Oleh Prof. Dr Hamka
Dua orang pentolan Orde Lama telah di hadapkan ke pengadilan subversif yaitu, Dr.Soebandrio dan Yusuf Muda Dalam, keduanya dijatuhkan vonis hukuman mati. Kita namai orang-orang ini “Pancasilais Munafik”.
Bertahun-tahun lamanya dasar negara Pancasila itu dipermainkan diujung bibir dan telah dimuntahkan dari hati. Menjadi isi dari pidato untuk orang banyak, tetapi dilanggar dalam tindakan hidup sehari-hari, dipandang khianat orang lain yang dituduh tidak setia kepada Pancasila, dan orang yang tidak berdaya itu tidak diberi kesempatan membuktikan bahwa si penuduh itulah sebenarnya yang menjadikan Pancasila itu hanya permainan bibir.
Sidang-sidang Mahmilub dan Mahkamah subversif telah menelanjangi kepalsuan yang bersimaharajalela bertahun-tahun lamanya. Menyebut Pancasila, padahal tidak lain daripada pencak-silat. Merekalah yang sebenarnya menghancur-leburkan Pancasila dalam tingkah-laku, dalam tindak-tanduk, di dalam sepak-terjang hidup sepanjang hari, dengan memakai kekuasaan yang ada dalam tangan mereka.
Kelima sila itu di langgar satu demi satu, dengan tidak mengenal lagi hari esok, karena masing-masing percaya bahwa mereka akan berkuasa buat selamanya. Apalagi yang ditakutkan, bukankah musuh¬-musuh telah ditumbangkan satu persatu, terutama orang-orang yang selama ini dalam tindak hidup dan dalam amal kepada Pancasila.
Mereka telah melanggar dasar pertama, dasar suci-sakti, yaitu dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; Baik secara sembunyi-sembunyi karena takut akan dibenci dan mual orang banyak; atau cara terang-¬terangan karena mulut orang yang berani berkata, salah dibungkamkan.
Subandrio sampai saatnya yang terakhir dimuka Mahmilub belum juga dapat menjawab berapa rakaat shalat subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya’; lalu dikatakannya saja banyak, dan dikerjakannya seluruh waktu empat rakaat masing-masing; beres!
Yusuf Muda Dalam tidak memperdulikan dasar yang pertama itu, bahkan mengatakan lupa seketika ditanya, dan mengatakan tidak tahu bahwa beristeri lebih dari empat dilarang oleh agamanya, padahal dia datang dari Aceh yang disebut “Serambi Mekkah”.
Inilah contohnya orang-orang yang memegang kekuasaan negara dimasa Orde Lama; Mengaku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa di bibir, tetapi tidak pernah mendekatkan diri kepada Tuhan menurut agama yang mereka peluk sebagai pusaka dari ayah-bundanya.
Sehingga terbaliklah keadaan; orang yang tekun percaya kepada Tuhan, mengerjakan perintah dan menghentikan larangan Tuhan, dipandang anti Pancasila, orang yang taat mengerjakan agama di cap reaksioner atau kontra-revolusioner.
“Bersuluh kepada matahari, bergelanggang dimata orang banyak”, bagaimana setiap had hukum-hukum agama itu dilanggar, didurhakai.
Zina menjadi kemegahan, minuman keras diminum laksana minum air teh saja, uang negara dihamburkan untuk kepentingan pribadi. Tidak ada sedikit juga rupanya rasa takut kepada Tuhan. Karena memang Tuhan itu hanya untuk penghias pidato, bukan untuk penghias hidup, budi moral dan mental.
Merekapun melanggar dasar negara yang kedua, yaitu Pri Kemanusiaan.
Tengoklah bagaimana sengsaranya rakyat. Tengoklah kelaparan karena banjir di Solo, karena letusan Gunung, Agung di Bali, karena letusan Gunung Kelud, bencana kelaparan di Lombok. Tidak seorang juga dari antara mereka itu yang sudi meringankan langkah buat melihat keadaan rakyat yang malang dan sengsara itu.
Kebiasaan di negara lain, baik Presiden apatah lagi Perdana Menteri, baru saja ada satu matapetaka nasional, mereka yang tiba lebih dahulu di tempat bencana itu, untuk menunjukkan rasa tanggung jawab kepada rakyat yang selama ini membanting tulangnya untuk bertani, yang hasilnya akan dikirimkan ke kota untuk dimakan oleh bapa-bapa itu.
Peri Kemanusiaan; dalam prakteknya orang-orang yang dicemburui, dibenci dan dipandang akan menghalangi langkah-langkah mereka meneruskan kezaliman itu.
