Catatan dari Agam van Minangkabau:
Untuk kesekian kalinya kami meminta kearifan dan kebijaksanaan pembaca dalam memahami setiap kalimat dalam tulisan ini. Bekali pengetahuan pembaca dengan sejarah dan adat Minangkabau karena penulis sangat Belandasentris dalam penulisannya.
Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
________________________
Kota
Padang sejak 1834 adalah ibukota Province Sumatra’s Westkust. Secara bertahap Kota
Padang juga menjadi ibukota Residentie Padangsche Benelanden [Padang Pesisir], Residentie
Padangsche Bovenlanden [Padang Darat] dan Residentie Tapenoeli [Tapsel Sekarang]. Ini dengan sendirinya Kota
Padang akan semakin tumbuh dan berkembang pesat. Ekonomi kopi menjadi ‘garansi’
pembiayaan pembangunan di Province Sumatra’s Westkust. Denyut nadi pembangunan wilayah
Pantai Barat Sumatra berpusat di Kota Padang.
Gudang kopi di Kota Padang (foto 1860) |
Koffiecultuur
yang dimulai di Padangsche Bovenlanden, perhatian pemerintah pusat (Batavia)
semakin intens sejak 1834 (dengan meningkatkan status Sumatra’s Westkust dari residentie
menjadi province) yang dengan sendirinya mengangkat seorang gubernur (kali
pertama). Penerapan koffiestelsel mengikuti program sejenis yang telah
berhasil diterapkan di Preanger (1830). Peningkatan permintaan kopi dunia menjadi
salah satu sebab mengapa Pemerintah Hindia Belanda sangat bernafsu dari West
Java untuk melakukan ekspansi ke Sumatra’s Westkust. Pemerintah Hindia Belanda
telah banyak kehilangan resources akibat Perang Djawa dan mandeknya ekonomi
gula. Singkat kata pemerintah butuh recovery dan membutuhkan sumber pendapatan
baru. Meski ada halangan ketika melirik Sumatra’s Westkust (Padri), itu tidak
menjadi soal lagi. Hal ini karena Perang Jawa sudah mulai mereda. Kekuatan
militer di Jawa sudah dapat dialihkan ke Sumatra’s Westkust untuk membuka ruang
pengembangan ekonomi ekonomi kopi.[1]
Pada
saat mulai ekspansi besar-besaran di Sumatra;s Westkust, dengan menempatkan
seorang gubernur di Kota Padang, situasi dan kondisi Kota Padang sudah sejak
lama tidak mengalami perubahan yang berarti. Kota Padang [Padang Kolonial] hanya berpusat di
sekitar muara sungai Batang Arau. Loji yang telah dibangun sejak dua abad
sebelumnya (era VOC) hanya itu-itu saja. Pertambahan bangunan, rumah, kantor,
militer dan situs lainnya hanya berada disepanjang sungai Batang Arau.
Area kota secara
teknis hanya berada diantara sungai Batang Arau dengan kanal yang dibangun di
sisi belakang. Kanal (pertama/lama) ini dibangun untuk dua tujuan, yakni sebagai
drainase untuk upaya pengeringan rawa-rawa dan hutan-hutan belantara yang masih
sangat basah dan kanal pertahanan untuk barier terhadap serangan musuh dari
belakang yang sekaligus kanal ini memisahkan area Eropa/Belanda dengan penduduk
pribumi. Dalam perkembangan berikutnya, ketika kota meluas kearah hulu sungai
Batang Arau dibangun lagi kanal yang menyodet sungai Batang Arau di hulu dan
mengalirkannnya kembali ke sungai Batang Arau di hilirnya. Pembuatan kanal ini
lebih pada upaya drainasi dan sekaligus memisahkan area Eropa/Belanda di barat
kanal dan lingkungan pemukiman penduduk pribumi yang terus bertambah (migrasi)
yang kemudian dikenal sebagai area/kampong Sebrang Padang [Subarang Padang]. Kelak kanal besar dibangun
lagi untuk fungsi drainase area kota dan mengurangi dampak banjir di pelabuhan
Muaro yang menyodet air sungai Batang Arau di hulu dengan menarik garis kanal
ke utara dan kemudian dibelokkan ke barat menuju pantai. Kanal ini disebut
Kanal Baroe.
