Gambar: Kompasiana |
Oleh: M. Adli Abdullah
FB Melawan Lupa - SEJARAH Sultan terakhir Kerajaan Aceh Darussalam, sudah saya nukil minggu lalu. Kali ini, mengulas kegetiran Tuanku Raja Ibrahim putra Mahkota Kerajaan Aceh yang boleh dikatakan dia hidup luntang lantung bersama ayahnya Sultan Muhammad Daud Syah (1878-1939).
Riwayat getir kehidupan pejuang Aceh ini bermula ketika Kapten Van Der Maaten menyandera dan menangkap ibunya pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid. Saat itu, Ibrahim berusia enam tahun ketika disandera di Gampong Glumpang Payong Pidie.
Sultan yang berada di Keumala turun menghadap Belanda pada 10 Januari 1903 setelah bermusyawarah dengan para penasihatnya. Pada 20 Januari 1903, Sultan dibawa ke Kuta Radja (Banda Aceh) untuk dipertemukan.
Dalam pertemuan dengan Gubernur Aceh Jenderal Van Heutz, Sultan menandatangani nota perdamaian dengan Belanda. Pada 24 Desember 1907 Pemerintah Hindia Belanda membuang Sultan, isteri, anaknya Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Ambon.
Hingga tahun 1918, mereka dipindahkan ke Batavia dan menetap di Jatinegara. Sultan meninggal di sana pada 6 Februari 1939 tanpa pernah bisa kembali ke Aceh.
Parahnya seluruh kekayaannya dirampas dan dijadikan milik kolonial Belanda sesuai dengan asas hukum perang Reght van Over Winning (H.C. Zentgraaff:1981 ).
Anak Sultan Muhammad Daud Syah yang sulung, Tuanku Raja Ibrahim, kehidupannya cukup beragam. Misalnya ke Belanda karena Ratu Wilhelmina ingin berjumpa dengan sang Raja Muda ini. Ratu kemudian memberinya pangkat letnan kepada Tuanku Raja Ibrahim.
Pada waktu Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, Kaisar Jepang memerintahkan melalui kementerian Luar Negeri Jepang dan mengutus jenderal Shaburo Ino dengan stafnya mencari keturunan Sultan Aceh Muhammad Daudsyah.
Dia bertemu dan diterima secara resmi dengan Tuanku Raja Ibrahim di Lameulo, Pidie pada 1943. Atas dasar Kaisar Jepang teringat atas surat ayahnya yang dikirim pada Kaisar Jepang. Segera setelah Jepang menang perang melawan Rusia pada tahun 1905, di Selat Tsushima.
Surat ini menjadi salah satu sebab Sultan Muhammad Daud Syah dibuang dari Aceh pada tahun 1907 dan tidak kembali sampai akhir hayatnya.
Pangeran muda ini menjadi kawan dekat Soekarno waktu kecil. Saat itu, Soekarno memanggilnya “Bram” bahkan salah satu nama anaknya sama dengan nama salah satu anak Soekarno “Sukmawati.”
Namun ketika Soekarno menjadi penguasa di Indonesia pada masa orde lama. Dia melupakan Tuanku Raja Ibrahim. Padahal teman seperjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Agaknya ada kekhawatiran Soekarno bahwa sang pangeran ini menuntut pemulihan haknya semisal Yogyakarta yang secara penuh mendapatkan berbagai “keistimewaan” hingga hari ini.
Dapat dikatakan bahwa ayah Megawati ini tidak hanya berkhianat Tuanku Ibrahim, tetapi dengan rakyat Aceh.
Sukarno tidak menepati janjinya yang diucapkan di depan Teungku Daud Beureueh dan teman-temannya pada 1948. Akibatnya Daud Beureu’eh kecewa dan menuntut Soekarno dengan pemberontakan berdarah yang diproklamirkannya pada 21 September 1953.
Sang Raja Muda ini terus menemani ayahnya di Jakarta dan pulang ke Aceh pada tahun 1937. Padahal ayahnya melarang.
Di tanah kelahirannya, raja muda ini kawin dengan Pocut Hamdah, Putri Amponsyik Keumangan Beureunuen. Mereka dikarunia dua putri. Ada beberapa istrinya dan terakhir dengan Pocut Manyak yang dikaruniai empat putera/puteri. Jumlah anak seluruhnya yaitu 16 orang anaknya. Dan bekerja sebagai Mantri tani di Pidie dan pensiun pada tahun 1960.
