Ilustrasi Gambar: syehaceh |
Pengantar
FB Melawan Lupa - Putroe ijo (Green Princess) adalah ’kisah’ kepahlawanan (folkhero) yang dikenal dan berkembang luas, paling tidak pada dua kelompok suku yakni Melayu Deli dan Karo. Sebagai folktale, kisah Putri Hijau pada awalnya merupakan tradisi lisan (oral) milik bersama masyarakat (communal), berasal dari satu daerah (local) dan diturunkan secara informal (Toelken, 1979:31). Kisah ini memiliki sifat oral dan informal sehingga cenderung mengalami perubahan baik penambahan maupun pengurangan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dikemudian hari terdapat versi cerita yang berbeda-beda. Wan Syaiffuddin (2003) mengemukakan versi cerita dimaksud seperti: Syair Puteri Hijau (A. Rahman, 1962); Sejarah Putri Hijau dan Meriam Puntung (Said Effendi, 1977); Puteri Hijau (Haris M. Nasution, 1984) dan Kisah Puteri Hijau (Burhan AS, 1990)
Adanya unsur-unsur pseudo-historis, yakni anggapan kejadian dan kekuatan yang digambarkan luar biasa dalam kisah Putri Hijau cenderung merupakan tambahan dari kisah yang sebenarnya dengan tujuan euhemerisme yakni menimbulkan kekaguman para pendengarnya. Sejalan dengan hal ini, seperti yang diingatkan oleh Baried (1985) bahwa ”kisah’ cenderung menunjukkan cerita yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, kisah Putri Hijau adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (Husny, 1975; Said, 1980 dan Sinar, 1991, Meuraxa, 1973). Dengan begitu, sifat imajinatif-diluar kelogisan nalar manusia-yang terdapat pada kisah tersebut tidak perlu ditafsirkan secara mendalam karena sifat itu di buat untuk tujuan euhemerisme.
Kisah Putri Hijau yang berkembang luas dalam masyarakat Melayu Deli serta Karo, lebih dikenal sebagai sebuah fiksi daripada sebuah fakta sejarah. Namun, berdasarkan studi literatur, studi dokumen dan bukti-bukti sejarah terbaru tiba pada kesimpulan bahwa kisah Putri Hijau merupakan fakta sejarah atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Hanya saja, dominasi unsur imajinatif dalam kisah tersebut menyebabkannya semata-mata bukan fakta sejarah.
Catatan-catatan penting Tentang ARU
Menurut beberapa pendapat, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan ARU dan belum pernah diteliti sama sekali. Namun, Edmund E. McKinnon (Arkeolog Inggris) menolak apabila kawasan tersebut dinyatakan belum pernah diteliti sekaligus juga menolak apabila Teluk Aru disebut sebagai pusat kerajaan Aru. Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976 dan hasilnya adalah ”Pulau Kompei”. Diakui bahwa terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan. Seperti diketahui bahwa jalur dari Karo plateau maupun hinterland menuju pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang menuju ke Sei Serdang maupun ke Sei Deli, Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur sungai diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei Wampu dan Muara Deli (Catatan Anderson tentang pentingnya Muara Deli).
Penulis Karo mengemukakan bahwa (H)Aru adalah asal kata ”Karo” yang berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini mengklaim bahwa masyarakat Aru adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan oleh clan Kembaren. Walau demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro (1979) sependapat dan mengakui bahwa centrum kerajaan ini berpindah-pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan (Batak Timur), Lingga, Mabar, maupun Barumun. Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1496-1528. Lebih lanjut disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Batak Karo.
Demikian pula penulis Melayu yang mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan Melayu yang sangat besar pada zamanya, lokasi kerajaanya tidak menetap akibat gempuran musuh terutama yang datangnya dari Aceh. Hal ini telah banyak dicatat oleh Lukman Sinar dalam jilid pertama bukunya dengan judul Sari Sedjarah Serdang (1986). Menurutnya, nama ARU muncul pertama kalinya dalam catatan resmi Tiongkok pada saat ARU mengirimkan misi ke Tiongkok pada tahun 1282 pada era kepemimpinan Kublai-Khan. Demikian pula dalam buku ”Sejarah Melayu” yang banyak menyebut tentang kerajaan ARU. Berdasarkan literatur tersebut, Lukman Sinar dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa pusat kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah menganut Islam.
Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut adalah Kota Rentang karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis serta carbon dating terhadap temuan keramik, ditemukannya batu kubur (nisan) yang terbuat dari batu Cadas (Volcanoic tuff) dengan ornamentasi Jawi dimana nisan sejenis banyak ditemukan di tanah Aceh. Sedangkan tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak diketemukan selain sebuah meriam buatan Portugis bertuliskan aksara Arab dan Karo. Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU pada saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar upeti ke Tiongkok. Kemudian, dalam ”Sejarah Melayu” juga diceritakan suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah berusia 100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda (1607-1636) pada tahun 1612 dan 1619. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan ”Sejarah Melayu” tersebut adalah Kota Rentang.
