Gambar Ilustrasi: travel tempo |
Disalin dari FB PUAMS
KRONOLOGI PERISTIWA SOSIAL POLITIK DI PARIAMAN PADA ABAD 15-19 M.
===============================
Disusun Oleh :
Sadri Chaniago
(Anak Nagari Ampek Angkek Padusunan).
ABAD 15 MASEHI
1511 M: Malaka direbut oleh Portugis (Rusdi Sufi, 1995:10).
1512 M: Tome Pires seorang pelaut Portugis mengatakan bahwa telah ada lalu lintas dagang antara India dengan beberapa kota pelabuhan seperti Pariaman, Tiku, Barus, dan pelabuhan lain di sepanjang pantai barat Sumatera (Armaidi Tanjung, 2006:17).
1514 M: Kudeta di Pagaruyung, yang dilakukan oleh Dewang Palokamo Pamowano (Dewang Parakrama Parmawana) atau Dewang Parakrama, seorang Pangeran dari Wangsa Malayupura yang tinggal di Darmasyraya. Ia menganut agama Budha Mahayana dari Tarikat Tantrayana. Pangeran ini dari pihak kakek dan neneknya (dari belahan ayah maupun belahan ibu) sudah berada di kawasan sekitar Ulu Tebo. Kakeknya (ayah dari ayahandanya) menjadi Raja Ulu Tebo yang kemudian diganti ayahandanya. Untuk selanjutnya Dewang Parakrama menggantikan jabtan ayahnya tersebut. Ia menyatakan dirinya sebagai raja merdeka, dan berdaulat sendiri. Untuk menunjukkan kemerdekaan dan kedaulatannya, ia memaklumkan dirinya sebagai Maharaja Swarnabhumi yang sah dengan menduduki Siguntur di Darmasyraya. Melalui sebuah pertempuran besar, Pagaruyung khususnya dan Luhak Tanah Datar umumnya jatuh ke tangan Dewang Parakrama. Maharaja Dewana dan keluarga istana lainnya cerai berai akibat penyerbuan Dewang Parakrama yang dengan tiba-tiba sudah sampai saja ke istana. Maharaja Dewana sempat lolos dan menyingkir dengan dikawal sepasukan bersenjata ke Lipat Kain dan di Kampar Kiri Sedangkan permaisuri yakni Dewi Ranggowani, bersama Puti Reno Bulian (putri baginda), sudah diselamatkan terlebih dahulu ke Koto Anau Kubuang Tigo Baleh. Untuk selanjutnya Dewang Parakrama menjadi raja di Pagaruyung dan dikenal dengan nama Maharajo Palokamo atau Maharaja Parakrama (Sumber : Emral Djamal Dt. Rajo Mudo).
1529 M: Jean dan Roul Parmentier de Dieppe (penjelajah Perancis) singgah di Pelabuhan Tiku[1] untuk membeli lada dan mengisi palka kapalnya dengan rempah rempah (Denys Lombard,1991:49, 88, 162).
1537 M : Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Al Qahhar (yang sebelumnya merupakan raja di Samudera Pasai) memproklamirkan kepemimpinannya sebagai Sultan Aceh Darussalam yang ke-3, yang berpusat di Banda Aceh. Ia memerintah sampai tahun 1571 M. (Mohammad Said, 1981:173-174).
1571 M : Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Al Qahhar wafat. Ia merupakan Sultan Aceh Darussalam yang ke-3.
1579 M: Jabatan Sultan Moghul/ Mughal/ Abangta Pariaman Syah/ Sultan Sri Alam), sebagai raja muda Aceh di Pariaman berakhir (Amirul Hadi, 2010:50 ; Zakaria Ahmad, 1972: 93 ; M. Junus Djamil, 1958: 104-105). Di tahun ini juga ia ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam yang ke 6, dengan gelar “Sultan Sri Alam” (Mohammad Said, 1981:205), yang kemudian mati dibunuh, setelah berkuasa sebagai raja Aceh Darusssalam hanya dalam waktu 2 bulan saja (Raden Hoesein Djajadiningrat, 1983:27-28). Ia merupakan anak dari Sultan Alauddin Ri'ayat Sjah Al-Qahhar.
