Sumber Gambar: https://id.wikipedia.org |
Kami sarankan untuk membaca catatan kaki, uraian pada tulisan ini berpegang pada salah satu versi riwayat dalam sejarah Minangkabau. Tulisan ini condong membesarkan satu pihak dan menjadikan pihak lain sebagai antagonis. Disarankan bagi pembaca untuk memperdalam pengetahuan di bidang Adat & Syari'at.
Sebagian isi dari tulisan ini dikutip dari buku Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau yang ditulis oleh B. Datuak Nagari Basa (1962) beserta kutipan dari tulisan-tulisan dan cerita para orang tua
Tambo
Minang yang asli, pada zaman kolonial Belanda, dipinjam dan tidak
dikembalikan kepada pemilik asli (para Tuan Laras). Menurut tambo yang
asli, tanah air kita ini dulunya semua kepulauan di Nusantara tidak
terpisah-pisah seperti sekarang ini, melainkan menyatu dengan Semananjung Malaysia hingga benua Asia. Terpisahnya menjadi kepulauan nusantara seperti sekarang ini diakibatkan oleh banjir besar Nabi Nuh,
AS. Tanah yang hancur itu dihanyutkan oleh air yang surut dan terjadilah
selat-selat dan laut-laut yang tidak begitu dalam.
Menurut para orang tua yang disampaikan secara turun-temurun, menyebutkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau ini berasal dari Persia (kawasan di Timur Tengah). Penduduk Minangkabau pada dahulunya disebut sebagai bangsa Melayu Minangkabau, bahasa yang dipakai serupa dengan bahasa yang dipakai Melayu Riau dan bangsa-bangsa Melayu lainnya, hanya dialeknya yang berubah.
Suku Melayu pada awalnya tidak mempunyai huruf sebagai
penyampai informasi sampai masuknya agama Islam. Segala sesuatu yang
berupa sejarah, undang-undang, silsilah adat dan yang lainnya
disampaikan dalam bentuk menceritakan kepada anak dan kemenakan.
Kewajiban bagi seorang ninik mamak (saudara laki-laki dari orang tua
perempuan ataupun dari nenek), adalah menceritakan kepada kepada anak
kemenakan. Bagi kemenakan, adalah suatu kewajiban pula untuk menerima
dan mendengarkan cerita dari ninik mamak tersebut. Sesuai dengan
pepatah: “manjawek warih, mandanga tutua” atau menerima warisan, mendengarkan tutur atau ucapan kata.
Penemuan lokasi tinggal yang baru
Banjir
besar Nabi Nuh, AS yang baru surut setelah ratusan hingga ribuan tahun
mengakibatkan terpusatnya kelompok-kelompok peradaban umat di beberapa
tempat di belahan bumi ini. Sementara masih banyak belahan bumi yang
belum dihuni oleh umat manusia. Umat manusia yang masih hidup ini adalah
pengikut-pengikut setia Nabi Nuh AS beserta ajarannya. Beberapa
diantaranya mencoba mencari lokasi tempat tinggal baru yang akan secara
turun temurun akan didiami oleh keturunannya hingga saat sekarang ini.
Sementara, kepercayaan yang dianut semakin jauh menyimpang dari ajaran
asli para Nabi, karena semakin banyaknya dan jauhnya penyebaran umat di
beberapa pelosok bumi.
Diantara
para petualang pencari lokasi baru tersebut adalah Maharadjo Diradjo
yang konon adalah nenek moyang orang Minangkabau. Sewaktu topan surut,
Maharadjo Diradjo berlayar, dan menemui gunung berapi telah timbul dan
berlabuhlah perahu besar beliau di gunung tersebut. Konon pula, perahu
tersebut ditelungkupkan untuk menjadi atap rumah untuk bertempat
tinggal. Itu pula sebabnya, hingga sekarang puncak atap rumah orang
Minang menganut model “bagonjong” atau bergonjong, lalu disempurnakan
keruncingan ujung atapnya meniru tanduk kerbau.
Maharadjo
Diradjo yang telah menemukan lokasi hunian yang cocok bersama
pengikutnya mulai mengembangkan wilayah dengan jalan merambah
hutan-hutan kemudian menjadikan ladang-ladang dan persawahan. Beberapa
diantaranya dijadikan pemukiman yang berjarak-jarak sesuai dengan
kemampuan anggota keluarga, namun antara satu pihak dengan pihak lainnya
tetap memiliki dan menjalin hubungan yang baik, yang dikenal dengan
sebutan “taratak”.
Orang-orang yang mengerjakan dan mengusahakan
tanah-tanah tersebut berbuat menurut dorongan hati masing-masing,
tidaklah dipaksa, untuk kepentingan sendiri-sendiri dan tidak
dimufakatkan terlebih dahulu. Kebiasaan ini terlaksana terus (menjadi
kebiasaan/adat) sampai terbentuk keramaian yang terfokus (koto) dan
negeri dalam masyarakat dalam bidang ekonomi.
Melihat
perkembangan yang terjadi, timbulah dalam pikiran Maharadjo Diradjo
untuk membuat tempat kediaman yang patut sebagai kediaman bagi manusia
yang sempurna, berkumpul beberapa “taratak” tadi menjadi rumah-rumah
yang berdekatan dengan tatanan aturan yang baik. Setelah disepakati
bersama, dimulailah oleh Maharadjo Diradjo mendahului melakukan
perambahan pertama menggunakan sebilah pedang panjang miliknya, tempat
yang kemudian dikenal sebagai asal dari penduduk asli Minangkabau, yaitu
di Pariangan Padang Panjang. Tepatnya lokasi ini berada di kaki Gunung
Marapi, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat.
Tanpa diperintah,
berdirilah rumah-rumah yang berkelompok serta dilengkapi dengan
pagar-pagar yang baik sebagai batas bagi setiap keluarga (kaum) hingga
membentuk suatu perkampungan. Beberapa kampung selanjutnya membentuk
suatu dusun yang bertumpuk. Dusun-dusun yang telah banyak tersebut
menurut kelompoknya kemudian membentuk sebuah koto. Koto mempunyai
kesepakatan (sekata/”sakato”) dalam menghadapi bahaya dan lain-lainnya
menurut perkembangan masa, dan perkembangan itu pula yang menjadi sebuah
“negeri”.
Penyebaran penduduk asli Minangkabau dan terbentuknya Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limapuluh.
Setelah
terjadi perkembangan jumlah penduduk yang kian pesat, penduduk mulai
melakukan perpindahan-perpindahan. Pola perpindahan yang dilakukan
adalah perpindahan yang terus-menerus. Maksudnya, apabila suatu keluarga
atau kaum melakukan perpindahan ke lokasi tertentu, kemudian setelah
mempunyai keturunan yang baru, mereka melakukan perpindahan berikutnya
ke tempat lain yang lebih jauh lagi. Dimulai dari lokasi tempat tinggal
asal yaitu Pariangan Padang Panjang.
Sebagian dari satu kaum pindah ke
Tanah Datar, dan setelah berkembang di Tanah Datar, sebagiannya pindah
ke Agam. Setelah berkembang pula di Agam, sebagiannya pindah lagi ke
Limapuluh Kota. Karena Limapuluh Kota cukup jauh dari lokasi asal yaitu
Pariangan Padang Panjang, masyarakat Minang yang mendiami lokasi ini
kesulitan dalam berkomunikasi dengan tempat asalnya. Tetapi hubungan
kekerabatan tetap mereka jalin, walaupun tidak hapal lagi silsilah atau
garis keturunan antara orang tua-orang tua mereka yang masih bersaudara.