Diyakini bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga dianggap musuh oleh kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dari sumpah Amukti Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton (1966), yaitu: Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah mada: ”Lamun awus kalah nusantara isun amuktia palapa, amun kalah ring Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa”. Hal senada juga dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam bukunya dengan judul ”Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara ”(2005).
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri pada awal abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR Batak Timur pada tahun 1285. Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi yang percis sama dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum jatuh ketangan Aceh. Sebagai dampak serbuan yang terus menerus maka centrum ARU pindah ke Deli Tua yakni pada akhir abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar (1537-1568) mulai berkuasa di Aceh.
Benteng “Putroe Ijo” Deli Tua
Edmund Edwards McKinnon (2008) menulis ”Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the surrounding forest on the back of an elephant and eventually made her way to Johor, where she married the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom”. Selanjutnya, “a sixteenth century account by the Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the events that transpired thereafter”.
Seperti yang dicatat dalam literature sejarah bahwa laskar Aceh tidak saja menyerang Kerajaan ARU tetapi juga Portugis dan kerajaan Johor yang merupakan sekutu ARU. Oleh karena itu, sejak kejatuhan ARU ketangan Aceh, maka centrum kerajaan ARU yang baru berpusat di Deli Tua (Old Deli) serta dipimpin oleh ratu ARU yang didukung oleh Portugis dan Kerajaan Johor. Dalam kisah Putri Hijau, ratu ARU inilah yang disebut sebagai Putri Hijau. Sedangkan nama ’Putri Hijau’ itu sendiri menurut McKinnon ada dikenal dalam cerita rakyat di India Selatan.
Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto, penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‘Panecitan’ (Lau Patani) yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis.
Temuan lainnya adalah mata uang Aceh (Dirham) yang terbuat dari emas, dimana masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut Lukman Sinar (1991) di Deli Tua pada tahun 1907 dijumpai guci yang berisi mata uang Aceh dan kini tersimpan di Museum Raffles Singapura. Temuan lainnya adalah berupa keramik dan tembikar yang pada umumnya percis sama dengan temuan di Kota Rentang. Temuan keramik dan tembikar ini adalah barang bawaan dari Kota Rentang pada saat masyarakatnya mencari perlindungan dari serangan Aceh.
Hingga saat ini, temuan berupa uang Aceh, keramik dan tembikar dapat ditemukan disembarang tempat disekitar lokasi benteng. Akan tetapi, dari bukti-bukti yang ada itu, tidak diketahui secara jelas apakah ARU Deli Tua telah menganut Islam. Pendapat yang mengemukakan bahwa ARU Deli Tua adalah Islam didasarkan pada temuan sebuah meriam bertuliskan Arab dengan bunyi: ’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de Raet pada tahun 1868 di Deli Tua (Lukman Sinar, 1991). Akan tetapi di tengah meriam tersebut terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada dengan tulisan Pinto bahwa ARU memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam inilah yang kemudian di sebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan secara terus menerus hingga puntung dan terbagi dua.
Faktor penyebab serangan Aceh ke ARU yang berlangsung terus menerus adalah dalam rangka unifikasi kerajaan dalam genggaman kesultanan Aceh. Lagipula, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ARU terdahulu ditaklukkan oleh laskar Aceh yang mengakibatkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Hal ini menjadi jelas bahwa hubungan diplomatik antara ARU dengan Aceh tidak pernah harmonis. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa faktor serangan Aceh ke Deli Tua adalah akibat penolakan sang Putri untuk dinikahkan dengan Sultan Aceh.
Mengingat kuatnya benteng pertahanan ARU Deli Tua yang ditumbuhi bambu, sehingga menyulitkan serangan Aceh. Menurut catatan Pinto, dua kali serangan Aceh ke Deli Tua mengalami kegagalan. Pada akhirnya pasukan Aceh melakukan taktik sogok yakni dengan memberikan uang emas kepada pengawal benteng. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa pasukan Aceh menembakkan meriam berpeluru emas, sehingga pasukan ARU berhamburan untuk mencari emas. Penyogokan pasukan ARU yang dilakukan oleh pasukan Aceh, menjadi penyebab kehancuran kerajaan ARU Deli Tua.
Permaisuri kerajaan dengan laskar yang tersisa mencoba merebut Benteng, tetapi tetap gagal. Akhirnya permaisuri dengan sejumlah pengikutnya berlayar menuju Malaka dan menghadap kepada gubernur Portugis. Tetapi ia tidak disambut dengan baik. Akhirnya permaisuri menjumpai Raja Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II dan bersedia menikahinya apabila ARU dapat diselamatkan dari penguasaan Aceh. Akan tetapi, ARU telah dikuasai oleh Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan. Akhirnya permaisuri raja ARU menikah dengan raja Johor. Gocah Pahlawan diangkat sebagai wali negeri Aceh di reruntuhan kerajaan ARU. Selanjutnya, ARU Deli Tua pada masa pimpinan wali negeri Aceh ini menjadi cikal bakal kesultanan Deli yang berkuasa pada tahun 1632-1653.