ABAD 16 MASEHI
1602 M : Armada Jan Grenier (Belanda) dengan satu kapal yang bernama Zwarte Leeuw berangkat dari Aceh menuju ke arah Tiku Pariaman pada tanggal 18 Februari (Denys Lombard,1991:166).
1602 M : Harry Maiddelton dan beberapa pedagang lainnya dengan kapal yang bernama “Susanne” berlayar menuju Pariaman pada tanggal 26 Nopember, dan telah mendapatkan lada sebanyak 600 Bahar dan cengkeh 66 Bahar (Rusdi Sufi, 1995:24).
1605 M : John Davis pergi ke Pariaman pada bulan Agustus, di mana ketika itu di Pariaman sedang terjadi perpecahan dan huru hara di dalam negeri, karena anak tertua Sultan Aceh telah menurunkan dan menangkapnya ayahnya dari tahta kerajaan (Raden Hoesein Djajadiningrat, 1983:41).
1607 M : Darma Wangsa Perkasa Alam (Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam ) naik tahta menjadi Sultan Aceh Darussalam. Pada masa pemerintahannya, Aceh Darussalam mencapai masa keemasannya. Ia berkuasa sampai tahun 1636 M (Mohammad Said, 1981:244).
1615 M : Raja James I dari Inggris (Orang Inglitir) berkirim surat meminta izin kepada Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (Sultan Aceh) untuk memperpanjang izin membuka kantor dagang dan berniaga di Tiku dan Pariaman. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (Mohammad Said, 1981:317). Salah satu alasan penolakan tersebut adalah karena “negeri Tiku Pariaman adalah negeri dusun dan jauh dari pusat kerajaan Aceh Darussalam. Sehingga, dikhawatirkan apabila orang Inggris yang berniaga di sana dianiaya oleh orang Tiku dan Pariaman, maka akan merusak nama baik kerajaan Aceh Darussalam di mata kerajaan Inggris (Mohammad Said, 1981:320-322).
1615 M : Downtown mencoba membeli lada di Tiku, dengan membawa surat dari Raja Inggris, Raja James I (Denys Lombard,1991:32).
1619 M : Syekh Abdullah Arief (Tuanku Madinah) wafat. Ia merupakan guru pertama Syekh Burhanuddin (si Pono) dalam mempelajari Islam di Sintuak 1039 H (Duski Samad 2003:24).
1619 M : Syekh Abdul Rauf Singkel pulang belajar dari Madinah, dan menetap di Singkel selama 2 tahun (1039-1041 H / 1619-1621 M. Ia merupakan guru Syekh Burhanuddin Ulakan ketika menuntut ilmu di Aceh (Duski Samad 2003:25).
1623 M / 1043 H : Si Pono (Syekh Burhanuddin Ulakan) diperkirakan tiba di Aceh untuk menuntut Ilmu Kepada Syekh Abdul Rauf Singkel (Duski Samad 2003:27).
1636 M : Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam Wafat (27 Desember) (Denys Lombard,1991:237).
1640 M / 1050 H : Sebuah “Sunnah” dikeluarkan sebagai keputusan hasil mufakat pada masa Kerajaan Bungo Satangkai sebelum berdirinya Nagari Pagaruyung, yang berisi pengukuhan dan penempatan kembali raja-raja Rantau, Darat dan Laut dalam semua kawasan wilayah Minangkabau, yang dikenal juga sebagai Tambo Sultan Nan Salapan. Mayoritas para pakar adat dan sejarah Minangkabau berpendapat bahwa nama-nama ujuh orang Sultan yang tersebut dalam Tambo Sultan Nan Salapan adalah nama samaran, bukan nama yang sebenarnya. Ketika itu, yang Dipertuan Daulat Tuanku Maharaja Sakti (Raja Nan Sati) kembali memperbaharui dan mengukuhkan Sultan Nan Salapan tersebut untuk menjadi raja di rantau-rantau yang ditata kembali, dalam upaya membangkitkan kejayaan Pulau Emas Suwarnabhumi. Almarhum Emral Jamal Datuak Rajo Mudo, Tuanku Bayang, berpendapat bahwa Daulat Yang Dipertuan Raja Nan Sati atau Daulat Yang Dipertuan Sultan Sri Maharaja Nan Sakti, merupakan cikal bakal yang menurunkan raja-raja