JawaPos.com – Keberagaman dan kerukunan antarumat beragama di Minangkabau atau Sumatera Barat terusik. Hal itu dipicu oleh kabar dugaan larangan perayaan Natal bagi umat Kristiani yang bertempat tinggal di jorong (dusun) Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung. Namun dugaan itu dibantah oleh pemerintah. Baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Umat Nasrani dipastikan boleh dan bisa bernatalan.
Di balik itu, publik bertanya-tanya seperti apa kehidupan bertoleransi kerukunan yang multikultur di Sumatera Barat. Pengamat Multikultur Universitas Negeri Padang (UNP) Susi Fitria Dewi menyebut, multikultur di Sumbar berbeda dengan daeerah lain.
Di Sumbar itu sebaran penduduknya masih dominan dan hampir di atas 80 persen adalah masyarakat asli Minangkabau dan beragama Islam. Sisanya adalah masyarakat bukan orang Minangkabau dan beragama selain Islam.
Jika pun ada etnis dan agama lain hidup di sana, mereka tetap dapat tinggal dan hidup berdampingan. Hanya saja, kehadiran orang non-Minangkabau di Sumbar, sebaran mereka dalam kelompok-kelompok kecil. Tempat tinggal mereka tidak berbaur secara langsung. Contohnya di Kota Padang. Di sana terdapat beberapa kampung yang dihuni oleh masyarakat etnis lain dan rata-rata bukan beragama Islam. Yakninya Kampung Nias, Kampung Cino atau disebut juga dengan wilayah Pondok, Kampung Kaliang, Kampung Jawa, dan Jondul. Di Kabupaten Padang Pariaman terdapat Sungai Buluh Barat.
Kondisi itu hampir sama terjadi di sejumlah kabupaten dan kota lainnya di Sumbar. Di sana terdapat komunitas-komunitas kecil yang dihuni oleh masyarakat non-Minangkabau. “Jika dilihat lebih dekat ada juga yang tinggal di tengah-tengah orang pribumi. Mereka hidup tentram dan damai,” ungkap Susi Fitria Dewi kepada JawaPos.com, Senin (23/12).
Selama ini, kata Susi, tidak ada gesekan antara penduduk asli dan pendatang di Sumbar. Mereka bisa membangun daerah bersama-sama. Baik dari sisi ekonomi, pemerintahan, sosial, dan sebagainya. Pendatang dan pribumi hidup rukun dan tentram. “Buktinya tidak ada orang luar Minangkabau terpaksa harus eksodus karena terjadi pergesekan atau perselisihan. Itu membuktikan orang Minangkabau itu terbuka dan toleran,” sambungnya
Kedamaian di Sumbar tidak terlepas dari filosofi adat yang dipegang teguh oleh masyarakat Minang. Filosofi itu juga ditanamkan kepada para pendatang, yakni Malakok. Artinya, setiap para pendatang harus melekat atau mendekat. Dalam sosiologi disebut dengan asimilasi.
Filosofi malakok itu juga dipakai oleh orang Minang jika mereka merantau ke daerah lain. Mereka menganut falsafah dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang. Maksudnya, di mana kita berada di sana kita mengikuti aturan hidup yang berlaku. “Falsafah ini yang membuat orang Minang bisa survive dan sukses di perantauan. Bukti paling sederhana yakni sebaran rumah makan Padang di luar daerah. Orang Minang ikut dalam tataran ekonomi di luar daerah,” terangnya.
Lebih menarik lagi, kata Susi, di Kabupaten Padang Pariaman terdapat salah satu korong (sebutan lain dari jorong) yang dihuni oleh orang non-Minangakabau. Yakni Sungai Buluh Barat, Nagari Sungai Buluh, Kecamatan Batang Anai. Mereka adalah orang Nias beragama Kristiani. Di sana, masyarakat Nias dapat mendirikan dua gereja dan memelihara tiga ekor babi. Masyarakat Nias pun dimasukkan ke dalam tata lembaga adat Minangkabau di sana. Masyarakat Nias masuk dalam jajaran Kerapat Adat Nagari (KAN). Orang Nias itu terlibat dalam perundingan adat, perundingan masyarakat, dan sebagainya. “Di sana masyarakat Nias mendapat kesetaraan dalam sosial,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial UNP itu.
Dapatnya masyarakat Nias mendapat kesetaraan secara sosial di sana, karena mereka merasa senasib sepenanggungan. Migrasi masyarakat Nias di Sungai Buluh Barat terjadi sebelum Indonesia proklamasi. Tepatnya sekitar 1910. Antara orang Nias dengan Minang memiliki rasa senasib sepenanggungan. Mereka sama-sama ikut berjuang melawan penjajah, Belanda dan Jepang. Hal itulah yang mendapatkan kesetaraan orang non-Minangkabau di Sumbar. “Inilah yang menjadi pengikat antara orang Minangkabau dengan orang Nias tersebut,” katanya.
Lantas bagaimana dengan di Jorong Kampung Baru, Dharmasraya? Susi Fitria Dewi berpendapat bahwa perlu dilihat proses migrasi masyarakat pendatang di sana dulunya. Biasanya setiap awal migrasi ke Ranah Minang, terdapat bentuk perjanjian antara pendatang dan pribumi. Nah, perjanjian itu yang perlu dilihat. Adakah masalah keagamaan diatur dalam perjanjian tersebut. Sebab, orang Minang itu memiliki harga diri yang mereka letakkan untuk para pendatang. Yakninya para pendatang ketika pertama kali datang ke tempatnya atau kampung mereka, pendatang itu harus menemui dulu para Niniak Mamak. Para Niniak Mamak itu memiliki peranan penting dalam kerapatan adat dan kehidupan sehari-hari. “Seperti apa perjanjian, perundingan, dan kesepakatan yang diperoleh para pendatang dengan Ninik Mamak. Kalau perundingan itu selesai, maka hasil rundingan atau perjanjian itu yang pegang teguh oleh masyarakatnya sampai saat ini,” terangnya.
“Jika terdapat persoalan yang dikatakan tidak boleh merayakan Natal, maka perlu dilihat perjanjian awalnya. Adakah dalam perjanjian diatur masalah keagamaan itu. Kalau diatur, maka tidak akan masalah di kemudian hari. Jika dalam perjanjian itu tidak atur, maka akan menimbulkan masalah pada waktu selanjutnya,” kata dia.
“Orang Minangkabau sangat terbuka dan toleran terhadap pendatang. Apapun etnis, suku, dan agamanya,” kata Susi. Mereka bisa saja menerima dari luar, sepanjang tidak berbenturan pada aqidah yang mereka anut. Masyarakat Minangkabau memegang teguh falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Artinya, agama lain diberikan tempat khusus. Supaya, tidak bercampur masalah sosial dan keagamaan. Masalah publik dan privat.
Sumber: jawapos.com