dan pertanian). Peresmian Universitas Sumatra Utara sudah diketahui
pada tangga 10 November 1957 (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 11-11-1957). Disebutkan Presiden Soekarno akan ke Medan
pada 20 November dan ke Padang Bulan di Medan Baru, lokasi dimana komplek Universitas
Sumatera Utara akan dibangun. Di malam hari, Presiden akan secara resmi membuka
Universitas Sumatra Utara. Upacara akan berlangsung di auditorium Fakultas Hukum
dan Ilmub Sosial, Universitas Sumatra Utara di Djalan Seram, Medan. Keesokan
harinya, Presiden Sukarno akan mengadakan pertemuan dengan mahasiswa di
auditorium Fakultas Hukum. Setelah itu, Presiden akan menghadiri pertemuan para
pemimpin partai, anggota dewan provinsi dan personil militer, yang akan
berlangsung di gedung Dewan Provinsi. Hari itu pada [ukul 2 siang, Presiden
kembali ke Jakarta. Setelah peresmian, esoknya Presiden Presiden Soekarno akan
memberikan kuliah umum untuk para mahasiswa Universitas Sumatra Utara (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 16-11-1957), Presiden Soekarno dari Djakarta ke Medan
dengan menggunakan pesawat kepresiden yang diberi nama Dolok Martimbang (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 18-11-1957). Presiden Sorkarno tidak lagi menggunakan maskavai
komersial GIA jika ke daerah seperti selama ini dilakukan. Mangapa nama pesawat
kepresiden diberi nama Dolok Martimbang? Boleh jadi untuk memberi apresiasi
kepada penduduk Sumatra Utara dan mahasiswa Universitas Sumatra Utara yang
begitu lama menunggu untuk mendapat kesempatan Universitas Sumatra Utara
dinegerikan. Boleh jadi untuk menyambut kedatangan Presiden Soekarno mahasiswa tidak
lagi dengan spanduk ‘Akuilah Universitet Sumatra Utara’, tetapi dengan spanduk
dengan rasa solidaritas terhadap kolega mereka mahasiswa di Sumatra Tengah
dengan bunyi ‘Mr. Presiden. Jangan Lupa Mampir ke Bukittinggi. Disana Juga Ada Mahasiswa,
Kolega Kami’. Sebagaimana diberitakan Presiden Soekarno sepulang dari Medan
akan mampir di Palembang dan Tandjong Pinang, Bangka.
Dolok Martimbang. 'air force one' Indonesia (1957) |
Prof. Mohamad Sjaaf yang terus pantang menyerah untuk
menumbuh kembangkan Universitas Andalas boleh jadi mulai khawatir tentang
keberlanjutan universitas yang dipimpinnya. Hal ini karena eskalasi politik di
Provinsi Sumatra Tengah semakin panas dari waktu ke waktu. Akhirnya Achmad
Husein memproklamirkan PRRI pada bulan Februari 1958. Kekacauan mulai muncul
dimana-mana, kekhawatiran Prof. Mohamad Sjaaf mulai tidak terkendali sehingga
kekhawatiran di kalangan mahasiswa juga muncul. Proses belajar mengajar semakin
tidak menentu. Bantuan pengembangan peralatan universitas menjadi terhambat
datang, dosen-dosen dan guru besar baik yang Indonesia maupun asing mulai
enggan datang ke Bukittinggi karena hubungan Sumatra Tengah dan pusat
(Djakarta) bukannya mereda tetapi justru semakin meruncing. Prof. Mohamad Sjaaf
mulai lesu darah. Cita-citanya untuk membentuk Universitas Andalas di
Bukittinggi sebagai universitas yang kuat mulai sirna.
Setelah peresmian Universitas
Padjadjaran dan Universitas Sumatra Utara, muncul pemberitaan bahwa Bahder
Djohan sebagai Presiden Universitas Indonesia dicopot pada bulan Maret 1958.
Lalu muncul pertanyaan: mengapa Presiden Universitas Indonesia Prof. Bahder
Djohan harus digantikan sebelum waktunya. Alasannya bukan karena ikut
menghalangi pembentukan Universitas Padjadjaran di Bandoeng, tetapi karena
Prof. Bahder Djohan tidak setuju penyerangan yang dilakukan pusat (Djakarta) ke
Sumatra Tengah (PRRI).
