Pict: ask islam
Tuanku Nan Renceh nyatakan perang jihad
Suryadi Sunuri, 23 Februari 2006
niadilova | Di Sumatera, orang Belanda menuruti perintah rajanya itu dengan menyerahkan wilayah Sumatera’s Westkust kepada Inggris.
Walaupun Inggris hanya berkuasa di Inggris, namun mereka mendengar bahwa di pedalaman ada sebuah kerajaan yang berdaulat, juga terhadap wilayah pantai dimana mereka sekarang berada. Orang-orang Inggris itu juga mendengar bahwa di pedalaman sebuah revolusi digerakkan oleh sekelompok ulama reformis yang baru pulang dari Mekah.
Thomas Stamfords Rafles, pimpinan Inggris untuk wilayah Sumatera sudah berkedudukan di Bengkulu, memutuskan untuk mengadakan penyelidikan terlebih dahulu ke pedalaman Minangkabau untuk melihat keadaan yang sebenarnya sebelum mengambil keputusan politik yang jelas menyangkut konflik agama di pedalaman Minangkabau. Ekspedisi itu dilakukan pada tahun 1818.
Sementara orang-orang Inggris sibuk dengan perdagangan di pantai, di pedalaman Minangkabau gerakan Paderi semakin militan dan semakin meluas pengaruhnya dalam masyarakat setelah dipimpin oleh seorang ulama muda progresif bernama Tuanku Nan Renceh asal Nagari Kamang.
Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawanya sudah menyatakan perang jihad terhadap kaum adat yang tidak mengikuti perintah “kembali ke syariat” atau kembali ke ajaran Nabi Muhammad. Cara-cara radikal yang ditempuh Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawannya itu telah menyebabkan terjadinya perpecahan di tubuh kaum reformis itu sendiri, seperti digambarkan oleh Fakih Saghir-salah seorang ulama reformis yang bersikap moderat-dalam catatannya.
Fakih Saghir alias Syekh Jalaluddin mengatakan bahwa Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawanya telah menekan dia dan guru sekaligus ayahnya Tuanku Nan Tua di Kota Tua, agar menyetujui cara radikal yang mereka pilih dalam memerangi kaum adat. Tuanku Nan Tua tidak setuju dengan cara-cara kejam yang ditempuh Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawannya itu.
Ulama kharismatik yang dituakan dan dihormati di darek itu telah melihat akibat buruk dari perbuatan pasukan Tuanku Nan Renceh menyerang nagari-nagari tetangganya seperti, Ampek Angkek, Durian dan Tilatang. Banyak rumah yang dibakar dan penduduk mengungsi ke tempat lain.
Rencana Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawannya membunuh Fakih Saghir dan Tuanku Nan Tua dengan cara terlebih dahulu mengajak mereka berdebat di luar desanya tidak terlaksana. Tuanku Nan Tua diselamatkan oleh kharismanya yang masih tinggi dikalangan ulama di darek.
Aliran Syattariyah dikritik kelompok haji reformis
Sejak wafatnya Syekh Burhanuddin sampai sekarang tradisi ziarah ke makam beliau di Ulakan masih tetap dilakukan. Bahkan Pemda Kabupaten Padangpariaman menetapkan makam Syekh Burhanudin dan Surau Syekh Burhanudin di Ulakan sebagai salah satu cagar budaya yang dipelihara.
Syekh Burhanudin adalah ulama pertama yang melakukan transformasi terhadap institusi surau menjadi lembaga pendidikan Islam, yaitu Surau Tua Tanjung Medan dan kemudian di suraunya yang baru di Ulakan. Muridnya banyak berdatangan dari berbagai pelosok Minangkabau. Bila mereka sudah selesai belajar di Surau Tanjung Medan dan Surau Ulakan mereka kembali ke kampung masing-masing untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakatnya.
Salah satu cabang pertama dari Surau Burhanudin di darek adalah Pemansiangan, Kapeh-kapeh, Padangpanjang. Dari sana kemudian Islam disebarkan ke Kota Tua di Luhak Agam, kemudian ke Batulading di Tanahdatar. Sampai akhir abad ke-18 surau-surau di darek terutama di sekitar wilayah sekitar Kota Tua, masih tetap menjadi pengikut Aliran Ulakan.
Setelah itu baru muncul gerakan pembaharuan yang mengkritik ajaran Surau Syekh Burhanudin (tarekat Syatariayah) yang dikampanyekan oleh kelompok-kelompok haji reformis asal darek yang baru pulang dari Mekah al Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji. Namun demikian, beberapa nagari di darek masih setia berkiblat ke Ulakan, seperti Batuhampar, Payakumbuh, Kumango, Maninjau, Pariangan dan Malalo.
Sebagaimana telah disebutkan pada tulisan sebelumnya, Syekh Burhanudin adalah salah seorang murid terkemuka ulama Syatariyyah terkenal di Aceh yaitu Syekh Aburrauf Al-Singkili, seorang ulama penganut Mazhab Syafii. Ketika masih kecil Burhanudin bernama Pono. Gelar Syekh Burhanudin sendiri adalah anugerah dari Syekh Al-Singkili setelah Pono belajar selama 13 tahun dengan ulama Aceh itu.
Menurut cerita lisan di Pariaman Pono belajar dengan Syekh Abdurrauf selama 30 tahun. Syekh Burhanudin yang membawahi tarekat Syatariyyah, dari tarekat ini berkembang ke darek melalui rute-rute dagang ke desa Kapas-kapas dan Mansiangan dengan Padangpanjang yang modern ke Kota Lawas dan ke daerah persawahan yang kaya di Agam, terutama Kota Tua di dekat Cingkung.
Paderi dalam catatannya mengatakan, “Maka berpindahlah tarekat dari Ulakan ke Paninjauan lalu kepada Tuanku Mansiang nan Tuho sekali, serta ia memakaikan tertib majlis lagi wara’ seperti Tuanku di Ulakan jua halnya.
Masyarakat Ulakan juga dikenal sebagai “orang puasa kemudian”, karena tetap setia berpegang pada cara ru’yah (melihat terbitnya bulan dengan mata telanjang) dalam menentukan awal berpuasa di bulan Ramadhan. Sudah sejak dulu hal ini berlangsung di Ulakan dan nagari-nagari yang sepaham dengannya. Kebiasaan ini masih berlaku sampai sekarang di Ulakan.
Salah satu desa tetangga yang sepaham dengan Ulakan adalah Lubuk Ipuh. Sebaliknya penduduk Desa Sunur yang terletak antara Ulakan dan Lubuk Ipuh adalah “orang yang berpuasa dulu”.
Pariaman: pintu gerbang Minangkabau
Sepanjang sejarahnya Minangkabau telah menyaksikan saling berpengaruhnya antara darek dan rantau. Dalam konteks ini, dataran rendah sempit di pantai barat memainkan dua peran penting yakni, menyediakan pelabuhan-pelabuhan tempat pelemparan komoditi dagang yang berasal dari pedalaman Minangkabau dan tempat masuknya barang-barang dan gagasan-gagasan dari dunia luar ke pedalaman Minangkabau.
Sistem matrilineal tampaknya tidak begitu dipatuhi di rantau, meskipun ketidakpatuhan itu mungkin hanya berlaku dikalangan pedagang saja, terutama di entrepot-entrepot, bagaimana pun sistem itu tampaknya masih tetap diamalkan oleh masyarakat di desa-desa persawahan di belakang pantai. Ini jelas berkaitan yang berbeda antara kedua kelompok masyarakat ini dengan tanah.