Saat
pembentukan province Sumatra’s Westkust ini (yang ditetapkan beribukota di Kota
Padang), tata ruang kota yang baru dimulai. Pengembangan (perluasan) tata ruang
kota yang baru Kota Padang sesungguhnya tidak mudah, karena di sana sini
terdapat rawa-rawa dan hutan-hutan belantara yang sangat basah. Lanskap Kota
Padang, kurang lebih sama ketika perluasan tata ruang kota dimulai di Batavia,
Semarang dan Soerabaja. Meski ada rintangan alam, Belanda (VOC dan [kemudian] Pemerintah
Hindia Belanda) sudah tentu sangat terbiasa dan berpangalaman soal urusan reklamasi
lahan dan kanalisasi (di Nederland).
Pengembangan
tata ruang kota di Kota Padang relatif bersamaan waktunya dengan pengembangan
tata ruang kota di Kota Bandoeng (utara). Perbedaannya, di Kota Bandoeng dibuat
kanal dengan menyodet sungai Tjikapoendoeng di hulu, bukan untuk drainase
seperti di Kota Padang, tetapi justru untuk mengalirkan air menuju area
permukiman Eropa/Belanda untuk meningkatkan kapasitas air tanah untuk sumber
air minum dan juga untuk kebutuhan irigasi pengembangan lahan pertanian baru.
Kanal Bandoeng ini juga dimaksudkan untuk mengurangi dampak banjir sungai
Tjikapoendoeng di hilir Kota Bandoeng (selatan) karena areanya memang lebih
rendah yang menjadi pengembangan area pemukiman penduduk pribumi.
Awal tata ruang Kota Padang (1834) |
Langkah
pertama dalam perluasan kota, rumah gubernur tidak dibangun di pusat kota
(sepanjang sungai Batang Arau) tetapi mengambil tempat dipinggir kota, jauh
dari keramaian. Pembangunan rumah gubernur ini bersamaan dengan pembangunan
garnisun militer yang besar tidak jauh dari rumah gubernur. Selama ini di Kota
Padang (lama) hanya terdapat tangsi militer, suatu tangsi yang sudah ada sejak
era VOC. Antara rumah gubernur dengan garnisun militer dibangun kantin
(militer). Tiga situs (rumah gubernur, garnisun dan kantin) ini merupakan
bangunan yang menandai permulaan perluasan kota (sebagai penetapan tata ruang
kota baru). Untuk menghubungkan rumah gubernur dengan pusat kota di sisi sungai
Batang Arau dibuat jalan yang pada sisi kiri dan kanan jalan ditanam pohon jati
yang didatangkan dari Jawa. Jalan ini kemudian di sebut Djati laan (kini Jalan
Jati).
Rumah Gubernur (1870?) |
Pasca
perubahan geopolitik (setelah Perang Padri di Bondjol), perubahan struktur
pemerintahan di Province Sumatra’s Westkust dan pembukaan (termasuk
peningkatan) akses dari dan ke Kota Padang, secara drastis Kota Padang tumbuh
dan berkembang bagaikan deret geometri. Aliran kopi dari Padangsch Bovenlanden
secara perlahan-lahan dan kemudian dengan kecepatan yang tinggi menuju Kota
Padang. Loge yang sudah dibangun sejak era VOC secara drastic dari sepi menjadi
sangat ramai. Loji berubah menjadi gudang kopi besar (koffiepaarhuizen). Perputaran
barang bongkar muat komodi impor dan ekspor di pelabuhan Moeara semakin sibuk. Nilai
tukar penduduk di pedalaman karena kopi makin moncer. Keadaan inilah yang
diharapkan Pemerintah Hindia Belanda ketika Batavia memulai ekspansi (dalam
arti sesungguhnya [ekonomi]) tahun 1834 ke Sumatra’s Westkust.
Era perdagangan
baru di Kota Padang dimulai. Perusahaan perusahaan perdagangan (besar) di
Batavia mulai membuka cabang di Kota Padang. Perusahaan pelayaran (stoomboat), barang-barang
consumer (Krijgsman & Co), perusahaan perdagangan kopi (Dammles & Co,
JF Leeuwen & Co, Poevis & Co), perbankan (Java Bank) dan lainnya
menyusul seperti van Hoten en Steffan & Co dan Diemont en Co.
