Mei 9, 2019 | Ahmad Gabriel
Menjadi Menteri PP&K
Pasca perang
kemerdekaan, tepatnya pada masa pemerintahan Perdana Menteri Mohammad
Natsir, Bahder Djohan ditunjuk sebagai Menteri PP&K. Kabinet Natsir
dibentuk pada6 September 1950 yang sekaligus merupakan awal kerja Bahder
Djohan sebagai Menteri PP&K. Sebagai catatan, iamasuk ke dalam
kabinet sebagai orang tidak berpartai atau nonpartai.
Kabinet
Natsir di dalam program-programnya lebih mementingkan keamanan dan
ekonomi bangsa.Masalah pendidikan dan kebudayaan tidak mendapat tempat
yang khusus atau istimewa. Djohan pun melihat program konsolidasi dan
penyempurnaan susunan pemerintahan masih relevan untuk dijadikan program
kementeriannya. Ia pun memperbaiki susunan organisasi dengan
memanfaatkan tokoh-tokoh pendidikan dan kebudayaan yang ahli di bidang
masing-masing.
Dalam kunjungannya ke berbagai daerah,Djohan
menyaksikan keadaan pendidikan yangmasih jauh dari memuaskan. Masih
banyak yang harus diperbaiki, baik sarana maupun prasarananya.Namun
hal-hal tersebut tidak bisa diselesaikan sesuai dengan rencana karena
kekurangan dana. Dana yang ada pada Kementerian PP&K pada waktu itu
hanya dikeluarkan untuk hal-hal yang sangat perlu dan bersifatmendesak.
Hal ini lantaran pada masa itu keamanan belum sepenuhnya dapat dicapai.
Perhatian kerja kabinet pun lebih banyak tercurah ke sana.
Jabatannya
sebagai Menteri PP&K yang pertama hanya berlangsung selama enam
bulan karena kabinet mendapat mosi tidak percaya dari salah satu wakil
Partai Nasional Indonesia (PNI). Akibatnya pada 21 Maret 1951,Perdana
Menteri Natsir mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Dengan
sendirinya,Bahder Djohan yang merupakan bagian dari Kabmet Natsir
terpaksa harus ikut mundur pula.
Mungkin karena perhatiannya
terhadap kebudayaan cukup tinggi, maka Djohan kemudian dipilih menjadi
ketua Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Pada masa kepemimpinannya, LKI
menyelenggarakan Kongres Kebudayaan ke-2 pada 6-11 Oktober 1951.
Kongres ini dihadiri oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri
PP&K Wongsonegoro. Dalam pidato selaku Ketua LKI, Bahder Djohan
mengatakan bahwa keinsyafan atas harga diri menjadi titik pangkal
perjuangan kemerdekaan bangsa selama 40 tahun, pun tidak luput menjelma
dalam lapangan kebudayaan. Semenjak zaman penjajahan,telah timbul
kesadaran dalam kepribadian manusia Indonesia.
Pada Kongres
Kebudayaan ke-1, kebudayaan telah ditempatkan sebagai bagian dari
pembangunan negara dan masyarakat. Selanjutnya,Bahder Djohan mengatakan
bahwa,“Kebudayaan adalah masalah antara hubungan manusia dan alam,
antara adab dan kodrat, antara kultur dan natur, antara akal dan budi.
Dalam masyarakat, peradaban merupakan penjelmaan kebudayaan. Dalam
kebudayaan Indonesiamasa lalu, banyak tempat yang kelihatan kabur,
tetapi ada pula puncak yang disinari cahaya gemilang. Oleh karena
itu,LKI harus menunjukkan perhatiannya pada soal yang konkret yang
ditemui oleh masyarakat Indonesia dalam perkembangan ke segala jurrusan
hidup. Masalah itu adalah hak pengarang, kritik seni, dan sensor film.”
Keputusan
Kongres Kebudayaan ke-2 ternyata tidak jauh berbeda dengan isi pidato
pembukaan yang disampaikan oleh Ketua LKI Bahder Djohan, yaitu:
- Mengenai hak pengarang,
- Mengenai perkembangan kesusastraan,
- Mengenai kritik seni, dan
- Mengenai sensor film, dan mengenai organisasi kebudayaan.
