FB Wedia Purnama | FBG Ranah Minang: Maso Saisuak & Maso Kini | 13 Desember 2023 | 20.14๐ฆ๐ฌ๐๐ฅ๐๐๐๐ ๐ก๐๐ช๐๐ช๐
๐๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ ๐ ๐ถ๐ป๐ฎ๐ป๐ด๐ธ๐ฎ๐ฏ๐ฎ๐ ๐ฃ๐ฎ๐ฟ๐๐ฎ๐บ๐ผ ๐ก๐ฎ๐ป ๐ ๐ฎ๐๐๐ฎ๐ธ ๐ฆ๐ฎ๐ธ๐ผ๐น๐ฎ ๐จ๐น๐ฎ๐ป๐ฑ๐ผ
SETELAH pendidikan sekuler ala Eropa untuk pertama kalinya diperkenalkan di Padang pada 1825, respon masyarakat Minangkabau terhadap sistem pendidikan yang diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda itu cukup positif (lihat: Elizabeth E. Graves, 1981; terjemahan Indonesia, 2007).
Namun, untuk waktu yang lama sikola Ulando (Sekolah Belanda) itu hanya diperuntukkan bagi anak lelaki saja, Terutama dari golongan elit, seperti anak para datuk, tuanku laras, dan demang,[1] hingga akhirnya pada suatu ketika datang seorang gadis cilik Minangkabau mendobraknya. Gadis cilik itu adalah Sjarifah Nawawi yang kodaknya kita tampilkan dalam postingan status ini. Sjarifah lahir di Bukittinggi tahun 1896. Ia adalah anak
Engku Nawawi Soetan Makmoer (1859-1928), guru pribumi yang terkenal di Sekolah Radja (Kweekschool) Fort de Kock (Bukit Tinggi). Ibunya bernama Chatimah. Sjarifah sembilan orang bersaudara: 6 laki-laki dan 3 perempuan.
Sjarifah disekolahkan oleh ayahnya ke Europeesche Langere School (ELS) di Bukit Tinggi, kemudian ke Kweekschool, juga di kota itu, tahun 1907, tempat ayahnya mengajar. Dalam salah satu foto peringatan Kweekschool tahun 1908 kelihatan Sjarifah kecil berdiri
cengeh di antara puluhan murid-murid lelaki sekolah itu. Mungkin banyak teman-teman lelaki Sjarifah yang menyukainya. Tapi mungkin tak ada yang berani berhadapan dengan ayahnya, Engku Nawawi, yang meski bertubuh agak kecil, berwibawa dengan kumis meranting
betung (bambu). Konon Tan Malaka yang mungkin setahun lebih awal masuk Kweekschool daripada Sjarifah menaruh hati kepada gadis itu. Tapi kumis Engku Nawawi yang berdengung itu mungkin membuat Tan Malaka gentar mendekati Sjarifah.
Tamat dari Kweekschool, Sjarifah dan saudara perempuannya Syamsiar, melanjutkan studi mereka ke Salemba School di Batavia. Di kota itu Syarifah berkenalan dengan Bupati Cianjur, R.A.A.M. Wiranatakoesoema, yang kemudian menikahinya pada bulan Mei 1916. (Wiranatakoesoema menceraikan istri pertamanya karena ingin menikahi Sjarifah).
Tapi perkawinan itu akhirnya bubar: tanggal 17 April 1924, ketika sedang liburan bersama anak-anaknya di Bukit Tinggi, Sjarifah menerima telegram dari suaminya yang sedang berada di kapal antara Colombo dan Aden dalam perjalanan beliau naik haji ke Mekah. Isinya: melarang Sjarifah kembali ke Bandung untuk memangku jabatan Raden Ayu karena ia dinilai kurang luwes dan kurang bisa menyesuaikan diri dengan tradisi tata hidup Sunda, demikian tulis anaknya, Mien Soedarpo (1994:11) tentang perceraian ibunya dan ayahnya.
Keputusan R.A.A.M. Wiranatakoesoema menceraikan Sjarifah menuai banyak kecaman, yang muncul di koran-koran Belanda maupun pribumi, termasuk oleh H. Agus Salim. Sjarifah kemudian menjadi single parent untuk 3 anaknya: Am, Nelly, dan Minarsih (Mien) yang kemudian menikah dengan Soedarpo Sastrosatomo, seorang tokoh pejuang kemerdekaan.
