Sepeninggal Ananggawarman (Memerintah 1376-1419M) sejarah Minangkabau terputus sekira 100 Tahun. Sampai Inilah Maharaja Alif muncul di abad 16. Seakan sejarah Minangkabau Pagaruyung hanya dimulai dari Maharaja Alif dan menganggap pula bahwa Islam baru berkembang di zaman raja ini. Ada bagian sejarah bagian 'Minangkabau Pagaruyung' yang sengaja atau tidak sengaja hilang dalam perjalanan kemelut sejarahnya.
Menurut Hamka, Islam berkembang dengan masuknya komunitas pedagang Arab di Pesisir Barat Sumatera sejak abad ke 12 M. Di awal abad ke 16 M, Yang Dipertuan Mahararaja Nan Sakti I, Maharaja Dewana (Memeribtah 1512-1539M) murid Syaikh Maghribi di Bukit Batu Patah. Di zaman Syaikh Burhanuddin Ulakan Pariaman, Maharaja Dewana merubah sistem pemerintahan Minangkabau menjadi Kesultanan bercorak Islam. Sejak saat itu, di Soruaso, Pagaruyung para Pangeran (Puto-Puto) telah menjadi pemeluk agama Islam dibawah Daulat Yang Dipertuan Maharaja Sakti I.
Dewang Parakrama, seorang Pangeran (Puto Puto) yang tinggal di Siguntur
tidak senang terhadap perubahan corak pemerintahan ini. Sebagaimana Adityawarman, Dewang Prakrama masih menganut agama Buddha aliran Vajrayana. Pangeran ini dari pihak kakek dan neneknya sudah berada di kawasan sekitar Ulu Tebo, Kakeknya adalah Raja Ulu Tebo. Dewang Parakrama tidak pernah bersetia kepada Raja Ranah Sekelawi sebagai atasan yang ditunjuk Pagaruyung. Ia menyatakan diri tidak tunduk di bawah Raja Tebo dan menyatakan dirinya sebagai raja merdeka, dan berdaulat sendiri. Ia memaklumkan dirinya sebagai Maharaja Swarnabhumi yang sah dan berdaulat di Siguntur. Dengan demikian semua kawasan Siguntur (Tiga Laras) berada dibawah kekuasaannya.
Pada 1511M Portugis berhasil merebut Malaka. Secara sembunyi sembunyi Dewang Prakrama mengadakan perjanjian kerjasama dengan Portugis diorang Rupik Sipa tokah dari Tanah Alang Buwana. Hal ini dijadikan sebagai batu loncatan Portugis untuk kemudian memperalat Daweng Prakrama untuk menguasai Sumatera dengan telebih dahulu merebut Pagaruyung. Dari Siguntur, Dewang Parakrama memasuki Hulu Jambi. Pasukan Tebo memeberikan perlawanan berlangsung dengan hebatnya. Pasukan Tebo kewalahan, kemudian mundur dan kawasan Kuala Tembesi yang direbut oleh Dewang Parakrama. Tetapi kemudian kembali menyerang Tebo. Dewang Parakrama dapat di pukul mundur ke hulu sungai Tembesi. Namun kawasan hulu Tembesi hingga sebagian kawasan di Kerinci dapat direbutnya.
Dewang Prakrama kembali ke Siguntur. Dari sini sebuah pasukan besar disiapkan untuk kemudian memasuki Luak Tanah Datar. Di akhir tahun 1514, melalui sebuah pertempuran besar, Pagaruyung dan Luhak Tanah Datar umumnya jatuh ke tangan Dewang Parakrama. Akibatnya Maharaja Dewana dan keluarga istana lainnya cerai berai akibat penyerbuan ini. Daweng Prakrama dengan begitu saja sampai saja ke istana. Maharaja Dewana menyingkir dengan dikawal sepasukan bersenjata ke Lipat Kain dan di Kampar Kiri Sedangkan permaisuri yakni Dewi Ranggowani, bersama Puti Reno Bulian sudah diselamatkan terlebih dahulu ke Koto Anau Kubuang Tigo baleh.