Perusahaan-perusahaan ini menjadi perusahaan yang sudah lebih awal ada yang berafiliasi
pemerintah (NHM=Nederlands Handel Maatshappij) yang investasinya didominasi
keluarga kerajaan di Nederland.
Tonase
kapal yang berlabuh di pelaboeahan Moeara lambat laun semakin besar, sungai
Batang Arau semakin tampak dangkal. Untuk menggiring kapal-kapal bertonase
berat yang semakin ke tengah mulai diarahkan lebih dekat ke sisi sungai dengan
jalan mulai mengeruk sungai Batang Arau. Jumlah pejabat baru semakin banyak
sebagai dampak pemekaran wilayah (hingga ke Residentie Tapanoeli di Singkel)
dan sebagai aktivitas pembangunan yang semakin beragam. Peningkatan permintaan perumahan
semakin meningkat yang pada gilirannya kebutuhan lahan perumahan semakin meluas
di Kota Padang. Pembukaan jalan-jalan baru seiring dengan tata ruang kota yang
baru semakin banyak. Kota Padang mulai terlihat tanda-tanda sebagai ‘kota
metropolitan’ pertama di luar Jawa.
Bersamaan dengan
peningkatan investor Eropa/Belanda dari Batavia ke Padang, di lini kedua juga
muncul para pedagang (investor Cina) juga dari Batavia. Pedagang-pedagang
kecil cina di Kota Padang (sejak era VOC) mulai mendapat tekanan dari
pengusaha-pengusaha besar Cina. Para pedagang-pedagang pribumi juga mulai
bermunculan sebagai dampak booming kopi
di pedalaman. Pembukaan kampong-kampung baru semakin terintegrasi dengan
perluasan area pemukiman orang-orang Eropa/Belanda. Tata pemerintahan kota juga
mulai dilakukan, fungsi penghoeloe di dalam kota dihilangkan dan digantikan
dengan kepala kampong (komponghoofd) dan pengangkatan Kapiten China dilakukan untuk
mengatur komunitas Cina.
Kota
Padang sebagai ‘kota metropolitan’ yang baru juga terlihat dari munculnnya
pembangunan hotel untuk menggantikan fungsi pesanggrahan yang ada selama ini.
Hotel pertama yang dibangun adalah hotel yang dibangun tidak jauh dari pantai.
Hotel ini disebut Hotel Sumatra dan jalan yang berada di depan hotel lambat
laun menjadi ramai dengan berdirinya sejumlah bangunan pemerintah dan bangunan
swasta. Jalan ini kelak dikenal sebagai Jalan Samudra.
Lelang Kopi dan
Mr.
WA. Hennij
Dalam
perumbuhan dan perkembangannya di Province Sumatra’s Westkust selalu muncul
tokoh penting pada setiap era. Tokoh pertama dalam pembangunan ekonomi di Province
Sumatra’s Westkust adalah Gubernur Kolonel AV Michiels (sejak 1834-1850).[2]
Kemudian muncul tokoh pembaharu di Residentie Tapanoeli (1845-1857), Resident
Majoor A. van der Hart. Di level asisten residen muncul tokoh penting, Asisten
Residen afdeeling Mandailing en Ankola (1848-1858). Dan yang terakhir adalah seorang
sarjana yang memulai karir sebagai controleur di onderafdeeling Angkola (1859),
Mr. WA. Hennij. Sebagaimana kita lihat nanti, Mr. WA. Hennij akan meraih
kedudukan tinggi di Province Sumatra’s Westkust sebagai kepala sekretariat
Gubernus (kini Sekda). Kesuksesannya dalam koffiecultuur di Angkola mencapai
puncak karirnya sebagai sekda di Kota Padang saat booming kopi di Province
Sumatra’s Westkust.
***
Afdeeling
Mandailing en Angkola terdiri dari empat onderafdeeling (Groot Mandailing,
Klein Mandailing, Oeloe en Pakantan dan Angkola). Sentra koffiecultuur sendiri
sesungguhnya hanya terdapat di onderfadeling Oeloe en Pakantan dan
onderafdeeling Angkola. Dari dua onderafdeeling inilah produksi kopi secara
besar-besaran mengalir ke pelabuhan Natal. Kopi asal dua sentra ini di pusat
lelang di Padang diberi label yang terpisah: kopi Mandailing dan kopi Angkola.