Sampai Sutan Syahrir mati dalam status tahanan. Mereka ditahan, kadang-kadang rumah kediamannya dirampas dan dengan seenaknya didiami oleh khadam-khadam (pembantu) para pembesar itu. Benar¬benar berlaku dinegeri ini sebagai yang berlaku beratus tahun yang talu dizaman feodal kekuasaan raja-raja tidak terbatas, yang nasib malang akan menimpa orang yang dibenci oleh pilhak istana. Dan anak isteri dari orang yang ditahan itu dibiarkan melarat.
Alangkah banyaknya paradoks di dalam negara yang berdasar Pancasila di zaman itu. Mobil mewah pejabat meluncur di atas jembatan, sedang di bawahnya tidur orang-orang yang kehabisan tenaga buat hidup. Yang diatas menikmati rasa kemerdekaan, yang di bawah terlempar ke dalam Lumpur kehinaan sejak negara merdeka.
Disorak-soraikan amanat penderitaan rakyat. Alangkah seramnya jika dikaji bahwa kata-kata Amanat Penderitaan Rakyat itu diungkapkan oleh pemimpin-pemimpin itu sendiri, padahal merekalah yang mengkhianatinya.
Mereka belum merasa puas kalau belum ada undang-undang untuk menyikat bersih dari masyarakat orang-orang yang dibenci, sedang kesalahan mereka yang terang tidak ada. Lalu didakan Penetapan Presiden (Pen-Pres) buat menangguk sisa-sisa orang yang di benci yang masih tinggal, orang-orang yang dipandang masih ada pengaruhnya dalam masyarakat. Dengan “dugaan” saja, walaupun tidak ada bukti sama sekali orang bisa dibenamkan kedalam tahanan. Itulah Penpres no:11 yang terkenal dengan sebutan Undang-undang Subversif.
Tetapi Allah Maha Kaya dan Maha Kuasa, dengan undang-undang pula mereka sekarang ini dimasukkan kedalam penjara dan telah ada yang diperkarakan, dan salah satu yang mereka langgar, sehingga mereka harus dihukum mati ialah karena melanggar undang-undang yang mereka buat.
Sebetulnya sampai sekarang ini masih ada di daerah-daerah, tahanan Penpres no.11 itu yang belum juga dikeluarkan yaitu bekas aniaya rejim Orde Lama atau rejim Durno, atau rejim Subandrio itu, atau rejim Orde Lama Soekarno.
Mereka melanggar dasar ketiga, yaitu Keadilan Sosial. Rakyat yang banyak disuruh makan batu, dan beliau-beliau makan roti, keju, mentega bahkan segala macam kemewahan. Sebagai “propaganda”, diadakan peraturan landreform, tetapi yang berkesempatan membuat aksi sepihak hanyalah kaum komunis, karena berlakunya “Keadilan Sosial” yang mereka artikan kemewahan beberapa gelintir manusia itu.
Indonesia benar-benar menjadi “Mercusuar” dari kebobrokan. Indonesia diteropong, bahkan di mikroskop oleh bangsa lain, lalu menjadi tertawaan. Tetapi Surat-Surat kabar yang memuat berita tentang kebobrokan dilarang masuk Indonesia.
Sebentar-sebentar diadakan pidato, rapat raksasa, rapat samudera. Diobati perut yang lapar dengan pidato, diobat jalan-jalan yang rusak dengan pidato. Rakyat dikerahkan dengan segala macam daya¬ upaya supaya dari subuh sudah berangkat ketanah lapang mendengarkan pidato.
Perusahaan-perusahan wajib menutup usahanya dan mengerahkan buruhnya pergi mendengar pidato. Produksi menurun, karena hari habis untuk mendengar pidato. Oleh karena sandang sudah robek-robek dan pangan sudah berkurang, kelihatanlah rakyat beribu-ribu yang mendengar pidato itu kurus tak makan, sedang dikiri-kanan paduka-paduka orang berpakaian mentereng.
Disamping truk-truk yang dikerahkan buat menjemput rakyat supaya pergi mendengar pidato amanat, wejangan dari beliau-beliau, disediakan pula mobil ambulance, untuk pengangkut segera orang¬-orang yang rubuh di arena karena dari pagi belum makan.
Berdirilah gedung-gedung monumen, patung-patung yang tidak akan dapat mengenyangkan perut rakyat, yang hanya akan ditegahkan (dipertunjukkan) kepada tamu luar negeri, padahal kalau tetamu itu datang, sasaran tustel foto mereka bukanlah monumen dan patung, melainkan rakyat yang tidur di dalam pipa air yang belum dipasang atau mandi telanjang di kali Ciliwung.