Lebih
kurang setahun kemudian,Bahder Djohan terpilih kembali menjadi Menteri
PP&K dalam Kabinet Wilopo. Kabinet ini dilantik oleh Presiden
Soekarno pada 3 April 1952. Jika masalah pendidikan dalam program umum
Kabinet Natsir tidak begitu jelas, masalah pendidikan dalam Kabinet
Wilopo mendapat perhatian relatif lebih besar dengan adanya program
memakmurkan pendidikan. Djohan pun sudah memahami tantangan yang harus
dihadapi dalam upaya melaksanakan program kabinet di bidang pendidikan
dan pengajaran. Oleh karena itu,ia tidak membuat perubahan dalam
program, struktur, dan personalia, sebab yang menjadi tantangan dan
memerlukan perhatian adalah masalah pelaksanaan serta dana yang
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan program. Namun memang kenyataan
ekonomi dan politik yang melanda Indonesia pada masa itu kurang begitu
stabil.
Pada
masa jabatannya yang kedua,ada satu peristiwa cukup penting terkait
dengan pendidikan dan pengajaran, yaitu masalah bahasa pengantar dalam
pembelajaran, terutama di perguruan tinggi. PB Persatuan Guru Islam
Indonesia (PGII) mengusulkan agar bahasa pengantar dalam perkuliahan di
perguruan tinggi yang semula bahasa Belanda diganti dengan bahasa
Inggris, sebab banyak mahasiswa mengalami kesulitan mengikuti
perkuliahan dalam bahasa Belanda. Demikian pula dalam membaca buku-buku
wajib berbahasa Belanda.
Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI)
juga mengirimkan resolusi kepada pemerintah RI. Isinya antara lain
menuntut agar pemerintah secara resmi menghapuskan kewajiban menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di perguruan tinggi, sebab
kewajiban menggunakan bahasa Belanda mengakibatkan kemunduran pendidikan
nasional. Secara tegas,IPPI menuntut agar perkuliahan menggunakan
bahasa Indonesia sebagai pengantar dan menuntut agar pemerintah
menyediakan buku-buku dalam bahasa Indonesia di perguruan tinggi serta
mendirikan “Panitia Penilikan Isi-isi Buku Pelajaran” yang diterjemahkan
dari bahasa Belanda serta tidak mengangkat guru besar yang tidak dapat
berbahasa Indonesia.
Akhirnya,Bahder Djohan mengundang para mantan
Menteri PP&K dan para ahli pendidikan, bahasa, dan sastra untuk
berkumpul membahas dan mendiskusikan permasalahan bahasa Belanda sebagai
pengantar di perguruan tinggi. Setelah terjadi pembicaraan dan diskusi,
pertemuan itu akhirnya mengajukan tiga rekomendasi kepada menteri.
Pertama,
pada masa kolonial, penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar
mulai dari HISIELS, MULO, sampai tingkat perguruan tinggi, juga
digunakan sebagai bahasa percakapan setiap hari, sehingga para pelajar
praktis fasih berbahasa Belanda. Namun dalam kenyataannya,masih ada
mahasiswa yang tidak lulus ujian. Jika bahasa Belanda terus
dipertahankan sebagai bahasa pengantar di perguruan tinggi, akan muncul
kesukaran karena bahasa Belanda pada masa kini tidak lagi menjadi bahasa
percakapan sehari-hari. Kedua, buku-buku teks dalam bahasa
Belanda umumnya merupakan terbitan sebelum perang dunia. Oleh karena itu
sebaiknya yang akan dijadikan buku-buku teks atau acuan yang akan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah buku-buku yang lebih
mutakhir sepeti yang diterbitkan di Inggris atau Amerika Serikat. Ketiga,
untuk sementara waktu, boleh saja bahasa Inggris digunakan sebagai
bahasa pengantar karena bahasa Inggris praktis lebih luas penggunanya
dan juga lebih mudah dipelajari daripada bahasa Belanda. Namun untuk
jangka panjang sebaiknya digunakan bahasa Indonesia yang merupakan
bahasa perjuangan dan bahasa persatuan. Kalau perlu, seluruh pegawai
diwajibkan bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, yang akan berpengaruh
positif pula pada perkembangan kebudayaan Indonesia.