Walaupun putra makhota, hidupnya sangat sederhana karena seluruh harta pribadi ayahnya dirampas oleh Belanda dan pembesar-pembesar Aceh yang bekerjasama dengan Belanda.
Putra Sang Raja ini, menetap di sebuah perkampungan kecil Lampoh Ranup, Lamlo Pidie, dan hidup dari uang pensiun Rp 9.000 dengan 16 anaknya (Majalah Tempo, 1976).
Tentu ini sangat berbanding terbalik dengan keturunan yang pernah bekerja sama dengan Belanda. Dimana mereka menikmati sekian pengaruh dan keistimewaan di dalam kehidupan sehari-hari.
Pada pertengahan tahung 1975 atas inisiatif Tuanku Hasyim, SH (Kepala Kaum Alaidin) dan Tuanku Abbas, BA (mantan Kepala DEPPEN RI di Banda Aceh) menjemput Tuanku Raja Ibrahim dan keluarga dari Kota Bakti dibawa ke Banda Aceh.
Kemudian atas jasa dan bantuan Gubenur Daerah Istimewa Aceh Muzakkir Walad dan dukungan anggota DPRD Waktu H. Yahya Luthan. Pemerintah Aceh meminjami rumah hak pakai tipe 45 di Jl. Teungku Cot Plieng No 18 dengan Surat Keputusan No 100/1976 dengan ketentuan rumah tersebut ditempati selama hidup beliau.
Pada tahun 1975, Sultan Hamengkubuwono IX ikut prihatin pada nasib Tuanku Raja Ibrahim. Dengan menggunakan pengaruhnya dia berusaha agar ada tambahan pendapatan bagi Tuanku Raja Ibrahim. Akhirnya, Tuanku mendapat tambahan Rp 5.000 dari Pemda dan Rp 1.500 dari Departemen Dalam Negeri.
“Bila saya telah tiada, rumah ini harus dikembalikan”, ujar Abang. “Eh, toh, semua itu saya terima” (Majalah Tempo 1976).
Semasa hidupnya, menurut anaknya Tuanku Raja Yusuf, mempunyai satu keinginan yang belum terlaksana yakni ke Jakarta menziarahi makam sang ayah Sultan Muhammad Daudsyah.
Tetapi karena kehidupan ekonomi yang begitu sulit, sang cita-cita pangeran ini tidak kesampaian sampai menemui ajalnya pada 31 Maret 1982.
Dia dimakamkan di pemakaman keluarga raja-raja di Baperis. Tuanku Raja Ibrahim meninggalkan 16 anaknya yakni Tengku Putri Safiatuddin, Teungku Putri Kasmi Nur Alam, Tuanku Raja Zainal Abidin, Tengku Putri Rangganis, Tuanku Raja Ramaluddin, Tengku Putri Sariawar, Tuanku raja Mansur, Tuanku Raja Djohan, Tuanku Raja Iskandar, Tengku Putri Sukmawati,Tuanku Raja Syamsuddin, Tuanku Raja Muhammad Daud, Tuanku Raja Yusuf, Tuanku Raja Sulaiman, Teungku Putri Gambar Gading, Tuanku Raja Ishak Badruzzaman.
Begitulah sekilas kisah getir seorang Raja Muda yang saat ini rakyat Aceh hanya bisa berbangga-bangga; ketika para peneliti bangga dengan sejarah kerajaan Aceh Darussalam, namun tidak memiliki apresiasi yang ternyata ujung keturunan Sultan Aceh begitu pahit. Kekuasan dan harta yang dirampas dan hidup mereka hanya berlapiskan rasa iba dari pihak yang kasihan.
Tampaknya kisah raja terakhir ini pun bisa dianalogikan pada nasib Aceh dewasa ini, yaitu merasa perlu dikasihani. Dimana pengkhianatan dan pelecehan kekuasaan adalah bukti kelemahan kerajaan Aceh.
Raja Aceh tidak hanya dikhianati oleh Eropa tetapi juga oleh bangsanya sendiri. Tentu, kita tidak ingin menjadikan ini sebagai isu kemana kita mencari pemimpin sekarang.
Sebab siapapun yang akan atau sedang memimpin Aceh, pasti akan mendapatkan sikap-sikap pengkhianatan atau pelecehaan kekuasaan setelah mereka tidak berkuasa.
Kisah pahit keluarga Sultan menjadi lecutan sejarah kepemimpinan Aceh. Bedanya, Tuanku Ibrahim masih menyisakan semangat kepemimpinan Aceh. Inilah yang membuat rakyat Aceh bersatu dan bangga untuk menjadi sebuah bangsa yang berdaulat.