Provinsi Sumatra Tengah
akhirnya dilikuidasi seiring dengan pembentukan tiga provinsi: Provinsi Djambi,
Provinsi Riau dan Provinsi Sumatra Barat. Sehubungan dengan pemindahan ibukota
Provinsi Sumatra Barat dari Bukittinggi ke Padang, maka Universitas Andalas
juga pindah ke Kota Padang. Dalam hal ini Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D
haruslah dipandang sebagai tokoh terpenting dalam pembentukan Universitas
Andalas. Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D adalah pemberi nama Universutas Andalas
dan sekaligus Presiden Universitas Andalas yang pertama. Siapa Mohamad Sjaaf?
Inilah riwayat hidupnya.
Pada tahun 1903 seorang
lulusan Docter Djawa School, Dr. Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang. Pada
tahun 1904 Mohamad Sjaaf dari Padang berangkat studi ke Batavia untuk mengikuti
pendidikan kedokteran di STOVIA (School tot opleiding van Inl. Artsen). Sejak
1902 Docter Djawa School ditingkatkan statusnya dengan nama baru STOVIA.
Mohamad Sjaaf cukup berhasil dan tidak pernah tinggal kelas. Pada tahun 1907
Mohamad Sjaaf lulus ujian tingkat persiapan (tahun ketiga) dan lanjut ke studi
medis (tahun keempat) (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
07-10-1907). Mohamad Sjaaf lulus tepat waktu pada tahun 1913 (Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-07-1913). Siswa yang diterima di STOVIA
adalah lulusan ELS (sekolah dasar Eropa). Lama studi adalah sembilan tahun.
Mohamad Sjaaf diangkat sebagai dokter pribumi (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 23-07-1913). Mohamad Sjaaf ditempatkan di Dinas Kesehatan
sebagai dokter pribumi di Ngawi, Residentie Madioen (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 24-07-1913). Selama di Ngawi. Mohamad Sjaaf mendapat
kesempatan membantu Dr. Gerritsen di klinik dokter mata. Lalu kemudian Mohamad
Sjaaf dari Ngawi dipindahkan ke kota Medan (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 10-03-1916). Pada tahun 1918 Mohamad Sjaaf terpilih sebagai
anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan menyusul terpilihnya Kajamoedin Harahap
gelar Radja Goenoeng. Mereka berdua adalah pribumi pertama yang menjadi anggota
dewan kota melalui pemilihan (pemilu). Radja Goenoeng di komisi pendidikan dan
Mohamad Sjaaf di komisi kesehatan (De Sumatra post, 12-11-1918). Mohamad Sjaaf,
kepala rumah sakit pribumi di Medan akan berangkat studi kedokteran ke Belanda
(De Sumatra post, 17-02-1919). Mohamad Sjaaf pada tanggal 9 April berangkat
dari Medan ke Batavia dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Belanda (De
Sumatra post, 26-03-1919). Mohamad Sjaaf pada tangga 9 April dari Belawan
berangkat ke Batavia dengan kapal ss Rumphius (De Sumatra post, 11-04-1919).
Mohamad Sjaaf berangkat ke Belanda dari Tandjong Priok tanggal 15 November
dengan kapal ss Rindjani via Suez tiba di Rotterdam (Bataviaasch nieuwsblad,
14-11-1919). Dalam manifes kapal tercatat nama Mohamad Sjaaf dengan istri. Juga
di dalam manifes terdapat nama R. Soetomo dan istri. Raden Soetomo dan Mohamad
Sjaaf lulus ujian medis pertama di Universiteit Amsterdam (Algemeen
Handelsblad, 20-11-1920). R/ Soetomo dan Mohamad Sjaaf menjadi anggota Indische
Vereeniging (baca: Perhimpunan Indonesia). Pada tahun 1921 R, Soetomo sebagai
Ketua dan Mohamad Sjaaf sebagai sekretaris Indische Vereeniging (lihat
Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant,
28-06-1921). Indische Vereeniging didirikan oleh Radjioen Harahap gelar
Soetan Casajangan pada tanggal 25 Oktober 1908. Mohamad Sjaaf dan R Soetomo lulus
ujian dokter dan meraih gelar dokter (Algemeen Handelsblad, 21-12-1921).
Disebutkan Mohamad Sjaaf lahir di Kota Gedang dan R. Soetomo lahir di Ngepeh.
Dr. Mohamad Sjaaf berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) dengan desertasi berjudul
‘Vezelverloop in Netvlies en Oogzenuw’ (Algemeen Handelsblad, 13-06-1923). Dr.
Mohamad Sjaaf, Ph.D segera pulang ke tanah air dengan menumpang kapal ss
Tjiremai pada tanggal 16 Juni 1023 (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 17-06-1923).
Dalam manifes kapal Mohamad Sjaaf tercatat bersama dengan istri dan satu anak.
