Gambar: Cerita Rempah Barus |
FB Sutan Bandar Sati - Pedagang dan Pahlawan dari Barus, dan Asal Usul Gelar 'Marah' di Pesisir Barat Minangkabau.
Disunting dari tulisan Syafriwal Marbun dari Sibolga dan sumber-sumber lain.
Berbagai daerah di seluruh Indonesia tentu memiliki beberapa Pahlawan sebagai bukti perlawanan mereka menghadapi penjajah. Tidak ketinggalan juga masyarakat pesisir Tapanuli Tengah pun banyak memiliki pahlawan-pahlawan baik yang diakui maupun belum diakui yang telah tercatat dalam sejarah perlawanan sebelum kemerdekaan.
Salah satu pahlawan tersebut adalah Marah Saidi atau Sidi Marah (ada yang menuliskan Marah Sidi, adapula Sidi Marah), pahlawan dari Barus (Dada meuraxa: Sejarah kebudayaan Suku-suku Sumatera Utara) yang bertempur sepanjang Pantai Barat Tapanuli sampai Aceh, mulai dari Singkil, Barus, Sorkam, Sibolga, Poncan, Singkuang dan Natal.
Sumber Belanda juga menyebut namanya MARAH SAIDI yang sebelumnya adalah seorang pedagang perantau kaya dari pesisir Pariaman yang bergelar 'Marah' hingga kerap dipanggil 'Ajo Saidi',
Gelar 'Sidi' dan 'Marah' adalah dua gelar adat yang penggunaannya adalah sendiri-sendiri (tidak digabung). Tentunya penggunaan nama 'Sidi Marah' menjadi aneh. Lebih tepat namanya adalah MARAH SAIDI (bukan Marah Sidi).
Kata 'Saidi' pada nama 'Marah Saidi', jika dikaji dari bahasanya memang bermakna berasal usul dari kata 'Sayyidi' atau 'Sayyidina' yang bermakna keturunan dari Arab. Namun gelar 'Marah' di depan namanya menunjukkan dia bukanlah seorang yang bergelar 'Sidi'.[1] Hal itu menunjukkan bahwa 'Saidi' hanyalah sebuah nama, bukan gelar. Bukanlah hal yang aneh bila seorang muslim memakai nama-nama yang berbau Arab seperti Muhammad, Umar, Yakub, Mahmud, dll.
Sejatinya, Marah Saidi merupakan seorang pedagang perantara atau broker. Ketika zaman Perang Paderi, dia menjadi pedagang penghubung antara orang-orang Aceh dengan kaum Paderi. Dia memasok keperluan kaum Paderi dengan barang seperti senjata, pakaian, garam, ikan, dan lain-lain. Semua dibeli ke orang Aceh. Dia juga memiliki gudang yang cukup besar di Katiagan, dekat Bonjol Pasaman Sumatera Barat.
Misalnya pada tulisan Letnan Satu Infantri J.C Boelhouwer, dalam memoar “Kenang-kenangan di Sumatra Barat Selama Bertahun-tahun 1831-1834” yang mencatat militer Belanda merangsek ke pusat Paderi di Bonjol. Gudang dagang yang banyak berdiri di Katiagan, tidak jauh dari Bonjol dibakar.
Salah satu gudang dagang yang ikut terbakar adalah milik Marah Saidi. Sejak itu, Marah Saidi begitu marah pada Belanda. Dia dengan kelompoknya lalu menyerang kampung-kampung yang berkongsi dengan Belanda.
Sepak terjangnya amat ditakuti Belanda, pertempuran paling heroik yang tercatat pada tanggal 4 Desember 1829 bersama si Songe dengan menggempur benteng Port Tapanoely di Pulau Poncan Ketek banyak memakan korban di pihak Belanda. Akibatnya setelah itu Barus diserang habis-habisan oleh Belanda, karena menduga Marah Saidi sehabis menyerang Poncan mundur ke arah Barus.
Melihat serangannya berhasil di Poncan Ketek, setahun kemudian (1831) Marah Saidi memperlebar serangannya ke Air Bangis, serangan tersebut menyebabkan Komandan Belanda bernama Plustadt dan dua pembantunya tewas, kejadian itu belakangan dilaporkan kembali oleh Eilstra pada tahun 1926/1932 dalam jurnal perang Hindia Belanda.,
Kelihaian Marah Saidi mengatur serangan dan membuat pertahanan amat memukul Belanda, terbukti dengan sebuah benteng tua di Barus yang dibangun oleh Marah Saidi pada tahun 1833. Benteng ini berdinding tebal, kokoh dan sangat sukar didekati, karena di sebelah utara berbatasan dengan sungai, di bagian timur dan barat padang terbuka dan datar, sedangkan sebelah selatannya berbatasan dengan laut, sering menjebak pasukan Belanda, sehingga sangat banyak korban dan kerugian di pihak Belanda serta sangat susah tundukkan.
