Catatan: oleh Agam van Minangkabau
Sejak tulisan ke-6 (enam) sebenarnya sudah sangat terasa dan pada tulisan ke-7 (tujuh) semain terasa;
1. Penulisan yang bersifat Belandasentris
2. Penulisan yang berorientasi Tapanuli, padahal judul besarnya 'Kota Padang'
Terkenang kembali dengan Mangaraja Onggang Parlindungan yang membuat buku 'Tuanku Rao' tampanya si penulis seri tulisan ini juga berasal dari tempat yang sama.
Kami sarankan para pembaca sangat berhati-hati, arif, serta bijaksana dalam membaca setiap kalimat dalam tulisan ini. Hendaknya para pembaca sekalian sudah dibekali dengan pengetahuan adat, budaya, serta terutama sekali Sejarah Minangkabau. Hal ini karena banyak rangkaian narasi yang bertentangan dengan sejarah sebenarnya. Salah satunya ialah mengenai Sifat Kolonialisme Belanda yang eksploitatif pada tulisan ini menjadi 'konstruktif'.
Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
_____________________________
Gudang Kopi (koffiepkhuizen) di Kota Padang, 1867 |
Dampaknya, penduduk diberi fasilitas pendidikan, dengan
mendirikan sekolah-sekolah. Penduduk juga semakin mudah mendapat akses
pelayanan kesehatan. Infrstruktur jalan dan jembatan dibangun. Pembangunan
infrastruktur yang semula hanya ruas Kota Padang, Fort de Kock dan Lima poeloeh
Kota telah diperluas ke Tapanoeli hingga ke Sibolga melalui Padang Sidempuan.
Era baru moda transportasi darat dimulai. Itu semua karena ekonomi kopi. Kota
Padang dengan sendirinya lebih cepat tumbuh dan berkembang.[2]
Introduksi Kopi
Ekonomi gula di Jawa telah mulai
terseok-seok. Introduksi kopi dimulai tahun 17??. Keberhasilan koffiecultuur di
Preanger telah meluas hingga ke Semarang dan sekitarnya. Ekspansi kofficultuur terjadi
pasca Perang Jawa (yang dipimpin Pangeran Diponegoro). Para Bupati di Preanger
semakin giat, karena hubungan psikologis antara Preanger dan Jawa telah
terputus. Para bupati mulai leluasa memimpin penduduknya untuk menggiatkan
kembali kofficultuur.
Introduksi kopi sesungguhnya sudah dimulai dari era VOC.
Namun sempat terabaikan ketika terjadi pendudukan Perancis atas Batavia.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda menggantikan VOC, coba mengeksploitasi kopi
yang sudah menghasilkan di Preanger dengan munculnya pembangunan jalan pos
trans-Jawa (via Buintenzorg, Tjiandjoer, Bandoeng dan Sumedang). Namun
terkendala lagi ketika terjadi pendudukan Inggris (1811). Justru yang
memanfaatkan pertama kali kopi Preanger (investasi VOC) adalah Inggris. Namun
Inggris tidak lama dan berakhir 1816. Pemerintah Hindia Belanda mulai eksploitasi
kopi Preanger 1818.
Seperti diketahui pada tahun 1819 Kota Padang
dikembalikan oleh Inggris kepada Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1820
introduksi koffiecultuur dimulai di Padangsche. Ketika introduksi kofficultuur
dimulai di Mandailing dan Angkola tahun 1840, produksi kopi dari Padangsche
Bovenlanden sudah lama menghasilkan dan produknya mengalir ke Kota Padang.
Inilah awal perekonomian kopi di Pantai Barat Sumatra dengan pusat perdagangan
utama di Kota Padang.
Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 16-07-1633 |
Munculnya komoditi primadona baru, kopi secara perlahan
telah menggantikan komoditi sebelumnya seperti rempah-rempah. Komoditi
primadona ini berganti setiap era. Ketika VOC memulai koloni di Batavia (1619)
dalam daftar manifest kapal-kapal VOC belum teridentifikasi kopi dan gula. Yang
teridentifikasi adalah lada, puli, kamper, kemenyan dan emas, ritan, jahe (lihat
antara lain surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 16-07-1633).
