PAHLAWAN AMPERA
Rupanya memang begitulah kehidupan di dunia ini, sebagaimana digambarkan oleh Taufiq Ismail dalam sajaknya berikut –yang ditulisnya di tahun 1966 lalu,
Memang selalu demikian, Hadi
Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi
Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan
Memang demikianlah halnya, Hadi
1966
Dan disaat peegerakan di tahun 1966 tersebut, dalam suatu hari telah gugur beberap orang, tetapi yang begitu di kenal adalah dua orang, yang saat ini kedua namanya dibadaikan sebagai nama jalan di Jakarta, yang satu di dalam Kampus UI Salemba [kalau tidak salah antara Fakultas Kedokteran dengan Fakultas Ekonomi, yang menuju ke Gudang Opium di jaman Belanda dulu] dan yang satunya di penggal pendek antara Tugu Tani dengan Medan Merdeka Barat.
Mereka adalah Arif Rahman Hakim dan Ikhwan Ridwan Rais, dua nama yang bagiku memiliki arti sendiri, entahlah mungkin saja saya sangat sentimentil dan mengada-ada dengan tafsiranku tersebut, atau mungkin anda boleh saja menganggapnya sebagai kegiatan gatuk-matuk [alias mencocok-cocokkan saja].
PAHLAWAN AMPERA
Beberapa hari atau minggu setelah gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan Tri Tuntutan Rakyat atau TRITURA dikumandangkan, dan dalam upaya memperjuangkan Amanat Penderitaan Rakyat atau AMPERA, mulailah terjadi insiden antara mahasiswa dengan pihak yang sedang berkuasa saat itu, yang mendapatkan julukan baru yaitu Orde Lama atau ORLA.
Orde Lama beserta para pendukungnya tentu saja kurang atau tidak senang dengan apa yang dilakukan oleh para mahasiswa, yang kemudian diikuti oleh adik-adiknya yaitu para pelajar dan kakak-kakaknya yaitu para sarjana serta masyarakat pada umumnya. Dan salah satu insiden, yang terjadi di bulan Februari 1966, yang kemudian menjadi sangat terkenal adalah yang terjadi di depan Istana [kami kurang begitu tahu apa Istana Merdeka atau Istana Negara], dimana salah seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia yang diberi nama oleh orang tuanya Arif Rahman Hakim tertembus peluru dan gugur pada hari yang sama. Juga peluru mengenai beberapa orang yang lain, salah satu diantaranya adalah seorang pelajar yang diberi nama oleh orang tuanya Ikhwan Ridwan Rais. Dimana nama Hakim dan Rais, adalah nama dari masing-masing orang tua sang Pahlawan Ampera tersebut.
Bagaimana persisnya kejadian tersebut, kami yang tinggal di Bandung kuranglah mengetahui dengan rinci, karena media massa dan sarana komunikasi antar penduduk pada empat puluh tahun silam tidaklah seperti sekarang ini. Mungkin mereka yang lebih mengetahui kejadian tersebut, akan dapat menceritakan lebih baik. Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa setiap kejadian atau peristiwa, apakah yang berdampak baik atau berdampak buruk, tidaklah lepas dari kekuatan Allah SWT, sebagaimana yang sering kita lafalkan dalam menyambut kalimat-kalimat hayya ‘alas shalat dan hayya ‘alal falah pada seruan adzan, yaitu la haula wa la quwwata illa bil Llah. Dan dibalik setiap peristiwa tentu ada hikmah tersendiri yang seringkali kita baru menyadarinya beberapa waktu kemudian.
Kita meyakini, bahwa bukanlah suatu kebetulan kalau yang tertembus peluru itu adalah Arif Rahman Hakim dan Ikhwan Ridwan Rais, karena di sekelilingnya, bahkan di depannya maupaun di belakangnya, banyak berdiri nama-nama lain yang dimiliki oleh mahasiswa dan pelajar serta masyarakat yang pada waktu itu berada di sana. Kalau kita melihat saat nama itu terjadi, apalagi pada saat nama orang tua mereka diberikan oleh kakek-neneknya, maka ada suatu rentang waktuyang panjang. Dan mulai dari sanalah bahwa ‘Kemauan Tuhan’ sudah digariskan oleh-Nya. Bukankah Dia adalah sepandai-pandainya perencana.