Semula, munculnya dinasti raja-raja kecil di desa-desa pantai memang atas persetujuan darek, sesuai dengan pepatah Minangkabau, “Luhak bapanghulu rantau barajo”. Dulu semua raja di rantau berada di bawah garis otoritas Raja Alam Minangkabau yang berkedudukan di Pagaruyung.
Tapi, lama kelamaan ikatan politik dan genealogi masyarakat dengan darek makin melemah. Raja-raja kecil di desa-desa pantai kini membentuk pemerintahan sendiri dan biasanya dibantu oleh seorang pemuncak dan beberapa orang penghulu. Mereka tidak lagi menggantungkan hegemoninya kepada Raja Alam Minangkabau. Sejumlah desa pantai lainnya diperintah oleh penguasa yang bergelar orang kaya.
Timbul pertanyaan bagi kita, bagaimana kehidupan beragama pantai di Rantau Pariaman yang penduduknya heterogen dan beragam dari segi budayanya? Ternyata toleransi budaya dan agama antara berbagai kelompok masyarakat cukup luwes di entropet ii. Sebagai bukti, ketika Syekh Jamil Alchalidi, ulama besar di Pariaman wafat tahun 1929, ternyata orang Cina pun ramai-ramai ikut melayat jenazahnya di Masjid Batu Pariaman.
Ketika masyarakat darek kebanyakan sudah memakai pakaian gaya Arab-wanita bercadar, pria bersorban, berjubah putih panjang dan memelihara jenggot, karena di paksa oleh kaum Paderi, orang Pariaman yang sudah lebih dahulu daripada orang darek memeluk Islam justru masih berpakaian menurut adat mereka.
Sudah sejak beberapa abad sebelumnya Pariaman telah menjadi pintu gerbang Minangkabau ke dan dari dunia luar. Mungkin karena itulah perbedaan-perbedaan merupakan sesuatu yang biasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kota pantai ini. Walau bagaimanapun, situasi kehidupan beragama di Rantau Pariaman sedikit banyak tentu ikut berubah seiring dengan semakin meluasnya dampak sosial budaya yang ditimbulkan oleh gerakan Paderi di darek.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa situasi politik Rantau Pariaman pada paroh abad ke-19 mulai mengalami gesekan-gesekan. Di satu sisi kehidupan beragama yang toleran tampaknya mulai mendapat goncangan akibat hembusan-hembusan ide-ide radikal kaum Paderi dari arek.
Di sisi lain, penetrasi kekuasaan Belanda ke dalam kehidupan masyarakat pantai yang hari demi hari dirasakan semakin kuat juga menjadi pemicu untuk mencari sandaran spritual kepada agama. Bukankah sudah cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa ketika penjajah semakin represif, maka pengikut tarekat meningkat dan seiring dengan itu orang-orang skripturalis radikal yang mencari legitimasi dari ajaran agama untuk melakukan gerakan mesianistik memerangi penjajah juga semakin banyak.
Tampaknya benih radikalisme ini juga mulai tumbuh di Rantau Pariaman pada paroh pertama abad ke-19, sebagai akibat dari semakin meluasnya pengaruh ide Paderi di satu sisi dan sebagai dampak dari kebijakan politik Belanda yang cendrung represif terhadap masyarakat di sisi lain.
Meski Belanda melakukan konsolidasi politik dan militer di daerah ini yang antara lain dimaksudkan untuk membendung meluasnya ide Paderi ke pantai, tapi usaha itu tidak sepenuhnya berhasil. Sejumlah kecil ulama yang bersifat kritis kepada Ulakan mulai muncul di desa-desa pantai, diantaranya adalah Syekh Daud. Situasinya semakin tidak menguntungkan karena pamor Ulakan juga sedang mengalami pasang surut. Tambahan lagi, kekuasaan Belanda sudah terasa dimana-mana.
Ajaran baru mulai dapat pijakan kuat
Melihat “pertikaiannya” dengan tradisi Ulakan yang bermazhab Syai’i, memang tidak masuk akan mengatakan bahwa Daud muda telah menuntut ilmu agama Islam di pusat tarekat Syattariyah itu. Akan tetapi penting untuk dicatat adalah, bahwa pada masa belajar Daud muda itu di Minangkabau, khususnya di darek, sedang terjadi apa yang disebut dengan “Gerakan Kebangkitan Islam yang Pertama”.
Gerakan itu muncul akibat semakin banyaknya orang-orang di sekitar Agam yang memperoleh kesempatan pergi naik haji ke Mekah karena membaiknya hasil pertanian. Mereka pulang dengan semangat agama yang baru dan segera melihat banyak unsur bid’ah dalam praktek beragama masyarakatnya.
Pada masa itu pemikiran masyarakat Minangkabau masih disungkup kepercayaan lama, klenik dan takhayul. Dalam pandangan kelompok orang muda yang kritis ini, sikap tarekat Syattariyah Ulakan yang terlalu toleran dengan adat yang telah berurat berakar dalam praktek keagamaan masyarakat Minangkabau harus dihapuskan dan jika perlu diperangi. Seperti yang telah tercatat dalam sejarah, keinginan yang radikal ini telah melahirkan gerakan Paderi tahun 1803, yang akhirnya berubah menjadi perang berdarah melawan Belanda.
Dan pada tahun-tahun berikutnya ajaran baru dari para haji reformis itu mulai mendapatkan pijakan kuat dalam masyarakat darek. Acara sabung ayam dengan taruhan, salah satu permainan orang Minang yang menurut catatan selalu meramaikan gelanggang dalam setiap pesta adat, terus berlangsung, begitu juga dengan kebiasaan makan sirih dan menghisap candu.
Akibatnya orang berpaling kepada para kaum ulama. Posisi yang menguntungkan itu langsung dimanfaatkan oleh golongan ulama untuk memperkokoh posisinya dalam masyarakat. Para ulama reformis menuduh bahwa dekadensi moral yang meruyak dalam masyarakat disebabkan oleh tidak konsekwensinya penduduk menjalankan syariat agama dan karena sebagian besar penduduk masih saja mempraktekkan kebiasaan-kebiasaan adat yang dianggap bertentangan dengan Islam.
Oleh karenanya, mereka menyerukan agar masyarakat kembali pada parktek agama yang “benar”, menjauhi syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Masyarakat diajak meninggalkan dan memerangi kebiasaan-kebiasaan lama yang berlindung di balik tameng adat.
Pada masa itulah datang seorang anak muda dari sebuah desa pantai (Sunur) ke sebuah surau darek, wilayah dimana euforia, “pemurnian agama” sedang merebak, lira-kira pada tahun 1816 usia anak muda itu ditaksir tidak lebih dari 20-an tahun. Hidup dalam lingkungan surau yang dipimpin oleh para guru mengaji berhaluan baru itu tentu akan mempengaruhi cara berpikir para muridnya. Dapat diduga Daud muda dan teman-temannya telah mendapat pengaruh dari guru-gurunya yang berpikiran reformis.
Setelah selesai masa belajarnya di darek, daud muda kembali ke kampungnya di Sunur. Peristiwa itu terjadi mungkin pada parih kedua dasawarsa 20-an abad ke-19. Daud mungkin tidak begitu lama menghabiskan waktunya belajar di surau darek.
Berdasarkan teks-teks karangannya dan informasi sumber-sumber lain terdapat kesan bahwa Daud adalah seorang anak muda yang cerdas, tapi agak pendiam, mempunyai bakat sastra, namun kurang pintar berbicara. Tampaknya dia juga seorang pemuda yang kurang setuju dengan kekerasan phisik.
Murid dengan karakter pribadi seperti itu mungkin seorang yang tekun, dan oleh karenanya cepat dalam menamatkan kaji (qhatam qur’an). Pada masa itu seorang murid memang diharapkan oleh gurunya mau pulang kembali ke kampungnya untuk mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya selama mengaji.