Produk ini merupakan gabungan dari hasil perdagangan kecil (antar pulau) di
Hindia Timur yang berasal dari Maluku, Sulawesi, Sumatra. Produk melalui
Batavia ke Belanda juga ada yang didatangkan dari Siam, Tiongkok (porselin) dan
produk tembaga dari Jepang Kemudian
dari komoditi kuno ini bergeser menjadi komoditi gula dan kini begeser lagi menjadi
komoditi kopi (kelak bergeser lagi menjadi tembakau, kina, teh, karet, kelapa
sawit dan seterusnya)..
Keberhasilan koffiecultuur di Preanger
menjadi inspirasi bagi Belanda untuk mengembangkannya di Sumatra. Namun perlu
dicatat, kopi di Pantai Barat bukanlah penyebaran kopi dari Jawa (introduksi
Belanda). Kopi di Pantai Barat tampaknya sudah menyebar yang diduga dilakukan
oleh Inggris. Sebagaimana diketahui, VOC pernah berkuasa di Malabar dan
kemudian dilanjutkan oleh Inggris. Baik kopi di Jawa maupun kopi di Pantai
Barat Sumatra diduga menyebar dari pantai Malabar di India.
Introduksi Pendidikan dan Pengembangan Kesehatan
Tidak lama setelah introduksi koffiecultuur
dimulai tahu 1820 di Padangsche Bovenlanden, introduksi pendidikan (modern) juga
dimulai. Pada tahun 1822, K. Spruit ditempakan di Kota Padang sebagai guru yang
pertama. Guru-guru terus ditambah dari waktu ke waktu. Oleh karena luasnya,
wilayah Pantai Barat Sumatra guru-guru Eropa/Belanda tidak cukup, lalu
digantikan dengan guru-guru pribumi yang merupakan hasil pelatihan guru-guru di
Soerakarta tahun 1851. Guru-guru Eropa/Belanda menjadi guru Eropa di Kota
Padang (seiring dengan semakin banyaknya orang Eropa/Belanda yang tinggal
dengan keluarga). Untuk guru-guru pribumi hasil pelatihan dari Soerakarta
disebar ke beberapa tempat seperti di kota-kota pantai, di pedalaman Padangsch
Bovenlanden dan di Mandailing dan Angkola.
Ekonomi kopi yang terus tumbuh dan berkembang
(intensifikasi dan ekstensifikasi) guru-guru kiriman dari Jawa tidak cukup,
lalu pada tahun 1856 didirikan sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock.
Pilihan lokasi di Fort de Kock diharapkan agar sekolah guru ini mudah
mendapatkan calon siswa dari Padangsch Benelanden, Padangsche Bovenlanden dan
Tapanoeli, dan jika setelah tamat kembali ke kampong halaman masing-masing.
Pada tahun 1854 dua siswa dari Mandailing dan
Angkola diproyeksikan menjadi dokter. Kedua siswa tersebut yang bernama Si Asta
dan Si Angan, karena kecakapan dan kemampuan orang tua membiayai lalu
difasilitas pemerintah untuk sekolah kedokteran di Batavia. Sekolah kedokteran
yang baru dibuka tahun 1850 ini, kehadiran Si Asta dan Si Angan merupakan dua
siswa pertama yang diterima dari luar Jawa.
Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en
advertentieblad, 18-01-1855: ‘Batavia,
25 November 1854. Satu permintaan oleh kepala Mandheling dan Angkola
(Batta-landen) dan didukung oleh Gubernur Sumatra’s Westkust, beberapa bulan
yang lalu, ditetapkan oleh pemerintah, bahwa kedua anak kepala suku asli terkemuka,
yang telah menerima pendidikan dasar dibawa untuk akun negara ke Batavia dan
akan mengikuti kedokteran, bedah dan kebidanan. Para pemuda yang disebut Si
Asta dan Si Angan di rumah sakit militer di sana dan kedua murid ini baru saja
tiba dari (kota) Padang disini, dan akan disertakan di pelatihan perguruan
tinggi (kweekschool) dokter asli.’
