Bahder Djohan (Bag.I)

Sumber Gambar: https://id.diversity.id
Mei 9, 2019 | Ahmad Gabriel

Pada 30 April – 2 Mei 1926, para pemimpin organisasi pemuda sepakat menyelenggarakan “Kerapatan Besar Pemuda” yang kemudian dikenal dengan nama Kongres Pemuda I di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh hampir seluruh organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studeerende Minahasaers, Jong Bataks Bond, dan Pemuda Kaum Theosofi.

Dalam Kongres Pemuda I ini, Bahder Djohan sebagai salah satu Pengurus Besar JSB menyampaikan pidatonya yang berjudul,“De Positive van de Vrouw in de Indonesische Samenleving”(“Kedudukan Kaum Wanita dalam Masyarakat Indonesia”). Pada awal pidatonya, Bahder Djohan mengatakan bahwa pemecahan persoalan wanita di negeri ini sama pentingnya dengan pelaksanaan dari sekian banyak cita-cita politik dan ekonomi.


“Wanita Indonesia mestilah berdiri di samping pria bagi tanah air dan bangsa,” tegasnya. Menurut Djohan, apabila ibu Indonesia menyusui bayinya, ia telah ikut membentuk pemuda harapan bangsa. Karena pemuda berdiri pada garis depan untuk perjuangan bangsa dan tanah air. Para pemuda jugalah yang menjabarkan ide persatuan yang menyatukan suku bangsa Indonesia. Ia pun mengakhiri pidatonya dengan mengatakan, “Maka tidak seorang pun yang menaruh keberatan jika dikatakan di tangan wanitalah terletak hari depan lndonesia”.

Pidato Bahder Djohan dan tokoh-tokoh pemuda lainnya yang terangkum dalam Laporan Kongres Pemuda Indonesia I itu dilarang beredar oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun dalam kongres itu, timbul diskusi mengenai bahasa apa yang akan dijadikan sebagai bahasa persatuan. Maka, lahirlah ide “Bahasa Indonesia” sebagai bahasa persatuan.

Sumber Gambar: https://id.diversity.id
Semangat untuk mencapai persatuan Indonesia,bahkan sampai Indonesia merdeka,dihembuskan dengan kuat dalam kongres itu. Kongres Pemuda I dapat dikatakan memberikan dasar kuat pada lahirnya konsep “Ikrar Pemuda” yang pada akhirnya dideklarasikan sebagai “Sumpah Pemuda” pada Kongres Pemuda II di Jakarta, 28 Oktober 1928. Inilah isi Sumpah Pemuda yang menggambarkan persatuan beragam suku dan bangsa di Indonesia hingga mencapai kemerdekaanya itu:

“Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”

Teman Main dan Aktivis Bersama Hatta Sejak Kecil
Bahder Djohan merupakan seorang dokter tamatan School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA) (Indisch Art) yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) dua periode dalam dua kabinet berbeda. Periode pertama pada masa Kabinet Natsir yang berlangsung dari 6 September 1950 hingga20 Maret 1951.Sedang periode kedua pada masa Kabinet Wilopo yang berlangsung sejak 3 April 1952 sampai dengan 30 Juli 1953.

Bahder Djohan lahir di Lubuk Begalung, Padang, pada 30 Juli 1902. Ia adalahputra seorang jaksa terpandang di Sumatera Baratbernama Mohammad Rapalyang bergelar Sutan Boerhanuddin, asal Koto Gadang, Agam, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ibunya bernama Lisah asal Padang, Sumatera Barat.Pasangan ini dikaruniai 10 anak, lima laki-laki dan lima perempuan. Bahder Djohan merupakan anak kelima.

Ketika berusia6 tahun pada 1908, ia disekolahkan di SD “Sekolah Melayu” yang memakai sistem Barat di kota kelahiran ibunya, Padang. Karena ayahnya dipindahkan ke Payakumbuh dan setelahnya ke Pariaman, Bahder Djohan pun terpaksa pindah sekolah ke Bukittinggi. Ia dapat dikatakan sebagai anak yang mudah bergaul dan berteman. Selama belajar di Bukttinggi,ia memiliki banyak teman, baik dari kalangan pelajar maupun masyarakat setempat, tetangga-tetangganya. Salah seorang temannya adalah Mohammad Hatta, seorang pemuda Minangkabau asal Bukittingi.

Pada 1915,ayahnya memindahkan kembali sekolah Bahder Djohan ke Hollandsch Indlandsche School (HIS) yang baru didirikan di Padang. Ia pun harus indekostkarena ayahnya masih bertugas di Pariaman. Sekolah ini menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Di sekolahini ia pernah ditanya oleh gurunya, seorang Belanda, tentang keinginannya setelah menamatkan sekolah. Dengan spontan ia menjawab,ingin menjadi seorang geolog. Jawaban itu ditanggapi oleh guru Belandanya dengan nada cemooh,

“Masa seorang pribumi akan menjadi seorang geolog.” Cemoohan itu sempat membuat darah mudanya mendidih karena sangat merendahkan martabat kaum pribumi. la berhasil meredam kemarahannya dan bertekad menyelesaikan pendidikannya dengan cepat agar dapat membuktikan bahwa orang pribumi pun dapat menjadi seorang geolog kalau diperjuangkan dengan penuh semangat.