Untuk selanjutnya Dewang Parakrama menjadi raja di Pagaruyung dengan nama Maharaja Parakrama (Memerintah 1514-1524). Daerah kekuasannya meliputi kawasan Siguntur dan Luak Tanah Datar bagian utara dan timur. Sementara itu di kawasan pantai barat dicoba untuk direbut. Dengan mengerahkan jumlah pasukan yang cukup besar, beberapa kawasan di sepanjang pantai barat Minangkabau akhirnya jatuh ke tangan kekuasaan Maharaja Parakrama. Namun tak lama, kemudian lepas lagi.
Sebuah delegasi yang dipimpin oleh tiga orang pemuka kerajaan dikirim ke Melaka. Dengan demikain ia secara resmi telah mengikat perjanjian Portugis di Melaka. Ketiganya adalah pemimpin-pemimpin penganut Agama Buddha aliran Vajrayana yang oleh Portugis penganutnya diaebut sebagai pemeluk kepercayaan animisme (Pagan). Portugis mencatat bahwa penduduk Minangkabau pada saat itu tidak beragama, karena ketiga utusan yang datang ke Malaka menemui pimpinan Portugis itu penganut kepercayaan yang masih pagan (animisme). Tambo mengisyaratkan tentang raja ini, bahwa 'agama orang Makah tak disukainya, agama lamapun malas memakai.'
Dalam berita Portugis yang ditulis oleh Jorge de Brito pada pertengahan abad ke-16 menceritakan: ' Utusan yang dipertuan Minangkabau yang berkunjung ke Bandar Malaka masih 'pagan'. Berita itu kiranya dapat dijadikan petunjuk, bahwa pertengahan pertengahan abad ke-16 agama Islam belum lagi berkembang di Alam Minangkabau, sekurang-kurang yang dipertuan Minangkabau dan anggota keluarga terdekatnya belum lagi menganut agama itu.
Maharaja Parakrama bertindak diskriminatif terhadap pedagang-pedagang beragama Islam. Ia hanya membenarkan pedagang beragama Buddha atau Hindu dan melarang dari kalangan pedagang beragama islam berdagang ke wilayah kerajaannya. Pedagang-pedagang asal Minangkabau yang berada di luar negeri tetapi sudah memeluk agama Islam dilarang datang berkunjung ke kampung halaman, apa lagi untuk berniaga. Penduduk yang beragama Islam ditindas, dan agama Buddha aliran Vajrayana disebar luaskan kembali. Pendeta-pendeta utama berada di sekeliling baginda di Istana Pagaruyung.
Para pedagang dari kalangan bangsa Portugis pergi ke pelabuhan-pelabuhan utama wilayah timur seperti Rengat dan Pangkalan Kerinci untuk membeli emas dan membawanya ke Melaka. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, perdagangan emas dilakukan oleh orang-orang kerajaan dan menjualnya langsung ke tangan peniaga-peniaga asing yang datang ke pelabuhan pelabuhan dan pasar pasar pengekspor di wilayah timur. Semua izin dan cukai kepada Maharaja Parakrama untuk kepentingan kerajaan.
Luhak Limapuluh yang berhubungan rapat dengan kawasan timur, sejauh ini menjadi penghalang dari perdagangan yang diatur kerajaan. Maharaja Parakrama mengerahkan tentaranya ke Luhak Limapuluh. Setelah bertempur mati-matian akhirnya Luhak Limapuluh pun jatuh ke tangan Pagaruyung. Suatu pertempuran di Mungka terjadi hingga pasukan Pagaruyung mencapai kemenangan. Mulai saat itu, kawasan rantau timur Luhak Limapuluh dan bagian timur serta utara Luak Tanah Datar berada di bawah kekuasaan Maharaja Parakrama yang berkedudukan di Pagaruyung. Sedangkan kawasan Luhak Agam, kawasan Kubuang Tigobaleh, bagian selatan Luak Tanah Datar dan wilayah rantau barat tidak berhasil direbut Pagaruyung (Maharaja Parakrama). Wilayah yang tak dapat dikuasai itu.