di Sungai Salak-Linggi pada periode berikutnya di Pariaman, Indrapura, dan Sungai Pagu. Menurut Tambo Sultan Nan Salapan dalam berbagai variasinya: cucu Yang Dipertuan di negeri Pagaruyung yang dikirim untuk menjadi raja ke negeri Pariaman adalah Sultan Maharajo Dewa. Ia merupakan yang mula-mula (kembali) jadi raja di negeri Pariaman, kemudian melimpah ke Tiku, Natal, dan Ulakan. Ketika dilepas untuk menjadi raja di Sungai Salak (Tiku Pariaman), Sultan Maharajo Dewa mula-mula mendapat di Batu Mengaum (wilayah Duo Baleh Koto Basi Garinggiang), yang hari ini dikenal dengan nama Sungai Garinggiang, Padang Pariaman. Prof. Mestika Zed juga membenarkan bahwa Batu Mengaum pada dahulu kala merupakan tempat kedudukan Sultan Maharajo Dewa, yang berdaulat di Rantau pesisir antara Tiku sampai ke Natal. Salah seorang anak dari Sultan Maharajo Dewa ini adalah Sultan Linang Nan Bagampo (Yang Dipertuan Mudo Maharaja Dewa), yang kemudian bersama anak dan istrinya serta beberapa orang pengikutnya berhijrah ke daerah yang hari ini dikenal sebagai Nagari Pelangai, Balai Selasa (Pesisir Selatan). Sampai hari anak cucu dan keturunannya memiliki gelar adat Sultan Pariaman Maharajo Dewa / Maharajo Alif Yang Dipertuan Mudo (Tan Pariaman).
1649 M : Dua buah kapal dari Eropa bernama San Giovanni Baptisda dan San Bernado berlayar ke perairan Pantai Barat Sumatera, di bawah pimpinan Joosten Maes (pernah bekerja sebagai komandor pada VOC). Mereka singgah di pelabuhan Tiku dan Pariaman, kemudian terus berlayar membeli lada ke Salido, dan membawanya ke Macao. Kedua kapal tersebut mengibarkan bendera oranye yang dikenal sebagai bendera VOC (A. Hasjmy, 1977:151).
1649 M / 1069 H : Syekh Burhanuddin Ulakan diperkirakan pulang ke Ulakan Pariaman H.B.M. Letter menyebut kepulangannya pada masa Aceh diperintah oleh SulthanahTajul Alam Safyatuddin (1641-1675 M) (Duski Samad 2003:38).
1661 -1664 M : Daghregister pemerintah Belanda mencatat adanya pengaruh pengaruh Kerajaan Aceh Darussalam yang besar di beberapa tempat di Pantai Barat Sumatera. Ketika itu Pelabuhan Padang ramai dimasuki oleh perahu perahu dagang dari Aceh. Di Pauh (Padang) dan Ulakan (Pariaman) merupakan pusat kegiatan pengembangan agama Islam, dimana prestise Aceh sangat besar di sana. Dan, Pariaman merupakan daerah yang jelas mendapat pengaruh dari kekuasan Aceh tersebut (Mohammad Said, 1981:349).
1663 M : Dr. Schrieke menyimpulkan bahwa pengaruh (kekuasaan) Aceh telah berakhir di Sumatera Barat pada tahun tersebut, ketika orang orang Aceh telah diusir oleh Kompeni Belanda dan orang Melayu[2] dari sana. Namun demikian, kompeni Belanda belum mampu untuk menggantikan posisi Aceh tersebut, karena pengaruh Aceh masih bersemi beberapa waktu lamanya. (Mohammad Said, 1981:400).
1663 M : Terjadinya Het Painansch Contract (Perjanjian Painan), yaitu perjanjian antara VOC Belanda dengan para penguasa lokal di Pesisir (Mestika Zed, 2017:32).
1665 M : Kompeni Belanda sudah berhasil memonopoli perdagangan di pantai Sumatera Barat, termasuk juga penguasaan terhadap emas (Mohammad Said, 1981:401).
1666 M : Pada tanggal 16 Agustus, Arung Palakka berangkat menuju ke Pariaman bersama 400 orang Laskarnya yang sudah terlatih bersama-sama dengan pasukan kompeni Belanda sejumlah 600 orang dari Ambon, yang dipimpin oleh kapten Poolman, dengan 5 buah kapal perang untuk membebaskan [merebut] Pariaman dari tangan Aceh dan Portugis (Abdul Kahar, 2007).
1670 M : Kompeni Belanda telah menguasai galian dan eksploitasi emas di Salido (Pesisir Selatan) (Mohammad Said, 1981:401).
1671 M : Wilayah Pariaman terbagi atas: Kampung di Hulu (Kampung Dalam), yang diperintah oleh Orang Kayo Nando dan 5 orang Penghulu. Sedangkan Kampung di Hilir (Kampung Aceh) diperintah oleh Orang Kaya Sidi Amar Bangso Dirajo, dengan 5 orang penghulu (Armaidi Tanjung, 2006:21).
1671 M : Untuk kesekian kalinya pemimpin di Pariaman menandatangani kontrak perdamaian, persahabatan dan persekutuan abadi dengan dengan VOC Belanda (Armaidi Tanjung, 2006:21).
1675 M : Yang menjadi “kepala” dalam Negeri Pariaman. Sintuak: Marah Alam. Lubuak Aluang: Sutan Nan Hitam dan Raja Nan Setia. Pakandangan: Rangkayo Basa. Sambilan Koto: Sutan Sailan dan Datuak Bakupiah (Tambo Undang Undang Adat Lembaga, 1856).
1678 M : Kebanyakan para Penghulu di Pariaman sudah melibatkan diri kembali dengan anasir anasir untuk menentang Belanda (Armaidi Tanjung, 2006:21).
1680 M : Pada tanggal 13 Agustus, para penghulu yang bertindak sebagai wakil Pariaman pergi ke Padang meminta maaf kepada Belanda, karena terjadinya kerusuhan di Pariaman, yaitu penyerangan dan pembakaran loji VOC oleh rakyat. Juga telah ditandatangani kontrak antara para penghulu di Pariaman dengan VOC pada tanggal 29 Agustus di Padang, yang menyatakan bahwa seluruh daerah pantai (termasuk Pariaman) berada dalam kekuasaan Belanda. Rakyat hanya boleh berdagang dengan VOC, dan tidak boleh dengan pihak lain (Armaidi Tanjung, 2006:22).
1682 M : Pada tanggal 7 Maret, para penghulu di Pariaman (Ulakan, Limo Koto, Tujuah Koto, Sambilan Koto) menandatangani kembali perjanjian dengan Belanda Isi perjanjian ini menyatakan: 1. Rakyat Pariaman harus berjanji dan bersumpah tidak lagi melanggar semua perjanjian yang pernah ditandatangani dengan kompeni. 2. Harus berjanji dan bersumpah tidak akan menerima kapal kapal asing. Kalau ada kapal asing yang datang, kapal dan isinya harus disita, separuhnya untuk VOC, dan setengahnya lagi boleh dibagikan bagikan antara mereka (penghulu). Awak kapal tersebut juga harus dihukum (Armaidi Tanjung, 2006:22). Perjanjian ini merupakan hasil dari jasa baik Sultan Inderapura dan Panglima Padang, untuk meredakan amarah dari VOC Belanda yang telah mempersiapkan ekspedisi sebanyak 600 orang untuk menggempur Pariaman, karena melakukan perdagangan dengan Aceh, yang tentu saja bertentangan dengan perjanjian tahun 1680 M.
1686 M : Pariaman mulai berhubungan dengan orang orang Inggris (Armaidi Tanjung, 2006:22).
1687 M / 1105 H : Tuanku Syekh Osman mengajar dan mendirikan pondok pesantren Kalampaian di Ampalu Tinggi, Tujuah Koto. Ia bersuku Panyalai, berasal dari nagari Lubuak Pua Balah Hilia, dan merupakan murid dari Tuanku Syekh Paramansiangan, Pandai Sikek, Koto Laweh, Tanah Datar. Tuanku Syekh Paramansiangan merupakan salah seorang murid dari Syekh Burhanuddin Ulakan (Amiruddin & Armaidi Tanjung, 2005:45).