Keenam kata yang terangkai menjadi nama dua orang yang gugur pada hari itu, kesemuanya berasal dari kosa kata dalam bahasa Arab, yaitu bahasa yang digunakan Allah SWTt dalam menurunkan firman-Nya berupa Al-Quran. Dan masing-masing kata memiliki arti walaupun berdiri sendiri.
- Arif, yang sudah diserap menjadi kosa kata bahasa nasional kita, biasa juga dirangkai dengan kata bijaksana, menjadi arif bijaksana guna memperkuat arti arif itu sendiri, yang berarti mengenali dan mengetahui. Dimana dengan seseorang mengetahui dabn mengenali sesuatu kemudian dia akan menjadi bijaksana atau wise;
- Rahman, suatu kosakata yang sangat akrab dengan lidah kita sehari-hari, dan merupakan salah satu sifat dari Allah SWT, yang berarti kasih. Kita temukan sebagai bagian dari kalimat basmalah, dan banyak dipakai juga menjadi nama orang dengan awalan Abdul [hamba] menjadi Abdul Rahman;
- Hakim, juga merupakan kosakata yang sangat dikenal, dan dijadikan sebagai nama jabatan bagi mereka yang mendapat amanat untuk memutuskan suatu perkara, yaitu hakim. Seakar dengan kata ini, adalah mahkamah [tempat para hakim berkumpul], dan juga kata hukum itu sendiri.
- Ikhwan, adalah bentuk lain dari kata akhi yang berarti saudara, mungkin ikhwan berarti persaudaraan. Kata ini lazim digunakan oleh para aktivis rohis [istilah singkatan bagi mereka yang aktif dalam kegiatan kerohanian Islam di sekolah maupun kampus] guna menyebut sesama mereka, yaitu ikhwan.
- Ridwan, kalau tidak salah seakar kata dengan ridha yang biasa diartikan rela, sedangkan kata Ridwan ini sendiri juga merupakan nama dari salah satu malaikat yang bertugas menjaga pintu sorga, sebagaimana Malik adalah nama dari malaikat yang menjaga pintu neraka;
- Rais, bentuk lain dari kata ra’sun yang berari kepala, dan rais ini sendiri memiliki arti kepemimpinan atau pemimpin.
Dengan gugurnya mereka yang memiliki nama Arif Rahman Hakim dan Ikhwan Ridwan Rais, apakah juga sebagai suatu pertanda bahwa pada masa itu – masa pemerintahan Orde Lama – keenam sifat yang menempel pada nama kedua pahlawan tersebut memang telah hilang? Wa Allahu a’lam.
Kutak-katik tentang nama dan peristiwa, bahwa beberapa waktu yang lalu telah gagal dalam pemilihan presiden seorang yang bernama Muhammad Amin Rais, yang kalau diartikan seenaknya adalah “Pemimpin yang Terpercaya dan Terpuji”, karena hanya sedikit yang memilihnya. Dan saat ini kita memiliki Ketua Komisi Yudisial yang bernama Busjro Muqoddas, yang kalau diartikan seenak kita, juga berarti “Manusia yang Mensucikan”. Semoga harapan orang tua beliau ketika memberi nama dahulu, menjadi suatu kenyataan dengan tugasnya saat ini dalam membersihkan lembaga kehakiman di negara tercinta ini, yang saat ini dipimpin oleh Pembina Paguyuban 66 Bandung. Kita menaruh harapan yang besar.
Wa Allahu a’lam.
