Akhir Ekspedisi Pamalayu II, Malaka dan Pagaruyung.
Antara 1377-1409 Majapahit menggelar Ekspedisi Pamalayu II untuk menaklukan Kerajaan Melayu Dharmasraya. Beberapa kota penting seperti Palembang, Bangka, Muaro Jambi, Bintan dan Temasik diduduki atau dihancurkan. Ananggawarman meninggalkan wilayah Dharmasraya bersama pasukannya serta sebagian rakyatnya menuju hutan belantara di dataran tinggi Minangkabau untuk mempersiapkan kubu pertahanan terakhir.
Sementara itu Parameswara, Salah seorang pangeran kerajaan Dharmasraya yang berkedudukan di Palembang, berhasil meloloskan diri ke Temasik sebelum akhirnya berlabuh di kampung Malaka. Disini, atas bantuan Orang Laut, sang pangeran mendirikan kota Bandar Malaka. Berdirinya Malaka, mendorong terjadinya eksodus penduduk dari berbagai kota bandar di Sumatera ke Semenanjung Malaya demi menghindari perang yang sedang terjadi.
Serangkaian kekacuan yang terjadi menyebabkan terputusnya jaringan perdagangan antara Cina dan India. Untuk itu Ananggawarman beserta para pembesar yang tersisa bertekat untuk memulihkan sebagaimana keadaan sedia kala. Dengan Pelembang diduduki Armada Dinasti Ming tahun 1407 akibatnya pasokan logistik dari Jawa ke wilayah pendudukan Majapahit di Sumatra jadi terputus. Diakhir rangkaian Ekspedisi Pamalayu II, serangan Majapahit ke pusat pemerintahan Melayupura yang berada jauh dipedalaman hulu sungai Batang Hari mengalami kegagalan. Majapahit mundur sepenuhnya dari Sumatera sekitar tahun 1410 karena didalam negrinya sendiri tengah terjadi perang saudara.
Menurut Kronik Ming Shih, "Pangeran Megat Iskandar Shah memberikan penghormatan kepada Kaisar Yongle pada tahun 1414. Setelah diberi tahu bahwa ayahnya telah meninggal, Kaisar Yongle memberinya koin emas dan memberinya gelar serta meresmikan Kesultanan Melayu Malaka sebagai sekutu Kekaisaran Ming Cina. Menurut Kronik Ming Shih, "Pangeran Megat Iskandar Shah memberikan penghormatan kepada Kaisar Yongle pada tahun 1414. Setelah diberi tahu bahwa ayahnya, Parameswara telah meninggal, Kaisar Yongle memberinya koin emas dan memberinya gelar serta meresmikan Kesultanan Melayu Malaka sebagai sekutu Kekaisaran Ming Cina.
Pada 1415 sebagai pengakuan diplomatik, Palembang oleh Kaisar Cina dikembalikan kepada kekuasaan Jawa (Majapahit) dengan syarat perlindungan militer dan hak istimewa untuk para pedangang Cina di kawasan itu. Adapun bekas wilayah pendudukan yang ditinggalkan Majapahit, secara bertahap menjadi bagian dari Kesultanan Melaka, kerajaan baru bercorak Islam yang sedang tumbuh. Sepeninggal Ananggawarman (1377-1419) Melayupura atau Dharmasraya yang sejak 1347 beribukota di Saruaso, kota yg didirikan oleh Adityawarman itu dapat dikatakan runtuh.
Akibat krisis politik yang terjadi karena serbuan Majapahit yang tidak sepenuhnya pulih, kurang lebih selama 100 tahun berikutnya, Minangkabau diperintah secara kolektif oleh puto-puto. Diantara meraka memilih seorang pemimpin diantaranya, bergelar Tuan Gadang, bentuk pemerintahan adat di Minangkabau. Sebagian besar diantaranya masih menjalankan agama Buddha aliran Vajrayana, sebagaimana Adityawarman.
Kesultanan Malaka berdiri di tahun 1414 ditetapkan batasannya sesuai dengan yang tertulis di tambo, ke hulu, alam berpenghulu, ke hilir alam ber raja. [Hulu=Luhak, Hilir=Rantau] Terjadi migrasi para punggawa kerajaan ke Malaka, dipimpin oleh Datuk Naning, putra ananggawarman, yang kelak putranya Tun Perak menjadi Bendahara Malaka
Setelah keruntuhan Malaka pada 1511, Mahmud Shah (Memerintah 1488 -1511M) meloloskan diri ke Kampar disana ia mendirikan Kerajaan Johor dan memerintah dari Kampar antara 1511-1528.
Pada 1514, salah seorang keturunan Wangsa Mauli, Yang Dipertuan Maharajo Sakti, Maharaja Dewana datang ke Minangkabau untuk menuntut haknya atas tahta, sekaligus merubah corak Kerajaan Pagaruyung menjadi Kesultanan yang bercorak Islam. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dari seorang puto-poto bernama Daweng Prakarma. Perang saudara terjadi dalam 40 tahun berikutnya dengan melibatkan sejumlah kerajaan lain seperti Portugis, Aceh dan Johor.
Disalin dari kiriman FB Riff ben Dahl