Dr, Mohammad Sjaaf tidak hanya pulang meraih gelar doktor tetapi juga membawa
anak mereka yang lahir di Amsterdam. Dr. Mohamad Sjaaf dan keluarga tiba di
Tandjong Priok pada tanggal 20 Juli (De Sumatra post, 20-07-1923). Dr. Mohamad
Sjaaf diangkat sebagai dokter pemerintah (De Preanger-bode, 31-07-1923). Sebuah
rumah sakit mata, atas prakarsa gubernur dengan pembiayaan bersama, sedang
dibangun di Padang. Direktur rumah sakit adalah Dr. Mohamad Sjaaf (De Sumatra
post, 23-10-1924). Pembukaan rumah sakit mata di Padang (De Indische courant,
09-05-1925). Disebutkan dalam pembukaan ini turut hadir Gubernur Whitlau dan
memberi kata sambutan. Di dalam kata sambutannya itu Gubernur menyebut rumah
sakit itu dengan Whitlau-stichting (Yayasan Whitlau) yang kemudian
menyerahkannya kepada ketua dewan rumah sakit Mr. Ouwerling, Asisten Residen
Padang. Diberitakan Dr. Mohamad Sjaaf terhitung tanggal 30 April 1925 sebagai
dokter pemerintah kelas satu (Bataviaasch nieuwsblad, 22-10-1925). Pangkat ini
merupakan pangkat tertinggi di Dinas Kesehatan. Pada tahun 1927 Dr. Mohamad
Sjaaf, Ph.D ditempat di Soerabaja sebagai dosen di sekolah kedokteran NIAS (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-09-1927). Pada tahun ini sekolah
dokter pribumi STOVIA ditingkatkan menjadi perguruan tinggi Geneeskudige
Hoogeschool, sementara fungsi/peran STOVIA digantikan oleh NIAS. Dr. Mohamad
Sjaaf di NIAS untuk menggantikan Dr. Soewarno yang berangkat studi ke Eropa (De
Indische courant, 05-10-1927). Dr. Mohamad Sjaaf dipindahkan ke rumah sakit di
Weltevreden (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-06-1928).
Dr. Mohamad Sjaaf juga difungsikan sebagai dosen di Geneeskudige Hogeschool.
Dr. Mohamad Sjaaf terpilih sebagai anggota dewan kota Batavia (Bataviaasch
nieuwsblad, 14-01-1930). Dr. Mohamad Sjaaf, dosen di Geneeskundiga HS kembali
dipindahkan ke NIAS di Soerabaja untuk menggantikan Dr. Soewarno (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-09-1930). Dr. Mohamad Sjaaf
menggantikan Prof. Dr. Baker guru besar dokter mata di Geneeskudige HS. Oleh
karena sudah kembali dari Eropa, Dr. Mohamad Sjaaf dipindahkan kembali ke NIAS
untuk menggantikan Dr. Soewarno (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indië, 22-10-1930). Selain Dr. Mohamad Sjaaf, dosen Indonesia di
NIAS adalah Dr. Soetomo dan Dr. Soerjatin (De Indische courant, 02-07-1931). Keduanya
juga bekerja di rumah sakita kota Soerabaja (CBZ). Ini kembali Dr. Sjaaf dan
Dr. Soetomo bertemu setelah masa kuliah di Belanda. Sementara di dewan kota
Soerabaja baru saja terpilih Dr. Radjamin Nasution. Dr. Sjaaf, Dr. Soetomo dan
Dr. Radjamin Nasution terbilang satu angkatan dulu di STOVIA. Di Soerabaja
dibentuk sarikat Sumatra yang mana promotor adalah Dr. Mohamad Sjaaf, jurnalis
Saroehoem, Dr. Saleh dan Dr. Radjamin Nasution (De Indische courant, 02-11-1933).
Beberapa tahun sebelumnya Saroehoem ditangkap polisi/intel di Padang (De
Sumatra post, 27-11-1929). Disebutkan menurut kantor berita Aneta di Padang
bahwa Saroehoem wartawan asal Padang Sidempoean ditangkap dan sedang dilakukan penyelidikan
karena penyebaran tulisan-tulisan yang menghasut berjudul ‘Semangat Natioual di
Indonesia. Pamflet-pamfletnya telah disita. Di NIAS dosen Indonesia yang ada
adalah Dr. Mohamad Sjaaf dan Dr. Zainal (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 04-08-1937). Hingga tahun 1941 Dr. Moahamd Sjaaf masih
sebagai dosen di NIAS dan (kepala) di rumah sakit kota (Soerabaijasch
handelsblad, 24-07-1941). Sebelum meninggal dunia tahun 1938, Dr. Soetomo
adalah kepala rumah sakit kota. Pada saat pendudukan Jepang, segalanya berubah.
