Sumber Gambar: https://www.facebook.com |
Seorang pemuda Minang tamatan kelas 2 sekolah rakyat [sekarang SD] pergi merantau ke Betawi [sekarang Jakarta] di tahun 1921. Namanya Djohan yang kemungkinan berasal dari Sawah Lunto. Waktu itu saudagar-saudagar bumiputra [pribumi] di Padang sudah mulai sering berbelanja ke Betawi.
Sudah sejak dekade sebelumnya jalur pelayaran Padang – Batavia semakin lancar, yang dilayani oleh perusahaan kapal pemerintah (misalnya, tahun 1927 kapal api Ophir melayani rute Betawi – Padang secara rutin yang dapat ditempuh dalam satu setengah hari (lih: Pandji Pestaka, No. 61, Th. V, 2 Augustus 1927: 1048 Kroniek).
Djohan nekat pergi ke ibukota Hindia Belanda itu membawa tulang delapan kerat. Niatnya hendak bekerja jadi pegawai negeri atau swasta. Akan tetapi sesampai di Betawi ia melihat dunia perdagangan yang ramai.
Maka Djohan pun beralih pikiran. "Menjadi pegawai hanya tamat kelas 2 sekolah rendah tak akan dapat mengubah nasib" pikiranya. Kini ia ingin jadi pedagang. Tapi apa daya modal tak ada. Djohan pun memutar otak. Didekatinya seorang pedagang Arab, lalu dimintanya beberapa helai barang dagangannya, kemudian dikembangnya lapak di tepi jalan. Begitulah Djohan memulai usaha dagangnya secara kecil-kecilan. Lama-lama anak muda yang hemat dan berkemauan keras itu dapat menyimpan uang sedikit demi sedikit. Akhirnya ia berhasil mengumpulkan modal sendiri, lalu ia melepaskan diri dari induk semang Arabnya. Kini Djohan membeli sendiri barang-barang dagangannya secara kontan. Dengan demikian harganya jadi lebih murah, dan dengan demikian ia pun dapat menjual dagangannya dengan harga yang lebih murah pula.
Lama-kelamaan Djohan berhasil menyewa sebuah toko di Pasar Senen. Akan tetapi keberhasilan yang sudah diraihnya tidak menjadikan ia cepat puas. Dengan uang tabungannya, kemudian ia berhasil membeli toko itu. Kini ia sudah memiliki toko sendiri. Dagangannya pun makin laris manis. Itu tak lain karena layanannya yang ramah tamah kepada para pembeli. Lama kelamaan tokonya bertambah luas, hingga mencapai enam pintu (meminjam istilah pedagang Minang di Tanah Abang sekarang).
Djohan kini sudah jadi pedagang kaya. Maka disuruhnya saudaranya, Djohor namanya, menyusulnya ke Betawi. Waktu itu Djohor masih bersekolah di Sawahlunto. Djohor pun datang ke Betawi membantu Djohan. Maka tokonya yang besar itu diberi nama “Handelsvereeniging Djohan-Djohor” (Perusahaan Dagang Djohan-Djohor). Toko Djohan-Djohor terus berkembang. Kemudian dua bersaudara itu mengajak seorang saudagar Minang lainnya berkongsi, namanya Ajoeb Rais.
Latar belakang Ajoeb Rais cukup jelas dipaparkan dalam Memoir Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1979). Ia, yang dipanggil oleh Hatta sebagai ‘Ma’ Etek Ajoeb’ [Mak Etek Ayub] adalah ‘penjamin’ [yang membiayai] hidup Wakil Presiden pertama Indonesia itu selama beliau bersekolah di Batavia (kini: Jakarta). Sejak kedatangannya di ibukota Hindia Belanda itu sekitar Juni 1919 sampai keberangkatannya kembali ke Padang pada bulan Juni 1921 untuk kemudian terus ke Belanda pada bulan Agustus pada tahun yang sama, sampai Bung Hatta kembali lagi ke Batavia pada bulan Agustus 1932 (lihat fotonya dalam Memoir Bung Hatta, 1979:63). Bahkan setelah itu Bung Hatta pergi ke Jepang dengan Ajoeb Rais untuk mengadakan perjanjian dagang dengan pengusaha-pengusaha Jepang.
Waktu Bung Hatta sampai di Batavia, Ajoeb Rais sudah terkenal juga sebagai seorang saudagar besar, tapi hidupnya tetap sederhana. Ia dan istrinya Daidah (yang dipanggil ‘Mintuo’ oleh Bung Hatta) dan seorang anak perempuannya yang bernama Nelly tinggal sebuah rumah di Jalan Jakarta di bilangan Kota (kini Jakarta Pusat). Bung Hatta menyebut Ajoeb Rais sebagai pamannya [Konsep 'Mamak' berbeda dengan 'Paman']. Memang ia juga berasal dari Bukittinggi tapi tidak dijelaskan bagaimana persisnya hubungan kekeluargaan mereka.
Diceritakan oleh Bung Hatta dalam Memoir-nya (hlm. 61-62): Ajoeb Rais meninggalkan Bukittinggi, sebentar tinggal di Padang, sebelum kemudian pergi ke Betawi. Mula-mula ia bekerja sebagai jurutulis pada seorang bangsa Jerman, yang berdagang berbagai rupa. Untuk mencapai kemajuan ia belajar mengetik 10 jari. Dalam waktu yang singkat sekali ia memperoleh diploma. Hal itu menarik perhatian induk semang Jermannya itu. Akhirnya ia diberi pekerjaan yang lebih banyak yang selalu dikerjakannya dengan rajin dan bersemangat.