Dimasa
pemerintahan Datuk/Sutan Maharadjo Basa, penduduk dari Pariangan dan
Padang Panjang menyebar ke bidang-bidang datar di kaki Gunung Marapi
sebelah Selatan sampai di bidang datar di kaki Gunung Sago bagian
Selatan dan Timur. Selanjutnya pindah ke beberapa nagari seperti Sungai
Tarab, Sumanik, Saruaso, Padang Gantiang, terus sampai ke Buo dan Sumpur
Kudus.
Pemindahan-pemindahan ini mengakibatkan berkurangnya penduduk di
Pariangan. Istilah pengurangan atau berkurang dan berpindah ke luar ini
kemudian dalam istilah Minangkabau disebut dengan “Luak” atau “Luhak”.
Dari segi awal bahasanya lebih mirip “Lua” atau “Luar”. Penduduk
dipindahkan dari Pariangan, atau penduduk Pariangan yang dikurangkan dan
ditempatkan dibidang-bidang datar, maka lokasi tempat tinggal baru
tersebut dinamakan Luhak Tanah Datar.
Perkembangan
populasi penduduk yang semakin pesat di Luhak Tanah Datar, maka timbul
kembali keinginan dari penguasa waktu itu yaitu Sutan Maharadjo Basa
untuk memindahkan kembali penduduknya ke tempat lain. Tujuannya adalah
agar orang-orang serta para keturunannya dapat membangun nagari yang
baru. Sebelum dilakukan pemindahan, terlebih dahulu dilakukan
penyelidikan langsung ke lokasi yang akan ditempati nantinya.
Setelah
memenuhi syarat untuk ditempati, maka disetujuilah lokasi baru yaitu di
sebelah Timur dan Barat Gunung Marapi dan Barat Gunung Sago. Untuk itu
ditunjuklah 4 (empat kaum) pergi merambah serta membabati hutan untuk
tempat kediaman, untuk peladangan dan perkebunan.
Empat rombongan
pertama sampai di bagian bawah dataran yang rendah di kaki Gunung Merapi
serta di sebelah Utara gunung tersebut. Rombongan tersebut juga
mendapati sebuah lembah dan sungai yang jernih airnya, serta hulu sungai
yang bercabang dua menuju muara. Lembah itu diberi nama Agam dan sungai
yang mengalir melalui lembah arah ke hulu diberi nama Batang Tambuo dan
Sungai Janiah atau Sungai Jernih. Sementara sungai yang mengalir menuju
muara/hilir diberi nama Batang Agam.
Kemudian
menyusullah rombongan kedua ke tempat rombongan pertama tadi sebanyak
empat keluarga/kaum. Disusul rombongan ketiga dan keempat menuju
rombongan pertama berada. Jumlah rombongan yang berpindah adalah empat
kali pemberangkatan. Setiap pemberangkatan berjumlah masing-masingnya
empat keluarga/kaum. Total keseluruhan rombongan adalah 16 (enam belas
kaum).
Kaum
yang pertama datang ke Lubuk Agam terus berangkat mencari lokasi-lokasi
baru untuk ditempati dan diolah. Mereka menyebar di kaki Gunung Merapi
dan membuat nagari dan koto. Nagari-nagari yang didirikan oleh rombongan
pertama tersebut adalah Agam Biaro, Balai Gurah, Lambah, Panampuang dan
sekitarnya hingga sampai ke Canduang dan Lasi. Nagari/negeri tersebut
adalah negeri rombongan pertama yang berangkat, kemudian sampai sekarang
lebih dikenal dengan Nagari Ampek Angkek atau Negeri Empat Angkat.
Kaum
yang kedua mendiami daerah di sekeliling bukit yang agak tinggi dan
mendirikan nagari sebanyak empat sama seperti rombongan pertama.
Nagari-nagari yang mereka dirikan adalah Kurai, Banuhampu, Sianok, dan
Koto Gadang. Karena sifat pemindahan penduduk adalah yang pertama yang
merintis, kemudian setelah rombongan berikutnya yang meneruskan dan
mendiami, rombongan pertama mencari yang lebih jauh. Maka nagari-nagari
yang didirikan oleh rombongan kedua ini dapat dikatakan adalah masuk
dalam nagari ampek angkek atau negeri empat angkat juga.
Rombongan
atau kaum ketiga menduduki bagian yang tertinggi dari kaki Gunung
Marapi, bahkan hingga pinggang gunung sebelah barat. Mereka kemudian
membuat empat nagari yaitu Sariak, Sungaipuar, Batagak dan Batu Palano.
Sama seperti nagari yang didirikan oleh rombongan kedua di atas, maka
nagari-nagari ini adalah termasuk dalam Ampek Angkek atau Empat Angkat
juga.
Pemberangkatan terakhir mendiami kaki Gunung Singgalang. Rombongan
ini mendirikan pula empat negeri yang diberi nama Guguk, Tabek Sarojo,
Balingka dan Pambatan. Dari semua nagari-nagari yang didirikan tersebut,
yang masih bernama Nagari Ampek Angkek adalah nagari-nagari yang
didirikan oleh rombongan pertama, yaitu Agam Biaro, Balai Gurah, Lambah,
Panampuang, Canduang dan Lasi. Lokasi-lokasi baru yang ditempati dan
didirikan menjadi nagari-nagari oleh empat rombongan pemberangkatan ini
kemudian diberi nama Luhak Agam.
Selanjutnya,
lokasi-lokasi baru yang menjadi perhatian para pemimpin Minangkabau
waktu itu adalah lereng-lereng di Gunung Sago sebelah Utara sampai ke
Timur. Tanah dataran yang luas, lembah yang sangat lebar di sepanjang
sungai Lampasi, Batang Sinamar dan Batang Agam, kosong belum ada
penghuni. Kaum-kaum yang akan menghuni lokasi baru tersebut diambil dari
anggota kaum yang telah mendiami nagari-nagari di Luhak Tanah Datar.
Kaum-kaum tersebut dibagi, ada yang berangkat, ada yang tinggal. Lalu
berangkatlah Limo Puluah (lima puluh) keluarga menuju kaki antara kedua gunung
yaitu Gunung Sago dan Gunung Marapi. Mereka menempuh perjalanan siang
malam menyeberangi Batang Agam. Dalam perjalanan, saat istirahat di
pinggiran Batang Agam, dilakukan penghitungan jumlah rombongan, namun
jumlah yang istirahat tidak lagi sama dengan jumlah rombongan saat akan
berangkat.
Terjadi perdebatan, bahwa jumlah yang kurang adalah sebanyak
lima kaum, sebagian lagi ada yang mengatakan hanya sebanyak dua kaum.
Pihak yang mengatakan hilangnya sebanyak dua kaum, menerangkan bahwa
rombongan yang hilang tersebut dipimpin oleh Datuk Mareko Panjang
Jangguik, mereka meneruskan perjalanan ke Kampar Kiri. Mereka mendirikan
korong kampung serta koto dan nagari di sepanjang sungai
Kampar Kiri.
Satu rombongan lagi yang hilang adalah rombongan yang
dipimpin oleh Datuk Mareko Putih Gigi. Rombongan ini menyusuri sungai
Kampar Kanan hingga ke hilir. Di sepanjang sungai tersebut mereka
kemudian beranak pinak. Lokasi baru yang ditempati rombongan yang
berangkat dari Luhak Tanah Datar ini kemudian diberi nama Luhak
Limo Puluah Koto.
Aturan ahli waris dalam adat Minangkabau
Bagaimana seandainya suatu kekerabatan dalam kaum yang saling berjauhan, tidak lagi memiliki keturunan lagi?
Sesuai dengan ungkapan pepatah: “panjang nan bakaratan, laweh nan basibiran”.
Panjang nan bakaratan atau panjang yang berkarat artinya, semakin
panjang garis keturunan, semakin berkarat atau tidak berkilat/jelas lagi
antara satu sama lainnya. Laweh nan basibiran atau luas yang berada di
pinggir, artinya semakin luas atau jauh lokasi tempat tinggal, semakin
jauh dari pusat atau tempat asal yang asli.
