[caption id="" align="aligncenter" width="600"] Gambar: https://bravaradio.com[/caption]
“Innalillahi Wainailaihi Rodjiun
Pada tanggal 2 Nopember 1965 telah wafat RANGKAJO HADJI RASUNA SAID, anggota Dewan Pertimbangan Agung, golongan wanita. Pemakaman pada tanggal 3 Nopember telah dilakukan dengan upatjara kebesaran di TAMAN PAHLAWAN KALIBATA.
Almarhumah adalah seorang wanita Indonesia jang sejak zaman kolonial berdjuang dengan gigihnja untuk kemerdekaan tanah air.
RANGKAJO RASUNA SAID sebagai pedjuang wanita Islam pula bergerak dilapangan pendidikan dan pernah mengemudikan madjalah “MENARA PUTERI” di Medan.
Pada tahun 1948- 1953, almarhumah duduk sebagai anggota Pusat Pimpinan Perwari. Didalam kongres Perwari di semarang tahun 1960, ketika diputuskan terbentuknja pinjaman Gotong-Rojong dengan 5 Ketua Pusat Pimpinan Perwari, RANGKAJO RASUNA SAID terpilih pula sebagai salah satu dari 5 ketua tersebut.
Kedudukan ini beliau pegang sampai tahun 1963. Kendatipun kesehatannja pada waktu itu sudah sering terganggu, tetapi beliau dengan tekun dan penuh perhatian mentjurahkan tenaga dan pikirannja untuk Perwari.
Bahkan selama berbaring di Rumah Sakit, dengan semangat jang tak urung padam, Beliau senantiasa menanjakan kegiatan2 Perwari.
Pemakamannya di [Taman] Makam Pahlawan kalibata telah disaksikan oleh banyak pemuka2 Wanita dan Warga Perwari.
Semoga arwah Amarhumah mendapat tempat se-baik2nya dan disisi TUHAN JANG MAHA ESA.”
***
Laporan Trisula, Madjalah Bulanan Untuk Wanita Pedjuang, Th. XV, No. 1, Desember 1965:18 tentang meninggalnya salah seorang intelektual wanita terkemuka dari Minangkabau, Rangkayo Hajjah Rasuna Said. (Dalam berita di atas ditulis ‘hadji’). Sebagaimana dapat disimak dalam laporan majalah tersebut, Rangkayo Hajjah Rasuna Said wafat pada hari Selasa, 2 November 1965 di Jakarta, sekitar dua bulan setelah terjadinya peristiwa 30 September yang akhirnya menghempaskan kekuasaan Presiden Soekarno dan mengubah jalannya sejarah Indonesia.
Rasuna Said adalah intelektual perempuan Minangkabau yang sulit dicari tandigannya sampai kini. Lahir di Maninjau pada 14 September 1910, Rasuna adalah intelektual tiga zaman: Zaman Kolonial ketika Indonesia di bawah kuasa Belanda, Zaman pendudukan Jepang (1942-1945) dan Zaman Kemerdekaan.
Nama Rasuna lebih sering diasosiasikan orang dengan dunia pers: ia menjadi terkenal karena tulisan-tulisannya di media. Akan tetapi aktivitasnya lebih luas, tidak hanya di dunia pers, tetapi juga di dunia pendidikan dan politik.
Di Zaman Belanda, ia menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), kemudian Persatuan Muslimin Indonesia (PMI) yang belakangan berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Aktivitas politik dan tulisan-tulisannya di media vernakular telah membuatnya sering berurusan dengan Politiek Inlichtingen Dienst (PID) (polisi kolonial) dan menyebabkan dirinya beberapa kali masuk bui.
Di Zaman Jepang, Rasuna, bersama Chatib Sulaiman, berjasa dalam memperjuangkan terbentuknya Gyu Gun (PETA-nya Sumatera).
Di Zaman Belanda, Rasuna merantau ke Medan dimana ia menerbitkan berkala untuk perempuan yang bernama Menara Poetri, sebgaimana dicatat dalam laporan di atas.
Di Zaman Kemerdekaan, Rasuna menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dan beberapa jabatan lainnya.
Riwayat hidup Rasuna Said dapat dibaca dengan lebih lengkap dalam buku 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong karangan Hasril Chaniago dkk. (Padang: Panitia Pelaksana Daerah Hari Pers Nasional 2018 & Biro Humas Setda Provinsi Sumatera Barat, 2018), hlm.333-336. Dalam buku tersebut, Hasril mencatat riwayat pendidikan dan karir kewartawanan dan politik Rasuna. Dapatlah ditambahkan, berdasarkan laporan majalah Trisula di atas bahwa rupanya Rasuna juga aktif dalam organisasi PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia) sejak 1948 sampai 1963.
Rasuna said meninggal setelah menderita sakit kanker darah (Chaniago dkk., ibid.:336). Sebagaimana dicatat dalam laporan di atas, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada tahun 1974, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Rasuna Said sebagai pahlawan nasional (Keputusan Presiden Nomor 084/TK/Tahun 1974). “Namanya diabadikan menjadi nama salah satu jalan utama di Jakarta dan juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia, termasuk di Kota Padang”, demikian Hasril Chaniago dkk. (ibid.) menutup uraiannya tentang riwayat hidup putri Minangkabau yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia ini.
Dr. Suryadi – Leiden University, Belanda / Padang Ekspres, Minggu 16 Juni 2019
________________________________Disalin dari blog Engku Suryadi https://niadilova.wordpress.com