Ini sudah menjadi kebiasaan di surau-surau penting di Minangkabau. Daud muda sekarang sudah punya bekal ilmu untuk mengajar sendiri di surau kampungnya.
Syekh Daud anak muda yang cerdas
Pada masa itulah datang seorang anak muda dari sebuah desa pantai (Sunur) ke sebuah surau darek, wilayah dimana euforia, “pemurnian agama” sedang merebak, lira-kira pada tahun 1816 usia anak muda itu ditaksir tidak lebih dari 20-an tahun.
Hidup dalam lingkungan surau yang dipimpin oleh para guru mengaji berhaluan baru itu tentu akan mempengaruhi cara berpikir para muridnya. Dapat diduga Daud muda dan teman-temannya telah mendapat pengaruh dari guru-gurunya yang berpi-kiran reformis.
Setelah selesai masa belajarnya di darek, Daud muda kembali ke kampungnya di Sunur. Peristiwa itu terjadi mungkin pada parih kedua dasawarsa 20-an abad ke-19. Daud mungkin tidak begitu lama menghabiskan waktunya belajar di surau darek.
Berdasarkan teks-teks karangannya dan informasi sumber-sumber lain terdapat kesan bahwa Daud adalah seorang anak muda yang cerdas, tapi agak pendiam, mempunyai bakat sastra, namun kurang pintar berbicara. Tampaknya dia juga seorang pemuda yang kurang setuju dengan kekerasan phisik.
Murid dengan karakter pribadi seperti itu mungkin seorang yang tekun, dan oleh karenanya cepat dalam menamatkan kaji (qhatam qur’an). Pada masa itu seorang murid memang diharapkan oleh gurunya mau pulang kembali ke kampungnya untuk mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya selama mengaji. Ini sudah menjadi kebiasaan di surau-surau penting di Minangkabau. Daud muda sekarang sudah punya bekal ilmu untuk mengajar sendiri di surau kampungnya.
Di Sunur Syekh Daud menjadi guru mengaji di desanya, di Koto Gadis. Ia menikah dengan seorang gadis bernama Nurgelang, saudara perempuan Nan Kusuik yaitu orang kuat yang dijemput dari Pauh Kambar untuk dirajakan di Sunur dengan tempat kediaman di Koto Tinggi.
Setelah Raja Nan Kusik membuat tempat kediaman di sana, dusun itu berubah menjadi Koto Rajo, artinya dusun tempat tinggal raja. Jadi, Syekh Daud adalah adik ipar dari Raja Nan Kusuik, seorang raja kecil pesisir yang konon suka beristri banyak.
Kelak dikemudian hari, itulah yang menyebabkan Syekh Daud berbeda paham dengan kakak iparnya itu. Nan Kusuik didatangkan ke Sunur, karena dua orang penghulu disana saling berkelahi dan tidak ada orang yang mampu mendamaikan, yaitu Rajo Rimbo dari suku Jambak dan Katik Rajo dari suku Koto.
Keduanya baru dapat didamaikan setelah orang kuat Nan Kusuik diangkat menjadi Raja Kecil di Sunur. Cara Raja Nan Kusuik menyelesaikan perseteruan itu dengan mendirikan dua lambang kebesaran negeri, untuk Katik Rajo didirikan sebuah Masjid, untuk Rajo Rimbo didirikan sebuah pasar.
Surau Syekh Daud, dibangun di dusun yang sekarang bernama Koto Gadis. Muhammad Rasul Empe, seorang tua di Koto Gadis mengingat ketika masih muda orang menyebut surau tempatnya mengaji di desa itu sebagai Surau Syekh Daud.
Menurut cerita di Sunur, surau itu muda umurnya dari Surau Galanggang yang sudah lebih dulu didirikan di Koto Rajo, satu Korong lainnya di nagari Sunur. Sangat mungkin gelar Syekh mulai disandang Syekh Daud ketika ia sudah memimpin surau itu dan telah mempunyai santri dan jamaah tersendiri.
Ordo Syattariyah tak mudah diubah oleh Syekh Daud
Syekh Daud mengkritik kebiasaan kakak iparnya yang suka beristeri banyak, suatu kebiasaan di kalangan kaum adat yang sudah dipraktekkan turun temurun, tapi tidak dilarang oleh tarekat Syattariyah.
Syekh Daud sendiri tampaknya memang mempraktekkan monogami dalam perkawinannya. Ia hanya punya satu isteri di kampungnya, yaitu Nurgelang dan dari perkawinan itu ia dikaruniai satu-satunya anak perempuan bernama Umi Salamah.
Kritikan Syekh Daud terhadap praktek poligami dalam perkawinan yang sudah menjadi kebiasaan di Minangkabau pada waktu itu dan prilaku monogami yang dipraktekkannya dalam hidupnya merupakan refleksi sekaligus aktualisasi dari sikap pembaharuannya. Namun, kritikannya terhadap Raja Nan Kusuik, kakak iparnya sendiri, rupanya menjadi bumerang bagi dirinya. Kaum adat menunjukkan sikap tidak senangnya terhadap Syekh Daud.
Sikap kaum adat akan mengubah adat resam nenek moyang yang telah berlaku turun temurun. Sangat mungkin pula Raja Nan Kusuik menyuruh Nurgelang cerai dari Syekh Daud.
Cerita lisan yang sampai sekarang masih ada di Koto Gadis mengisahkan bahwa pada suatu hari periuk nasi Syekh Daud di surau tempatnya mengaji diisi tahi oleh seseorang. Dicurigai pelakunya adalah orang suruhan kaum adat atas perintah Raja Nan Kusuik, atau pihak-pihak yang tidak senang dengan ajaran baru yang dikembangkan Syekh Daud di Sunur.
Namun, rupanya bukan kaum adat saja yang tidak setuju dengan Syekh Daud. Kaum ulama pesisir yang sudah begitu lama menganut tarekat Ulakan juga merasa terganggu dan terancam oleh aktivitasnya itu. Demikian pula halnya dengan masyarakat Sunur dan desa-desa sekitarnya yang sangat dekat dengan Ulakan, inti penggerak ordo Syattariyah di rantau barat Minangkabau. Agaknya paham mereka yang sudah terbentuk oleh ordo Syattariyah selama bertahun-tahun tidak begitu saja dengan mudah dapat diubah oleh Syekh Daud dan diajak berubah ke paham yang baru itu.
Salah seorang ulama yang tidak senang terhadap pembaharuan yang dibawa Syekh Daud itu adalah Syekh Lubuk Ipuh, seorang pemuka agama dari Desa Lubuk Ipuh, desa tetangga Sunur. Syekh Lubuk Ipuh adalah seorang ulama pengikut setia ordo Ulakan. Ia adalah pemimpin utama kaum ulama Lubuk Ipuh yang sudah sejak dulu “berkiblat” ke Ulakan. Sampai sekarang otoritas Surau Lubuk Ipuh masih dipegang oleh keturunan Syekh Lubuk Ipuh yang bergelar Ungku Kali. Seperti halnya di Ulakan, gelar itu sudah sejak dulu menjadi hak turun temurun keluarga Syekh Lubuk Ipuh.
Syekh Lubuk Ipuh menentang Syekh Daud berdebat soal agama di depan publik. Yang pertama tentu membela doktrin Ulakan yang tidak terlalu mempermasalahkan adat, sedangkan yang kedua mencoba menyanggahnya dengan mengemukakan doktrin Cangking yang menginginkan puritanisme dalam beragama.
