Tulisan ini disalin dari blog Habib Al Fatih, salah seorang mahasiswa asal Minangkabau di Kairo.
Lagi-lagi saya terlibat diskusi tentang kontroversi penyelamatan bahasa daerah dengan salah seorang kawan saya.
Saya, lelaki Minang tulen, dianggap terlalu kuat mempertahankan Bahasa Minang sehingga bahasa keliru yang digunakan oleh kawan-kawan sering saya koreksi. Sedangkan mereka, entah mengapa sejak puber, mulai menggunakan bahasa rusak. Mungkin karena faktor 'gengsi', pikir saya.[1]
Alasan logis namun apatis selalu dikemukakan, “Yang penting paham, bukan?”
Ah, ya! Tentu saja bahasa digunakan agar lawan bicara memahami apa yang dimaksudkan oleh penggunanya. Namun, alasan ini bagi saya hanya bisa diterima jika bahasa hanya digunakan untuk berkomunikasi. Dan jika bahasa hanya berpatokan pada paham-tak paham, berarti bahasa manusia itu sama saja dengan bahasa lumba-lumba, bahasa koala, bahasa harimau sumatera, bahasa kerbau yang pasrah saja saat dicucuk hidungnya.
Sedangkan saya manusia, dan bagi saya, bahasa adalah jati diri, identitas yang menunjukkan siapa kita. Bahasa adalah warisan turun temurun, dari ibu ke ibu, yang wajib kita jaga keasliannya. Sepakat?[2]
Jika bahasa hanya sekedar sarana komunikasi, maka tak perlu rasanya belajar rumitnya grammar dalam Bahasa Inggris, ataupun bermacamnya tashrif dalam Bahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa bukan sekedar sarana komunikasi, namun adalah sebuah warisan yang harus dijaga beserta segala aturan kosakata serta kombinasi katanya, agar tidak rusak, tidak punah, tidak hilang.
Bukan hanya Bahasa Arab serta Bahasa Inggris yang menjadi bahasa wajib intelek dunia, namun setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri, yang tak kalah penting dari bahasa lainnya.Kembali ke Bahasa Minang. Saya sadar bahwa Bahasa Minang bukanlah bahasa tulisan, sehingga jika nanti, -naûzubillâh min zâlik- tidak ada satu pun manusia yang menggunakan Bahasa Minang di muka Bumi, maka hilanglah ia. Berbeda dengan bahasa lain yang punya banyak salinan dalam bentuk tulisan. Contoh riilnya, Bahasa Jawa memiliki manuskrip kuno bertuliskan tulisan Jawa, meski saya dengar, fisik tulisan itu kini ada di Belanda.[3]
Nah, tak salah bukan, jika saya benar-benar tekankan agar Bahasa Minang yang benar dipraktekkan dengan lidah dalam percakapan sehari-hari? Karena hanya memang di sanalah ia berada. Ia tak punya kamus,[4] tak punya manuskrip kuno, tak punya karya tulis. Ia hanya punya panitahan serta peribahasa yang diwariskan turun-temurun, dan hanya segelintir pula orang yang peduli untuk mewariskannya.
Rusaknya Bahasa Minang, dalam pengamatan sempit saya, marak terjadi 15 tahun terakhir, saat sinetron picisan mulai menjadi primadona. Saat televisi sudah ada dimana-mana. Mau tidak mau, sedikit atau banyak, tontonan itu mempengaruhi.
Dan celaka bagi Bahasa Minang, yang kosakatanya nyaris mirip dengan bahasa Indonesia. Dulu, boleh disebut Bahasa Minang punya kontribusi besar dalam menyumbang kosakata dalam Bahasa Indonesia. Bahasa Minang melalui sastranya mempengaruhi pembentukan bahasa pemersatu bangsa.[5]
Kini polanya berubah. Bahasa Indonesia terkontaminasi dengan bahasa gaul anak muda, menjadi bahasa lumrah dalam setiap tayangan televisi tidak resmi, ditonton oleh jutaan penduduk negeri, termasuk penduduk Ranah Minang. Dan Bahasa Minang, yang dalam sejarahnya adalah patokan Bahasa Indonesia, kini malah yang terpengaruh dengan Bahasa Indonesia yang terinfeksi tadi karena kedekatan polanya.