Menurut
adat Minangkabau, jika seandainya putus ahli waris pada tempat yang
lebih jauh, maka kerabat tempat asal akan mewarisi harta dan pangkatnya,
dengan syarat harus ditunggui atau mendiami lokasi tinggal kerabat yang
hampir/telah punah. Maksudnya, apabila tidak ada yang menjadi ahli
waris dalam suatu kaum di Minang, maka kerabatnya yang lain, walaupun
berada di tempat tinggal yang berbeda, akan menjadi ahli waris karena
masih satu keturunan sebelumnya.
Begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan
pepatahnya:
“Warih bajawek pusako batolong, untuak batariak baban babao, bakeh diuni pusako ditunggui”.
Maksudnya:
Ahli waris bertanggung jawab menyelamatkan warisan atau pusaka, yang bersangkutan atau ahli waris harus mendiami atau menempati warisan atau pusaka yang telah menjadi beban tanggung jawabnya tersebut. Tujuannya adalah supaya lokasi-lokasi yang telah ditemukan serta dijaga dan dipergunakan sebelumnya tidak lepas kepada pihak lain yang bukan dari orang Minang.
Metode/adat
waris tersebut diatas dibuat oleh ninik moyang orang Minang yaitu
Datuak Tantedjo Garhano. Beliau adalah orang Minang pertama yang
mendirikan “Balai Panjang” ruangan dengan tempat duduk yang panjang,
beratap tetapi tidak memiliki dinding. Tempat ini digunakan untuk
berkumpul dan menerima perintah dari penguasa.. Bahan-bahan asli
pembuatan Balai Panjang ini terdiri dari tumpukan batu sebagai alas
tempat duduk, bambu sebagai kerangka atap, ijuk sebagai atap dan
sebagainya. Tinggi Balai tidak seberapa, karena pengerjaan atap tidak
menggunakan tangga seperti yang sering kita gunakan untuk menggapai
puncak yang melebihi tinggi badan manusia. Balai Panjang tersebut
kemudian diberi nama Balairung Sari, terletak di Kampuang Tabek,
Limo Kaum.
Pola pemerintahan pertama Minangkabau
Di
Balairung Sari ini, Dt. Maharadjo Diradjo mengendalikan dan menjalankan
pemerintahan atau kekuasaan yang dipegangnya secara mutlak. Kekuasaan
penuh dan berdasarkan pertimbangan Dt. Maharadjo Diradjo, di dalam tambo
Alam Minangkabau disebut dalam pepatah: “undang-undang simumbang jatuah”,
maksudnya, undang-undang yang mutlak dipatuhi, karena tak boleh
dibanding/diprotes dan tak ada kata ampun, wajib harus dituruti.
Undang-undang
tersebut berlaku kepada keturunan Maharadjo Diradjo. Akibatnya, banyak
rakyat yang harus menerima hukuman karena perbuatan yang belum tentu
salah sama sekali. Hak asasi manusia tidak berlaku sepenuhnya di zaman
ini (aturan pertama).
Di
bidang ekonomi (aturan kedua atau undang-undang si gamak-gamak), segala
lapangan pekerjaan untuk penghidupan dikuasai oleh kecerdasan dan
kepandaian serta kemampuan masing-masing. Dimasa ini orang hidup
sendiri-sendiri, tak menghiraukan kehidupan orang lain.
Dalam
kehidupan sosial (aturan kedua atau si lamo-lamo), penghargaan pada
perbuatan baik tidak akan mendapat ungkapan terima kasih, sebab orang
yang memiliki sikap yang baik dan terpuji tidak akan berani menghadapi
orang yang dianggap terpandang, karena yang menyandang status terpandang
akan dianggap sebagai orang yang berani, sedangkan orang yang tidak
terpandang di tengah masyarakat akan merasa jadi penakut.
Setelah
wafatnya Maharadjo Diradjo, pemerintahan dilanjutkan oleh keturunannya
yaitu Suri Diradjo. Beliau melakukan perubahan aturan, sesuai dengan
ungkapan pepatah; “sakali gadang balega, sakali adat barubah”.
Maksudnya, setelah cukup umur dan patut, maka diangkat atau diresmikan,
kemudian sekalian dengan adanya perubahan adat atau aturan.
Undang-undang Tarik Balas
Setelah
kekuasaan dipegang oleh Datuak Suri Diradjo, undang-undang yang
diterapkan adalah undang-undang "Tarik Baleh" yang bertujuan agar sesuatu
kejahatan atau kesalahan seseorang akan mendapat balasan setara atau
setimpal dengan apa yang telah diperbuatnya. Jika seseorang membunuh,
maka hukuman yang pantas diterimanya adalah dibunuh juga.[1]
Dalam urusan
utang piutang, apa yang dipinjam harus sesuai bentuk pengembalian sama
seperti barang atau materi yang dipinjam, tidak boleh diganti dengan
bentuk lain. Sesuai dengan pepatah:
“utang ameh baia jo ameh, utang nyao baia jo nyao, utang padi baia jo padi, utang kato baia jo kato”
utang emas bayar dengan emas, utang nyawa bayar dengan nyawa, utang padi bayar dengan padi, utang kata bayar dengan kata.
Perubahan
undang-undang ini membawa perubahan dalam masyarakat. Sebelumnya,
undang-undang yang dipakai tidak kenal kata ampun dan kasihan. Undang-undang
Tarik Balas diterima dengan baik oleh masyarakat pada waktu itu.
Undang-undang terus dilanjutkan oleh keturunan Datuk Suri Diradjo yaitu
oleh Datuk Seri Mahardjo nan Banego-nego, kemudian oleh anaknya Datuk
Maharadjo Basa. Undang-undang tersebut berjalan lancar karena masyarakat
boleh mempertahankan kebenaran sebagai hak asasinya sebagai manusia.
Adik Datuk/Sutan Maharadjo Basa, yaitu Sutan Balun selalu ikut
mendampingi sang kakak sambil memperhatikan dengan cermat setiap
jalannya perkara. Sekali-sekali Sutan Balun menyumbangkan buah
pikirannya, dan kemudian diangkat sebagai penasehat Sutan Maharadjo
Basa. Baik rakyat dan Sutan Maharadjo Basa sangat mengagumi adiknya
Sutan Balun yang memiliki kecerdasan dan ide-ide yang cemerlang dalam
menghadapi suatu masalah.
Walaupun
Sutan Balun telah ikut berperan serta dalam membantu Sutan Maharadjo
Basa dan terbukti sangat dikagumi, namun Sutan Balun masih melihat dan
menilai bahwa undang-undang Tarik Balas belum memberikan kepuasan bagi
rakyat. Penerapan undang-undang Tarik Balas yang menyelesaikan satu
perkara, tetapi menimbulkan perkara baru, karena dalam menjatuhkan
hukuman, harus dibuat perlakuan yang sama bagi terhukum.
Misalnya,
menghukum mati seorang pembunuh, maka yang melaksakan eksekusi hukuman
sama saja telah melakukan pembunuhan juga. Akibat dari hukuman ini akan
menimbulkan rasa luka bagi keluarga pembunuh yang dihukum mati. Sungguhpun demikian, karena sifat bijaksana Sutan Balun yang diwarisi dari
ayahnya Cati Bilang Pandai, tidak membuat Sutan Balun gegabah untuk
langsung menyampaikan keluhannya kepada kakak lain ayahnya, Sutan
Maharadjo Basa.