Sejak 1843 di
Angkola telah bekerja dengan baik dalam koffiecultuur WF Godin sebagai
controleur. Pada tahun 1846 Godin digantikan oleh LB van Planen Patel, lalu
pada tahun 1848 Patel digantikan KF Stijman, lalu tahun 1851 datang AJF Hamers
(berakhir 1855). Masing-masing controleur ini dapat diterima penduduk/pemimpin
di Angkola. Akibatnya produksi kopi Angkola tidak efisien lagi disalurkan via
Natal (terlalu jauh).
AJF
Hamers yang menjadi controleur Angkola selama lima tahun melihat situasi dan
kondisi dengan cermat lalu mulai merintis membuka jalan antara Padang Sidempuan
dengan Loemoet (pelabuhan sungai). Pada saat AP Godon cuti ke Belanda tahun
1857 (setelah lebih dari delapan tahun menjadi asisten Residen Mandailing en
Ankola) di Angkola ditempat seorang controleur yang visioner, seorang sarjana
bernama WA Hennij.
Mr.
WA Hennij mengikuti program yang telah dijalankan oleh Hamers. WA Hennij lebih
meningkatkan kapasitas (produktivitas kopi) dan efisiensi pengakutan (low
cost).
Java-bode:
nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-01-1859:
‘berdasar laporan W.A. Henny, Controleur di Ankola en Sipirok, bahwa, di
afdeeling Mandheling en Ankola, dalam koffijculture (tanam paksa dibiayai
pemerintah), hasil penanaman kopi adalah sebagai berikut: Pada tahun 1853, satu
pikol kopi dihasilkan dari 161 pohon, 1854 (157), 1655 (93), 1856 (159), 1857
(110)’
Karenanya
WA Hennij sangat berhasil dalam perluasan areal kopi di Angkola, tidak hanya di
Angkola Djae dan Angkola Doeloe tetapi juga ke Angkola Dolok (Sipirok) dan juga
sangat berhasil dalam peningkatan mutu jalan/jembatan antara Padang
Sidempuan-Loemoet. Semasa Hennij menjadi controleur Angkola, juga dibangun
gudang besar di Djaga-Djaga (pelabuhan laut) yang dapat meningkatkan
volume/tonase kapal untuk mengangkut kopi ke Padang.
Akibatnya, Natal
tidak sepenuhnya menjadi pelabuhan dari afd. Mandailing en Angkola lagi, karena
dalam perkembangannya tidak semua arus produksi dan orang melalui pelabuhan
Natal. Penduduk dan hasil-hasil produksi dari Angkola sudah sejak lama mengalir
melalui Lumut tetapi semakin optimal dengan tersedianya gudang/pelabuhan di
Djaga-Djaga.
Pada
saat era WA Hennij inilah ekonomi Angkola mampu mengimbangi ekonomi Mandailing.
Volume perdagangan kopi Angkola telah meningkat pesat dan harganya juga telah
meningkat juga.
Padangsch
nieuws-en advertentie-blad, 24-03-1860 (iklan, pengumuman pemerintah di
Padang): ‘rekapitulasi hasil pembelian
dan penjualan kopi pemerintah pada penutupan bulan Maret 1860. Jumlah yang
dibeli sama dengan jumlah yang dijual ke eksportir yakni sebanyak 45.000
picols. Dengan satuan unit (lot) 200 picols, harga jual rata-rata sebesar f
34.22 per picol. Harga rata-rata kopi Mandheling tertinggi, disusul kopi
Ankola. Harga tertinggi kopi Mandheling mencapai f 35.05 per picol, sementara
harga kopi tertinggi Ankola sebesar f 34.85 per picol’.
Faktor
penting peningkatan ekonomi Angkola karena akses jalan yang telah membaik dari
Padang Sidempuan ke Loemoet. Juga karena factor perluasan kebun kopi ke Sipirok
telah mulai menghasilkan.