Benteng Putri Hijau yang terdapat di Deli Tua-Namu Rambe berdasarkan survei yang dilakukan oleh John Miksic (1979) luasnya adalah 1800 x 200 M2 atau 360 Ha. Letaknya percis diantarai dua lembah (splendid area) yang disebelah baratnya mengalir Lau Patani/Sungai Deli. Temuan penting dari situs ini adalah ditemukannya benteng pertahanan yang terbuat secara alami maupun bentukan manusia. Benteng ini termasuk dalam kategori local genius terutama dalam menghadapi musuh, yakni musuh yang datang menyerang harus terlebih dahulu menyeberangi sungai, kemudian mendaki lereng bukit (benteng alam) dan akhirnya sampai di benteng bentukan manusia. Oleh karenanya, musuh memerlukan energi yang cukup kuat untuk bisa sampai kepusat benteng. Lokasi yang tepat berada diantara dua lembah serta dialiri oleh sungai, menjadi alasan bahwa daerah tersebut sengaja dipilih untuk mengantisipasi serbuan musuh (Military Strategic Sistem), lagi pula pusat kerajaan selalu berada di tepi sungai mengingat pentingnya sungai sebagai jalur transportasi.
Setelah diserang oleh laskar Aceh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar yang berkuasa tahun 1537-1568, (bukan Iskandar Muda) pada tahun 1564, nama ARU tidak pernah diberitakan lagi. Serangan Aceh yang kedua ini adalah serangan yang terhebat dimana seluruh kerajaan ARU habis dibakar dan yang tersisa hanyalah Benteng yang masih eksis hingga sekarang. Hal ini senada dengan pendapat Mohammad Said (1980) dimana peperangan yang terjadi pada masa sultan Iskandar Muda (1612-1619) tidaklah sehebat pertempuran pada masa Sultan Al-Kahar. Lagi pula, pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, tidak terdapat suatu tulisan bahwa Melayu di pimpin oleh Sultan Perempuan.
Kesimpulan
Kisah Putroe Ijo adalah peristiwa yang bersifat historis-faktual yang bercampur dengan imajinasi, terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar di Aceh dan ARU dipimpin oleh raja perempuan yakni permaisuri Sultan Husin yang gugur akibat serangan Aceh. Centrum kerajaan ARU berada di Deli Tua yang dikelilingi oleh Benteng yang tangguh setinggi 30 kaki dan memiliki sebuah meriam yang dibeli dari pelarian Portugis. Dapat dilayari melalui sungai Panecitan/Lau Patani yang bermuara ke selat Melaka. Pada akhirnya, ARU takluk sebagai dampak praktek sogok (uang emas; Dirham) yang dilakukan oleh pasukan Aceh terhadap pengawal pintu benteng kerajaan ARU. Akibatnya, ARU dapat dikuasai oleh laskar Aceh dan seisi istana musnah dibakar.
Kisah Putri Hijau menggambarkan kekalahan pasukan ARU Deli Tua dari serangan pasukan Aceh dan kekalahan ini tentu saja sangat sukar untuk dapat diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai kontrawacana kekalahan tersebut, dibentuklah wacana baru dengan mengadopsi peristiwa sebenarnya dengan mencampurnya dengan unsur-unsur imajinasi.
Praktek sogok diceritakan kembali dengan tembakan meriam Aceh berpeluru emas, sementara satu-satunya meriam ARU yang ditembakkan secara terus-menerus menjadi panas dan pada akhirnya puntung dan terbagi dua. Selanjutnya, faktor penyebab serangan Aceh ke ARU bukan semata-mata disebabkan oleh rencana unifikasi dan ekspansi kekuasaan tetapi cenderung karena perempuan, yakni kecantikan Sri Ratu ARU yakni permaisuri Sultan Husin yang mati terbunuh sehingga Raja Aceh berniat mempersuntinngya. Pada akhirnya, pasukan Aceh memang menang dalam perang, tetapi mengalami kekalahan karena gagal mempersunting Putri Hijau. Oleh karena itu, kisah Putri Hijau yang hingga kini populer dikalangan masyarakat merupakan kontruksi atas peristiwa sebenarnya dan sengaja dibentuk untuk melawan wacana kekalahan ARU Deli Tua. Makna yang dikedepankan dalam wacana ini adalah bahwa Aceh tetap kalah yakni kegagalan mempersunting permaisuri ARU Deli Tua. Disamping catatan-catatan resmi perjalanan, bukti-bukti otentik sejarah kerajaan ARU Deli Tua adalah benteng yang masih eksis hingga saat ini, temuan mata uang emas Dirham, pecahan keramik dan tembikar yang dengan mudah dapat ditemukan. Oleh karena itu, Putri Hijau bukan mitos tetapi fakta sejarah yang benar-benar terjadi.
Erond L. Damanik, M.Si.
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian-Universitas Negeri Medan
Gambar situs benteng putri ijo di deli tua