Budi Curiga (Paham Bodi Chaniago)[2]
Sutan
Balun semakin mencemaskan masa depan masyarakat Minangkabau sebagai
akibat dari pelaksanaan undang-undang Tarik Balas. Kecemasan dan
kecurigaan yang timbul pada diri Sutan Balun karena kedekatan beliau
dengan masyarakat lebih kental dibandingkan kakaknya Sutan Maharadjo
Basa. Kecurigaan atau rasa prasangka akan apa yang timbul dimasa datang
adalah karena kesucian cahaya hati yang memancar dan menerangi
pikirannya. Karena kuatnya desakan untuk melakukan perubahan demi
kebaikan masyarakatnya dimasa akan datang, Sutan Balun kemudian
membulatkan tekadnya untuk memperjuangkan kebenaran itu kepada Sutan
Maharadjo Basa.
Setelah
berpikir sedalam-dalamnya dan pada waktu yang tepat nantinya, Sutan
Balun sangat berharap beliau berdua dengan kakaknya Sutan Maharadjo Basa
dapat membicarakan hal tersebut dengan hati dan jiwa yang tenang.
Saat
Sutan Balun sudah menemukan waktu yang tepat untuk menyampaikan isi
hatinya, Sutan Maharadjo Basa merasa kagum dan di dalam hati mengakui
kecerdasan dan kebenaran yang ada pada diri Sutan Balun. Tetapi tidak
serta merta Sutan Maharadjo Basa langsung menerima pendapat yang
disampaikan oleh Sutan Balun. Sutan Maharadjo Basa yang sangat cermat
dan teliti dan bertindak, kemudian menjawab usulan Sutan Balun dengan
berjanji akan mempertimbangkan dan memikirkan lebih dahulu
sedalam-dalamnya. Walaupun begitu, Sutan Balun sudah merasa sangat
senang dan bahagia hatinya karena usulannya akan menjadi pemikiran oleh
Sutan Maharadjo Basa.
Menjelang
ditepatinya janji oleh Sutan Maharadjo Basa, Sutan Basa tak henti-henti
berupaya agar pendapatnya itu tidak kandas begitu saja. Terlebih lagi
pendapatnya itu telah dipikirkan sedalam-dalamnya dan tujuannya adalah
demi kebaikan masyarakat banyak. Di mata
masyarakat, baik Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun adalah sama-sama
pemimpin mereka. Sutan Maharadjo Basa adalah pemegang tampuk kekuasaan
yang sangat ditakuti oleh rakyat, tetapi segala keputusan yang berlaku
adalah berdasarkan pertimbangan dan pendapat dari Sutan Balun. Semua
yang terlaksana adalah berkat kecerdasan, buah pikiran dan kecintaan
Sutan Balun pada masyarakatnya.
Setelah
menunggu selama lebih dari dua minggu, Sutan Balun menuntut jawaban
yang dijanjikan oleh Sutan Maharadjo Basa, namun Sutan Maharadjo Basa
memberi jawaban bahwa pendapat tersebut belum selesai dipikirkan
sedalam-dalamnya. Termasuk seperti apa kira-kira
cara, bentuk dan undang-undang penggantinya. Perlu dirumuskan terlebih
dahulu semasak-masaknya undang-undang baru yang akan dilaksanakan,
barulah usulan tersebut dapat diterima dan undang-undang lama bisa
dibatalkan. Sutan Maharadjo Basa kembali menangguhkan dan akan
memikirkan semasak-masaknya.
Menerima
jawaban dari Sutan Maharadjo Basa, Sutan Balun membalas dengan tekad
yang kuat bahwa dia akan tetap memperjuangkan pendapatnya hingga
cita-citanya menjadi kenyataan. Menanggapi kenyataan yang terjadi, maka
timbullah perasaan yang bukan-bukan pada diri Sutan Maharadjo Basa.
Menurut dugaannya, jika pendapat Sutan Balun diterima oleh masyarakat,
maka pandangan dan penilaian rakyat akan lebih pada diri Sutan Balun,
sementara dia sebagai raja akan direndahkan oleh rakyat. Bisa-bisa
kekuasaanya akan berpindah ke tangan Sutan Balun, padahal Sutan Balun
tidak berhak menjadi raja, karena Sutan Balun adalah anak Cati
Bilang Pandai bukan anak dari Datuk Seri Maharadjo Diradjo Nan
Banego-nego ayah kandung Sutan Maharadjo Basa yang menjadi raja
sebelumnya. Di zaman itu, Minangkabau masih menganut garis keturunan
Patriakhat yaitu kekuasaan atau warisan yang turun dari ayah kepada
anaknya.
Janji
dari Sutan Maharadjo Basa kembali didiamkan sampai beberapa waktu yang
cukup lama, dan tak pernah disinggung kembali. Kondisi yang demikian
menimbulkan keinginan yang kuat pada diri Sutan Balun untuk menuntut
kembali jawaban yang dijanjikan. Pada waktu penyampaian kembali, Sutan
Balun tak lagi bisa menyembunyikan perasaannya. Sutan Balun secara tegas
meminta kejelasan dari Sutan Maharadjo Basa, apa alasan raja menolak
usulannya. Karena desakan yang keras dari Sutan Balun, maka Sutan
Maharadjo Basa menegaskan bahwa undang-undang Tarik Balas tidak bisa
diubah oleh siapa pun juga, karena sudah turun-temurun dari nenek
moyang.
Sutan Balun menyampaikan bahwa dia mengusulkan perubahan bukan
untuk mencari-cari simpati dari masyarakat, tetapi adalah untuk membela
keselamatan rakyat, dan tidak ada pula bermaksud menjatuhkan kekuasaan
kakaknya. Sutan Balun mengatakan bahwa kakaknya telah salah dalam
berpikir, namun Sutan Maharadjo Basa menjawab bahwa Sutan Balun tidak
berhak ikut campur dalam urusan kerajaan, karena ayah Sutan Balun
bukanlah seorang raja sebelumnya.
Sutan
Balun tidak menjawab sepatah kata pun, karena hati dan perasaannya
merasa sangat sakit karena ucapan terakhir dari sang raja. Sutan Balun
yang mempunyai sifat yang budiman dan penyabar, sangat pandai menahan
hati, sehingga tak tampak sama sekali kekecewaan dan sakit hati yang
dirasakannya. Sehabis ucapan terakhir dari sang raja, keduanya hanya
bisa diam dan bermenung. Setelah sekian lama diam dan bermenung, Sutan
Balun berdiri dan terus berjalan tanpa pamit sepatah kata pun. Sutan
Balun menuju keramaian untuk menenangkan pikiran tanpa menceritakan
kembali kepada siapa pun tentang apa yang telah dialaminya.
Sungguhpun banyak hiburan yang ditemuinya di dalam keramaian, tidak bisa untuk mehilangkan kegelisahan dan rasa
hatinya yang telah hancur. Adapun yang dilakukan oleh Sutan Maharadjo
Basa juga diam tidak pernah menegur sapa Sutan Balun, tentunya keadaan
ini makin memperparah keadaan yang dialami oleh Sutan Balun.
Ayah Sutan
Balun yang sangat hapal dengan sikap dan tingkah laku Sutan Balun,
tentunya merasa heran melihat perubahan yang dialami putranya. Sutan
Balun yang sudah bertekad untuk memperjuangkan sendiri cita-citanya,
tidak mau mengungkapkan isi hatinya pada Cati Bilang Pandai, walaupun
sudah dibujuk dengan segala cara. Namun, Cati Bilang Pandai karena
adalah orang yang sangat bijaksana, akhirnya Sutan Balun menceritakan
semua yang telah terjadi antara dirinya dengan Sutan Maharadjo Basa.
Setelah
mendengar semua uraian dari Sutan Balun, Cati Bilang Pandai juga turut
merasa gelisah dan kesal hatinya melihat kondisi hubungan anak
kandungnya Sutan Balun dengan Sutan Maharadjo Basa anak tirinya. Karena
hubungan darah yang tidak sama itulah, membuat sulit bagi Cati
Bilang Pandai untuk membantu menyelesaikannya. Kedua pihak yang sama-sama
mempertahankan pendiriannya masing-masing, yang berujung merusakkan
hati dan keretakkan antara dua bersaudara berlainan ayah.