Java-bode:
nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-06-1860:
‘Asisten Residen Mandheling en Ankola, B. Zellner dipindahkan ke Lima Poeloeh
Kotta. Untuk Asisten Residen Mandheling en Ankola diangkat Controleur kelas-1,
W.A. Henny, yang sebelumnya menjabat Controleur di Ankola’
Atas
prestasi WA Hennij dalam ekstensifikasi dan intensifikasi kopi di Angkola,
posisinya dinaikkan dari jabatan controleur (di onderafd. Angkola) menjadi
asisten residen (di afdeeling Mandailing en Ankola). Dalam perkembangannya, WA
Hennij ditarik ke Padang, Ibukota Province Sumatra’s Westkust menjadi
sekretaris Gubernur (kini Sekda).
De Oostpost:
letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws-en advertentieblad,
10-12-1860: ‘Ditunjuk sebagai Sekretaris di Governemen Sumatra’s Westkust,
Adsistent Resident dari Mandheling en Ankola, Mr. WA. Henny dengan pangkat
setingkat asistent-resident. Untuk Adsislent Residen Mandheling en Ankola
(Sumatra’s Westkust) digantikan oleh P. Severijn yang sebelumnya menjabat
sekretaris van Gouvernement Sumatra’s Westkust’.
Ketika
akses jalan Padang Sidempuan-Lomoet telah ditingkatkan untuk pengakutan kopi,
pemerintah pusat/provinsi memandang perlu untuk menghubungkan Padang (ibukota
provinsi Sumatra’s Westkust) dengan Sibolga (ibukota Residentie Tapanoeli)
melalui moda transfortasi darat. Lalu dilakukan peningkatan mutu jalan/jembatan
di tiga etafe: Fort de Kock-Panjaboengan, Panjaboengan-Padang Sidempuan dan
Padang Sidempuan-Sibolga. Pada etafe Padang Sidempuan-Sibolga, jalan darat
diperluas antara Loemoet-Sibolga. Sebab pelabuhan Sibolga sudah ditingkatkan
dan arus perdagangan kopi akan langsung menuju Sibolga. Konsekuensinya, jalan
akses Panjaboengan/Kotanopan menuju Natal semakin sepi. Hal ini karena faktanya
arus kopi dari Mandailing telah mengalir ke tiga arah: selain ke Natal, juga
telah mengarah ke Fort de Kock dan ke Padang Sidempuan.
Sejak
WA. Hennij menjadi sekda provinsi, perhatian pemerintah semakin intensif ke
Residentie Tapanoeli khususnya di afdeeling Mandailing en Angkola. Semakin
membaiknya akses darat dari Padang-Sibolga via Padang Sidempuan, jumlah para
wisatawan juga semakin meningkat. Hal lain adalah di satu sisi produksi kopi di
onderfadeeling Klein Mandailing dan Oeloe en Pakantan sudah mengalir melalui
darat ke Fort de Kock dan di sisi lain produksi kopi dari Angkola (Djae,
Djoeloe dan Dolok) menuju Sibolga.
Posisi Padang
Sidempuan menjadi strategis. Padang Sidempuan menjadi tumbuh pesat karena tidak
hanya pusat transit perdagangan kopi (gudang besar) juga penduduk Mandailing
sudah mulai banyak yang melakukan transaksi ke Padang Sidempuan (menjual produk
ekspor dan membeli produk impor). Pada tahun 1870, Padang Sidempoean menjadi
ibukota afdeeling Mandailing dan Angkola (dipindah dari Panjaboengan). Pada
tahun 1875 bahkan telah menjadi ibukota Residentie Tapanoelie. Pada saat Padang
Sidempuan menjadi ibukota residentie, kota Padang Sidempuan sudah jauh lebih
besar jika dibandingkan dengan Fort de Kock (ibukota Residentie Padangsche
Beovenlanden).
Natal
lambat laun menjadi sepi. Natal yang sebelumnya pintu gerbang afdeeling
Mandailing en Angkola seakan berbalik menjadi hanya sekadar pintu belakang.
Natal seakan menjadi terpencil kembali, sebagaimana pada tahun 1845. Saat itu
Natal tidak menjadi bagian dari Residentie Tapanoeli tetapi bagian daerah
paling luar dari Residentie Padangsche Bovenlanden (ibukota di Fort de Kock).