1691 M / 1111 H : Syekh Burhanuddin Ulakan Wafat.
1693 M : Syekh Abdul Rauf Singkel (Syiah Kuala) wafat. Ia merupakan guru Syekh Burhanuddin Ulakan (Duski Samad 2003:12).
ABAD 17 MASEHI
1702 M : Rakyat Pariaman membakar loji loji Belanda, dan mengusir seluruh orang orang Belanda yang ada di Pariaman (Armaidi Tanjung, 2006:23).
1705 M : Raja Kurai Taji pertama yang bernama: Nan Mamuta Gadiang Gajah, Mulai memerintah. Ia datang dari Aceh, dijemput oleh Tuanku Lubuak Sidukuang, melalui raja Pagaruyung (Armaidi Tanjung, 2012:149).
1712 M : Belanda berhasil merebut Pariaman, dan kemudian mendirikan kubu pertahanan yang bernama “Vredenburg” (Armaidi Tanjung, 2006:24).
1730 M : Pariaman diperintah oleh dua regen dan sepuluh orang penghulu. Regennya adalah: Rajib Ibrahim, dan Maharaja Muda. Sedangkan para penghulunya adalah: Rangkayo Srikamar (?) Mudo, Rangkayo Tuah, Rajo di Hilia, Datuak Basa, Bagindo Ratu, Sampurno Alam, Rajo Dewa, Rajo Bajampu, Rajo Setia Pahlawan, dan Marah Jati (Armaidi Tanjung, 2006:24).
1730 M : Sunur diperintah oleh Rang Kayo Basa (Orang Kaya Besar), Maharajo Nadoe (Maharajo Nando), dan Sri Maharaja (Armaidi Tanjung, 2012:154).
1750 M : Surau Manangah didirikan di Sungai Rotan.
1770 M / 1188 H : Tuanku Syekh Osman wafat. Ia merupakan pendiri pondok pesantren Kalampaian di Ampalu Tinggi, VII Koto (Amiruddin & Armaidi Tanjung, 2005:46).
1772 M : Syekh Karimatus Shaleh wafat. Ia merupakan seorang ulama berasal dari Aceh, yang mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah di Surau Tarok IV Koto Sungai Rotan. Murid muridnya berasal dari Jao Padang PanjangKoto Tuo, Parabek, dan lain lain. Badano (Guci) yang sekarang terdapat di Mesjid Badano IV Koto Sungai Rotan, ditemukan pertama kali oleh para murid murid tersebut.
ABAD 18 MASEHI
1814 M : Tuanku Maharajo Nando, menjadi Rajo Sakarek Hulu (berpusat di Mangguang), wafat. Ia merupakan Mamak dari Marah Ganti (Tuanku Nan Caredek), Pejuang penentang Belanda yang gigih dari Naras.
1819 M : Sunur dikuasai oleh Belanda pada bulan Desember (Armaidi Tanjung, 2012:154).
1819 M : Residen Belanda yang bernama Du Puy, mengirim Jacobus Frederik In’ntveld (29 tahun) sebagai posthouder (wakil pemerintah Belanda) di Pariaman.
1821 M : Tuanku Saruaso menyerahkan Alam Minangkabau kepada Belanda (10 Februari).
1821 M : Peperangan pertama secara face to face antara kaum Paderi dengan Belanda di nagari Sulit Air.
1829 M : Masjid Nagari Pasar Pariaman didirikan, yang pembangunannya bersamaan dengan pembangunan Mesjid Badano di Sungai Rotan, dan Mesjid Nagari IV Angkek Padusunan.
1830 M : Syekh Muhammad Jamil El Khalidi Pasar Pariaman dilahirkan.
1830 M : Perang Naras menentang Belanda yang dipimpinan Tuanku Nan Caredek (Mestika Zed, 2017:44). Perang ini berakhir tahun 1831 M.
1831 M : Nagari Cubadak Air didirikan (Armaidi Tanjung, 2012:99).
1832 M : H. Abdul Kadir wafat. Ia merupakan pengganti Syekh Karimatus Shaleh dalam mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah di Surau Tarok Sungai Rotan. Bangunan Surau Tarok ini runtuh dan lenyap pada tahun 1952 M.
1832 M : Syekh Abdullah Arif tertangkap oleh Belanda di IV Koto Agam (10 September). Ia merupakan salah seorang ulama Paderi asal Kampuang Sato, Pauh Pariaman, dan merupakan kakek moyang dari Prof. Dr. Hamka.
1833 M : Letnan J.C Boelhouwer ditugaskan sebagai civiele en militaire kommandant di Pariaman, sampai tahun 1834. Ia ditugaskan oleh Resident J.P Elout yang berkedudukan di Padang (Armaidi Tanjung, 2006:20).
1833 M : Belanda mengumumkan Plakat Panjang, sebagai awal penjajahan Belanda di Minangkabau.
1837 M : Benteng terakhir Paderi di Bonjol jatuh, dan Tuanku Imam Bonjol tertangkap.
1840 M “ Kapal perang Belanda Fergat de Ruppel bersandar di Pelabuhan Pariaman (2 Oktober). Tuanku Seriaman, Regen (setingkat bupati) Pariaman yang berkuasa selama 18 tahun, diberi kehormatan untuk berkunjung ke atas kapal perang tersebut (Mestika Zed, 2017:36). Berkemungkinan Tuanku Seriaman ini adalah Syarif Amal Tuanku Maharajo Nando, regen Pariaman ketika itu.
1841 M : Muhammad Saleh (Mek Saleh) Datuak Rangkayo Basa dilahirkan di Pasir Baru Pilubang, Pariaman (Mestika Zed, 2017).
1850 M : Mesjid Sungai Pasak didirikan.
1855 M : Van Bern menjadi Asisten Residen di Pariaman.
1855 M : Syarif Amal Tuanku Maharajo Nando manjadi Regen terakhir di Pariaman. Ia wafat 25 Desember 1868. (Mestika Zed, 2017:242).
1877 M : Muhammad Saleh (Mek Saleh) dilewakan gelarnya sebagai Datuak Rangkayo Basa di Pasar Pariaman (Mestika Zed, 2017:200).
1880 M / 1300 H : Syekh Muhammad Yatim (berasal dari Mudiak Padang, Tandikek) menjadi pimpinan pondok pesantren Kalampaian di Ampalu Tinggi, VII Koto (Amiruddin & Armaidi Tanjung, 2005:47). Pada masa ini pondok pesantren Kalampaian mencapai masa kejayaannya.
1881 M / 1300 H : Mesjid Raya Nagari Pasar Pariaman / Mesjid Batu Nagari Pasar Pariaman dibangun, dipelopori oleh Syekh Muhammad Jamil El Khalidi.
1882 M : Mesjid Raya Badano didirikan di Sungai Rotan.
1882 M : Asisten Residen Van Der Wijk meninggal di Pariaman (Mestika Zed, 2017:244).
1888 M : Haji Sutan Darab dilahirkan di Pasir Pariaman (Sabtu sore, tanggal 29 Safar 1306 H / 4 November tahun M). Ia merupakan cucu dari Syekh Muhammad Jamil El Khalidi.
1892 M : Mesjid pertama Air Santok didirikan.
ABAD 19 MASEHI
1901 M : Van De Vykers menjadi Asisten Residen di Pariaman.
1901 M : Taisir Rangkayo Majolelo menjadi Tuanku Lareh Sakarek Hulu.
1901 M : Sidi Muhammad Ali Datuak Rangkayo Hitam menjadi Tuanku Lareh Sakarek Hilia.
1901 M : Muhammad Saleh (Mek Saleh) Datuak Rangkayo Basa mendirikan N.V Handel Maatschappij Priaman / Maskapai Dagang Pariaman (MDP) (Mestika Zed, 2017: 270).
1903 M : Marykust menjadi Asisten Residen di Pariaman.
1906 M : Haji Abdul Karim Amrullah atau terkenal dengan Haji Rasul (Ayah HAMKA), pulang dari Mekkah.
1906 M : Mesjid Cubadak Mentawai didirikan (pertama).
1907 M : Haji Abdullah Ahmad mendirikan sekolah agama pertama untuk Indonesia di Padang Panjang, yaitu Adabiah School.
1908 M : Van Teuis menjadi Asisten Residen di Pariaman.
1908 M : Jaba Rangkayo Rajo Gandam V, menjadi Penghulu Kepala Kampung Air Santok yang pertama. Wilayah pemerintahannya: Air Santok, Sungai Sirah, Sungai Pasak, Gajah Mati, Kampuang Sato, Koto Mandakek.
1908 M : Pembangunan penjara baru di Pasar Pariaman oleh Asisten Residen Marykust, dan Pegawai Tinggi Belanda L.C. Wastenenk (Tuan Siteneang).
1909 M : Pembukaan jalur kereta api dari Lubuk Alung Ke Pariaman (Mestika Zed, 2017:277). Setahun kemudian dilanjutkan menuju Naras.
1912 M : J.F.H Van Raadshoven menjadi Controleur / Tuan Kumandua di Pariaman.
1912 M : Ibrahim (Berahim) Datuak Putiah menjadi Penghulu Kepala Kampung di Air Santok.
1914 M : H. Sutan Salim (Capuak) Rangkayo Rajo Gandam V, berakhir jabatannya sebagai Tuanku Lareh Sakarek Hilia. Ia merupakan pengganti dari Tuanku Lareh Sidi Muhammad Ali Rangkayo Hitam.
1914 M : Darwis Sutan Palembang, menggantikan H. Sutan Salim (Capuak) Rangkayo Rajo Gandam V, sebagai Tuanku Lareh Sakarek Hilia.
1915 M : Zainuddin Labai mendirikan Diniah School di Padang Panjang.
1916 M : Haji Sutan Darab pulang kembali ke tanah Air, setelah bermukim menuntut ilmu selama 6 tahun di Mekah.
1916 M : Siti Baheram ditemukan meninggal karena dibunuh di batang air Sungai Pasak.
1916 M : Darwis Sutan Palembang diangkat menjadi Demang Pariaman.
1916 M : Taher Tan Tejo Maharajo diangkat menjadi Menteri Pariaman.
1916 M : Guru Ajis diangkat menjadi Menteri Pariaman.
1918 M : S. Bonnes menjadi Controleur / Tuan Kumandua di Pariaman.
1918 M : Nagari IV Koto Sungai Rotan dibentuk atas perintah S. Bonnes, yang menjadi Controleur / Tuan Kumandua di Pariaman. Kepala Nagari pertama adalah: Muhammad Thaib Datuak Tumangguang Basa.
1919 M : Bagindo Muhammmad Thaib (Bekas Menteri Bom / Syahbandar Pariaman) wafat pada tanggal 15 Maret (Mestika Zed, 2017: 283).
1920 M : H. Sutan Darab mendirikan Diniyah School Thawalib di Surau Tepi Air, Pariaman.
1921 M : Muhammad Saleh (Mek Saleh) Datuak Rangkayo Basa wafat di Pariaman, 28 Februari (Mestika Zed, 2017: 292).
1925 M : Lembaga pendidikan “Madrasatul Falah” didirikan di belakang mesjid Raya Pasar Pariaman.
1928 M / 1347 H : Syekh Muhammad Jamil El Khalidi wafat setelah menderita sakit keras.
1928 M : Cabang Muhammadiyah Pariaman didirikan di Kurai Taji.
1930 M : Perguruan Thawalib Padusunan didirikan, yang disponsori oleh Engku Bukhari M, Haji Rahman, dan Pakiah Saleh.
1930 M : Mesjid Sungai Sirah didirikan.
1932 M : Haji Rasul Telur menjadi pimpinan Thawalib putra dan putri Padusunan, yang dijabatnya hingga tahun 1935.
1934 M : H. Rasul Telur El Falaki (anak dari Syekh Tuanku Telur Nan Tua , Mufti Mesjid Raya Nagari Padusunan pada tahun 1930-an), pulang belajar dari Universitas Al Azhar Mesir.
1941 : H. Sutan Darab wafat (Minggu, 10 Agustus), dalam usia 54 tahun.
Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat !
(Sadri Chaniago, Anak Nagari IV Angkek Padusunan)
======================
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Tiku pada masa sekarang masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Agam namun secara adat merupakan bagian dari Pariaman. Jangan menyamakan wilayah adminsitratif pemerintahan moderen dengan wilayah adat (kebudayaan). Sebagai perbandingan; Kota Bukittinggi dan Nagari Pandai Sikek tidak bagian dari Kabupaten Agam namun secara adat bagian dari Luhak Agam. Kabupaten dan Luhak tidak sama.
[2] Dalam beberapa arsip Belanda, mereka menggunakan kata "Melayu" untuk menyebut Minangkabau.