Seorang puteri petani dari Minang kabau baru2 ini telah menjelesaikan latihannja pada Lembaga Perentjana Tatabumi di Bogor dan dengan demikian ia mendjadi gadis Indonesia pertama jang bekerdja sebagai ahli teknik pengawetan tanah.
Zaimar Saleh jang kini berusia 22 tahun, berasal dari desa Empat Angkat tidak djauh dari Bukittinggi di Sumatera Tengah. Dia dan teman2 sekelasnja jang lain akan mulai bekerdja bulan ini sebagai ahli teknik pengawetan tanah. Dalam bulan Oktober lalu mereka telah selesai mendjalani latihan djabatan jang lamanja empat bulan.
Sedjak tahun 1955, kursus latihan pengawetan tanah dari departemen pertanian telah melatih teknisi2 muda jang bekerdja dalam program penggunaan tanah (land-use) diseluruh Indonesia.
Empatpuluh orang teknisi pengawetan tanah jang kini bekerdja diseluruh Indonesia telah mengikuti latihan di Bogor, dan tigapuluh orang lainnja telah memperoleh latihan landjutan diluar negeri. ICA telah turut membantu pemerintah Indonesia dalam program latihan ini.
[…]”
***
Berita yang disalin dari Trisula, Madjalah Bulanan Untuk Wanita Pedjuang, Th. XI, No – 11, NOPEMBER 1961, hlm. 30) tentang wanita Indonesia pertaama “ahli teknik pengawetan tanah” (ahli pertanahan) yang bernama Zaimar Saleh. Di atas disebutkan bahwa Zaimar belajar di “Lembaga Perentjana Tatabumi” milik Departemen Pertanian di Bogor.
Disebutkan pula bahwa Zaimar Saleh yang masih berusia 22 tahun berasal dari “desa [kenagarian] Empat Angkat/Ampek Angkek”, Agam (“tidak djauh dari Bukittinggi”). Dengan demikian dapat kita ketahui sekarang bahwa seorang lagi perempuan Minang tercatat sebagai pionir (orang pertam)a yang menjadi ahli pertanahan di negara ini.
Lanjutan dari laporan di atas adalah sebagai berikut:
“ZAIMAR MEMILIH LAPANGAN KERDJA
Kenapa Zaimar memilih lapangan kerdja jang ras[a]nja hanja tjotjok untuk kaum pria, pekerdjaan jang meminta ketjintaan pada tanah dan kerdja berat ditengah lapangan ini?
‘Saja tjinta pada bau tanah’, kata Zaimar. ‘Ajah saja seorang petani, dan buat ajah tak ada gandjilnja untuk mengirim saja beladjar ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Setelah tamat sekolah itu, saja ingin mendjadi seorang ahli pengawetan tanah, dan demikianlah’.
Alasan jang dikemukakan ini begitu mudah, tetapi kerdja jang bakal dihadapi gadis ini tidaklah semudah itu.
Ketika ia sedang mendjalani latihan lapangan sekitar Bandung, gadis ini bekerdja 10 djam sehari, membuat penjelidikan tanah dan perentjanaan kebun, dibawah terik matahari musim kering jang menggersang. Didaerah batu kapur Gunungkidul jang kering di Jawa Tengah, ia harus masuk kedalam gua jang dalam untuk mempeladjari sumber2 air dibawah tanah.
Orang akan bertanja didalam hati bagaimana nanti reaksi petani2 di Minang kabau melihat seorang gadis bertjelana djengki mengembara didaerah pertanian dan berusaha mejakinkan para petani akan kebaikan pengawetan tanah, dan mengandjurkan tanaman apa jang paling tjotjok bagi tanah itu. Zaimar hanja tersenjum.”
Demikianlah kisah hidup dan karir seorang gadis Minangkabau yang mengambil bidang pekerjaan yang pada tahun 1960an dipandang aneh di Indonesia karena dianggap lebih cocok dikerjakan oleh kaum lelaki.
Di zaman sekarang pun barangkali tidak banyak kaum wanita Indonesia yang memilih pekerjaan seperti yang dipilih Zaimar. Masyarakat kita yang patriarkis memang masih tebal bias gendernya.
Dr. Suryadi – Leiden University, the Netherlands / Padang Ekspres, Minggu 23 Juni 2019
_____________________________________
Disalin dari blog Engku Suryadi https://niadilova.wordpress.com