Ilustrasi gambar: https://www.liputan6.com |
Dalam Qanun Meukuta Alam, Qanun Undang-Undang negara Kerajaan Aceh Darussalam.
Dalam Qanun Meukuta Alam itu disebutkan, sebulan sebalum datangnya Hari Makmeugang, dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Sulthan Aceh memerintahkan semua Uleebalang di Aceh untuk mendata seluruh fakir miskin, anak yatim, orang sakit (lumpuh), orang buta, dan orang tua (lansia) yang tak lagi mampu mencari nafkah.
Semua data fakir miskin anak yatim, orang lumpuh dan orang buta harus sudah diterima oleh Sultan satu bulan sebelum Hari Makmeugang, baik hari Makmeugang menyambut puasa, maupun hari makmeugang Hari Raya Idul Fitri dan Hari Makmeugang Hari Raya Idul Adha.
Atas perintah Sultan itu, lalu para Uleebalang memerintah semua Mukim yang ada dalam wilayah kuasanya, untuk memerintahkan semua Keuchik dalam wilayah Kemukimannya, agar semua Kechik itu dapat mendata semua fakir miskin, orang lumpuh, orang buta, dan orang tua yang tak dapat mencari nafkah lagi dalam kampungnya masing-masing.
Setelah, Keuchik mendata semua itu, Keuchik mengirimkan kepada Mukim, dan Mukim mengirimkan data itu kepada Uleebalang. Setelah Uleebalang memperoleh semua jumlah fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta, dan lansia. Lalu Uleebalang baru mengirimkan semua jumlah itu kepada Sultan yang memerintah di kerajaan Aceh.
Setelah Sultan Aceh menerima semua jumlah fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta, dan lansia dari Uleebalang seluruh Aceh. Sultan Aceh pun memerintahkan Kepala Tandi Siasah (kepala gudang harta kerajaan) untuk mengeluarkan bantuan kerajaan kepada seluruh fakir miskin, anak yatim dan orang sakti, serta orang buta dan lansia berdasarkan jumlah yang diterima Sultan dari masing-masing Uleebalang di seluruh Aceh.
Dalam Qanun Meukuta Alam disebutkan, masing-masing fakir miskin, orang sakit, orang buta dan lansia, mendapat anugerah Sultan untuk menyambut Hari Makmeugang dan memasuki bulan suci Ramadhan, 5 hasta kain, dan sejumlah uang untuk daging Makmeugang, dan biaya selama bulan puasa.
Semua anugerah Sultan Aceh kepada fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta dan lansia dikirim melalui Uleebalang masing-masing. Uleebalang menyerahkan kepad Mukim. Mukim menyerahkan kepad Keuchik. Lalu Keuchik baru membagikan anugerah Sultan itu kepad fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta dan lansia yang ada dalam kampungnya nasing-masing.
Qanun Meukuta Alam juga menyebutkan, bila bantuan anugerah Sultan Aceh itu tidak sampai kepada penerima bedasarkan jumlah data yang diretima Sultan, maka Uleebalang yang bertanggung jawab dalam wilayah yang tidak sampai anugerah Sultan itu, Uleebalang tersebut langsung dipecat oleh Sultan Aceh.
Jadi, persoalan hari Makmeugang di Aceh, bukan persoalan main-main. Kerajaan Aceh dulu memasukkan pelaksanaan Makmeugang ini dalam Undang-undang [Qanun] Kerajaan Aceh sebagai Konstitusi Kerajaan Aceh.
Itu artinya, negara Kerajaan Aceh ketika itu bertanggung jawab sepenuhnya, bahwa tidak boleh ada masyarakat Aceh di Hari Makmeugang itu yang tidak bisa menikmati daging, baik dalam menyambut bulan suci Ramadhan, maupun menyambut Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Itu bentuk Makmeugang di masa kesultanan Aceh. Setelah Aceh tidak lagi dalam pemerintahan Sultan, tradisi Makmeugang ini terus berlangsung dalam masyarakat Aceh.
Kalau masa Kerajaan Aceh Makmeugang untuk fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta dan lansia ditanggung oleh kerajaan. Maka, setelah Kerajaan Aceh sudah tidak ada. Setelah itu masyarakat Aceh bersolidaritas sendiri membatu fakir miskin dan anak yatim pada Hari Makmeugang.
Kalau dalam sebuah kampung ada orang kaya. Maka orang kaya tersebut akan menanggung lebih dulu untuk menyembelih dua atau tiga ekor kerbau atau sapi, yang dagingnya akan dibagikan pada masyarakat yang kurang mampu pada Hari Makmeugang.
Kemudian masyarakat kampung akan membayar harga daging Makmeugang itu, setelah panen tahun depan (bayeue lheuh keumuekoh thon ukeue). Sehingga, orang kampung yang kurang mampu membeli daging pada Hari Meugang tidak berpikiran lagi.
Karena, untuk kebutuhan daging Makmeugang sudah ditanggung sementara, oleh orang kaya dalam kampung itu yang daging itu bisa dibayar setelah panen tahun depan. Dan ini sangat terbantu fakir miskin di kampung-kampung di Aceh dahulu.
Kemudian, dahulu seorang Keuchik belum bisa tidur pada malam Makmuegang, kalau masih ada warga kampungnya yang hana mupat sie lom singeh uroe makmuegang. Biasanya, Keucik mendatangi keluarga miskin dalam kampungnya, menanyakan apa sudah ada daging untuk Hari Makmeugang besok.
Kalau ada diantara warga kampung yang kurang mampu untuk membeli daging Makmeugang, maka Keuchik akan menanggung daging makmeugang untuk keluarga miskin itu. Begitulah peran Keuchik dalam sebuah Gampong di Aceh dulunya.
Begitulah istimewanya Hari Makmeugang bagi orang Aceh.
__________________________________
Disalin dari kiriman facebook Ecek Ecek Dewe
Pada 22 April 2020