Cati
Bilang Pandai hanya bisa menyabarkan hati Sutan Balun. Namun Sutan Balun
mengemukakan kesedihan hatinya lantaran pembicaraan Sutan Mahardjo Basa.
Baginya lebih sakit disinggung oleh kata daripada kena senjata tajam.
Segala macam pandangan disampaikan Cati Bilang Pandai untuk menenangkan
hati Sutan Balun, namun tidak berhasil sama sekali. Pada akhirnya, Sutan
Balun meminta izin kepada ayahnya agar dirinya bisa dilepas untuk
melakukan perjalanan untuk menenangkan hati dan jiwanya yang gelisah dan
menderita siksaan batin yang sangat berat.
Cati
Bilang Pandai tidak mengizinkan anaknya untuk pergi dengan alasan bahwa
ilmu pengetahuan yang akan diberikannya masih banyak lagi, sedangkan
yang telah ada pada diri Sutan Balun belumlah mencukupi. Selain itu,
Cati Bilang Pandai tidak akan merasa tenang hatinya sebelum pertikaian
antara kedua anaknya selesai.
Jika sengketa ini didiamkan tanpa
diselesaikan, akibatnya akan sampai kepada rakyat. Sebab rakyat yang
bersimpati kepada Sutan Balun akan gelisah, jika Sutan Balun menyisihkan
diri dari Sutan Maharadjo Basa. Akibatnya akan membawa perpecahan anak
nagari menjadi dua golongan, yaitu golongan Sutan Maharadjo Basa dan
golongan Sutan Balun. Cati Bilang Pandai berusaha menahan Sutan Balun
untuk tidak berangkat meninggalkan kampung. Tetapi keputusan Sutan Balun
sudah tak bisa diubahnya lagi. Cati Bilang Pandai dengan terpaksa
melepas kepergian Sutan Balun.
Pada
saat waktu yang tepat, Sutan Balun berangkat diam-diam setelah
jauh-jauh hari meminta izin dan berjabat tangan dengan kedua orang tua
dan adiknya. Sutan Balun sama sekali tidak menemui Sutan Maharadjo Basa
untuk minta izin atau sekurang-kurangnya memberi tahu niatnya.
Sutan Maharadjo Basa insyaf dan sadar bahwa kepergian Sutan Balun bukan hanya karena pendirian dan tujuannya tidak tercapai, tetapi pergi karena hati yang rusak disebabkan kata-kata yang diucapkan kepada adiknya. Sebagai kakak yang sangat menyayangi dan mengagumi adiknya, Sutan Maharadjo Basa merasakan hati yang hancur ditinggalkan adik dalam keadaan tidak berbaik hati. Sutan Maharadjo Basa merasa sangat canggung ditinggalkan Sutan Balun, seperti pepatah: “bak padang ditinggakan angin, bak lauik ditinggakan ombak”. Penyelesalannya semakin hari semakin bertambah apalagi timbul kesulitan-kesulitan dalam urusan nagari dan pemerintahannya.
Tekad
untuk yang bulat untuk mengubah undang-undang Tarik Balas yang telah
banyak merugikan rakyat menambah pekat darah dalam diri Sutan Balun
selama menempuh perjalanan. Dia berjanji tidak akan pulang kampung
sebelum sanggup melenyapkan undang-undang yang menjadi sebab
perselisihannya dengan Sutan Maharadjo Basa dan membawa dirinya jauh ke
rantau. Menurut cerita Tambo Minangkabau, Sutan Balun berangkat dari
Pariangan Padang Panjang, lalu ke nagari Lima Kaum dan terus ke
Batu Taba. Diteruskan berjalan ke Sijunjung, menyusuri ke hilir Batang
Kuantan, terus ke Selat Malaka. Dilayarinya Selat Malaka dengan
menyinggahi pulau-pulau di Riau sambil menambah pengetahuannya.
Selanjutnya terus menuju tanah Semenanjung Malaka dan masuk ke Selat
Johor. Adapun rute yang ditempuhnya, yaitu tanah Malaya, Pahang, Petani,
Negeri Sembilan, Kuala Lumpur, Kedah, sampai keluar Tanah Malaya.
Diteruskannya perjalanan ke Siam menuju Bangkok.
Tujuan
perjalanannya ke daerah-daerah tersebut adalah semata-mata untuk
melihat, memandang, dan mempelajari adat-istiadat serta ilmu
pemerintahan negeri yang disinggahinya. Puas berkeliling di Siam dan Bangkok serta telah cukup mengerti dengan tata
cara hukum, Sutan Balun meneruskan perjalanannya menuju negeri China.
Dia bermaksud untuk sampai ke Makau dan sekitarnya, karena dimasa itu
negeri tersebut telah mempunyai kemajuan dan terkenal kemana-mana.[3]
Pada
suatu saat Sutan Balun termenung dan teringat pada nasib diri yang
terombang-ambing oleh peruntungan yang membawanya ke perantauan yang
jauh. Dalam termenungnya, dia teringat kejadian yang menjadi penyebab
terpisahnya diri dari orang tua dan saudara sampai waktu yang cukup
lama. Timbullah rasa cinta dan kerinduan pada kampong halaman, tanah
tumpah darahnya.
Setelah
dirasa cukup pengetahuannya untuk melaksanakan cita-citanya untuk
memperbaiki nasib rakyatnya, timbullah keinginan untuk pulang ke kampong
halaman. Setelah menimbang semasak-masaknya dan mengukur ilmu
pengetahuannya, apakah sudah cukup untuk mencapai tujuan agar tidak ada
halangan lagi sama sekali. Menjalani hidup di perantauan selama lebih
kurang tiga tahun, sudah cukup rasa dan keyakinannya, disiapkanlah
barang-barang yang tidak ada di negerinya untuk dibawa pulang. Selain
itu dibawanya seekor anjing kesayangannya yang didapat di negeri Siam.
Seekor anjing kumbang (hitam) yang besar, bulunya panjang, serta daun
telinga yang terkulai. Anjing tersebut menjadi teman setia dan menjadi
pengawal pribadinya selama menjalani masa perantauan. Kesetiaannya yang
melebihi keberaniannya menjadi alasan kuat kenapa anjing itu harus
dibawa bersama pulang ke Pariangan Padang Panjang.
Pada
waktu dan situasi yang baik, berangkatlah Sutan Balun dari tanah China
kembali ke tanah airnya, Pulau Andalas. Dalam perjalanan, selalu
terbayang olehnya keinginan dan cita-citanya sambil memikirkan bagaimana
cara baik untuk melaksanakannya. Akibatnya dia lupa arah perjalanan,
laut mana yang sedang diarunginya. Setelah melalui Pulau-pulau Tujuh dan
barulah sadar saat telah memasuki perairan Riau. Sampai di salah satu
lembah di Batang Hari, ditelusuri sungai tersebut ke arah hulu hingga
berlabuh di suatu negeri kecil. Beberapa lama
menyusuri pedalaman, maka sampailah Sutan Balun di Pariangan Padang
Panjang. Sutan Balun langsung menemui kedua orang tuanya dan menyalami
tangan keduanya. Rasa bahagia memenuhi isi rumah menyambut
kedatangannya.
Sutan
Balun menceritakan kejadian-kejadian yang dialaminya, dimana belum
pernah ditemui sebelumnya. Mulai dari suka dukanya di tengah-tengah
lautan lepas yang diarungi tanpa pernah dipelajari sebelumnya, tetapi
alam sekitarnya telah menjadi guru hingga dia tidak mengalami
kesulitan-kesulitan yang berarti. Dari kejadian-kejadian alam yang
ditemui, Sutan Balun mendapatkan banyak hikmah dan pengalaman hidup, dan
yang paling penting adalah ilmu pengetahuan yang kelak sangat berguna
bagi kelangsungan hidup dirinya serta masyarakat banyak.