Kota Padang Menjadi
Kota Metropolitan
Dalam
masa-masa jabatan WA. Hennij sebagai Sekda Province Sumatra’s Westkust, Kota
Padang dalam situasi puncak kejayaan. Untuk kali pertama muncul surat kabar di
Kota Padang. Kota Padang benar-benar kota pemerintahan dan kota perdagangan.
Akan tetapi tidak sebagai kota pendidikan. Pusat pendidikan justru berkembang
di pedalaman, di Fort de Kock (afdeling Agam) dan di Tanobato (afdeeling
Mandailing en Angkola).
De Kiffijveilingen te Padang (HM Szoon, 1859 |
Puncak kejayaan Kota Padang (dimana WA
Hennij) bermula ketika tahun 1846 di Kota Padang dimulai lelang kopi. Sejak itu
volume kopi di Sumatra’s Westkust terus meninggkat, harganya juga semakin
meninggi. Era baru perdagangan kopi di Sumatra’s Westkust dimulai sejak
dimulainya lelang kopi tersebut juga dipicu oleh mulai mengalirnya kopi
Mandailing dan Angkola ke pasar lelang Kota Padang (Algemeen Handelsblad,
25-06-1849).
Pada saat masuknya kopi Mandailing dan Angkola
ini nilai perdaganagn kopi di Kota Padang meningkat signifikan (lihat De Kiffijveilingen te Padang door Hendrik
Muller Szoon, Rotterdam 2 Januarij 1859). Porsi jumlah
yang diekspor ke Eropa juga meningkat dari waktu ke waktu dari 35 persen di
tahun 1846 menjadi 65 persen di tahun 1856. Peningkatan volume dan nilai ekspor
kopi Sumatra’s Westkust semakin menguat ketika harga kopi Mandailing dan
Angkola. Sejak tahun 1857 harga kopi Mandailing dan Angkola telah menjadi kopi
harga tertinggi dunia (lihat Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 10-04-1858)
Java-bode, 10-04-1858 |
Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-,
nieuws-en advertentieblad, 02-06-1855: ‘Hadir dalam lelang membawa 30.000
picols koffiij bahwa di luar diharapkan harga tinggi yang dijual. yang untuk
jenis baik Mandheling dan Bavenlanden, rata-rata NLG 25.30 dan f 25.50 f. Di
luar 10.000 pic. Kopi ini dibeli oleh pabrik, sisanya tampaknya sebagian besar
dimaksudkan untuk dikirim ke Amerika. Dari lelang sebelumnya 6850 picols kopi,
dibeli oleh Louise Jacoba Johanna, yang tiga kapal-3 ini berangkat dari sini
dibongkar ke Belanda’.
Akibat dari peningkatan volume dan harga
tersebut terjadi hal yang menggembirakan. Pertama, tingkat kemakmuran penduduk
meningkat pesat di Mandailing dan Angkola. Memang kontribusi kopi Mandailing an
Angkola hanya sekitar seperempat dari kopi Padangsche Bovenlanden, namun karena
jumlah penduduk Mandailing dan Angkola yang jauh lebih sedikit dibanding
Padangsche Bovenlanden maka tingkat pendapatan perkapita dari sumber kopi
menjadi lebih tinggi di Mandailing dan Angkola. Untuk sekadar gambaran, pada tahun 1870 jumlah
penduduk Padangsch Bovenlanden sebanyak 599.792 jiwa (lihat Laporan WA Hennij, De
Secretaris bij het Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid). Sementara
penduduk Mandailing en Angkola hanya beberapa puluh ribu jiwa. Sentra produksi
kopi di Padangsche Bovenlanden adalah:[3]
- Fort de Koek [Bukit Tinggi],
- Basso [Baso],
- Manindjoe,
- Matoea,
- Palembaijan [Palembayan],
- Pisang,
- Fort van der Capellen [Batu Sangkar],
- Singkarah,
- Djambah,
- Sidjoendjoeng,
- Tandjong Ampalo,
- Raurau [Rao Rao],
- Boea [Buo},
- Solok,
- Soepajang,
- Alahan pandjang,
- Lolo,
- Padang pandjang,
- Batoe baragoeng,
- Paija kombo [Payakumbuh],
- Goegoe [Guguak],
- Siloedjoe,
- Sarilamah [Sarilamak],
- Halaban,
- Poear datar dan
- Soeliki.