Kekalahannya dalam perdebatan dengan Syekh Lubuk Ipuh berakibat fatal. Syekh Daud kehilangan muda dihadapan jamaah dan murid-muridnya sendiri. Karena malu dan juga karena menghadapi begitu banyak tekanan psikologis, baik dari pihak adat maupun dari kaum agama sendiri, ia akhirnya pergi ke Mekah.
Kalah berdebat, Syekh Daud pergi merantau ke Mekah
Syekh Lubuk Ipuh menentang Syekh Daud berdebat soal agama di depan publik. Yang pertama tentu membela doktrin Ulakan yang tidak terlalu mempermasalahkan adat, sedangkan yang kedua mencoba menyanggahnya dengan mengemukakan doktrin Cangking yang menginginkan puritanisme dalam beragama.
Kekalahannya dalam perdebatan dengan Syekh Lubuk Ipuh berakibat fatal. Syekh Daud kehilangan muka di hadapan jamaah dan murid-muridnya sendiri. Karena malu dan juga karena menghadapi begitu banyak tekanan psikologis, baik dari pihak adat maupun dari kaum agama sendiri, ia akhirnya pergi ke Mekah. Tidak ada yang tahu kapan Syekh Daud pergi naik haji ke Mekah.
Namun demikian, berdasarkan informasi, diperkirakan Syekh Daud masih cukup muda berangkat ke Mekah. Usianya diperkirakan 30 tahun pada waktu itu. Sementara itu, gerakan Paderi masih sedang berada di atas angin dan ide-ide gerakan ini semakin meluas ke wilayah Padang darat. Gemanya juga semakin terasa ke rantau pesisir.
Pada tahun 1820-an rakyat dari desa-desa Pariaman yang agak jaauh di belakang pantai, seperti V Koto, VII Koto dan Naras sudah mulai terimbas oleh gerakan itu. Akan tetapi karena pada waktu itu di Pariaman Belanda sudah kuat, ditambah lagi dengan telah begitu mengakarnya ajaran tarekat Syattariyah dalam masyarakat, menyebabkan ajaran baru dari darek itu tidak dengan mudah dapat berkembang di wilayah ini.
Sulit untuk menghindar dari dugaan bahwa Syekh Daud adalah salah seorang ulama asal rantau yang terpengaruh oleh ide pembaharuan kaum Paderi itu. Ia mencoba membawa dan meluaskan ide itu ke pesisir Minangkabau, ke jantung ordo Syattariyah di Pariaman, kampung halamannya sendiri. Akan tetapi, ia sudah mendapat tekanan keras sejak awal. Dan ia harus membayar mahal untuk itu, ia terpaksa pergi dari kampungnya sendiri.
Sebagai seorang mengaji pastilah orang memandang hormat kepadanya. Dan karena jabatan terhormat itu, masyarakat mungkin memberikan konsesi-konsesi tertentu dan hak-hak istimewa kepadanya.
Namun, dalam syair mekah dan Medinah terdapat kesan bahwa Syekh Daud adalah seorang dagang (pengembara) yang tidak berkecukupan, papa dan selalu nelangsa. Boleh jadi yang tercermin dalam teks-teks ciptaannya adalah keadaan papa lebih dalam arti jiwa daripada materi.
Namun, Snackey juga mengatakan bahwa ketika Syekh Daud ingin ke Mekah untuk kedua kalinya. Syekh Daud sakit sampai di Trumon. Ia kehabisan uang dan tidak bisa melanjutkan perjalanannya. Jadi, tampaknya ia memang bukan orang yang terlalu berada.
Syekh Daud pergi dengan membawa perasaan senang dan kecewa
Antara tahun 1825-1830-an-periode perkiraan Syekh Daud pergi ke Mekah. Pemerintah Kolonial telah mengeluarkan tiga resolusi tentang haji.
Namun dalam ketiga resolusi itu tidak disebutkan ketentuan jumlah minimal uang belanja yang harus dibawah oleh seorang calon haji (Calhaj) untuk menghidupinya selama dalam perjalanan. Namun sebagai ilustrasi, di akhir abad ke-19, menurut laporan Snouck Hurgronje, seorang Calhaj Jawa minimal harus mengantongi uang 400 Gulden.
Syekh Daud pergi ke Mekah dengan membawa rasa tidak senang dan kecewa terhadap kaum ulama “kolot” di kampungnya. Lepas dari soal uang, perasaan malu bercampur dendam akibat kalah berdebat dengan Syekh Lubuk Ipuh tempo hari sudah lebih dari cukup untuk membulatkan niatnya pergi ke Tanah Suci. Ia pergi meninggalkan sanak familinya di Sunur, termasuk satu-satunya anak perempuan kesayangannya, Umi Salamah. Tak ada catatan apapun tentang kapan Daud bertolak dari entreport Pariaman menuju Mekah, tapi sangat mungkin peristiwa itu terjadi di tahun tertentu dalam dekade 20-an abad ke-19. Daud hanya mencatat bahwa perjalanan kapal dari Singapura ke Jedah menghabiskan waktu lebih kurang tiga bulan, jika angin tenang dan laut bersahabat.
“Tiga bulan lebih dan kurang, Dari Singapura kapal menyeberang, jikalau angin dari belakang, sampai di Jedah pelabuhan tenang” Namun tidak jarang perjalanan itu membutuhkan waktu lebih lama lagi. Pada waktu itu, perjalanan ke Mekah sangat ditentukan oleh iklim di laut, ketersediaan kapal, dan rute pelabuhan kapal yang disinggahi kapal itu sendiri.
Belakangan melalui Syair Sunur dapat diketahui bahwa di Mekah Syekh Daud giat belajar ilmu agama dan juga ilmu sastra. Ia pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu lebih banyak sebagai reaksi positif atas kekalahannya berdebat dengan Syekh Lubuk Ipuh.
Syekh Daud sangat mungkin telah tinggal di Mekah selama beberapa tahun, diperkirakan dalam tahun-tahun antara 1827 dan 1832 tinggal di tanah suci selama beberapa tahun sambil berguru ke seseorang atau beberapa orang guru tarekat adalah kebiasaan umum para jamaah haji Nusantara pada abad ke-19.
Di kalangan jamaah haji di Mekah mereka disebut jamaah mukmin atau orang Jawah. Namun ada juga sebagian haji Jawah yang memanfaatkan kesempatan naik haji untuk berdagang, dan tidak sedikit pula yang terjebak dalam dunia perbudakan orang Arab karena kehabisan uang.
Ada cerita yang beredar dikalangan masyarakat Sunur sampai sekarang bahwa Syekh Daud terkurung selama setahun dalam Ka’bah. Kebenaran cerita ini patut diragukan. Akan tetapi kita dapat memberi interpretasi, cerita itu lebih merupakan siratan bahwa Syekh Daud cukup lama tinggal di Mekah.
Sudah merupakan tujuan awal bagi seorang Calhaj Jawah yang berlayar ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam kelima. Entah karena kebohan atau lebih disebabkan oleh keyakinan, mereka seolah-olah tidak takut menantang bahaya di perjalanan-di jual sebagai budak, terkena penyakit menular, tenggelam di laut, ditipu, disamun orang Badui di Jazirah Arab dan berbagai penderitaan lainnya.
Mereka menyiapkan diri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang paling suci di tempat-tempat dulunya digunakan oleh beberapa suku gurun pasir sebagai desa-desa pasar (Mekah), dan bahwa beberapa orang Eropa kafir menempuh bahaya kematian untuk menyaksikan pertunjukkan (haji) yang terlarang baginya. (bersambung)
Syair diawali dengan Shalawat
Hakikat Syair Mekah dan Medinah adalah sebuah tandingan atau wacana perlawanan yang langsung atau tidak langsung ditujukan kepada Tuanku Syekh Lubuk Ipuh.