Seperti
kejadian matahari yang menyinari bumi, dengan panas teriknya, di tengah
laut Sutan Balun melihat kejadian dari langit tidak berawan menjadi
berawan dan awan tersebut buyar menurunkan hujan. Hujan turun membasahi
bumi mengalir di sungai-sungai membawa hanyut debu, pasir, tanah dan
kembali lagi berkumpul di lautan tempat asalnya. Catri Bilangpandai
sangat terharu mendengar cerita putranya. Apalagi mendengar ucapan
kata-kata falsafah yang halus tetapi sangat dalam pengertiannya yang
dikemudian hari akan dilaksanakan oleh Sutan Balun menjadi falsafah Adat
Nan Sabana Adat.
Orang-orang
kampung pun mulai ramai mengunjungi Sutan Balun di rumah ibunya Putri
Indah Jalih. Tak henti-hentinya tamu yang diterima oleh Sutan Balun, baik
dari pihak keluarga, dari korong kampung, serta dari koto dan nagari.
Sutan Maharadjo Basa pun tahu orang-orang selalu ramai mengunjungi rumah
ibunya, ada keinginan untuk bertamu, namun belum ada kesempatan sama
sekali. Sutan Maharadjo Basa berkeinginan bercakap-cakap secara empat
mata dengan adiknya Sutan Balun, namun karena masih banyaknya tamu,
terpaksa keinginan tersebut diundurnya. Sutan Maharadjo Basa kemudian
menugaskan hulubalangnya untuk menemui Sutan Balun dalam rangka
menyampaikan keinginan sang raja.
Kedatangan hulubalang diterima oleh
Sutan Balun, kemudian terbayang olehnya bahwa keretakan yang disebabkan
oleh kata-kata sang raja yang menusuk hatinya dahulu telah diinsyafi
oleh sang raja. Saat itu timbullah kembali harapan Sutan Balun bahwa
cita-citanya akan tercapai dengan jalan baik-baik.
Untuk
menyisiasatinya, Sutan Balun menanyakan beberapa hal kepada hulubalang
tentang keadaan Sutan Maharadjo Basa. Secara tidak sadar, hulubalang
telah menguraikan beberapa hal yang disinggung oleh Sutan Balun. Sutan
Balun menanyakan keadaan secara perlahan dan sedikit demi sedikit serta
pertanyaan yang sifatnya memancing hulubalang untuk menjawabnya. Setelah
sekian lama berbicara dan tanya jawab berbagai hal, hulubalang pun
pamit. Sutan Balun merasa harap-harap cemas menunggu kedatangan
saudaranya Sutan Maharadjo Basa.
Akhirnya,
pada keesokan paginya Sutan Maharadjo Basa datang diiringi oleh
hulubalangnya. Dengan penuh sukacita Sutan Balun menyambut
kedatangannya. Keduanya lalu duduk melakukan ramah tamah dengan penuh
rasa persaudaraan. Dalam pertemuan pertama itu, hanya membahas tentang
masalah keluarga, tidak ada dibicarakan mengenai kejadian yang pernah
membuat pertengkaran diantara mereka. Setelah sekian lama
berbincang-bincang, mereka pun makan siang bersama. Selesai makan, Sutan
Maharadjo Basa minta izin pamit pulang. Diikuti oleh hulubalang, Sutan
Maharadjo Basa turun ke halaman rumah. Sutan Balun mengikuti hingga pintu
depan rumah.
Saat hulubalang yang berjalan paling terakhir melewati anjing kumbang kesayangan Sutan Balun. Saat itu anjing kumbang sedang asyik berguling-guling di dekat gerbang perkarangan rumah. Sewaktu hulubalang sudah dekat dengan anjing tersebut, dihampirilah anjing itu karena ketertarikannya melihat sang anjing, saat hulubalang hendak memegang tali pengikatnya, si anjing menoleh pada tuannya, Sutan Balun. Sutan Balun memberi sedikit kode, dan karena sudah tiga tahun lebih menemani tuannya dengan setia, si anjing langsung mengerti, si anjing spontan marah terus melompat ke arah hulubalang dan menggigitnya.[4]
Sutan Maharadjo Basa terkejut melihat kejadian tersebut.
Sebagai tuan rumah dan majikan sang anjing Sutan Balun langsung mengejar
dan berusaha melepaskan hulubalang dari terkaman anjing yang sedang
marah. Kaki hulubalang mengeluarkan darah karena terluka agak dalam dan
merasa sangat kesakitan karena gigitan sang anjing. Darah yang mengalir
membasahi celananya, dan menjadi terlihat jelas oleh khalayak ramai yang
menyaksikan peristiwa tersebut. Sutan Balun langsung memberikan
pertolongan pertama pada hulubalang.
Berita
mengenai tergigitnya hulubalang tersiar dengan cepat melalui cerita
dari mulut ke mulut. Setelah kejadian itu, orang-orang yang bertamu ke
rumah Sutan Balun merasa harus berhati-hati agar tidak digigit oleh sang
anjing. Kejadian itu menjadi buah bibir dan pemikiran bagi para cerdik
pandai, para hulubalang-hulubalang lainnya, dan ampang lima, karena
membahayakan bagi si hulubalang yang terkena gigitan sebagai yang
teraniaya. Oleh karena itu, sangat pantas untuk dituntut orang yang
memiliki anjing tersebut. Kelanjutan dari permasalahan ini sangat
menjadi perhatian orang banyak, karena yang kena gigit adalah
hulubalang, sementara yang punya anjing dan patut didakwa adalah orang
yang malah sepatutnya memberikan keadilan bagi rakyatnya.
Sutan
Maharadjo Basa merasa sangat kesulitan dalam memikirkan keadaan
tersebut, akan terasa berat bila diadili, karena demi menjaga hati dan
perasaan saudaranya yang baru saja kembali dari perjalanan yang sangat
jauh karena kesedihan hati sebelumnya. Jika Sutan Balun dituntut, ada
kekwatiran pada diri Sutan Maharadjo Basa, Sutan Balun yang telah rusak
hatinya dan mungkin bisa disembuhkan, nanti malah akan bertambah rusak. Jika
tidak diperkarakan dan diadili, tentunya tidak akan menyenangkan hati
anak negeri dan mungkin akan menghilangkan wibawanya sebagai orang yang
berkuasa. Itulah sebabnya Sutan Mahardjo Basa sangat lalai untuk
mengusut dan menyelesaikan masalah tersebut. Sementara Sutan Balun juga
ikut merasa tidak enak dan gelisah karena belum diusutnya perkara
tersebut, bisa-bisa juga rencananya untuk memberikan yang terbaik bagi
rakyatnya akan kandas sebelum sempat menyampaikannya.
Sutan
Balun kemudian mengemukakan kepada Sutan Maharadjo Basa, bahwa perkara
tersebut wajib diselesaikan agar pemerintahan Sutan Maharadjo Basa tidak
dipandang jelek oleh rakyatnya. Atas pendapat itulah, Sutan Maharadjo
Basa lalu melanjutkan perkara tersebut menurut ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam negeri. Tepat pada hari kelima setelah hulubalang digigit
anjing, maka bersidanglah para “manti” serta para pembantu raja dalam
persidangan adat yang dilaksanakan diatas “Balairung Sari” yang memiliki
panjang tujuh belas ruang. Rakyat pun turut menyaksikan proses
persidangan, karena yang terlibat dalam perkara adalah Sutan Balun.
Balairung Sari
dipenuhi oleh peserta rapat yang akan menggelar sidang. Selain itu juga
disaksikan oleh para penduduk yang datang dari penjuru Nagari.
Persidangan dimulai dengan pemeriksaan terdakwa, yaitu Sutan Balun.