Saifuddien Sjaaf Maskoen
Saya menulisnya tujuh tahun silam
Disalin dari: https://ongkeksuling.wordpress.com
Foto: https://www.tribunnewswiki.com
Pahlawan Ampera dari Bukittinggi: Ahmad Karim
Like & Follow: Bukit Tinggi Salingka Agam Heritage
Rupanya memang begitulah kehidupan di dunia ini, sebagaimana digambarkan oleh Taufiq Ismail dalam sajaknya berikut –yang ditulisnya di tahun 1966 lalu,
Memang selalu demikian, Hadi
Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, HadiSetiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, HadiSetiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesianganMemang demikianlah halnya, Hadi
1966
Dan disaat peegerakan di tahun 1966 tersebut, dalam suatu hari telah gugur beberap orang, tetapi yang begitu di kenal adalah dua orang, yang saat ini kedua namanya dibadaikan sebagai nama jalan di Jakarta, yang satu di dalam Kampus UI Salemba [kalau tidak salah antara Fakultas Kedokteran dengan Fakultas Ekonomi, yang menuju ke Gudang Opium di jaman Belanda dulu] dan yang satunya di penggal pendek antara Tugu Tani dengan Medan Merdeka Barat.
Mereka adalah Arif Rahman Hakim dan Ikhwan Ridwan Rais, dua nama yang bagiku memiliki arti sendiri, entahlah mungkin saja saya sangat sentimentil dan mengada-ada dengan tafsiranku tersebut, atau mungkin anda boleh saja menganggapnya sebagai kegiatan gatuk-matuk [alias mencocok-cocokkan saja].
PAHLAWAN AMPERA
Beberapa hari atau minggu setelah gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan Tri Tuntutan Rakyat atau TRITURA dikumandangkan, dan dalam upaya memperjuangkan Amanat Penderitaan Rakyat atau AMPERA, mulailah terjadi insiden antara mahasiswa dengan pihak yang sedang berkuasa saat itu, yang mendapatkan julukan baru yaitu Orde Lama atau ORLA.
Orde Lama beserta para pendukungnya tentu saja kurang atau tidak senang dengan apa yang dilakukan oleh para mahasiswa, yang kemudian diikuti oleh adik-adiknya yaitu para pelajar dan kakak-kakaknya yaitu para sarjana serta masyarakat pada umumnya. Dan salah satu insiden, yang terjadi di bulan Februari 1966, yang kemudian menjadi sangat terkenal adalah yang terjadi di depan Istana [kami kurang begitu tahu apa Istana Merdeka atau Istana Negara], dimana salah seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia yang diberi nama oleh orang tuanya Arif Rahman Hakim tertembus peluru dan gugur pada hari yang sama. Juga peluru mengenai beberapa orang yang lain, salah satu diantaranya adalah seorang pelajar yang diberi nama oleh orang tuanya Ikhwan Ridwan Rais. Dimana nama Hakim dan Rais, adalah nama dari masing-masing orang tua sang Pahlawan Ampera tersebut.
Bagaimana persisnya kejadian tersebut, kami yang tinggal di Bandung kuranglah mengetahui dengan rinci, karena media massa dan sarana komunikasi antar penduduk pada empat puluh tahun silam tidaklah seperti sekarang ini. Mungkin mereka yang lebih mengetahui kejadian tersebut, akan dapat menceritakan lebih baik. Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa setiap kejadian atau peristiwa, apakah yang berdampak baik atau berdampak buruk, tidaklah lepas dari kekuatan Allah SWT, sebagaimana yang sering kita lafalkan dalam menyambut kalimat-kalimat hayya ‘alas shalat dan hayya ‘alal falah pada seruan adzan, yaitu la haula wa la quwwata illa bil Llah. Dan dibalik setiap peristiwa tentu ada hikmah tersendiri yang seringkali kita baru menyadarinya beberapa waktu kemudian.
Kita meyakini, bahwa bukanlah suatu kebetulan kalau yang tertembus peluru itu adalah Arif Rahman Hakim dan Ikhwan Ridwan Rais, karena di sekelilingnya, bahkan di depannya maupaun di belakangnya, banyak berdiri nama-nama lain yang dimiliki oleh mahasiswa dan pelajar serta masyarakat yang pada waktu itu berada di sana. Kalau kita melihat saat nama itu terjadi, apalagi pada saat nama orang tua mereka diberikan oleh kakek-neneknya, maka ada suatu rentang waktuyang panjang. Dan mulai dari sanalah bahwa ‘Kemauan Tuhan’ sudah digariskan oleh-Nya. Bukankah Dia adalah sepandai-pandainya perencana.