Energi pendorong yang menciptakan teks ini adalah tradisi bersilat lidah yang sudah berurat berakar dalam tradisi lisan Minangkabau, kata-kata adalah alat untuk mengikat dan memojokkan seseorang dan dengan kata-kata pula seorang harus mampu “melepaskan diri” dari “ikatan” dan “jeratan”.
Berbeda dengan kisah-kisah perjalanan naik haji yang ditulis orang lain, yang lebih menggambarkan kesengsaraan selama di perjalanan, Syekh Daud dalam Syair Mekah dan Medinah menggambarkan proses ibadah haji yang penuh kegembiraan dan rasa senang.
Kecuali peringatan kepada pembaca tentang orang badui-Arab yang mempunyai sifat “seperti iblis” di Mekah (seolah-olah Tuhan mengabulkan semua permintaan umat-Nya. Semua kegiatan ibadah akan diberi imbalan pahala yang berlimpah dari Allah.
Syekh Daud menggambarkan keindahan negeri Mekah yang terkesan agak berlebih-lebihan. Gaya hiperbola digunakan oleh pengarang dengan baik, menunjukkan bakatnya yang tinggi dalam bidang sastra. Penulis kira itulah yang menyebabkan mengapa syair ini, ketika tersebar di Sumatera, mampu menggugah banyak orang untuk membacanya dan barangkali juga ada diantara mereka yang termotivasi untuk pergi haji ke Mekah setelah membaca syair.
Diawali dengan shalawat dan salam yang ditujukan kepada Allah dan Nabi Muhammad serta para sahabat beliau, Syekh daud, dengan menyebut dirinya “fakir” (kadang-kadang ia memakai kata “sahaya”, “aku” dan “dagang”), meneruskan pengantarnya di dalam bait-bait awal Syair Mekah dan Medinah dengan permohonan maaf kepada pembaca apabila ia melakukan kesalahan, “khilaf” dan “sesat” dalam menulis. Sifat melankolis penulisanya, sebagai seorang yang terusir dari kampungnya terlihat dalam pengantar syair ini.
“Dengarkan tuan, suatu cerita. Dagang yang yatim empunya kata. Hatipun susah semata. Dawat bercampur air mata”.
“Inilah nazam fakir yang gharib. Duka percintaan dibawa nasib. Terkenangkan sahabat bait dan karib. Di sana hati bagaikan ghaib”.
Selanjutnya, diuraikan tentang pelayaran calon jamaah haji Hindia Belanda dari Singapura ke Pelabuhan Jeddah dengan jarak tempuh selama tiga bulan. Sesampai di Jedah, para jamaah haji Jawah itu disambut oleh para syekh.
Setelah sebelas malam tinggal di Jeddah, kemudian perjalanan dilanjutkan ke Mekah dengan naik Unta. Jarak antara Jedah dan Mekah ditempuh dalam dua malam. Dalam bait-bait selanjutnya sudah semakin terasa sifat sugestif syair ini yang mungkin menimbulkan “berahi” pembacanya.
Kota Mekah dan sekitarnya digambarkan sebagai tempat yang paling indah yang tiada tandingnya di bumi ini. Tentu dapat dibayangkan, seseorang calon haji) Jawah yang membaca syair ini akan melayang fantastisnya ke negeri Mekah, tempat segala dosa mendapat ampunan Allah dan “tiada tinggal sebesar zarah pun”.
Minum air Zam-zam mengampuni dosa
Realitas fiksi yang dibangun dalam syair makah dan madinah (SMMd) mungkin telah melahirkan mimpi dan fantasi yang memperteguh niat (seorang Jawah yang membacanya untuk pergi berziarah ke Makah, tempat Tuhan menjanjikan pahala yang berlimpah.
Kiranya tidaklah berlebihan catatan BJO Schrieke dan juga Snackey yang menginformasikan betapa populernya syair ini di Sumatera pada abad ke-19. Anak mengaji di desa-desa dan ulama lokal yang membaca syair ini sekarang dapat membayangkan dengan lebih jelas Kota Makah dengan masjidil Haramnya, memicu iman dan mempertebal tekad untuk mereka suatu kali kiranya akan diberikan kesempatan oleh Tuhan dapat berkunjung ke Tanah Suci yang penuh dengan berkah-Nya itu.
Demikian umpamanya tentang indahnya bangunan masjid dan tempat ibadah di kota suci itu, sudah lebih dari cukup apabila penulis mengutipkan salah satu bait pada bagian ini yang efek psikologisnya mungkin dapat kita bayangkan kepada pembaca awam di Sumatera pada abad yang lalu;
“Jikalau kita baharu datang. Heranlah hati setengah tercengang. Bukan disangka buatan orang. Entah malaikat menjadi tukang”. Gaya yang sama kembali digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan Ka’bah. Syekh Daud menulis;
“Tangganya itu besarnya sedang. Emas bersadur gelang gemilang. Ukirnya rapat bukan kepalang. Entah dimana kiranya tukang”.
“Aduhai tuan dan tolan dengarkan. Rupanya tirai sahaya nyatakan. Tiada boleh sahaya katakan. Rupanya berkilat umpama intan”.
“Zam-zam itu besar faedah, mengampuni dosa yang telah sudah. Umurnya lanjut rezkinya murah. Imannya tetap ilmunya bertambah”.
“Di mana negeri yang tuan lihat. Air telaga menjadi obat, memudahkan kita barang yang hajat. Bertambah iman mantapkan hidayat”.
Dari beberapa kutipan SMMd di atas, dapat dikesan bahwa Syekh Daud, dengan kekuasaan gaya hiperbol yang ia gunakan, benar-benar mencoba mengeksploitasi daya khayal pembacanya. Pendek kata, syair ini mengisahkan berbagai hal yang bagus dan menyenangkan seputar Kota Makah dan Madinah dan daerah sekitarnya-bentuk masjid dan makam imam yang empat (Hanafi, Hambali, Syafii dan Maliki) dan tempat-tempat keramat lainnya.
Masjidil Haram dan Ka’batullah, tempat-tempat yang harus dikunjungi dalam rangkaian proses ibadah haji, derajat haji akbar dan pahala haji mabrur, perkembangan berbagai aliran tarekat dan mazhab-mazhab, adat istiadat bangsa Arab, pasar penguasa, rakyat, para sahabat Nabi, kritik terhadap paham keagamaan tradisional, dan terakhir, himbauan Syekh Daud kepada saudara setanah-airnya agar bergiat menuntut ilmu.
Penerbit Singapura cetak Syair untuk komersil
Proses ibadah haji dari awal hingga selesai, diceritakan dengan rinci dan nyaris sempurna. Demikianlah umpamanya, suasana di Padang Arafah digambarkan Syekh Daud sebagai berikut:
“Kalau dipandang kepada hemah. Penuh sesak di bawah Arafah. Berbilik-bilik umpama rumah. Berbagai Putih dan Merah”.
“Banyaknya hemah tiada terbilang. Di tengah Padang silang menyilang. Penuh sesak tiada yang lapang. Laksana bagai hamparan terbentang”.
“Bulan sembilan hari Arafah. Wukuf dusana segala hamba Allah. Sembahyang, puasa, zakat, sudah, yang kelima haji bilangan sudah.”
“Hari Arafah jika Jumat. Hari akbar disanalah amat. Haji yang lebih tinggi derajat. Derajat yang lain beribu pangkat”.