Itutah praktek Keadilan Sosial, tetapi praktik ini tidak boleh dibantah. Orang hanya disuruh mengangguk, bila beliau bersabda; “Negeri kita makmur, bangsa kita bukan bangsa tempe!” padahal makanan tempe itu makanan yang paling megah bagi mereka (rakyat), karena makanan yang lain tidak terbeli.
Satu kali ketika mempropagandakan mengganyang Malaysia, dipropagandakan pula bagaimana pentingnya jagung untuk dijadikan bahan makanan pokok.
Bahwa jagung itu jauh lebih manfaat daripada beras, mengapa kita makan beras saja, padahal jagungpun adalah amat sehat. Beberapa “ahli gizi pun bekerja melakukan riset secara ilmiah bahwa jagung memang amat penting bagi mengganyang Malaysia. Didalam hati orang tentu berpikir, mana bisa badan kuat kokoh mengganyang Malaysia kalau makanan hanya jagung? Kalau engkau katakan demikian, engkau ada harapan dituduh subversif. Tutup mulutmu, dimana-mana ada intel atau reserse di zaman Belanda dulu, atau “corn” kata orang Padang, atau cecunguk kata orang Jakarta.
Dasar keempat Demokrasi atau Kedaulatan Rakyat; mereka cabut kedaulatan itu dari rakyat, lalu merekalah yang berdaulat. Ditukar dengan Demokrasi Terpimpin, untuk melancarkan itu maka Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu itu dibubarkan dan anggota-anggota yang dipilih rakyat itu disuruh pulang.
Lalu dibentuklah Dewan Perwakilan baru yang anggotanya ditentukan dan ditunjuk oleh Presiden sendiri. Memang mudah memimpin orang-orang yang hanya kerjanya berapat, lalu mendengarkan titah paduka dan merumuskan apa bunyi titah itu.
Sebagai variasi beliau berkenan memberi title (gelar) “Putera-puteri terpilih” kepada para anggota DPR-MPR, kemudian para anggotapun “membalas” pula; beliaupun diberi gelar “Pemimpin Besar Revolusi”.
Kemudian beliau memuji, bahwa inilah orang-orang yang mengerti benar akan kehendak dan cita-cita Pemimpin Besar Revolusi; Maka anggotapun berkenan pula memutuskan bahwasanya beliau adalah “Presiden Seumur Hidup”.
Katau sudah demikian dimana demokrasi? Mana kebebasan menyatakan pendapat?
Kalau mau bebas menyatakan pendapat, bersedialah istirahat dalam penjara! Bersoraklah engkau setinggi langit di belakang Dinding tembok yang putih pucat itu, disanalah engkau merdeka!
Dasar kelima; Kebangsaanpun dihancurkan. Adapun bangsa Indonesia sudah bersatu dan kesukuan sudah digabungkan kepada satu bangsa besar, sudahlah berhasil karena kesadaran rakyat sendiri, meskipun karena kelobaan (keserakahan) pemerintah pusat memborong segala kekayaan daerah untuk pembangunan daerah sangat seret, namun karena keinsyafan rakyat, tidaklah bangsa ini pecah berantakan.
Tetapi kekuatan bangsa inilah yang diruntuhkan dengan meruntuhkan akhlaknya. Bagaimana suatu bangsa akan berdiri dengan teguhnya, kalau budi pekerti bangsa itu sendiri yang rusak.
Hidup mewah memerlukan yang tidak perlu, membuang-buang uang untuk kemegahan pribadi beberapa orang, rombongan kepala negara atau menteri ke daerah yang diiringkan oleh 40-50 orang, lalu sampai di daerah tadi disambut dengan segala kebesaran, disambut dengan gadis-gadis cantik yang dinamai “PagarAyu Bhinneka Tunggal Ika”, timbulnya mengambil muka dengan mencurahkan hadiah-hadiah, tanda mata yang merupakan benih dari kerusakan akhlak yang menimbulkan “jilatisme”
Untuk menyenangkan hati paduka yang mulia, dibelilah barang mahal-mahal dan yang memberi hadiah itu sendiri tidak ada. Pegawai kecil memberi hadiah kepada pegawai menengah, lalu yang menengah kepada yang tinggi demikian seterusnya sampai yang jabatan yang tertinggi. Yang semuanya itu berasal dari uang rakyat.
Yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah melarat, dengan sendirinya timbullah korupsi. Korupsi timbul sejak dari atas, terus mengalir menyelinap ke bawah. Yang diatas korupsi untuk kemewahan yang palsu, yang kecil di bawah terpaksa korupsi karena gaji sangat jauh dari cukup. Banyaknya korupsi, sogok, uang semir (pelicin) menyebabkan harga bahan pokok bertambah naik. Berapa naik uang sogok yang mesti dibayar oleh seorang pengusaha, sekian pula harga barang akan di naikkannya kepada rakyat.
⁹
Kemewahan orang yang hidup di pusat menimbulkan dengki orang yang tinggal di daerah. Dengan sebab segala kejadian ini runtuhlah pertahanan mental bangsa. Sedang mereka bersorak terus, berpidato terus mengatakan bahwa kita wajib membela Pancasila. Bahwa Pancasila tidak boleh dirongrong, namun ironisnya yang melakukan itu justru mereka yang berkuasa itu sendiri. Kekuasaan itu digambarkan oleh sikap hidup orang-orang seperti Subandrio, Yusuf Muda Dalam, Chairul Saleh dan lain-lain, yang memandang rakyat hanya sebagai sampah saja.
Pada masa itu menjilatlah yang penting. Siapa yang kurang pandai menjilat akan celaka hidupnya. Pegawai-pegawai yang bertugas di luar negeri, di samping tugasnya yang resmi, ada lagi tugas lain yang tidak tertulis, tetapi wajib.
Yaitu melayani kehendak dan keinginan rombongan bapak-bapak yang terdiri dari berpuluh orang itu jika mereka datang. Meskipun berlawan dengan moral mereka sebagai insan Pancasila! Kalau tidak mereka turuti, kedudukan mereka terancam.
Pegawai didaerah pun demikian pula. Bila rombongan besar dari pusat itu datang turun ke bawah, banyaklah yang musti disediakan, walaupun suatu pekerjaan yang di pandang hina dan jijik oleh pegawai daerah itu, sebab mereka beristri terhormat dan beranak gadis yang dicinta. Sebab orang daerah itu umumnya orang yang taat beragama.
Timbullah tekanan batin didalam memilih, apakah menyesuaikan diri dengan keruntuhan akhlak ini atau berdiam diri, atau menarik diri dari kepegawaian. Yang lemah runtuh, yang kuat terlempar. Bahkan dituduh kontra revolusioner.
Dan oleh karena ada “anjing di kurap” yang bisa dijadikan tuduhan, yaitu yang di namai oleh PKI “Partai Terlarang” pegawai tadi bisa terlempar keluar, tidak bisa di pakai lagi sebab dia kontra revolusi, Masyumi atau Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Demikianlah satu demi satu dari kelima dasar negara dihancurkan oleh yang berkuasa sendiri, yang berbekas juga kepada effesiensi dari pekerjaan pegawai. Dan setelah dasar negara Pancasila itu dipreteli dengan perbuatan satu-persatu maka timbullah gagasan NASAKOM (Nasionalisme Agama dan Komunisme).
Nasakom jiwaku atau Nasakom bersatu. Artinya didalam jiwa kita sendiri mesti bersatu Nasionalisme Indonesia dengan Internasionalisme Komunis; Musti percaya kepada adanya Tuhan (Agama) sebab tidak percaya (komunis), dan tidak boleh dipikirkan, melainkan dituruti saja, supaya jangan jadi gila.
Berdiam diri dipandang reaksioner, menentang terang-terang dicap kontra revolusi, dan ada Penpres no: 11 / 193 yang terkenal untuk menyimpan dalam tahanan.
Akhirnya datanglah datanglah klimaks dari NASAKOM ini, yaitu peristiwa Lubang Buaya! Inilah akibat dari penyelewengan Pancasila atau Munafik Pancasila itu; yang di pidatokan buat dikhianati. Atau didalam jiwa sendiri tidak ada, sebab itu menjadi kosong setelah dihembuskan ketengah udara bebas.
Tetapi Tuhan Allah tidaklah mengizinkan kemunafikan itu berlanjut sehingga lanjutan dari peristiwa Lubang Buaya ialah terbukanya mata rakyat malang yang selama ini hanya dibuai dinina-bobokkan dengan janji-janji dari mereka yang berkuasa yang sekali-kali tidak sanggup mereka memenuhinya.
ABRI (TNI) dan rakyat jelata semuanya bersatu menghadapi Orde Lama yang munafik dan bobrok ini dan setiap yang berhutang musti membayarnya … ***
*Dikutip Sepenuhnya dari Buku Prof. Dr Hamka “Dari Hati ke Hati” h. 259-265
Disalin dari kiriman FB: Fiona Pandan
Foto: goodreads