Dalam pemeriksaan, Sutan Balun mengakui perbuatan anjingnya yang telah
menggigit kaki hulubalang hingga terluka mengeluarkan banyak darah.
Sutan Balun juga berpendapat, bahwa siapa yang melakukan harus
bertanggung jawab atas perbuatannya dan patut didakwa. Pada
kenyataannya, dalam perkara tersebut tidak ada kesalahan pada pribadi
Sutan Balun, karena khalayak ramai menyaksikan bahwa yang melakukan
kesalahan adalah seekor anjing. Tetapi yang merumitkan dalam
persidangan, kenapa Sutan Balun yang didakwa melakukan kesalahan?.
Sutan
Balun merasa keberatan dan menolak kalau dia yang harus
bertanggung jawab, karena si anjinglah yang patut didakwa melakukan
kesalahan. Sutan Balun berpendapat bahwa dalam menegakkan keadilan harus
merujuk pada hukum yang berlaku, dan menurut Hukum Tarik Balas,
pelaksanaan hukum atau penjatuhan vonis pada terdakwa harus sama atas
perbuatan yang telah dilakukannya pada si korban. Menurut Sutan Balun,
ada baiknya pelaksanaan hukuman adalah berdasarkan ilmu dalam
menjatuhkan vonis, itulah yang disebut dengan “hukum ilmu”. Peserta dan
pendengar sidang di Balairung Sari sangat setuju mendengar pendapat dari
Sutan Balun. Hakim dan juri dalam persidangan tersebut lalu memutuskan
bahwa Hukum Tarik Balas harus tetap dilaksakan.[5]
Keputusan
sidang, karena hulubalang digigit oleh anjing, maka balasannya adalah
harus menggigit kembali anjing milik Sutan Balun. Namun, keputusan
sidang ini malah membuat pikiran baru, karena tidak mungkin orang atau
manusia yang mengigit anjing. Disinilah kesempatan bagi Sutan Balun
untuk mengemukakan kembali usulannya yang pernah mentah dan tidak
diterima oleh Sutan Maharadjo Basa, bahwa “Hukum Tarik Balas” harus
diganti, karena pelaksanaan undang-undang dari “Tarik Balas” hanya akan
melahirkan konflik baru setelah penjatuhan vonis hukum. Karena menurut
hukum “Tarik Balas”, bila seseorang yang telah melakukan kesalahan dan
dihukum, maka yang melaksanakan hukuman adalah juga termasuk telah
melakukan kesalahan dan harus dihukum juga. Tentunya akan ada rentetan
permasalahan baru yang terjadi sebagai akibat dari permasalahan
sebelumnya. Sutan Balun mengusulkan pergantian undang-undang Tarik Balas
dengan undang-undang yang lebih menguntungkan rakyat banyak. [6]
Sutan
Maharadjo Basa yang mendengarkan pendapat dari adiknya Sutan Balun,
teringat kembali kejadian yang membuat larinya Sutan Balun dari kampung,
meskipun di dalam hati sangat kagum dan menerima kebenaran tersebut.
Dulunya Sutan Maharadjo Basa menolak pendapat Sutan Balun karena ada pra
sangka yang tidak baik, takut jika kekuasaannya akan diambil alih oleh
Sutan Balun. Namun, di tengah keramaian sidang di Balairung Sari, Sutan
Mahardjo Basa insyaf dan menyetujui usulan adiknya untuk dilaksanakan.
Tuah Sakato (Demokrasi)
Setelah
ada kata sepakat dari Sutan Maharadjo Basa, maka undang-undang Tarik
Balas dihapus dan akan dibuat undang-undang baru yang lebih
menguntungkan rakyat banyak. Rapat pun ditutup untuk sementara waktu
menjelang lahirnya undang-undang baru yang dijanjikan oleh para pemuka
masyarakat Minangkabau tersebut.
Tiga
hari setelah sidang di Balairung Sari dilaksanakan, Sutan Maharadjo Basa
menemui Sutan Balun untuk menyambung pembicaraan, merancang dan
merumuskan undang-undang pengganti undang-undang Tarik Balas yang telah
dicabut. Sutan Balun menyanggupi maksud dan tujuan kedatangan Sutan
Mahardjo Basa, tetapi menginginkan pembicaraan harus dilakukan di tempat
khusus, agar segala hal yang dirumuskan tidak diketahui umum sebelum
menjadi sebuah keputusan. Sutan Balun mengusulkan agar ruang sidang
Balairung sari atau “Balai Panjang” yang berada di nagari Tabek dan
berjumlah tujuh belas ruang, pada bagian tengahnya ada sebuah ruangan
untuk dipindahkan ke Pariangan.
Sisa
ruangan Balairung Sari setelah dikurangi adalah sebanyak enam belas
ruang, yang terpisah masing-masing delapan ruang kiri dan kanan. Delapan
ruang sebelah kanan digunakan untuk tempat rapat umum, tempat berunding
untuk menghasilkan pendapat, dimana pendapat yang dihasilkan harus
menghindari sistem suara terbanyak. Keputusan yang diambil harus memberi
manfaat bagi rakyat banyak, baik di bidang pemerintahan atau pun
bidang-bidang lainnya.
Sementara delapan ruang sebelah kiri digunakan
untuk menyampaikan keputusan-keputusan yang telah dibuat, serta tempat
untk mengatur pelaksanaan undang-undang.
Sebuah ruangan yang dipindahkan
dari Balairung Sari ke Pariangan diberi nama “Balai nan Saruang." Pada
kenyataannya, pemotongan ruangan tidak dilakukan karena hanya merupakan
hakikat dari pelaksanaan sistem demokrasi yang diusulkan oleh Sutan
Balun. Perbedaannya adalah pelaksanaan usulan Sutan Balun terhadap
Balairung Sari hanyalah pembongkaran lantai pada sebuah ruangan yang
berada tepat di tengah-tengah Balairung Sari. Itulah pendapat dari Budi
Curiga yang ada pada diri Sutan Balun, serta dengan penuh keyakinan
dilaksanakan oleh Sutan Maharadjo Basa.
Setelah
pelaksanaan keputusan perombakan sistem musyawarah di Balairung Sari,
maka Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun melaksanakan perancangan
undang-undang pengganti undang-undang Tarik Balas di “Balai Saruang”.
Sutan Balun mengemukakan bahwa undang-undang yang bakal dirumuskan harus
sesuai dengan kehendak umum dan tidak menyalahi kebenaran,
karena yang akan memakai undang-undang adalah rakyat banyak. Setiap
rapat yang dilaksanakan harus sesuai dengan pendapat dan keputusan untuk
menerimanya harus dengan suara bulat. Suara bulat adalah tidak ada
seorang anggota masyarakat pun dengan tanpa unsur paksaan yang
menbantah, sehingga dalam tatanan hidup Minangkabau tidak ada yang
beroposisi.
Walaupun dalam melaksanakan rapat banyak usulan yang
disampaikan oleh Sutan Balun, namun Sutan Balun tetap menginginkan agar
pemeritahan terus dijalankan oleh Sutan Maharadjo Basa sebagai pucuk
pimpinan tertinggi dalam nagari. Sutan Mahardjo Basa kemudian
menyerahkan semua pelaksanaan perancangan pembentukan undang-undang
kepada Sutan Balun. Cati Bilang Pandai sebagai yang tertua dan menjadi
penengah musyawarah antara Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun
menguatkan semua usulan Sutan Balun serta memberikan catatan penting
bahwa segala hasil rancangan undang-undang nantinya tidak ada rasa
keberatan dari Sutan Maharadjo Basa, atau kemudian dikenal dengan
istilah “Tuah Sakato” yang berlandaskan demokrasi.