Selain itu, Marah Saidi pun amat lihai berdiplomasi. Dalam buku "Bunga Rampai Tapian Nauli" tertulis; Marah Saidi berhasil meyakinkan kerajaan Aceh dan diijinkan membawahi Armada Laut memerangi Poncan. Tindakannya itu disambut baik oleh Songe dan para penduduk keturunan Aceh, sehingga Poncan berkubang darah penjajah Belanda.
Tindak tanduk Marah Saidi sangat menakutkan Belanda, berbagai usaha membujuknya bekerja sama selalu gagal, walaupun sudah disusupkan mata-mata. Sampai sekarang tidak diketahui kapan beliau meninggal serta dimana ‘Pahlawan’ ini dikubur. Meninggalnya pun jadi misteri apakah gugur waktu perang, ditangkap Belanda atau mati tua.
Yang jelas dari semenjak 1832 perlawanan warga Pesisir Tapanuli dan dibantu Aceh yang dirintis Marah Saidi, mengobarkan perjuangan yang tiada henti-hentinya terhadap penjajah, sampai tujuh tahun kemudian (1839) dengan perang habis-habisan barulah Belanda berhasil merebut Barus dan benteng kokoh tersebut.
Belanda bisa mempertahankan Barus selama 104 tahun (1839-1943) berkat adanya benteng milik Marah Saidi tersebut. Belanda akhirnya melepas benteng tersebut, karena datang Jepang (1943) dan selanjutnya tidak bisa menyentuh negeri Barus kembali.
Tentang Gelar 'Marah'.
Marah di Padang adalah sebuah gelar adat keturunan (adat bawaan) yang diberikan oleh Niniak Mamak Nan Salapan Suku. Yang diberikan kepada anak laki-laki sejak dia lahir jika salah satu orang tuanya bergelar adat 'Sutan' atau mandenya (ibunya) bergelar 'Puti'.
Di Tiku-Pariaman (Kab. Padang Pariaman) ada 2 macam gelar bagi seorang laki-laki dewasa (telah menikah), yaitu gelar status sosial (keturunan) dan gelar adat. Berbeda dengan masyarakat Minang di Pedalaman (darek), gelar yang dipegang oleh laki-laki Pariaman dahulu kebanyakan berasal dari status (keturunan) dan peran sosial di masyarakat.
Gelar tersebut terdiri atas:
SIDI, yang berasal dari kata Sayyid, yang biasanya dipegang oleh yang ayahnya keturunan Arab.
BAGINDO, biasanya dimiliki oleh keluarga bangsawan, pemilik tanah dan representasi masyarakat pribumi dari pedalaman Minangkabau. Dahulu, yang memiliki gelar Bagindo biasanya adalah para wali korong, wali nagari dan pemimpin sosial.
MARAH, banyak juga di gunakan di sekitar Padang dan Pauh. Fungsi gelar Marah hampir sama dengan Bagindo, yakni representasi Pagaruyung yang juga banyak menjadi penghulu adat/hulubalang. Saat ini gelar tersebut tidak mencerminkan lagi fungsi peran status sosialnya, namun lebih menunjukkan silsilah keturunan saja.
Pada perkembangannya di daerah rantau pesisir barat Sumatera di luar Minangkabau, gelar atau nama 'Marah' bisa juga diadopsikan untuk seorang yang ibunya atau nenek dari pihak ibunya adalah keturunan Minangkabau Pesisir barat, walaupun ayahnya tidak berdarah Minang karena menurut adat Minangkabau siapapun yang ibunya berketurunan Minangkabau maka dia adalah orang Minangkabau.
Dalam adat Minangkabau disebutkan pepatah "Basuku kabakeh ibu, babangso kabakeh ayah".
Ada lagi gelar SUTAN, yang juga diberikan untuk para pedagang-pedagang Aceh di Pariaman yang menikahi perempuan lokal. Pada perkembangannya gelar Sutan diberikan kepada setiap urang Sumando laki-laki orang Pariaman yang bukan berasal dari Pariaman (pendatang).
Adapun gelar adat penghulu tetap dipakai, tapi tidak semua bisa mendapatkan gelar tersebut. Sistem pemberiannya pun mengikuti sistem Matrilineal persis seperti di Luhak nan Tigo. Akan tetapi gelar adat penghulu di Pariaman hanya berupa gelar 'Datuak' dan hanya boleh diturunkan dari Mamak kepada Kemenakan dengan prosesi adat tertentu.
Wallahu a'lam bishawab..
==================
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Saidi atau Sidi, dan Marah merupakan dua gelar yang banyak dipakai oleh lelaki yang sudah menikah di Minangkabau terutama di wilayah pesisir. Saidi jamak ditemui di Darek sedangkan Sidi banyak kita dapati di pesisir barat Minangkabau. Asal usul 'Sidi atau Saidi' seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Sedangkan 'Marah' berasal dari Bahasa Aceh 'Meurah'.