Kabinet
Wilopo relatif berkuasa lebih lama dibandingkan dengan kabinet-kabinet
parlementer pendahulunya. Walaupun begitu, kurun waktu yang hanya 30%
dari yang seharusnya membuat kabinet ini pun tidak mampu menyelesaikan
program kerjanya secara baik, termasuk program kerja kementerian
PP&K. Pada2 Juni 1953 muncul mosi tidak percaya dari DPR sebagai
buntut peristiwa Tanjung Morawa. Perdana Menteri Wilopo akhirnya
mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno.
Setelah berhenti
sebagai Menteri PP&K pada Kabinet Wilopo, Bahder Djohan kembali ke
profesi semula di bidang kesehatan. Pada 1953,ia diangkat menjadi
Direktur RSUP. Di samping itu,ia juga diangkat sebagai guru besar pada
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Pada tahun
berikutnya,dia diangkat menjadi Presiden (Rektor) UI, sehingga jabatan
direktur pada RSUP dilepasnya.
Kedudukan sebagai Presiden UI
diemban tidak sampai masa jabatan berakhir. Ia melepaskan jabatan itu
sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan
konflik PRRI/Permesta. Ia menolak penyelesaian secara militer. Ia
berusaha menemui para pejabat yang berwenang dalam masalah itu, seperti
jenderal A.H. Nasution, bahkan juga Presiden Soekarno. Namun,upaya untuk
bertemu tidak pernah tercapai. Karena pemerintah tetap melaksanakan
penyelesaian PRRI/Permesta secara militer, maka padaFebruari 1958,Prof.
Dr. Bahder Djohan melepaskan jabatan sebagai Presiden/Rektor UI. Tak
lama setelah meletakkan jabatan sebagai rektor, Bahder Djohan mengajukan
permohonan pensiun sebagai pegawai negeri sipil.
Pengabdian Setelah Pensiun
Sesudah
pensiun dan hidup sebagai warga biasa, ia pun tidak bersedia membuka
praktik dokter di rumahnya seperti umumnya para dokter waktu itu.
Meskipun demikian, kalau ada orang sakit yang datang ke rumahnya meminta
bantuan, dengan senang hati iamembantu. Untuk pertolongan semacam
itu,ia tidak mau dibayar. Sampai dengan akhir masa “Demokrasi
Terpimpin”,’ Bahder Djohan praktis hidup sederhana dengan uang
pensiunnya. Baru pada 1966,perusahaan Panca Niaga yang berkantor di
Gedung CTC, Jalan Kramat Raya, memintanya berpraktik sebagai dokter
perusahaan. Tawaran inipun diterima dengan senang hati.
Pada
akhir1968, pimpinan Universitas Ibnu Khaldun (UIK) menghubungi Bahder
Djohan dan memohon kesediaannya menjadi Rektor UIK, karena rektor lama,
Prof.Nasrun S.H., meninggal dunia. Setelah membicarakannya dengan
saksama, Bahder Djohan menerima tawaran itu sehingga sejak 10 Maret
1969,Prof. Dr. Bahder Djohan resmi menjadi Rektor UIK. Salah satu
motivasi yang mendorongnyamenerima tawaran karena melihat kondisi
perguruan tinggi Islam umumnya tertinggal oleh perguruan tinggi swasta
lain. Untuk mengubah hal ini perluwaktu dan tekad yang kuat.
Upaya
yang dilakukan oleh Bahder Djohan memajukan UIK selama kepemimpinannya
memang tidak sia-sia. Walaupun perkembangannya tidak secepat universitas
swasta lain, namun perubahan yang ada, membuat semua fakultas di
lingkungan UIK, kecuali fakultas kedokteran, diakui oleh Kopertis
Wilayah II.
Selain mengabdi di dunia pendidikan,masih banyak
kegiatan yang dilakukan dalam mengisi masa pensiunnya, seperti membantu
Centre for Minangkabau Studies pimpinan Muchtar Naim M.A., serta menjadi
Steering Committee Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau. Sampai
akhirnya pada 8 Maret 1981, Bahder Djohan meninggal dunia di Jakarta
dalam usia 78 tahun karena penyakit jantung.
____________________________________
Disalin dari: https://id.diversity.id