Foto: antara sumbar |
Disalin dari Harian Singgalang
ANDAI saja jalur kereta api Padang- Payakumbuh sampai ke Limbanang dan bersimpang di Padang Panjang terus ke Sawahlunto, tak ditutup, maka macet di jalan akan terurai selama lebaran di Sumbar. Beruntunglah warga Padang Pariaman sekarang, mereka bisa bepergian dari Nareh sampai ke Padang, ongkos Rp4000. Jadwal tepat waktu dan berlapang-lapang.
Jalur kereta itu ditutup Menteri Perhubungan pada 1990-an awal. Waktu itu mak itam ini tak laku lagi, orang Sumbar naik bus kemana-mana. Setelah pernyataan resmi itu, rel yang memebentang panjang, mulai bisu. Dingin. Kemudian bersemak. Belukar menutupinya. Rel ditimbun dan tanah disewakan untuk bangunan rumah atau ruko. Di Padang Panjang, jadi jalan raya
Stasiun legendaris Padang Panjang, salah satu lokasi dalam kisah novel Tenggelamnya Kapak Van der wiijk Hamka, kini lenyap dalam ingatan. Stasiun Bukittinggi setali tiga uang. Inilah stasiun tempat turun anak Minang paling sibuk untuk pergi sekolah dua abad lampau. Jalur kereta itu telah membuka akses dari desa paling buruk sekalipun ke kota, menjadi salah satu sumbangan, kenapa orang Minang dulu pintar-pintar. Ini karena mereka sekolah dan bisa ke sekolah karena naik kereta api. Sebab lain, seusai Perang Paderi, Belanda masuk Minangkabau dan memperlabar jalan pedati dan jalan dagang menjadi jalan raya. Jalan itulah yang kini kita pakai.
Andaikata
Andaikata jalur kereta api itu berfungsi sekarang, tentulah Bukitinggi ke Padang Panjang takkan 6 jam saat lebaran. Sangat buruk. Macet itulah yang jadi ota hampir semua warga Minang di kampung dan di rantau. Tak ada yang benar-benar serius mau mengurus ini. Perantau datang dengan harapan yang meluap, adalah wajar. Yang tak wajar, dia bercarut-carut di medsos. Sejauh ini, hanya seorang yang memulai carut itu tapi kemudian dibumbui oleh netizen, lebih pedas dari itu.
Adalah menyedihkan, Sumbar jadi bahan olok-olok di rantau, baik oleh perantau sendiri atau oleh orang lain yang mencap Sumbar kadrun. Label politik sejak Pilpres di Indonesia. Sesungguhnya tak begitu benar, tapi apa hendak dikata.
Yang hendak dikata adalah, munculkanlah ajakan dari sejumlah kalangan, agar kita bersama berkata baik pada Sumbar sehingga hasilnya baik. Semua pihak, se klise apapun, mesti mendesak pemerintah di provinsi itu, agar benar-benar membuat rencana matang demi menolong rakyat minimal untuk dua hal. Pertama akses jalan yang lancar jaya, meniru Belanda dua abad lalu. Ini penting karena keluh kesah saat lebaran adalah cermin buruk kampung kita. Kedua, memacu pertumbuhan ekonomi yang sejak pergolakan PRRI tak pernah mencapai rerata 6 persen. Jika ekonomi membaik maka Insya Allah yang lain akan ikut sehat. Hari ini, dimana-mana ada ruko untuk disewakan, tidak ada standar harga. Ruko disewa, laba bisnis habis untuk sewa itu. Industri besar tidak ada kecuali Semen Padang.
Problem Sumbar bukan hal baru. Sudah amat lama. Yang baru adalah pemimpin. Yang baru adalah pergantian perantau yang pulang. Yang baru adalah, rencana. Saya menyebutnya, “rencana akan ke akan saja.” Yang baru, media sosial tempat tumpah ruah keluh kesah, juga caci-maki dan perlawanan terhadap itu.
Maka lebaran dunia nyata di Sumbar pindah ke dunia maya dalam bentuk kata-kata, gambar dan video. Inilah sebuah kegembiraan atau sebuah kejengkelan. Namun, dari 2 juta urang awak yang pulang basamo, mungkin 95 persen tak berkeluh-kesah. Atau semua berkeluh-kesah tapi tak mengungkapkannya. Ini saya yang tidak tahu, sebab gaya tiap orang tidaklah sama. Keluh kesah tadi, sebaiknya direkap oleh dua pihak, pertama oleh organisasi rantau, kedua oleh pemerintah provinsi/kabupaten dan kota di Sumbar.
Rekap tadi dihimpun oleh biro rantau di kantor gubernur, dikaji bersama Bappeda dan dibuatkan catatan bersama apa yang mesti segera dilakukan. Kapan dilakukan dan kapan mesti selesai. Jika tidak akan hanyut bersama waktu. Kaji lama terulang lagi: macet dan ekonomi tidak tumbuh.
Kalau bisa, jika tidak apa boleh buat, usahlah keluar benar urat leher dalam bertengkar soal capres-capres. Oleh kaji dan politik yang menyembur-nyenbur di google dan youtube. Kita mestilah bangkit, tanpa mesti merasa “wajib” membanggakan bapak-bapak bangsa yang berasal dari Minang.
