FB Wedia Purnama | FBG Ranah Minang: Maso Saisuak & Maso Kini | 16 Desember 2023 | 9.57
Nawawi gelar Soetan Makmoer akrab dipanggil Angkoe Nawawi (lahir di Padangpanjang, 1859 - meninggal di Bukittinggi 11 November 1928, pada usia 69 tahun) adalah seorang guru dan tokoh pendidik di Minangkabau pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia merupakan guru yang terkenal pada Sekolah Raja (Kweekschool) di Fort de Kock (Bukittinggi).
Nawawi Soetan Makmoer lahir di Padang Panjang pada tahun 1859, ayahnya bergelar Malim Maharadjo berasal dari Koto Gadang, berprofesi sebagai seorang Manteri cacar disana. Ibunya berasal dari Tiku. Engku Nawawi memiliki saudara bernama Engku Rasad gelar Soetan Saidi, seorang guru H.I.S di Solok (meninggal Juni 1929).
Sebelum ia tamat bersekolah, ayahnya meninggal dunia dan ia kembali ke ibunya. Ibunya menikah untuk kedua kalinya dengan Soetan Radjo Ameh, atas asuhan ayah tirinya, Soetan Radjo Ameh, ia tamat belajar di Sekolah Melayu.[3]
Pada tahun 1873, ia mulai menjadi murid Sekolah Raja (Kweekschool) pada saat berusia 14 tahun. Ia tamat dari Sekolah Raja setelah 4 tahun (1877) dan memperoleh surat ijazah menjadi Guru.
Setelah tamat di sekolah Raja, Nawawi diangkat menjadi guru di sekolah Melayu (sekolah Agam 1 sekarang). Pada tahun 1882, ia mengikuti ujian hulpacte di Betawi dimana ia merupakan salah satu diantara orang Minangkabau yang pertama memiliki ijazah tersebut.
Nawawi menikah dengan Chatimah dan dikaruniai sembilan orang anak. Salah seorang anak perempuannya, Syarifah Nawawi, dikenal sebagai aktivis pendidikan perempuan dan merupakan perempuan Minangkabau pertama yang mengecap pendidikan ala Eropa.
Pada pertengahan tahun 1883, Nawawi diangkat menjadi hulponderwijzer van den eersten rang di Sekolah Raja (Kweekschool). Pada tahun 1908, saat setelah 25 tahun ia mengajar di Sekolah Raja, ia menyalin karangan buku Gedenkoek Kweekschool Fort de Kock ke dalam Bahasa Melayu. Pada tahun 1916, ia pensiun mengajar dari Sekolah Raja. Nawawi menjadi guru di Sekolah Raja selama 33 tahun.
Nawawi juga diangkat menjadi Lid Schoolcommissie sekolah – sekolah Belanda di Bukittinggi sebagai Lid Bukittinggi, dan termasuk salah satu pembela kemajuan Pendidikan negeri.
𝗣𝗲𝗿𝗶𝗻𝘁𝗶𝘀 𝗲𝗷𝗮𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗺𝗮 B𝗮𝗵𝗮𝘀𝗮 Melayu (Bahasa 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮)
Pernahkah melihat tulisan maupun mendengar ejaan lama Bahasa Indonesia seperti, Keboedajaan dan Masjarakat? Tentu anda sering melihat pada buku atau koran lama. Nah, ejaan lama atau disebut dengan Ejaan van Ophuijsen tidak bisa lepas dari berjalanan bahasa Indonesia yang sehari-hari digunakan dan dirintis oleh anak Bukit Tinggi bernama Engkoe Nawawi Sutan Makmur. Pembekuaan ejaan Bahasa Indonesia berlangsung pada 1901 bersama sahabat Engkoe Nawawi yaitu Prof. Charles Van Ophijsen, orang Belanda yang gemar mempelajari bahasa Hindia.[4]
Engkoe Nawawi menikah dengan Chatima dan melahirkan seorang putri cantik bernama Syarifa Nawawi. Syarifa Nawawi cinta sejati Tan Malaka dari kecil. Sayangnya Syarifa Nawawi menikah dengan bangsawan Sunda,Wiranatakoesoema V.[5] Kendati demikian Tan Malaka tetap mempertahankan cinta sucinya hingga meninggal dunia.