Tahun-tahun berikutnya terjadi penghentian permusuhan. Maharaja Parakrama berdaulat di wilayah yang didudukinya sedangkan Maharaja Dewana akui untuk wilayah-wilayah yang masih setia kepadanya. Yang menunjukkan permusuhan antara kedua belah pihak, ada para pemimpin utama kerajaan ada yang pindah ke Luak Agam dan ada yang pindah ke Kubung Tigabelas. Datuk Nan Baranam di Istana Gudam beserta keluarga kerajaan dan Datuak Nan Batujuah di Istana Balai Janggo meninggalkan Pagaruyung. Yang mendampingi Maharaja Parakrama, di istana Balai Gudam adalah orang yang ditunjuk olehnya sendiri. Ditetapkan tidak diperbolehkan orang dari Luak Agam, Rantau Mudik dan Kubung Tigabelas memasuki wilayah yang dikuasai Maharaja Parakrama.
Keadaan seperti api di dalam sekam hingga suatu gejolak timbul. Pertempuran berkobar tahun 1524 , tahun ke-10 (sepuluh) pemerintahan Maharaja Parakrama, berkecamuk di Tanah Datar. Maharaja Parakrama dianggap melanggar perjanjian kerana menempatkan pasukannya di Saningbakar, wilayah Kubung Tigabelas. Para pemuka Kubung Tigabelas melakukan perundingan di Supayang, untuk kemudian menghubungi Luak Agam. Kesepakatan kedua belah pihak menganggap Pagaruyung telah melakukan kesalahan. Disusunlah suatu siasat yang kuat, untuk melakukan penyerangan membebaskan Pagaruyung. Dalam pertempuran ini, Maharaja Parakrama mundur ke Siguntur, dikejar hingga ke kuala Tebo.
Dari Tungkal, bersama Pasukan Johor-Jambi yang dipimpin oleh Panglima Kilangan Besi, memukul pasukan Maharaja Parakrama dari arah hilir sungai Batang Hari sehingga terjepit. Maharaja Parakrama dikejar oleh pasukan Johor-Jambi sehingga ke Kerinci. Tetapi di Kerinci ia tertangkap dan dibawa ke Jambi, diadili oleh Raja Jambi, Rangkayo Hitam sebagai penjahat dan dijatuhi mati mati. Hal ini menandai mulainya kedamaian, baik bagi masyarakat Swarnabhumi Pagaruyung.
Maharaja Dewana kembali bertakhta. Permaisuri dan putra-putra baginda dijemput ke Koto Anau, dan kembali berdiam di istana Melayu Kampung Dalam di Gudam Pagaruyung. Namun begitu baginda kembali bertakhta, Portugis mengirim ekpedisi militernya untuk merebut tambang emas di kawasan wilayah barat. Pada tahun 1525 Pasukan Portugis mendarat di Pasaman, di Pariaman, di Muara Pesisir (Rantau Empat Lurah), di Carocok Gaduang Intan, Sungai Nyalo, Salido dan di Indrapura. Portugis mengerahkan bajak laut berbangsa Tiongkok dan Tamil (India) untuk membantunya. Beberapa kerajaan kecil seperti Taluak Sinyalai Tambang Papan, Sungai Nyalo, Taluak Lelo Jati, Palinggam Jati di sepanjang pantai barat hancur karena aksi bumi hangus Portugis.
Pagaruyung mengirim pasukan tempur ke pesisir barat dan berhasil menghalau Portugis dari wilayah Pasaman. Sementara itu, pihak Portugis juga satu demi satu meninggalkan pos-pos mereka di sepanjang pantai barat. Maharaja Dewana berusaha untuk membangun kembali kemaharajaan Suwarnabhumi. Namun pada waktu itu Aceh muncul dariujung barat laut dari pulau yang memanjang ke tenggara. Maharaja Dewana tidak memandang Aceh sebagai saingan, apalagi musuh, tetapi sebagai negara sahabat. Banyak dari kalangan warga Pagaruyung yang pergi ke Aceh dalam rangka memperdalam ilmu agama Islam, disamping berniaga. Sebagaimana diketahui juga, Aceh pada zaman itu merupakan serambi Mekah untuk melanjutkan perjalanan ke tanah suci. Hubungan ini semakin erat dengan Putri Keumala, adinda Sultan Aceh diambil sebagai Permaisuri Maharaja Dewana.
Disalin dari kiriman FB: Riff ben Dahl
Foto: Gramedia