Singkat cerita apapun yang dilakukan selama di Makah suka cita dan “mustajab”, sepertinya Tuhan yang maha pemurah menaburkan pahala dimana-mana di kota itu. Melalui bait-bait yang hiperbol itu telah tertanam kesan dalam pikiran pembaca bahwa di kota suci Makah yang ada hanyalah rahmat Allah, tak ada kejahatan, tak ada malapetaka yang mengintai.
Tampaknya pada zamannya (abad ke-19) SSMd telah menjadi semacam “peta” yang “kabur” bagi sebagian calon haji Jawah yang yang akan menunaikan ibadah haji. Melalui syair ini mereka memperoleh sedikit gambaran tentang jauh letaknya di bumi ini yang wajib dikunjungi bagi yang mampu (walaupun dalam kenyataannya mereka yang kurang mampu juga berusaha datang kesana).
Sangat mungkin SSMd adalah salah satu syair yang banyak dibaca orang pada masa itu. Bahkan disinyalir syair itu telah menjadi semacam buku panduan/petunjuk (semacam buku manasik haji sekarang) bagi calon jamaah haji Nusantara pada paroh kedua abad ke-19. Dugaan ini antara lain didasarkan atas fakta bahwa dalam rentang waktu kurang lebih 20 tahun SSMd sampai enam kali dicetak secara litografis di Singapura, kota pelabuhan penting Jeddah.
Tampaknya penerbit-penerbit di Singapura dengan sadar mencetak syair ini untuk tujuan komersil. Mereka mencoba untuk menangguk keuntungan dengan menerbitkan syair ini dan menjualnya kepada para calon haji Jawah yang transit di Singapura yang setiap tahun ribuan orang jumlahnya. Pada halaman muka setiap edisi cetakan litografi itu tertulis kalimat-kalimat yang bernada membujuk agar orang membaca dan membeli buku syair, seperti: “Maka barang siapa hendak mengetahui kelokan Makah dan Madinah dan tempat kubur Nabi kita Muhammad Salallahu’alaihiwasallam dan kelakuan orang yang pergi haji bolehlah periksa dalam syair ini adanya.
Tampaknya bahwa dari judul buku itu terkesan fungsinya sebagai buku pedoman ibadah haji, bahwa di samping mendiskripsikan (keindahan) tempat-tempat yang akan dikunjungi di Kota Makah, juga diingatkan agar orang menjaga “kelakuan” selama menunaikan ibadah haji, karena dalam SSMd diceritakan orang yang pergi haji dengan niat kurang baik, misalnya ingin pergi berdagang dan mencari uang, bukan untuk mengaji (belajar) beribadah.
Tentang kapan di mana Syekh Daud mengarang SSMd, tak ada keterangan yang jelas. Ada keterangan Arnold Snackey sebagai berikut: “Toeankoe Sjech Daoed lari pergi naik hadji dan menoelis satoe sair, jang ternama, ijaitoe, Sjair makah”.
Keterangan ini juga diberikan informasi yang jelas tentang kapan persisnya SSMd ditulis. Apakah SSMd di tulis Syekh Daud di Makah atau setelah ia berada lagi di Sumatera? Kebanyakan sarjana (teuku Iskandar, Braginsky dan Wieringa) menduga SSMd memang ditulis Syekh Daud ketika ia masih berada di Makah. Tampaknya mereka semua bersandar pada keterangan Arnold Sanceky seperti yang telah di kutip di atas. Dalam hal ini penulis pun tidak mendapatkan fakta lain selain keterangan Snackey itu. Namun seperti yang akan di uraikan di bawah, dugaan penulis bahwa SSMd ditulis Syekh Daud di Makah didasarkan atas “informasi” tersirat yang ada di dalam teks syair itu sendiri.
Cukup sulit untuk mengetahui kapan persisnya SSMd ditulis oleh Syekh Daud. Masalahnya adalah, tidak banyak ditemukan catatan atau kisah-kisah tentang jamaah haji Nusantara pada periode ini (sebelum tahun 1850-an), baik di Makah (Arab) maupun di Hindia Belanda sendiri. Baru setelah pemerintahan Kolonial Belanda membuka konsulatnya di Jeddah pada tahun 1872, keadaan jamaah haji Nusantara di Makah dan sekitarnya dapat diketahui lebih banyak.
Akan tetapi penulis akan mengemukakan di sini satu catatan kecil dalam SSMd. Namun, perlu juga dipertanyakan apakah kolofon ini memberitahukan tanggal penyalinan salinan ini atau penulis naskah aslinya. Kolofon itu berbunyi sebagai berikut: “Tamat kepada hari selasanya. Waktu jam delapan jumlahnya. Pada tahun Hijrah jim akhirnya. Disana itulah syair tamatnya”.
“Pada sembilan hari bulan Muharam. Kepada bilangan takwim yang afdal. Daripada bilangan Raba’a yang tiada batal. Ia masyhur bilangan asal”.
“Pada sembilan hari bulan Muharam. Kepada bilangan takwim Ihram. Pada masa itulah disyairkan Nazam. Terlalu masyhur bilangan alam”.
Ulama Mekah tiada henti memberi kuliah
Kuat dugaan penulis, kolofon yang penuh teka-teki ini mengarah kepada tunggal penulisan asli SSMd, bukan tanggal penyalinan kedua tulisan litografi ini. Alasan penulis, mengapa dalam versi salinan di atas catatan itu relatif sama. Padahal diterbitkan tahun 1886.
Jika istilah ilmu falak ini bisa dipecahkan, mungkin akan lebih jelas kapan dan dimana SSMd itu ditulis oleh Syekh Daud. Keterangan samar-samar yang mengarah pada dugaan syair ini ditulis di Makah hanyalah pada kata-kata “kepada bilangan takwim ihram”. Istilah “takwim ihram” membawa asosiasi dengan Makah dan profesional haji.
Walaupun ibadah haji dilaksanakan pada bulan Zulhijjah, tapi kolofon itu sepertinya menunjukkan bahwa SMMd selesai ditulis bukan pada saat musim haji, tapi mukim musim umrah yang dapat dilakukan kapan saja, termasuk bulan Muharam.
Yang jelas sulit membayangkan kalimat-kalimat di atas akan muncul dalam kolofon sebuah naskah yang ditulis di Sumatera. Lagi pula, dapat dipahami Syekh Daud tidak dapat mengatakan secara eksplisit dalam SSMd bahwa syair itu ditulisnya di Makah. Secara psikologis seorang yang menulis tentang Makah di Kota Makah sendiri mungkin merasa tidak perlu lagi mengeksplisitkannya di dalam tulisannya.
Menurut dugaan penulis, mungkin SSMd ditulis oleh Syekh Daud di Makah pada tahun-tahun terakhir dasawarsa 20-an atau tahun pertama dasawarsa 30-an abad ke-19.
Menurut hemat penulis, kemungkinannya adalah; para penerbit itu telah menggunakan dua naskah salinan tangan yang berbeda untuk menyalin versi-versi litografi yang akan mereka terbitkan. Ini membawa dugaan bahwa sangat mungkin dalam salinan-salinan SSMd yang berbentuk menuskrip pun ada perbedaan hari itu.
Namun, menurut Edwin Wieringa, tak ada salinan tangan SSMd yang membubuhkan kolofon. Jika demikian halnya, ada kemungkinan perbedaan itu disebabkan oleh ketidakpastian para penyalin tentang kapan persisnya teks SSMd ditulis Syekh daud. Dengan demikian ada kemungkinan dalam naskah aslinya pun tidak penerbit Singapura itu mungkin mendengarnya secara lisan saja dari para jamaah yang lalu lalang di Kota pelabuhan itu.