Pada 1917,Bahder Djohan berhasil menyelesaikan HIS dan meneruskansekolahke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO),Padang. Di MULO inilah ia bertemu kembali dengan sahabatnya semasa di Bukittinggi, Mohammad Hatta. Selain sebagai teman sekolah, Bahder Djohan dan Mohammad Hatta memiliki kesamaan hobi yang membuat keduanya bertambah akrab yakni sepak bola. Keduanya bernaung dalam perkumpulan sepakbola yang sama pula yaitu perkumpulan sepak bola “Swallow” yang hampir semua anggotanya murid MULO,Padang.

Hobi lain yang membuat Djohan semakin akrab dengan Hatta adalah masalah agama. Keduanya senang mempelajari dan mengaji AI-Quran. Mereka mengikuti pelajaran agama Islam di MULO secara intensif. Masuknya pelajaran agama dalam kurikulum MULO berkat hasil lobi Taher Marah Sutan bersama Sarekat Usaha selama delapan bulan. Merekamelobi para pejabat terkait agar memasukkan pelajaran agama ke dalam kurikulum MULO. Guru agama Islam waktu itu adalah Haji Abdullah Ahmad yang merupakan ulama Islam reformis terkemuka di Minangkabau serta pendiri sekolah Adabiah yang mengadaptasi model sekolah Belanda.

Pengaruh pelajaran agama pada Bahder Djohan tampak pada praktik keagamaannya. Sejak di MULO,ia lebih tekun mempelajari agama serta mempraktikannya, terutarna dalam sholat fardu. Sejak Sarekat Usaha memperjuangkan pelajaran agama bagi murid-murid sekolah MULO,banyak kaum muda tertarik terhadap kegiatan Sarekat Usaha. Kantor Sarekat Usaha pun menjadi pusat pertemuan antara orang terkemuka dan kaum cerdik pandai di Padang. Atas bantuan Taher Marah Sutan pula,pada Januari 1918 Nazir Dt. Pamuncak yang datang dari Jakarta (Batavia) sebagai utusan Jong Soematranen Bond (JSB) berhasil mendirikan cabang JSB di kota Padang.Djohan dan Hatta yang sering berhubungan dengan Sarekat Usaha ikut pula terlibat dalam pendirian cabang JSB tersebut. Bahder Djohan terpilih sebagai sekretaris, sementara Hatta terpilih sebagai bendahara.

Sumber Gambar: https://id.diversity.id
Pada1918, ketika sedang menunggu pengumuman kenaikan kelas MULO dari kelas-2 ke kelas-3, Bahder Djohan menerima tawaran masuk STOVIA, sekolah dokter pribumi di Jakarta. Semula ia ingin menyelesaikan MULO lebih dulu.Namun,peluang itu terlalu berharga untuk disingkirkan begitu saja. Maka, tawaran itu pun diterimanya. Dengan demikian ia harus menyerahkan jabatannya sebagai sekretaris JSB cabang Padang.
Setelah menyelesaikan semua keperluan yang harus dibawa ke Jakarta, pada awal1919,Bahder Djohan berangkat ke Jakarta. Berbeda dengan di HIS dan MULO yang mengharuskannya indekos, sebagai pelajar STOVIA ia tidak perlu mencari tempat indekosan karena setiap siswa STOVIA diasramakan. Asrama tersebut berada di dalam kompleksSTOVIA.

Bahder Djohan pun kembali aktif diJSB Jakarta.Pada1919,ia dipercaya untuk menghadiri Kongres Nasional JSB yang pertama pada Juni 1919 di Jakarta. Saat itu,Amir terpilih sebagai ketua Pengurus Besar JSB, Bahder Djohan sebagai sekretaris,dan Mohammad Hatta sebagai bendahara.

Sumber Gambar: https://id.diversity.id
Rupanya,kegiatan JSB kembali mempertemukan Bahder Djohan dengan Mohammad Hatta. Keduanya menjadi semakin akrab setelah Hatta pindah ke Jakarta. SetiapSabtu sore,Hatta bertandang ke asrama STOVIA dengan naik sepeda ontelnya untuk kemudian berjalan kaki bersamaBahder Djohanke Pasar Baru atau ke Senen. Seringkali mereka bertukar pikiran tentang berbagai kehidupan sosial-ekonomi dan politik, terutama nasib kaum pribumi,sambil makan atau sekedar ngopi di wilayah Senen. Djohan yang murid STOVIA ternyata sangat tertarik pada masalah-masalah kebudayaan.Sedangkan Hatta yang mempelajari ekonomi tertarik pada masalah politik dan kebangsaan.

Pada 1921,Mohammad Hatta berangkat ke negeri Belanda untuk meneruskan pendidikan. Hal ini membuat Djohan merasa sedikit kehilangan teman berbincang dan berdiskusi. Namun,pengalaman hidup yang mandiri semasa di HIS dan MULO membuatnya tidak hanyut dalam perasaan. Sebagai salah satu Pengurus Besar JSB,ia ikut memprakarsai penyatuan semua organisasi kepemudaan guna tercapainya persatuan Indonesia. Hingga akhirnya pada 1926 terselenggaralah Kongres Pemuda I. Pada 12 November 1927,Djohan pun menerima gelar Indische Artssebagai bukti berakhirnya masa pendidikan di STOVIA dengan baik.

_____________________________________
Disalin dari: https://id.diversity.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar