Disalin dari blog:http://poestahadepok.blogspot.com
__________________________
Eksploitasi
batubara di Ombilin, Residentie Padangsche Bovenlanden, Province Sumatra’s
Westkust adalah sebuah lompatan kemajuan ekonomi. Ombilin tidak hanya menyimpan
deposit batubara yang sangat banyak, juga kualitasnya berada di atas kualitas
batubara monopoli Inggris selama ini. Biaya angkut yang besar karena medan yang
berat antara Ombilin dan pelabuhan Kota Padang (yang berjarak 100 Km) dapat diimbangi
oleh potensi ekonomi (pertanian) di sekitarnya.
Makam Ir, WH de Greve di Doerian Gedanng, 1872 |
WH de Greve: Netscher,
Hennij dan Petel
Dua
orang yang bersemangat untuk eksploitasi tambang batubara Ombilin adalah
Gubernur Province Sumatra’s Westkust dan sekretaris bidang ekonomi Mr. WA
Hennij. Kedua orang ini mendukung habis-habisan pekerjaan WH de Greve yang terus
melakukan kajian potensi ekonomi batubara Ombilin. WH de Greve memulai
pekerjaannya berdasarkan kajian awal terdahulu oleh C. de Groot van Embden.
Keberadaan
potensi tambang di Ombilin kali pertama dilaporkan oleh Junghuhn yang melakukan
pemetaan geologi dan botani di Tapanoeli. Ini bermula di tahun 1840. Ketika
situasi keamanan lebih kondusif pasca Perang [Paderi-lihat catatan kaki tulisan ke-12] Bondjol (1837) dan Perang Pertibie
(1838) Gubernur General P. Merkus di Batavia merasa perlu segera memeriksa peta
geologi dan botani di Tapanoeli dengan mempekerjakan FW Junghuhn (dimulai dari
teluk Tapanoeli hingga ke Padang Lawas). FW Junghuhn cukup lama di Padang Lawas
(nama baru Pertibie) selama dua tahun yang merangkap sebagai pejabat pemerintah
(setingkat controleur). Ini mudah dipahami karena wilayah ini sudah terkenal
sejak jaman kuno sebagai daerah tambang emas (antara Ophir dan hulu sungai
Baroemoen). Untuk tugas mapping geologi, pekerjaan Junghuhn diperluas ke utara
(Toba) dan ke selatan (Singkarak). FW Junghuhn menghasilkan buku fenomenal
pemetaan geologi. Petunjuk Junghuhn inilah yang diteruskan oleh C. de Groot van
Embden.
Netscher
dan WA Hennij adalah dua teknokrat yang sama-sama memulai karir di Tapanoeli.
Pada tahun 1858 Netscher, Resident Tapanoeli dipindahkan menjadi Residen Riaou
yang berkedudukan di Pulau Bintan (Tandjong Pinang). Wilayah perairan kepulauan
Riau yang luas juga mencakup wilayah Sumatra’s Oostkust di Deli. Netscher
adalah yang mengetahui potensi ekonomi perkebunan di Pantai Timur Sumatra sejak
Netscher kali pertama melakukan ekspedisi ke Deli tahun 1863. Ibarat kata:
Netscher bekerja di Pantai Timur Sumatra untuk mendukung kebijakan juniornya
Resident Tapanoeli dan seniornya Gubernur Sumatra’s Westkust di Pantai Barat
Sumatra.
Netscher
terbilang sebagai Resident di atas laut. Waktu kerjanya lebih banyak di atas
kapal perang yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain mulai dari Tnadjoeng
Pinang ke Natuna, lalu ke Deli hingga ke pedalaman Sumatra lewat jalur sungai
Indragiri, sungai Kampar, sungai Siak. Semua itu dilakukannya demi membebaskan ‘gangguan’
Inggris di Pantai Timur Sumatra selama ini bebasis di Singapoera dan Penang. Situasi
yang semakin kondusif di Pantai Timur Sumatra dengan sendirinya membantu
rekan-rekannya bekerja dengan tenang di Pantai Barat Sumatra.
Kini,
Netscher setelah sukses membuka ruang ekonomi di Pantai Timur Sumatra pulang
kandang ke Pantai Barat Sumatra, tidak sebagai Residen Tapanoeli tetapi
dipromosikan sebagai Gubernur Sumatra’s Westkust (sejak 24 Februsri 1870). Di
kantor Gubernur Sumatra’s Westkust di Kota Padang, Netscher dibantu oleh
seorang teknokrat muda yang memiliki gelar sarjana pertanian, WA Hennij sebagai
sekretaris gubernur bidang ekonomi yang karirinya melejit dan memulai karir
sebagai controleur di Angkola (tahun 1858). WA Hennij adalah pionir
pengembangan produktivitas kopi di Angkola (Sipirok) yang kebetulan adalah
mantan anak buah Netscher ketika mereka sama-sama memulai karir di Tapanoeli.
Hubungan
kedekatan serupa ini pernah terjadi di era sipil-militer sebelumnya antara
Gubernur Sumatra’s Westkust yang pertama Kolonel AV Mischiels (sejak 1834)
dengan mantan anak buahnya Majoor A. van der Hart yang sukses dalam Perang
Bondjol dan Perang Pertibie. Pada tahun 1845 kedua jagoan militer yang humanis
ini sama-sama naik pangkat. AV Michiels menjadi Majoor Generaal dan A van der
Hart menjadi Luitenant Colobel yang bersamaan dengan dirinya menjadi Resident
Tapanoeli pertama. Pada tahun 1847 anak buah terbaik A van der Hart, controleur
AP Godon (mantan controleur di Bondjol dan Singkel) langsung dipromosikan
menjadi asisten residen di afdeeling Mandailing dan Natal, Residentie
Tapanoeli.
Untuk
merealisasikan tambang batubara Ombilin ini Netscher dan WA Hennij di lapangan
dibantu oleh L.B. van Polanen Petel (Asiten Residen sejak 1868). Entah serba
kebetulan, Polanen Petel yang kini berdinas di Padangsche Bovenlanden juga
memulai karir sebagai controleur di Angkola pada tahun 1846 (WA Hennij memulai
karir sebagai controleur di Angkola tahun 1858).
WH de Greve yang
bekerja keras di pedalaman Padangsche Bovenlanden keras didukung habis oleh
trio asal Tapanoeli: Netscher, Hennij dan Petel. WH de Greve. Geolog penerus alm.
Junghuhn in tampaknya ingin sukses seperti yang diraih Junghuhn. Junghuhn di
Preanger sebagai pionir pengembang perkebunan kina dan teh. WH de Greve ingin
menjadi sebagai pionir pengembang pertambangan batubara di Padangsche. Netscher
yang lama di atas kapal uap di Riau ingin anggaran negara dihemat dengan pengadaan
batubara sendiri (tidak tergantung Inggris) yang menurut pengujian batubara
Ombilin lebih efisien dari batubara produksi Inggris. Proses pengujian batubara
Ombilin ini dilakukan dibawah koordinasi WA Hennij. Setali tiga uang, WA Hennij
ingin tambang (batubara) dan pertanian (kopi) berdampingan dan saling
mendukung. Tentu saja Polanen Patel mengharapkaan adanya akses yang lebih cepat
dan murah (kereta api). L.B. van Polanen Petel adalah orang pertama yang menginisiasi
membuka akses jalan dari Angkola ke (pelabuhan) Loemoet untuk membuka jalan
kopi Angkola yang sudah mulai berbuah dapat terangkut ke Padang via Loemoet.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
________________________