Sedangkan sentra produksi kopi di Angkola dan
Mandailing adalah Oloe en Pakantan, Klein Mandailing, Angkola Djae, Angkola Djoeloe
dan Angkola Dollok (Sipirok).
De Kiffijveilingen te Padang (HM Szoon, 1859 |
Profil kemakmuran di Mandailing dan Angkola ini mulai
tampak sejak tahun 1854 ketika dua siswa dari Mandailing dan Angkola dikirim
orang tua mereka sekolah kedokteran di Batavia. Dua siswa berikutnya menyusul
tahun 1856 dan pada tahun 1857 satu siswa dikirim bersekolah ke Belanda.
Monumen AV Michiels di Kota Padang (foto 1910) |
Kedua, tingkat surplus di Sumatra’s Westkust dari
ekonomi kopi juga meningkat pesat. Ini menandakan tingkat ekonomi di Sumatra’s
Westkust sudah mampu melampaui tingkat ekonomi di Jawa khususnya di West Java
(sesame penghasil kopi). Implikasinya, surplus tersebut membuat pemerintah
berani mendirikan sekolah guru di Fort de Kock tahun 1856 (sekolah guru kedua
setelah di Soerakarta tahun 1852). Alokasi surplus ini juga ditanamkan untuk
peningkatan mutu jalan dan jembatan jalan poros Padang-Sibolga melalui Fort de
Kock, Kotanopan dan Padang Sidempuan (yang dimulai tahun 1860).
Implikasinya bagi Kota Padang akibat perkembangan
regional di Sumatra’s Westkust khususnya di Padangsche Boevenlanden dan
Mandailing dan Angkola telah ikut menikmati kemakmuran. Bangunan-bangunan
pemerintah di Kota Padang semakin banyak yang dibangun. Juga pengembangan
pasar-pasar, pembukaan jalan baru dan perbaikan mutu jalan di Kota. Pelabuhan
dikeruk untuk meningkatkan pelayanan pelayaran. Tentu saja pemerintah di Kota
Padang (Asisten Residen) membagi perhatian kepada alm. AV Michiels, gubernur
pertama Sumatra’s Westkust sejak 1834-1859 dengan membangun monument fenomenal,
monument pertama di Hindia Belanda. Monumen ini sangat besar dan sangat megah
dan menjadi icon baru Kota Padang.[4]
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya
untuk lebih menekankan saja.
________________________
Catatan kaki : (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Pengalihan militer dari Jawa ke Sumatera dilakukan setelah Perang Diponegoro berhasil dimenangkan dengan kelicikan. Tujuan mobilisasi kekuatan militer ini ialah untuk memenangkan Perang Paderi dengan cara yang sama (kelicikan).
[2] Lebih tepatnya Eksekutor Paderi yang digerakkan dari Batavia oleh Van den Bosch. Michiels adalah sosok militer yang kejam selama Paderi.
[3] Orang Minangkabau sangat membenci Tanam Paksa Kopi. Mereka dipaksa untuk menanam sebagian besar tanah mereka, dikenakan denda kalau menolak atau gagal panen, kemudian dipaksa menjual dengan harga murah ke Pemerintah Kolonial. Banyak diantara produksi kopi dari Minangkabau diselundupkan ke Pantai Timur untuk diperdagangkan di Pulau Pinang yang berada di bawah Jajahan Inggris. Inggris membeli kopi dengan harga jauh lebih tinggi dari Belanda. Itulah sebabnya produksi kopi di Minangkabau lebih rendah dari Tapanuli dan kemudian diputuskan untuk dihentikan dan ditukar dengan kebijakan pajak (belasting) pada tahun 1908.
[4] Monumen megah tersebut terkenal dengan nama Tugu Michiles yang terletak di Plein van Rome. Pada masa revolusi kemerdekaan, monumen tersebut dihancurkan oleh rakyat Minangkabau dan lapangan tempat monumen itu berdiri ditukar namanya dengan nama orang yang telah dizhaliminya Tuanku Imam Bonjol.