Pemerintah militer Jepang di Soerabaja membentuk pemerintahan yang umumnya
adalah orang Indonesia (per 29 April 1942). Sebagai Wali Kota Soerabaja
diangkat Dr. Radjmin Nasution. Untuk kepala rumah sakit Soerabaja, tetap
dijabat oleh Dr. Mohamad Sjaaf (Soerabaijasch handelsblad, 01-05-1942). Pada
saat kemerdekaan Indonesia (17 Agusus 1945) kedua dokter ini tetap pada posisi
masing-masing. Ketika kembali Belanda, Wali Kota Radjamin Nasution memindahkan
pemerintahannya ke Modjokerto, sementara Dr. Mohamad Sjaaf bertugas dalam
pelayanan kesehatan di Malang. Pada tahun 1947 Wali Kota Radjamin Nasution
memindahkan pemerintahannya ke Toeloengangoeng, sementara Dr. Mohamad Sjaaf
pindah ke Djogjakarta (ibukota RI di pengungsian) (De Heerenveensche koerier:
onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 22-11-1947).
Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, bidang pendidikan tinggi
juga dialihkan ke pihak Indonesia, Lalu pemerintah (Kementerian Pendidikan)
mengangkat Dr. Mohamad Sjaaf terhitung tanggal 1 April 1950 sebagai guru besar
di fakultas kedokteran di Soerabaja (fakultas yang dibentuk oleh pemerintahan
NICA/Belanda di gedung eks NIAS). Pada tanggal 4 April Pof. Mohamad Sjaaf menggantikan
posisi dekan lama, Prof Streef (rekan Dr. Mohamad Sjaaf pada era kolonial
Belanda di NIAS Soerabaja). Pada tanggal 10 November Universitas Airlangga
diresmikan yang mana sebagai rektor (presiden) adalah Prof. AG Pringgodigdo, Sementara
fakultas kedokteran menjadi bagian dari Universitas Airlanggan dengan tetap Prof.
Mohamad Sjaaf sebagai dekan (fakultas kedokteran Universitas Airlangga). Selanjutnya,
ketika fakultas kedokteran didirikan di Bukittinggi (Universitas Andalas),
Prof. Mohamad Sjaaf diangkat pemerintah sebagai dekan terhitung tanggal 1
Septermber 1955. Sejak tanggal inilah Prof. Mohamad Sjaaf menjadi bagian dari
Universitas Andalas yang lalu kemudian menjadi Presiden Universitas Andalas
pada saat peresmian pada tanggal 13 September 1956.
Upaya Prof. Mohamad
Sjaaf untuk melaksanakan tugas sebagai presiden universitas dan mengembangkannya
kemudian menjadi tidak kondusif karena pada tanggal 20 Desember 1956 terjadi
kudeta terhadap pemerintah pusat di Bukittinggi oleh dewan Banteng yang
dipimpin oleh Letkol Achmad Husein. Eskalasi politik di Sumatra Tengah
khususnya di Bukittinggi semakin memanas dengan diproklamirkannya PRRI pada
bulan Februari 1958 yang dengan sendirinya membuat Universitas Andalas dan
tugas Prof. Mohamad Sjaaf menjadi tidak menentu. Nama Mohamad Sjaaf tidak
muncul lagi. Boleh jadi Prof. Mohamad Sjaaf, seorang yang moderat merasa kecewa
terhadap semua yang terjadi. Semangatnya untuk mengejar ketertinggalan
Universitas Andalas terhadap universitas lainnya di Indonesia menjadi
terhambat. Nama Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D lalu benar-benar menghilang
seakan ditelan bumi. Setelah PRRI dapat diatasi oleh pemerintah pusat,
Universitas Andalas di Sumatra Tengah yang berpusat di Bukittinggi diaktifkan
kembali yang lalu dipindahkan ke Kota
Padang (sebagai ibukota provinsi baru, Provinsi Sumatra Barat). Posisi Prof.
Mohamad Sjaaf lalu digantikan oleh Dr. A. Roesma. Satu hal: Universitas Andalas
adalah Prof. Mohamad Sjaaf; juga Prof. Mohamad Sjaaf adalah Universitas
Andalas.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
____________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Kita telisik lebih dahulu itu konsep kudeta. Pada pergolakan tahun 1958 tersebut sama sekali tidak terjadi penyerangan ke pusat dan tidak ada usaha menggantikan posisi Presiden. Yang diminta untuk mundur dan diganti ialah Perdana Menter Djuanda.
[2]