Pada tahun 1856 (bersamaan dengan dibukanya
Kweekschool Fort de Kock) dua siswa asal Mandailing dan Angkola diterima lagi
di sekolah kedokteran di Batavia (kemudian disebut Docter Djawa School), Si
Dorie dan Si Napang. Sementara itu, setelah selesai kuliah Si Asta dan Si Angan
lalu ditempatkan sebagai dokter Si Asta di Mandailing dan Si Angan di Angkola.
Sedangkan dokter baru berikutnya, setelah lulus kuliah Si Dorie ditempatkan di
Mandailing untuk membantu Dr. Asta, sementara Si Napang ditempatkan di
Padangsche Bovenlanden.
Pada tahun 1857, satu siswa di Mandailing, yang namanya
kemudian disebut Willem Iskander lebih memilih untuk menjadi guru. Boleh jadi Willem
Iskander berpikir, sudah banyak yang menjadi dokter, tetapi belum satupun yang
menjadi guru. Willem Iskander berinisiatif untuk sekolah guru langsung ke
Belanda. Permintaanya diteruskan Asisten Residen Mandheling en Ankola ke
Menteri Pendidikan di Batavia. Namun permintaan sempat tertahan di Dewan di
Batavia karena soal pembiayaan. Hal ini tidak masalah bagi siswa dokter di
Batavia karena orang tua mereka masih mampu membiayainya. Akan tetapi sekolah
ke Belanda tentu sangat mahal. Akhirnya Dewan mengabulkan Willem Iskander berangkat
ke Belanda, hanya karena satu hal: produksi kopi di Mandheling en Ankola terus
meningkat dan harga kopi Mandheling dan kopi Ankola telah melambung harganya
(dan terbukti harga kopi Mandheling dan kopi Ankola diapresiasi sebagai harga
kopi tertinggi dunia tahun 1862). Setelah selesai studi, Willem Iskander pulang
ke tanah air tahun 1861. Di Batavia mengurus administrasi pendirian sekolah
guru yang akan didirikannya di Mandailing. Setelah melakukan pelayaran dari
Batavia ke Padang, lalu melanjutkan ke Natal dan terus ke Mandailing. Pada
tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, afdeeling
Mandaling en Angkola.
Pengembangan Infrastruktur
Jalan akses pertama dari dan ke Kota Padang yang
pertama kali dibuka adalah jalan poros Kota Padang ke Padang Pandjang pada
tahun 1824.[3] Pembukaan jalan untuk mengantisipasi produksi kopi yang mana
kofficultuur sudah diintroduksi beberapa tahun sebelumnya. Jalan poros ini
dibangun untuk memungkinan gerobak pedati bergerak lebih baik. Jalan poros ini
kemudian diperluas ke Fort van der Capellen, Agam dan Lima Poeloh Kota. Perluasan
pembangunan jalan ini sempat terhenti karena Perang Padri.
Setelah berakhirnya Perang Padri perluasan pembangunan
jalan dilanjutkan ke selatan hingga ke Solok dan ke utara di Bondjol. Dengan perluasan jalan-jalan ini maka di
Padangsch Benelanden dan Padangsche Bovelanden sudah terhubung satu sama lain.