Kelarasan dan Tikaman Batu Sebagai Lambang Perdamaian
Setelah
Sutan Balun dapat menyelesaikan rancangan undang-undang pengganti
undang-undang Tarik Balas, maka dilaksanakanlah kembali rapat di Balai
nan Saruang. Sidang yang dihadiri beberapa pemuka masyarakat, dipimpin
langsung oleh Sutan Maharadjo Basa. Sebagai pimpinan sidang, beliau
meminta peserta sidang untuk mengemukakan pendapat agar dapat menjadi
rumusan bersama nantinya. Setelah usulan-usulan diterima, Sutan
Maharadjo Basa menyerahkan pimpinan rapat kepada Sutan Balun untuk
merancang undang-undang. Disaat serah terima itulah terjadi pelantikan
secara resmi. Sebelum memimpin sidang, Sutan Balun melakukan sumpah
jabatan. Sutan Balun meminta untuk disediakan sebuah batu yang berukuran
besar dengan ketebalan sekitar kurang dari panjang keris, karena bila
ditusuk nantinya bisa tembus dari satu sisi ke sisi lainnya. Batu itu
akan ditempatkan nantinya di Balairung Sari saat undang-undang yang baru
telah dinyatakan sah.
Pada
saat rapat di Balairung Sari dilaksanakan, rapat dihadiri oleh hampir
dari seluruh wakil rakyat Minangkabau baik yang berasal dari nagari
Pariangan, maupun yang datang dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, maupun
dari Luhak Limopuluah Kota. Rapat dibuka oleh Sutan Mahardjo Basa,
diiringi dengan mengulas kembali aturan pemerintahan yang selama ini
telah jalan, yaitu undang-undang Tarik Balas. Namun, dalam
perkembanganya, undang-undang Tarik Balas tidak sesuai lagi
pelaksanaannya dengan perkembangan waktu dan zaman. Peserta rapat yang
hadir sepakat atas uraian Sutan Maharadjo Basa serta keinginan penguasa
untuk mengubah undang-undang Tarik Balas. Setelah disepakati, maka
diumumkanlah peresmian dan pelantikan Sutan Balun sebagai pucuk pimpinan
rapat untuk mengganti undang-undang.
Sutan
Balun menyampaikan rasa terima kasihnya karena rakyat sangat menyetujui
pengangkatannya sebagai pimpinan rapat. Sutan Balun menyatakan ikrar
atau sumpah jabatan dengan perkataan dan perbuatannya. Sutan Balun pun
dilantik oleh Cati Bilang Pandai. Atas usulan Sutan Balun, Sutan
Maharadjo Basa pun dilantik dan diambil sumpahnya oleh Cati
Bilang Pandai. Maka terbentuk duet pemerintahan, yaitu Sutan Maharadjo
Basa sebagai pucuk pimpinan nagari-nagari termasuk luhak-luhak beserta
nagari perantauan, dan Sutan Balun sebagai pucuk pimpinan sidang yang
akan memikirkan segala sesuatu tentang pembentukan undang-undang dalam
pemerintahan serta undang-undang yang akan membawa kesejahteraan bagi
rakyat Minangkabau.
Dalam
proses pengambilan sumpah, Sutan Maharadjo Basa memegang gagang keris,
sedikit menarik keluar, lalu dengan cepat dimasukan kembali ke sarangnya
sebagai tanda kebesaran kerajaan. Namun berbeda dengan yang dilakukan
oleh Sutan Balun, Sutan Balun memegang dengan kuat keris di tangan
kanannya, sambil mengucapkan sumpah: “Selama batu ini masih berlubang
bekas tikaman keris pustaka ini, yang jernih berpantang keruh, adat
lembaga akan dikembang, gantang didirikan akan dilandung isinya, tuah
disakato, berpantang luput dari hujan, berpantang lengkang oleh panas”.
Selesai mengucapkan sumpah, Sutan Balun menikamkan keris ke batu yang
telah disediakan hingga terbenam mata keris dan tembus ke bagian sisi
lain dari batu tersebut.[7]
Setelah
terbentuk dua jabatan penting dalam unsur pemerintahan Minangkabau,
Sutan Balun mengusulkan untuk memberikan nama pada masing-masing jabatan
yang diemban oleh Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun.
__________________________________
Disalin dari kiriman di blog http://risdalrajoperak.blogspot.com
Pada tanggal 12 Juni 2009
___________________________________
Catatan Kaki oleh Agam van Minangkabau:
[1] Beberapa ahli berpendapat Undang Undang Tarik Baleh memiliki kemiripan dengan Hukum Syari'at. Beberapa diantara mereka berpendapat bahwa Islam telah menjadi agama resmi ketika itu di Minangkabau yang berarti bahwa Islam telah lama masuk ke Minangkabau. Hal ini bersesuaian dengan Teori Buya Hamka dan beberapa ahli lainnya yang mengemukakan bahwa Islam telah masuk ke Minangkabau semenjak abad pertama Hijriyah yang dibawa langsung dari Timur Tengah bukan dari Persia ataupun India sebagaimana yang dipropagandai oleh Kaum Orientalis dan diterima dan dipercayai oleh sebagian Umat Islam di Minangkabau.
[2] Kisah pertikaian antara Sutan. Maharajo Basa (Dt. Katumangguangan) dengan adiknya St. Balun (Datuak Parpatiah Nan Sabatang) diduga merupakan kisah rekaan para Orientalis yang ingin mengadu-domba antara Adat dengan Syari'at. Dimana oleh Minangkabau dimakan mentah-mentah dengan mengimak dan menerima begitu sahaja. Koto Piliang dipandang Otoriter sedangkan Bodi Chaniago disanjung-sanjung sebagai "Demokratis'.
[3] Orang Eropa hanya mengenal empat tempat sebagai negeri berperadaban di Asia; 1) Babilonia dan 2) Persia di Timur Tengah, 3) India, dan 4)Cina. Kisah ini hendak menekankan kepada orang Melayu bahwa negeri mereka bukanlah negeri beradab dan selalu mendapat pengaruh dari negeri berperadaban maju. Mereka menamai daerah di Asia Tenggara sebagai Indo Cina dan India Belakang, semenjak Perang Dunia II mereka menggunakan istilah "Asia Tenggara".
[4] Pada versi lain disebutkan bahwa anjing St. Balun menggigit hulubalang abangnya tatkala baru turun dari kapal. Dimana Sutan Maharjo Basa karena kegirangan hati mendengar adiknya telah kembali mengutus hulubalangnya untuk menjemput sang adik ke pelabuhan. Namun di pelabuhan, dalam penyambutan tersebut ia digigit oleh anjing sang Pangeran.
[5] Belum pernah didengar istilah "Juri" dalam pengadilan di Minangkabau, entah kalau sumber-sumber sejarah lupa mencantumkan.
"Melaksanakan Ilmu dalam menjatuhkan Hukuman", narasi ini menuduh bahwa selama ini pelaksanaan hukuman (Hukum Tarik Baleh) tidak berdasarkan Ilmu. Hal ini bertentangan dengan hukum itu sendiri karena tidak mungkin sebuah hukum dibuat atau diciptakan kalau tidak ada ilmu pada orang yang menciptakannya.
[6] Dalam sistem hukum moderen saat ini tidak pernah hewan peliharaan ataupun benda yang digunakan oleh manusia yang dituntut ke muka pengadilan. Melainkan si pemiliklah yang harus mempertanggung jawabkan perbuatan binatang peliharaannya ataupun kendaraan yang dikemudikannya.
[7] Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa batu itu ditikam oleh Dt. Katumangguangan (St. Maharjo Basa) bukan oleh adiknya St. Balun (Dt. Parpatiah Nan Sabatang). Hal ini perlambang kebesaran hati Dt. Katumangguangan dalam menerima pendapat adiknya. Kecamuk hati ditekan, kepala yang panas didinginkan demi menjaga kemaslahatan (stabilitas) rakyat banyak agar janga bergaduh soal perbedaan pendapat antara ia dengan adiknya.