Tak heran jika kini banyak kita temui kata-kata ‘bid`ah’ yang seharusnya tidak ada. Anak-anak muda sekarang hanya suka mengubah akhiran ‘a’ dalam setiap kata bahasa televisi menjadi ‘o’, akhiran ‘ing’ menjadi ‘iang’, 'uk’ menjadi ‘uak’.
Jamak kita dengar kata-kata jadi-jadian seperti ‘celano’ sepagai pengganti ‘sarawa’, ‘capuang’ sebagai pengganti ‘sipatuang’, dan ‘taguak’ sebagai pengganti ‘daguik’.
Ada lagi kata hubung serta kata depan yang mulai marak digunakan oleh kawula muda yang ingin segalanya serba praktis. Jika Bahasa Indonesia mengenal kata ‘dengan’, ‘dan’, ‘kepada’, dan ‘oleh’, maka dalam bahasa gaul, semua itu dipukul rata, diganti dengan kata ‘sama’. Kalimat seperti ‘Kami berutang kepada kamu’ tak lagi laku, berganti menjadi ‘kami berutang sama kamu’.
Nah, Bahasa Minang mengenal ‘jo’ sebagai padanan ‘dan’ dan ‘dengan’, ‘ka’ sebagai padanan ‘kepada’, serta ‘dek’ atau ‘di’ sebagai padanan kata ‘oleh’. Dengan maraknya tayangan televisi yang lebih banyak menayangkan tayangan berbahasa gaul dari pada yang berbahasa Indonesia, maka ‘jo’, ‘ka’, ‘dek’ atau ‘di’ dalam Bahasa Minang tadi menjadi tersingkir. Semuanya berganti menjadi satu kata, ‘samo’.
Kini sering kita temui kalimat seperti ‘Tadi ambo baraja samo guru’, ‘Ambo taragak samo randang’, ‘Lai takana samo ibuk?’, atau ‘Ditinju samo uda’, yang di telinga orang Minang tulen pasti akan terdengar sumbang. Sangat memprihatinkan.
Masalah bukan hanya berhenti sampai di sana. Keanekaragaman dialek dalam Bahasa Minang yang berbeda-beda tergantung daerah kini pun terancam punah, menjadi satu dialek, yaitu dialek Luhak Tanah Datar. Orang Agam sudah jarang yang berani dengan lantang menyebut ‘ano’, orang Pariaman dan Pasaman sedikit yang berani mempertahankan ‘we-e’, orang Limo Puluah Koto gengsi menyatakan ‘lomak bona’, orang Padang pun merasa rendah diri untuk menyebut ‘ai kumuh’. Pertanyaannya, kenapa? Ada apa? Siapa?
Lebih parah, akhir-akhir ini juga jarang ada ibu yang mengajarkan anaknya untuk berbahasa Minang. ibu-ibu salah gaul itu -maaf-, lebih memilih untuk berkomunikasi dengan anaknya menggunakan bahasa jadi-jadian yang kita sama-sama tahu, sehingga muncullah ungkapan sarkas, "Ndak suka mama kayak gitu doh!"
Lagi, bukan sebagai penutup perjuangan mempertahankan bahasa daerah. Mungkin setelah membaca tulisan saya ini masih ada kawan-kawan pembaca yang bertahan dengan prinsip bahwa bahasa itu yang penting paham. Pikirkanlah lagi! Bahasa kita bukan bahasa barbar yang mungkin hanya berpatokan pada paham-tak paham. Bahasa kita adalah bahasa bangsa serta suku yang berperadaban yang harus dipertahankan keasliannya.
Jika kita tidak mempertahankan keaslian bahasa yang kita punya, apa yang bisa kita wariskan kepada generasi penerus nanti? Baju kurung? Sudah berganti dengan tanktop ketat! Kodek? Sudah berganti dengan legging melekat! Kato nan ampek? Tak lebih dari sekedar omong kosong, mimpi di siang bolong! Model pakaian sudah berkiblat pada sinetron. Bahasa pun juga dirusak oleh sinetron.
Jika bukan kita yang mempertahankan Bahasa Minang, siapa lagi? Karena menjaga Bahasa Minang asli, sebenarnya adalah wujud cinta kepada nenek serta ibu kita masing-masing yang telah mewariskannya. Jika mencintai ibu itu adalah sebuah kewajiban, maka mencintai warisannya juga akan termasuk bukan?
Semoga keaslian bahasa kita tetap terjaga. Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^
***
Kairo, 08 Juni 2014
http://habibalfatih.blogspot.co.id/2014/06/punahnya-bahasa-minang-tinggal-menunggu.html