Keenam kata yang terangkai menjadi nama dua orang yang gugur pada hari itu, kesemuanya berasal dari kosa kata dalam bahasa Arab, yaitu bahasa yang digunakan Allah SWTt dalam menurunkan firman-Nya berupa Al-Quran. Dan masing-masing kata memiliki arti walaupun berdiri sendiri.
- Arif, yang sudah diserap menjadi kosa kata bahasa nasional kita, biasa juga dirangkai dengan kata bijaksana, menjadi arif bijaksana guna memperkuat arti arif itu sendiri, yang berarti mengenali dan mengetahui. Dimana dengan seseorang mengetahui dabn mengenali sesuatu kemudian dia akan menjadi bijaksana atau wise;
- Rahman, suatu kosakata yang sangat akrab dengan lidah kita sehari-hari, dan merupakan salah satu sifat dari Allah SWT, yang berarti kasih. Kita temukan sebagai bagian dari kalimat basmalah, dan banyak dipakai juga menjadi nama orang dengan awalan Abdul [hamba] menjadi Abdul Rahman;
- Hakim, juga merupakan kosakata yang sangat dikenal, dan dijadikan sebagai nama jabatan bagi mereka yang mendapat amanat untuk memutuskan suatu perkara, yaitu hakim. Seakar dengan kata ini, adalah mahkamah [tempat para hakim berkumpul], dan juga kata hukum itu sendiri.
- Ikhwan, adalah bentuk lain dari kata akhi yang berarti saudara, mungkin ikhwan berarti persaudaraan. Kata ini lazim digunakan oleh para aktivis rohis [istilah singkatan bagi mereka yang aktif dalam kegiatan kerohanian Islam di sekolah maupun kampus] guna menyebut sesama mereka, yaitu ikhwan.
- Ridwan, kalau tidak salah seakar kata dengan ridha yang biasa diartikan rela, sedangkan kata Ridwan ini sendiri juga merupakan nama dari salah satu malaikat yang bertugas menjaga pintu sorga, sebagaimana Malik adalah nama dari malaikat yang menjaga pintu neraka;
- Rais, bentuk lain dari kata ra’sun yang berari kepala, dan rais ini sendiri memiliki arti kepemimpinan atau pemimpin.
Dengan gugurnya mereka yang memiliki nama Arif Rahman Hakim dan Ikhwan Ridwan Rais, apakah juga sebagai suatu pertanda bahwa pada masa itu – masa pemerintahan Orde Lama – keenam sifat yang menempel pada nama kedua pahlawan tersebut memang telah hilang? Wa Allahu a’lam.
Kutak-katik tentang nama dan peristiwa, bahwa beberapa waktu yang lalu telah gagal dalam pemilihan presiden seorang yang bernama Muhammad Amin Rais, yang kalau diartikan seenaknya adalah “Pemimpin yang Terpercaya dan Terpuji”, karena hanya sedikit yang memilihnya. Dan saat ini kita memiliki Ketua Komisi Yudisial yang bernama Busjro Muqoddas, yang kalau diartikan seenak kita, juga berarti “Manusia yang Mensucikan”. Semoga harapan orang tua beliau ketika memberi nama dahulu, menjadi suatu kenyataan dengan tugasnya saat ini dalam membersihkan lembaga kehakiman di negara tercinta ini, yang saat ini dipimpin oleh Pembina Paguyuban 66 Bandung. Kita menaruh harapan yang besar.
Wa Allahu a’lam.
Saifuddien Sjaaf Maskoen
Saya menulisnya tujuh tahun silam
Disalin dari: https://ongkeksuling.wordpress.com
Foto: https://www.tribunnewswiki.com
Pahlawan Ampera dari Bukittinggi: Ahmad Karim
Like & Follow: Bukit Tinggi Salingka Agam Heritage