Engkoe Nawawi memang tidak bisa dilepaskan dengan sejarah bahasa Indonesia yang dimulai dari Bahasa Melayu. Jika berkunjung ke Kota Bukittinggi anda bisa melihat rumah Engkoe Nawawi di jalan Nawawi Bukittinggi tepatnya di depan Hotel Dymens atau belakang SPBU Bukittinggi menuju RS Madina.
Rumah Engkoe Nawawi telah ditetapkan menjadi cagar budaya yang dijaga dengan baik oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bukittinggi.[6] Meski terlihat sepi, rumah Engkoe Nawawi sangat terawat dan memiliki taman nan asri.
Sayangnya rumah Engkue Nawawi sebagai tokoh nasional tidak dipromosikan, sehingga masyarakat tidak mengetahui keradaan rumah tersebut. Dirumah ini, Syarifa Nawawi kekasih dari Tan Malaka dibesarkan sehingga menjadi aktivis perempuan pada saat itu.
𝗣𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗿𝗴𝗮𝗮𝗻
Karena jasa-jasanya di bidang pendidikan, pemerintah Hindia Belanda menganugerahinya beberapa penghargaan, yaitu:
Bintang Perak dari Departemen Pendidikan dan Ibadat (Departement van Onderwijs en Eredienst)
Bintang Emas dari Gubernur Jendral Hindia Belanda
Bintang Oranje Nassau dari Ratu Belanda, Wilhelmina
Angku Nawawi meninggal pada tanggal 11 November 1928.
Referensi dari berbagai sumber terpercaya...!
--------------
Baca Juga: Kecintaan Minang atas Bahasa Melayu | Engku Sutan Muhammad Zain: Bapak Bahasa Melayu | Pict: tirto.id
--------------
Catatan kaki:
[1] Semenjak pendidikan barat bermula di Minangkabau, bahasa pengantar yang digunakan ialahah Bahasa Melayu dan orang Minangkabau sendiri dipanggil dengan panggilan orang Melayu oleh orang Belanda. Selain itu, dalam menuliskan sebuah dokumen, orang Minang menggunakan Bahasa Melayu bukan Bahasa Minangkabau. Dan yang paling keras perjuangannya untuk menjadikan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Persatuan ialah orang Minang pula.
[2] Bapak kecil = ayah kecil = pakcik, adik lelaki ayah yang paling kecil
[3] Tidak ada Sekolah Minangkabau melainkan 'Sekolah Melayu', hendaknya hal tersebut menjadi bahan pemikiran bagi orang sekarang. Karena masih banyak orang Minangkabau pada masa ini terutama generasi muda yang tak mendapat 'warih nan dijawek' dari orang tua-tua di kampungnya (mamak, ayah, inyiak/atuk/kakek, tetua) perihal sejarah (asal usul) nagarinya, Alam Minangkabau, dan Alam Melayu.
[4] Hindia merupakan nama resmi Indonesia pada masa kolonial. Sebenarnya dalam Bahasa Belanda ialah 'Indie" yang bermakna 'India' karena penjajah meanggap bahwa kepulauan di Jazirah Melayu ini merupakan bagian dari India. Dan dalam menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia digunakanlah kata 'Hindia' untuk membedakan dengan 'India'.
[5] Menggenaskan memang, karena Sjarifah yang terkenal 'feminis' berkenan menjadi Isteri Ketiga seorang bangsawan Sunda dan selama menjalani kehidupan rumah tangganya, ia mengalami cobaan yang cukup berat mengingat statusnya sebagai isteri ke-3. Agaknya ia memang tak pernah menaruh hati kepada Tan Malaka, karena tatkala telah kembali ke Indonesia (dimasa akhir penjajahan Jepang) Tan Malaka kembali menemuinya yang telah menjanda namun tetap menolak.
[6] Belum menjadi Cagar Budaya melainkan masih Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) dan berada dalam daftar Peninggalan Sejarah Kota Bukittinggi. Kepemilikan dan pengelolaan masih oleh keluarga Engku Nawawi. Penetapan tidak dapat dilakukan karena fihak keluarga merasa cukup dengan status Peninggalan Sejarah.
[7]