Assalam mualaikum
Selamat malam
Untaian Kisah Di Balik Benteng Van Der Cappelen
Penulis bpcbsumbar -December 5, 20190543
Merlina Agustina Orllanda S.S
Sumatera adalah Svarnadvipa[1] of Gold Island. Ungkapan itu menunjukkan potensi yang dimiliki pulau di bagian barat Indonesia. Pulau Andalas ini kaya hasil pertanian, perkebunan dan pertambangan seperti emas. Hal itu menjadikan Sumatera sebagai ruang jajahan yang strategis bagi Belanda.[2]
Salah satu daerah yang menjadi incaran Belanda adalah Sumatera Barat. Hal itu karena emas dan lada berhasil menarik Belanda untuk menguasai wilayah Sumatera Barat. Kemudian pada awal abad ke-18 Belanda menjadikan kopi sebagai komoditi ekspor yang paling berharga sehingga sejak tahun 1847 Belanda mulai memperkenalkan penanaman kopi paksa di daerah ini. Dari situ dilakukan berbagai upaya perbaikan pengumpulan dan pengangkutan tanaman perdagangan kopi. Untuk memuluskan langkah Belanda, maka para pemimpin lokal dijadikan sebagai agen kolonial yang bertanggungjawabuntuk mengumpulkan kopi. Belanda kemudian mengangkat seorang Penghulu Suku Rodi sebagai orang suruhan pemerintahan pada setiap nagari di Sumatera Barat (Kahin, 1979 : 9- 10).
Berbagai potensi yang terkandung di jagat Sumatera Barat serta kentalnya tatanan kekerabatan masyarakat Minangkabau memudah pemerintah kolonial untuk menerapkan kekuasaannya dan menguras sumber alam setempat. Pemerintah kolonial melakukan manipulasi struktur dengan menciptakan penggolongan di kalangan pemimpin adat sesuai dengan Ordonasi Nagari 1914. Para pemimpin lokal seperti penghulu diberi tugas untuk menggerakkan penduduk. Pola tersebut agar ikatan tradisional di masyarakat Minang dapat menstimulus penduduk agar patuh pada atasannya. Sistem tersebut telah mengubah karakter masyarakat dan membinasakan kekuasaan adat yang berlaku sebelumnya di kalangan pribumi. Lambat laun para pemimpin tradisional dipandang sebagai instrumen kekuasaan kolonial dan bukan sebagai wakil dari penduduk nagari (Kahin, 1979 : 11).
Di negeri Minang para pemimpin tradisional merupakan sisa-sisa feodal yang diperkuat pemerintah Belanda untuk dijadikan alat kekuasaan. Dalam hal ini mereka adalah golongan yang paling patuh kepada Belanda. Saat itu kekuasaan penuh Kaum Adat berada di pihak pemerintah jajahan karena Belanda telah berhasil memanfaatkan aturan tradisional masyarakat Minangkabau dan memanipulasi lembaga tradisional agar sesuai dengan kebutuhan mereka (Kahin, 1979 : 11).
Hadirnya Belanda di Sumatera Barat menimbulkan reaksi berupa perlawanan dari kalangan penguasa lokal dan rakyat. Penentangan pribumi kala itu berhasil dipadamkan Belanda. Berkat kepiawaiannya di balik layar penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda berjaya dalam memanfaatkan pertentangan yang terjadi antara Kaum Adat dan Kaum Ulama. Untaian kisah itu kelak menggambarkan makna yang tersemat pada Benteng Van Der Capellen di Jorong Kampung Baru, Nagari Baringin, Kecamatan Lima kaum, di pusat Kota Batusangkar Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat (Tim BPCB, 2010 : 5).
Berdirinya situs dan bangunan Van Der Capellen tidak lepas dari peristiwa peperangan antara Kaum Adat dan Kaum Agama yang terjadi sekitar tahun 1821, yang dikenal Perang Paderi (Asnan, dkk 2014 : 132). Di balik bangunan yang bercorak “Indische empire” style ini terdapat kisah sejarah terkait upaya pemurnian Islam yang mendapat resistansi. Di Sumatera Barat gerakan revivalis Islam berkembang sejak 1803 karena dilatarbelakangi kembalinya tiga orang haji dari Mekah yang mendapat pengaruh kuat dari dari gerakan Wahabi. Ketiga haji ini kemudian menjadi pemimpin gerakan pembaharuan agama Paderi. Gerakan ini kemudian berkembang di Minangkabau selama empat puluh tahun. Gerakan ini bertujuan untuk memurnikan Sumatera Barat dari unsur tahkyul (Kahin, 1979 : 9).
Sebenarnya gerakan Paderi lebih berpengaruh di Agam dan Lima Puluh Kota. Kebanyakan yang menentang gerakan tersebut adalah pemimpin agama tradisional yang melarikan diri dari daerah yang dikuasai Paderi pada dataran tinggi dan kemudian mencari perlindungan di bawah penguasa adat di daerah pantai, yang berperan sebagai pusat-pusat perlawanan menentang Paderi(Kahin, 1979 : 9-10).
Berdasarkan kisah sejarah, maka sejak pertengahan abad ke-16 di Minangkabau terdapat dua cara hidup berdampingan berupa Adat Lama dan Syara’ Islam yang sama-sama dihormati karena keduanya mendapat tempat dalam masyarakat sehingga timbullah pepatah “Adat basandi Syara, Syara basandi Kitabullah”. Oleh sebab itu upaya menjernihkan Agama Islam dari kebiasaan masyarakat seperti adu ayam, berjudi, minuman keras mendapat penolakan dari Kaum Adat karena menganggap kegiatan tersebut sebagai adat yang membudaya di masyarakat.