Belakangan Mien Soedarpo (1994) menulis bahwa perceraian ibu dan ayahnya sepertinya lebih disebabkan oleh perbedaan mencolok antara budaya Sunda dan Minangkabau: Sjarifah yang berasal budaya Minangkabau yang demokratis dan tidak mengenal segregasi sosial yang ketat tampaknya tak tahan hidup dalam lingkungan kaum Menak Sunda yang sangat feodal (ini terefleksi dalam telegram perceraian yang diterima ayahnya tahun 1924).
Tahun 1924-1937 Sjarifah dan anak-anaknya tinggal di Bukit Tingi. Ia bekerja sebagai kepala sekolah De Meisjes Vervolg School (Sekolah Lanjutan untuk Anak Perempuan) di kota kelahirannya itu. Setelah kematian ayahnya (1928) dan ibunya (1937), Sjarifah hijrah ke Batavia. Anak-anaknya bersekolah di HBS Koning Willem III (di Salemba sekarang). Di Batavia, Sjarifah menjadi direktur Sekolah Kemajuan Istri di Meester Cornelis (Jatinegara), dan mengundurkan diri dari jabatan itu menyusul masuknya Jepang ke Indonesia.
Sjarifah terus mengabdikan hidupnya untuk memajukan pendidikan wanita dan anak-anak. Ia aktif di Fujinkai, organisasi umum wanita yang ditopang oleh Jepang, ia kemudian aktif di Perwari, organisasi wanita yang didirikan tahun 1945. Ia pun meneruskan kegiatan pendidikannya dan memberikan pengajaran kepada anak-anak perempuan serta wanita muda yang tidak mempunyai biaya pendidikan. Bahkan ia menyulap rumahnya menjadi sekolah, demikian tulis Mien Soedarpo (1994:53) tentang ibunya.
Sjarifah Nawawi meninggal di Jakarta pada 17 April 1988 dalam usia 91 tahun. Ia adalah sebuah simbol emansipasi kaum wanita Minangkabau.[2] Lama potretnya tergantung di gedung Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas jasa-jasanya yang tanpa pamrih memajukan pendidikan bagi anak-anak perempuan yang putus sekolah.
ัฯ
ะผะฒัั:
ัฯ
ััฮฑ∂ฮน โัฮน∂ัฮท, ะฒัโฮฑฮท∂ฮฑ. (ัฯ
ะผะฒัั ฦฯัฯ: ะผฮนัฮท ัฯั∂ฮฑัฯฯ, ะบัฮทฮฑฮทgฮฑฮท ะผฮฑัฮฑ โฮฑะผฯฮฑฯ
, สฮนโฮน∂ 1. สฮฑะบฮฑััฮฑ: ัฮฑัฮฑัฮฑฮท ััสฮฑัฮน, 1994:4).
============
===========
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Sekolah Belanda pada masa itu diperuntukkan hanya bagi bagi kalangan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Karena setelah tamat mereka akan dipekerjakan dengan pemerintah, sehingga fihak penjajah perlu menyeleksi orang-orang yang masuk untuk dididik, dipekerjakan, dan digaji dengan murah merupakan orang-orang yang dekat dan setia kepada mereka. Di Minangkabau orang-orang itu ialah dari golongan penghulu yang menjabat di pemerintahan seperti Penghulu Kepala dan Kepala Laras. Tidak semua penghulu dapat menyekolahkan anaknya ke sekolah Belanda karena tidak semua penghulu yang memihak, menerima, dan setia kepada Belanda. Adapun Jabatan 'Demang' baru ada lepas thaun 1914 sebagai pengganti jabatan Laras.
[2] Emansipasi atau Femnisme tidak dikenal di Minangkabau kecuali dipaksakan oleh beberapa oknum yang merasa diri lebih pinter, intelek, dan tercerahkan di antara sesama orang Minangkabau. Adat Minangkabau yang egaliter (sosialis) telah menggambarkan betapa dihargainya potensi setiap orang (laki-laki & perempuan) dengan peran yang berbeda-beda mereka lakoni dalam kehidupan (bermasyarakat). Terjadi keseimbangan atau harmonisasi diantara keduanya, sampai faham-faham asing (Sekulerisme, Liberalisme, Pluralisme, Feminisme) datang menjangkiti beberapa anak Minang sehingga merusak pola fikir mereka sehingga menyebabkan mereka menjadi Malin Kundang. Menentang adat & agama karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan zaman.