Berdasarkan teks SMMd yang sampai pada kita sekarang, penulis mencoba merekonstruksikan Syekh Daud dan pandangan keagamaannya. Hal yang paling menonjol dalam teks SMMd yang segera menarik perhatian kita adalah penjelasan Syekh Daud yang cukup rinci tentang kehidupan intelektual dan tradisi akademis di Kota Makah.
Mulai sejak pagi (waktu subuh) sampai malam (waktu isyah) “berlaksa-laksa” ulama termasyhur yang berasal dari Mesir (yang katanya banyak yang buta, tapi “sungguhpun buta tiada melihat” dalam mengajar, “satupun masalah tiada sesat”) dan Makah tiada henti-hentinya memberi kuliah berbagai ilmu.
Orang desa buta huruf banyak pergi ke Mekah
Syekh Daud dalam syairnya yang bergaya hiperbol mengatakan bahwa murid para Syekd itu “banyak yang sukar membilangnya” yang datang dari berbagai negeri: Negeri Makah balad al-makmur. Berapa di dalam ulama yang masyhur. Tiada terbilang sekalian jumhur. Muridnya mendengar tunduk terpekur.
“Waktu subuh sudah sembahyang. Syekh pun hadir mengajar orang. Muridnya banyak sukar membilang. Tuan melihat heran tercengang. Waktu Zuhur pula sekejap. Syekh mengajar ilmu arab. Kita melihat sangatlah ajaib. Hafaz mulut tiada yang salah.
Setiap tahun ratusan bahkan ribuan haji Nusantara pergi ke Makah. Mereka yang pergi itu kebanyakan orang desa yang buta huruf dan taklid dalam beragama. Terdapat kesan kuat bahwa Syekh Daud ingin memajukan cara berpikir kaum bangsanya agar mereka dapat memahami agama Islam dengan benar.
Bahkan, ia menganjurkan orang agar jangan pilih-pilih tempat untuk belajar. Baginya, menuntut ilmu harus dilakukan dimana saja. Bahkan, sudah harus dilakukan sejak dari kampung halaman sendiri. Ia berpendapat orang yang berilmu akan dapat memahami agama dengan lebih baik daripada orang bodoh dan buta huruf. Ini sekali lagi merefleksikan sikap pembaharuan yang dianut Syekh Daud.
Menurutnya, Allah akan memberi pahala lebih baik atas ibadat seorang muslim yang berilmu. Di dalam SMMd Syekh Daud menulis: Handai dan tolan baiklah dengarkan. Menuntut ilmu aku khabarkan. Syarat bahagia aku baikkan. Supaya sah ibadat tuan.
Sifatnya yang cukup terus terang menunjukkan sikap reformisnya. Ia mendorong para jamaah Nusantara agar belajar untuk tidak dibodohi.
Melihat betapa dalam perhatian Syekh Daud terhadap ilmu, sehingga menganjurkan teman-temannya se tanah air untuk belajar, maka terlalu naiflah untuk mengatakan Syekh Daud adalah seorang jamaah haji biasa saja. Teranglah bahwa ulama ini memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tinggi dan mungkin menguasai ilmu bahasa arab dengan baik.
Syekh Daud belajar ilmu sastra Islam
Syekh Daud merupakan salah seorang di antara sedikit ualama Nusantara pada waktu itu yang secara eksplisit memotivasi kaum sebangsanya yang kebanyakan bodoh dan buta huruf itu agar belajar menuntut ilmu.
Dalam teks SSMd nyata sekali bahwa Syekh Daud sangat menaruh perhatian besar pada pengajaran dan membebaskan kaumnya dari kebodohan dan dapat menerima pikiran-pikiran dan paham pembaharuan. Melalui pencerdasan itulah sebuah kaum dapat membebaskan diri dari sifat taklid dalam beragama.
Setidaknya ada tiga bidang ilmu yang menjadi perhatian Syekh Daud, yaitu ilmu bahasa, sastra budaya dan agama. Di bidang ilmu bahasa ia antara lain menyebut pentingnya mempelajari ilmu nahwu (ilmu tata bahsa dan gramatika), ilmu saraf (ilmu tentang perubahan kata-kata). Selain itu, Syekh Daud juga menganggap pentingnya mempelajari ilmu mantik (logika, pengetahuan tentang cara berpikir berdasarkan logika) semacam filsafat ilmu.
Tentang pentingnya mempelajari ilmu-ilmu itu Syekh Daud menulis: “Ilmu saraf belajarlah tuan. Nyata padanya tasrif dan saraf. Asal bina’ sudah berbetulan. Mehantarkan makna pandailah tuan”. “Ilmu nahu tuan perhabis. Nyata di sana khuruf dan baris. Faala dan faila disanalah khalis. Betullah makna qur’an dan hadis”. “Ayuhai sahabat kakak dan adik. Banyaklah belajar ilmu mantik. Paham berbetul ilmu cerdik. Mempahamkan Qur’an kalam al-wariq”.
Banyak jamaah haji dari Hindia Belanda ketika itu yang tidak paham dengan Bahasa Arab. Pemahaman mereka tentang ayat Al-Qur’an seringkali hanya didasarkan pada apa yang dikatakan kaum ulama saja. Syekh Daud menganjurkan orang agar belajar Bahasa Arab dan ilmu tafsir agar dapat memahami Al-Qur’an dengan baik dan jelas. Selain itu pemahaman terhadap hadis juga penting.
Berkaitan dengan hal itu, Syekh Daud menulis: “Ayuhai saudara yang alim kabir. Baik belajar ilmu tafsir. Maknanya Qur’an disitu zahir. Baiklah paham betulkan fikir”. “Ilmu hadis tuan ketahui. “Periksa sah lagi pula far’i. Mutawatir, mauquf demikian lagi. Mana yang pangeran nawi”.
Seorang penulis yang baik harus mempelajari ilmu bahasa dan seni sastra. Oleh karena itulah di samping mempelajari ilmu bahasa, Syekh Daud juga belajar sastra Islam. Estetika dan puitika Arab tampaknya menarik perhatiannya. Ia menganjurkan teman-temannya agar belajar ilmu badi’, yaitu ilmu tentang berbagai perhiasan puisi yang merupakan cabang dari ilmu retorika.
Ilmu ‘arud yaitu, ilmu tentang metrum-metrum puisi Arab klasik. Ilmu bayan yaitu, ilmu tentang penyataan makna yang harus dan jelas dan ilmu maani adalah, ilmu tentang makna atau arti kata.
Mempelajari ilmu-ilmu itu merupakan suatu syarat mutlak bagi seseorang yang hendak meningkatkan kemahirannya mengarang syair.
Tentang pentingnya mempelajari ilmu-ilmu untuk keperluan untuk mengarang tersebut, Syekh Daud berseru kepada teman-temannya setanah air: “Dengarkan olehmu ayuhai ikhwani. Hendak diamalkan pesanku ini. Janganlah kurang ilmu maani. Bacaanmu baik paham disini”. “Badi’ dan arud tiga dengan bayan. Tuntut olehmu sekalian ikhwan. Nazam dan tasrif ia disanan. Mengurai syair pandailah tuan”.
Syekh Daud tidak hanya menenkankan sastra sebagai tulisan, tapi juga sastra sebagai sesuatu yang dibacakan sebagai tradisi lisan. Baik dalam kebudayaan Arab yang dikunjunginya maupun dalam kebudayaanya sendiri (Minangkabau) tradisi lisan itu sama kuatnya. Salah satu seni lisan yang sudah berkembang di Nusantara adalah tradisi mendasarkan (melagukan) Al-Qur’an. Tradisi ini berasal dari dunia Arab, tempat Al-Qur’an dulunya dihapalkan sebelum dituliskan. Di Nusantara seni membaca Al-Qur’an sudah menjadi bagian penting kegiatan agama. Bahkan, sering difestifalkan (mushabaqah).