Yang perlu ditiru kenapa beliau hebat-hebat. Ini antara lain oleh tiga sebab. Pertama ada kemauan keras dari para ulama Minangkabau mendirikan surau yang muridnya puluhan ribu orang. Surau Taram saja sehabis Perang Paderi muridnya 2000-an orang. Semua ulama hebat Minangkabau punya spesialisasi dan sangat menghormati guru mereka, Syekh Ahmad Katib al Minangkabawi yang ke Mekkah pada 1871 dan jadi imam besar di sana sampai akhir hayat. Ulama-ulama yang pulang belajar dari syekh inilah yang kemudia menggenggam Minangkabau, menolak ordinansi sekolah liar dan menolak bantuan Belanda. Nama-nama ulama besar itu tentu jelas oleh orang Minang dan tak perlu saya tulis lagi.
Kedua, karena akses jalan raya dan kereta api ke kota-kota. Di kota itu berdiri sekolah-sekolah Belanda. Ketiga adanya lumbung bersama semacam bea siswa di banyak nagari untuk anak bujang dan anak perempuan mereka yang mau sekolah ke Batavia atau ke negeri Belanda. Tentu saja ada hal lain, orang tua atau keluarganya mampu. Siapapun dia, waktu kecil sudah khatam Al Qur’an. Yang intinya benar, utak amuah, ati nio pulo sikolah.
Mungkin ada sebab lain, yang saya luput, maka yang tahu akan hal tersebut, sebaiknya ditulis, agar kita bisa secara bersama-sama mengembangkan ide membuat pasak-pasak baru bagi kebudayaan dan peradaban Minangkabau.
Berat kali. Yang ringan adalah, lebaran makan yang enak-enak sajalah, santan tak mengandung kolesterol, sebab tak ada tumbuh-tumbuhan yang membawa zat-zat itu. Jangan habiskan benar uang di kampung, nanti terkepung, seperti sejumlah kawan saya beberapa tahun silam.
Jangan lupa ke ibukota lebaran Sumatera Barat yaitu Bukittinggi. Kota pejalan kaki ini adalah gudang romantisme Minangkabau. Berfotolah di Jam Gadang yang dibangun pada 1926 dengan memakai semen dari PT Semen Padang itu. Bagi kita-kita ini, perantau adalah sisi baik, kehangatan hati. Bagi perantau kami-kami ini adalah pautan kisah masa lalu. Ada teraju yang menghubungkan keduanya.
Inilah rel kereta api tersebut
Maka inilah negeri kita yang rel kereta apinya membentang panjang dan bersama kota Sawahlunto, telah menjadi warisan dunia sejak 2021 yang ditetapkan di kota Baku, Aszerbaijan.
Mana rel itu? Ini datanya:
Kereta api di Ranah Minang, sudah amat tua. Bermula 1887 dengan jalur sepanjang 315 Km. Terakhir ditambah 3 Km ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Sejumlah ruas sudah direaktivasi sehingga menjanjikan untuk wisata kereta, terutama kereta bergigi.
Jalur kereta api di Sumbar yang terbentang sepanjang 315 Km itu sebagai berikut: Padang ke Pelabuhan Teluk Bayur (7 Km). Lubuk Alung–Pariaman (20,9 km) dan ini dilalui setiap hari, penumpangnya warga yang bekerja dan kuliah. Beberapa tahun lalu, rel Pariaman ke Nareh sepanjang 7 Km sudah aktif kembali. Kemudian Padang–Padang Panjang (68,3 km). Rel ini aktif sampai Kayu Tanam. Selanjutnya Lembah Anai Padang Panjang adalah rel bergigi. Bukittinggi–Payakumbuh (33 km), sudah tidak aktif.
Teluk Bayur-Padang-Padang Panjang–Solok–Sawahlunto sepanjang 210 Km. Di ruas ini terdapat 33,8 Km rel bergigi. Jika panjangnya kurang 315 maka tambahannya Payakumbuh-Limbanang, Simpang Haru ke Pulau Air, Padang dan ini sudah berfungsi kembali. Sejak 1979, ada rel baru dari Bukik Putuih Teluk bayur ke PT Semen Padang sepanjang 14,5 Km yang sampai sekarang tetap aktif. Yang tak berfungsi Kayu Tanam ke Padang Panjang dan seterusnya.
Rel bergigi yang unik dan elok untuk kereta wisata, yaitu di kawasan Lembah Anai sampai ke dekat Danau Singkarak. Inilah satu- satunya rel bergigi yang ada di Indonesia. Sekarang masih belum aktif, setelah ditutup puluhan tahun silam.
Pada 2024, sesuai rencana reaktivasi rel di seluruh Sumbar akan selesai dikerjakan, dengan demikian wisata kereta bergigi, sudah bisa dijual untuk satu paket perjalanan. Jika semua rel bisa diaktifkan kembali, maka jalur dari Padang ke Singkarak, menjadi amat aduhai. Wisatawan akan bisa menyaksikan danau terbesar di Sumbar itu di atas kereta api sembari makan siang. Dari Padang Panjang ke Singkarak, jalurnya menurun dan membantang di tengah persawahan. Dari kereta bisa disaksikan panorama Gunung Marapi dan desa-desa adat. Kereta Anda akan berhenti di stasiun Batu Tebal, Nagari Batu Taba, Tanah Datar, di sana bisa dipesan katupek yang sudah ada sejak opsir Belanda masih tegak-tegak pinggang di stasiun itu.
Siapa bisa membantu di Jakarta sana dengan jejaringnya agar semua rel ini difungsikan kembali, semua stasiun hidup kembali. Luar biasa romantisnya jika itu terjadi. Kita bisa keliling Sumbar naik kereta api. Dan, stasiu tidak bersemak lagi, tak dingin kopi di peron, tak lapuk kursi di stasiun. Apalagi jika ada jalan tol,handeh tak dapat akal lagi. (kj)
Baca Juga:
Perantau Malin Kundang atau klik DISINI