Faktor yang disebutkan tadi menyebabkan gerakan pemurnian ajaran Islam di Sumatera Barat tidak berjalan mulus karena memperoleh tantangan dari Kaum Adat. Pertentangan semakin meruncing dan terjadinya konflik terbuka, namun dimenangkan oleh Kaum Agama. Kaum Adat pun berupaya untuk membalas dengan meminta bantuan Belanda yang saat itu berkedudukan di Padang. Permintaan Kaum Adat akhirnya dikabulkan Belanda (Tim BPCB, 2010 : 5).
Ketika Kaum Adat itu meminta bantuan Belanda untuk memerangi Kaum Paderi. Terjadilah perjanjian antara Belanda dan Kepala Penghulu dari pemerintahan Kerajaan Pagaruyung yang bunyinya : “Kepala Penghulu dari pemerintahan Kerajaan Pagaruyung menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda; tidak menentang Hindia Belanda”. Dari perjanjian itu pasukan Belanda yang dipimpin Kolonel Raff masuk ke Tanah Datar untuk melakukan penyerangan terhadap rakyat (Asnan, dkk 2014 : 132).
Di bawah pimpinan Kolonel Raff pasukan Belanda memasuki Tanah Datar untuk menumpas Gerakan Kaum Agama. Sesampai di Batusangkar pasukan Belanda dipusatkan pada tempat tertinggi di jantung kota dengan kedudukan yang jauhnya lebih kurang 500 meter dari pusat kota. Di tempat itu Belanda membangun kubu pertahanan beratapkan genteng (Tim BPCB, 2010 : 5-6). Bangunan yang didirikan sekitar tahun 1824 itu adalah Fort Van Der Capellen yang merupakan nama lama Batusangkar. Nama benteng tersebut berasal dari nama seorang Jenderal Belanda yaitu Godert Alexander Gerard Philip Baron Van Der Capellen (Asnan, dkk 2014 : 131-132).
Penampakan Benteng Van Der Capellen Dan Halaman Sekitar Pada Tahun 1895 Sumber : KTILV http://hdl.handle.net/1887.1/item:897176
Pintu Masuk Halaman Militer Di Fort Van Der Capellen Pada Tahun 1890 Sumber : KTILV http://hdl.handle.net/1887.1/item:818167
Wujud Benteng Van Der Capellen Di Era Kemerdekaan RI Sumber : Dokumentasi Dalam Deskripsi Cagar Budaya BPCB Sumbar
Menurut Neoldy, Benteng Van Der Capellen dibangun pada tahun 1822-1824. Bangunan ini memiliki ketebalan dinding 75 cm dan + 4 meter dari dinding bangunan akibat dibuat parit dan tanggul pertahanan yang melingkar mengelilingi bangunan (Asnan, dkk 2014 : 131-132). Pada cagar budaya ini ada meriam kuno yang menggambarkan kehidupan masa lampau di tengah penjajahan Belanda. Secara umum Benteng Van Der Capellen didominasi oleh arsitektur Kolonial Belanda, namun tidak lepas dari pengaruh iklim negara tropis. Pada bangunan satu lantai ini terdapat empat ruang penjara. Kemudian ada bangunan sayap kiri dan kanan yang dulu berfungsi sebagai barak/asrama prajurit. Pada entrance benteng terdapat vault (round-Roman arch) yang menghubungkan daerah luar (lapangan) dengan bangunan. Di samping itu kedudukan atap berupa genteng dengan teras dan dinding setinggi kurang dari 1 m. Di tengah dinding tersebut terdapat bentukan segitiga seperti tempat untuk menggantung lonceng (Tim BPCB, 2010 : 20).
Benteng Van Der Capellen merupakan bangunan cagar budaya yang berada dalam lingkup wilayah kerja BPCB Sumatera Barat. Benda cagar budaya dengan nonmor inventaris 25/BCB-TB/A/12/2007 ini menggambarkan otoritas Belanda di Sumatera Barat dalam periode tertentu. Kokohnya Benteng Van Der Capellen adalah bukti antusias Belanda dalam menaklukkan Sumatera Barat. Untaian kisah yang melekat dalam Benteng Van Der Capellen memiliki kekayaan informasi untuk menelusuri pertentangan Kaum Adat dan Kaum Agama di zamannya. Sebagai bukti fisik yang bernilai budaya benteng ini menggambarkan sejarah perjuangan melawan Belanda. Dari sebuah benteng peninggalan penjajah terdapat kekayaan budaya dan pariwisata untuk menambah wawasan sejarah generasi bangsa.
REFERENSI
Asnan, Gusti (ed). 2014. Cagar Budaya Di Mata Publik. Batusangkar : Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. 2010. Laporan Pemugaran Benteng Van Der Capellen Tahap III. Batusangkar : Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat.
Kahin, Audrey. 1979. Perjuangan Kemerdekaan Sumatera Barat Dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945-1950. Sumatera Barat : Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Barat bekerja sama dengan ex. Tentara Pelajar Sumatera Tengah (CTP)/ Pelajar Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia.
Disalin dari kiriman FB: Lank Kisau
Foto: wikimediacommons
Catatan Kaki oleh admin:
[1] Dalam prasasti Nalanda disebut SuvarnadvĆÆpĆ¢dhipamahĆ¢rĆ¢ja. Ada juga yang menulis Suvarnadvipa yang sama-sama merujuk pada Pulau Emas.
[2] Selain Suvarnadvipa yang dikenal dalam literatur Budha, Pulau ini juga memiliki nama lain yakni Pulau Perca, Pulau Andalas, dan terakhir yang dipakai hingga kini Pulau Sumatera