Semua jalan-jalan itu menuju jalan poros yang menghubungkan Kota Padang dan
Fort de Kock. Meski demikian, arus yang mengalir ke Kota Padang adalah produk-produk
ekspor dari pedalaman. Arus orang ke Kota Padang belum terlihat signifikan. Hal
ini karena di pedalaman yang berpusat di Fort de Kock perkembangan sosial juga
sangat pesat.[4]
Koneksi jalan antara Padangsche Bovenlanden
denga Tapanoeli baru terealisasi kemudian. Dalam Keputusan Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda No. 22, tanggal 21 November I862 yang dimuat dalam lembaran
pemerintah (Staatsblad) No. 141, jalan poros (jalan Negara) ruas Tapanuli
merupakan bagian dari dari jalan poros Sumatra’s Westkust dari Padang ke Fort
de Kock, lalu Kotanopan, Padang Sidempoean dan Sibolga. Dalam keputusan ini,
diantaranya dinyatakan, jalan poros (utama) di wilayah hukum Gouvernement
Sumatra’s Westkust adalah sebagai berikut:
dari Kotta Nopan ke Laroe (½ etappe)
dari Laroe ke Fort Elout (Penjaboengan) (1 etappe)
dari Fort Elout (Penjaboengan) ke Siaboe (1 etappe)
dari Siaboe ke Soeroematingi (1 etappe)
dari Soeroematingi ke Sigalangan (1 etappe)
dari Sigalangan ke Padang Sidempoean (1 etappe)
dari Padang Sidempoean ke Panabassan (1 etappe)
dari Panabassan ke Batang Taro (1 etappe)
dari Batang Taro ke Loemoet (1 etappe)
dari Loemoet ke Parbirahan (1 etappe)
dari Parbirahan ke Toeka (½ etappe)
dari Toeka ke Sibogha (½ etappe)
Postwagen di Jawa, 1867 |
Dengan dibukanya jalan poros ruas Tapanoeli,
maka jalan poros di Province Sumatra’s Westkust sudah terhubung dari Kota
Padang hingga ke Sibolga. Yang dimaksud jalan poros adalah jalan yang digunakan
untuk arus barang dan orang yang juga merupakan jalan yang digunakan petugas pos
dimana secara regular transportasi pos dilakukan. Sebagaimana di Jawa, rute
jalan pos ini ditetapkan sesuai dengan potensi-potensi ekonomi wilayah. Foto
postwage di Jawa, 1867
Hal serupa ini juga di Jawa pada tahun 1810 Daendels
telah membuka jalan pos trans-Java antara Anjer dan Panaroekan. Ukuran jalan
pos di Sumatra’s Westkust, seperti halnya di Jawa adalah etappe, suatu ukuran
jarak tempuh kuda beban pengangkut barang-barang pos menurut waktu (bukan
menurut panjang). Pada setiap etappe terdapat pos (bongkar muat pos). Di setiap
pos ini post-man dan kuda beristirahat dan kemudian melanjutkan perjalanan ke
pos berikutnya.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
____________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau):
[1] Narasi ini perlu disertakan dengan lampiran, coba lampirkan fakta-fakta pendukung, bukan hanya sumber satu pihak (Belanda). Tanam Paksa Kopi merupakan salah satu bagian terburuk bagi penduduk Minangkabau dalam masa penjajahan Belanda. Sistem ketatanegaraan mereka 'dikaranyak-i' (diobrak-abrik) oleh Belanda demikian juga sistem sosial. Untuk sistem ekonomi, diambil alih secara paksa. Semua orang wajib menanam kopi, wajib menjual ke 'pakuih' (gudang) pemerintah yang ada pada setiap nagari dengan harga murah. Pasar-pasar dikuasai Belanda dan wajib membayar cukai kepada gubernumen dimana yang menjadi petugas pengambil cukai ialah Orang Cina. Cina selalu ada dimana Belanda ada, setali tiga uang kedua bangsa ini. (Baca: Rusli Amran. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Sinar Harapan. Jakarta, 1980.)
[2] Fasilitas yang didirikan oleh Belanda bukan ditujukan untuk penduduk pribumi Minangkabau melainkan untuk memperlancar penjajahan (eksploitasi) mereka di Minangkabau dan Pulau Sumatera. Untuk fasilitas pendidikan, hanya dapat diakses oleh golongan tertentu diantara penduduk Minangkabau. (Baca: Rusli Amran. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Sinar Harapan. Jakarta, 1980.)
[3] Pembangunan jalan dari Padang ke Padang Panjang bertujuan untuk memudahkan mobilisasi pasukan dan logistik militer. Hal ini berguna dalam menghadapi perlawanan penduduk Minangkabau (yang dikenal dengan Perang Paderi).
[4] Sebelum pembangunan jalan ini, daerah-daerah di Minangkabau sudah saling terhubung. Pembangunan jalan oleh Belanda dengan memperluas jalan lama yang telah dipakai penduduk Minangkabau karena hal ini berkaitan dengan volume kendaraan, orang, dan barang yang melintas di jalan tersebut.