Bahaya, murid yang belum siap mental pelajari doktrin Syattariyah
Di dalam SMMd Syekh Daud menjelaskan bahwa ilmu tasawuf tingkatan yaitu; ilmu dasar, tarekat dan hakikat. Sedangkan para murid dapat digolongkan atas tiga tingkat pula yaitu; orang mubtadi (penuntut baru), orang mutawassith (pelajar tingkat menengah, tingkat kedua) dan orang muntahi (tingkat lanjut).
Menurut Syekh Daud materi pelajaran yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan murid di masing-masing tingkat. Untuk ilmu dasar yang diikuti oleh orang mubtadi sebaiknya murid disuruh membaca syarah karya-karya Imam Ghazali, seperti Ihya Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), Baidayatul Hidayat (Permulaan Petunjuk), Minhaj Al-Bidin (Jalan Orang yang Beribadah) dan Albab Al-Hayat (Bab Kehidupan).
“Ihya Ulum al-Din satu kitabnya. Kepada mubtadi lebih manfaatnya. Bidayatul hidayat kemudiannya. Karangan Imam Ghazali juga adana”. “Minhaj al-Abidin suatu lagi. Itupun manfaat kepada mubtadi. Albab al-Hayat demikian lagi. Semuanya karangan Imam Ghazali”.
Setelah murid lulus dalam jenjang pertama itu, maka para murid boleh melanjutkan ke jenjang kedua, yaitu tarikat. Mereka sudah boleh disebut orang mutawassith. Kepada mereka dianjurkan untuk membaca kitab-kitab yang lebih dalam dan rumit, seperti Syarah Hikam, syarah atas karya-karya Adrani dan Syarqawi:
Seorang murid yang sudah lulus pada jenjang kedua ini boleh mengikuti jenjang berikutnya, yaitu mengkaji hakikat. Kini merekalah orang muntahi yang akan mengkaji hakikat Tuhan. Dalam istilah sekarang mereka disebut mempelajari filsafat yang sangat abstrak.
Sebagai bekas seorang guru ketika masih berada di Sumatera, Syekh Daud mungkin merasakan adanya bahaya apabila seorang murid yang belum siap mental mempelajari doktrin Martabat Tuhan.
Di Minangkabau, kalau seorang murid sudah berhasil melewati tahap ini, maka mereka disebut sudah putus makrifat (telah mencapai pengetahuan yang tinggi dan sempurna). Oleh karena itu diperlukan guru yang pintar (mursyid) untuk mengajarkan hal yang abstrak ini. Kenyataannya memang seringkali didapati di surau-surau Minangkabau.
Melalui teks SMMd kita dapat mengidentifikasi pemikiran Syekh Daud, khususnya mengenai pentingnya menuntut ilmu dan penolakannya terhadap sikap taklid dalam beragama. Ia mengawali teks SMMd dengan gambaran yang indah dan memukai tentang kelokan Tanah Suci Makah. Padahal, tujuan di belakang itu sebenarnya adaah mengkritik orang-orang yang pergi haji hanya karena ikut-ikutan atau hanya karena mengikuti tradisi nenek moyang yang sudah turun temurun, tanpa mengetahui hakikat yang sebenarnya dari ibadah haji.
“Setengah orang yang pergi haji. Tiada perduli hendak mengaji. Disangkanya muda hukumnya haji. Sorban jubah sudahalah jadi”. “Setengah haji berniat celaka. Pergi ke Makah hendak berniaga. Menjadai halawa dengan. Itulah basyarah (orang) negeri kita”. Itulah kasad (niat) orang jahil. Pegi haji memasarkan nakhil (korma). Pergianya itu tiada berfikir. Tiada sayang hajinya bathil”. “Tiap-tiap tahun banyak yang haji. Setengahnya kasad karena puji”.
Kembali dari haji
Apakah ada yang lebih membanggakan hati seorang perantau Minangkabau selain menerima pujian dari orang kampungnya? Merantau adalah cara untuk emnaikan pamor di mata orang kampung.
Kapankah Syekh Daud kembali ke Sumatera? Berdasarkan keterangan Arnold Snackey, Syekh Daud terdampar di Trumon, Aceh Selatan, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Raja Bujang yang mangkat tahun 1835. Snackey mengatakan, bahwa Syekh Daud diangkat menjadi guru agama Putra Mahkota Nyak Batak yang baru berumur 12 atau 13 tahun yang kemudian naik nobat menggantikan ayahnya.
Kalau begitu besar kemungkinan Syekh Daud pulang dari Makah sekitar tahun 1833 atau 1834. Perkiraan ini terasa cocok dengan keterangan Arnold Sanckey yang mengatakan: “Di sana (Trumon) ija (Syekh Daud) kawin dan djadi goeroe besar tjara madzhab Hanifi. Ika kahwin itoe dengan seorang poetri, sanak Radja Boedjang Teroemoen dan diantara anaknja dengan poetri itu adalah seorang yang kemoedian djoega ternama, ija itoe Toenkoe Sjech Mohamad Adam.”
Syekh Daud terdampar
Karena malu yang sudah bertumpuk-tumpuk, kehilangan muka di kampung dan juga karena anak perempuan satu-satunya juga dinikahi Syekh Lubuk Ipuh, maka Syekh Daud memutuskan kembali ke Makah.
Sama seperti pergi ke Makah dulu, ia kembali naik kapal di entrepot Pariaman, berlayar menuju pantai barat Sumatera, menuju pelabuhan-pelabuhan di wilayah Aceh.
Namun, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, ketika baru sampai di Tarumun (sekarang Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan) Syekh Daud sakit dan untuk sementara waktu terpaksa tinggal di entrepot itu. Setelah kesehatannya pulih kembali, ternyata uangnya yang semula dialokasikan untuk biaya ke Makah sudah habis. Sehingga terpaksalah ia menetap di Trumon.
Selama di Trumon, ternyata Syekh Daud cukup dekat dengan kalangan penguasa di Istana Trumon. Raja Bujang penguasa Trumon juga menikahkan Syekh Daud dengan salah seorang anak perempuannya. Satu indikasi yang menunjukkan bahwa Syekh Daud diterima di kalangan petinggi Kerajaan Trumon dapat dilihat dalam bait pertama: “Dengarkan oleh sekalian tolan. Suatu ibarat pengajaran badan. Dikarang oleh orang bangsawan. Di kampung Tarumun di negeri yang aman”.
Salah seorang anak yang lahir dari hasil perkawinan Syekh Daud dengan keluarga raja Trumon kemudian menjadi ulama ternama pula yaitu: Tuanku Syekh Muhammad Adam.
Sikap reformis Syekh Daud diwarisi pula oleh anaknya, Syekh Muhammad Adam. Setelah ayahnya mangkat kira-kira tahun 18 Syekh Muhammad Adam kembali ke Sunur untuk meneruskan kembali perjuangan ayahnya. Sesampainya di Minangkabau ia bergabung dengan beberapa orang tokoh tarekat naqsyabandiyah di darek, meneruskan gerakan pembaharuan melawan kaum ortodoks.
Memang agak mengherankan bahwa Syekh Muhamad Adam yang jika dilihat dari sistem matrilineal Minangkabau bukanlah orang Minang (karena ibunya Aceh) tetap mau masuk ke Sunur, ke kampung halaman ayahnya.
Sang anak rupanya berusaha meneruskan perjuangan ayahnya mengubah cara-cara beragama orang Sunur (Pariaman). ***