Ajoeb akhirnya mendapat warisan uang dari induk semangnya itu sebesar f 10.000 ketika induk semangnya itu pensiun dari dunia dagang. Ajoeb juga dijadikan anak angkat oleh induk semangnya itu karena induk semangnya itu tidak punya anak. Karena tangan dinginnya, akhirnya Ajoeb Rais berhasil dalam dunia dagang.
Waktu itu ia menjalankan perdagangannya lebih banyak dengan cara spekulasi. Ia ambil sejumlah barang dari orang dalam partai besar, lalu tiga bulan kemudian harga barang itu dibayarkan. Kalau harga-harga naik, maka dapatlah ia untung yang lumayan besar. Tapi jika sebaliknya yang terjadi, alamat bangkrut akan didapat. Cara dagang seperti itu beresiko besar akan jatuh pailit. Oleh sebab itu, setelah berhasil mengumpulkan uang sebanyak f 500.000, Ajoeb Rais pergi naik haji ke Mekah. Setelah pulang dari Tanah Suci, ia beralih ke usaha lain. Setelah itulah tampaknya ia bergabung dengan Firma Johan Johor.
Bung Hatta mencatat dalam Memoir-nya (hlm. 255-57) bahwa ia disambut oleh Mak Etek Ajoeb Rais ketika sampai lagi di tanah air pada tahun 1932. Ajoeb ikut ke Pelabuhan Tanjung Priok untuk melihat proses pemeriksaan buku-bukunya yang berpeti-peti oleh duane pelabuhan. Buku-buku itu dikirim dari Belanda dan sebelum diambil oleh pemiliknya di Batavia, harus diperiksa terlebih dahulu.
Bung Hatta menyebutkan bundelan Majalah Indonesia Merdeka ditahan oleh duane karena dianggap bacaan berbahaya. Bung Hatta mengatakan bahwa semua bukunya itu kemudian disimpan di rumah Mak Etek Ajoeb Rais di Defensielijn Van den Bosch yang sebelumnya merupakan sebuah hotel. Letaknya tepat pada Jalan Sawah Besar menuju Lapangan Terbang Kemayoran (belakangan disebut daerah Bungur Besar).
Pada bulan Februari 1933 Bung Hatta diajak oleh Ajoeb Rais pergi ke Jepang untuk urusan bisnis dagang mamaknya itu. Mereka berangkat dari Batavia via Singapura dengan menumpang kapal 'Johor Maru'. Perjalanan Bung Hatta dan Ajoeb Rais ke Jepang ditemani oleh seorang rekan dagangnya orang Jepang yang juga punya kantor perusahaan di Batavia, yang dipanggilnya Tuan Ando. Ando, Hatta dan Mak Eteknya singgah di Singapura selama 5 hari.
Keberangkatan bung Hatta tak lepas dari intaian spion Belanda. Di Singapura, Bung Hatta bertemu dengan beberapa orang Minangkabau, termasuk salah satu pemilik warung Padang yang selalu menggratiskan ia makan di restorannya, dan seorang saudagar Minang pemilik Toko Padang di Batavia bernama Haji Usman yang terpaksa lari ke Singapura karena jatuh bangkrut dan dikejar-kejar oleh orang-orang yang menagih utang kepadanya.
Perjalanan mereka bertiga di Jepang diceritakan pada halaman 293-308 dalam Memoir Bung Hatta. Selama berada di Jepang, Bung Hatta dan mamaknya itu tinggal di Hotel Koshien, sebuah hotel yang terbilang bagus yang terletak antara Kobe dan Osaka. Ajoeb Rais yang diasisteni oleh Bung Hatta dan Ando mengadakan perjanjian dagang dengan beberapa pengusaha Jepang dan melihat beberapa pabrik di Kobe, Osaka dan Tokyo. Namun, kunjungan Bung Hatta itu diketahui oleh insan pers di Jepang, sehingga banyak wartawan yang mengerubuti “Gandhi of Java” itu, demikian pers Jepang menyebutnya, begitu kapal Johor Maru yang ditumpangi Hatta merapat di Pelabuhan Kobe sekitar Maret 1933.
Pada Bulan Maret 1942 Bung Hatta sempat bertemu dengan Johor yang dipanggilnya ‘Etek’ di Hotel Des Indes di Jakarta. Waktu itu bung Hatta dijemput dari Sukabumi untuk bicara dengan para pentinggi militer Jepang di Batavia. Johor sendiri menyebut Bung Hatta sebagai ‘[A]nak Gadang’, maksudnya jelas ‘Anak yang kini menjadi orang besar’ (Hatta 1979:396). Dalam kesempatan itu Johor menyediakan pakaian baru yang bagus untuk Bung Hatta melalui toko jahitnya Nam Mie di Jalan Antara. Maksudnya, supaya Bung Hatta kelihatan necis dan gagah ketika berhadapan nanti dengan para pembesar militer Jepang. Bung Hatta sempat mampir ke Firma Johan Johor di Senen mengisi waktu luangnya di Jakarta sebelum berunding dengan para pembesar Jepang (Gunseiken dan Sumobuco). Pakaian yang dibuatkan oleh penjahit Nam Mie pesanan Etek Johor sangat cocok di tubuh Bung Hatta.
Membaca Memoir Hatta, kita mendapat kesan betapa dekatnya hubungan tiga serangkai pemilik Firma Johan Johor dengan Bung Hatta, khususnya Ajoeb Rais. Ajoeb bahkan menyediakan [menanggung] biaya sekolah untuk Bung Hatta selama ia belajar di Prins Hendrik School di Batavia. Terkesan pada waktu ikatan emosional sesama perantau Minang di Jakarta sangat kuat.
Perusahaan dagang Djohan-Djohor terus berkembang dan mempunyai cabang di Pekalongan, Semarang, Surabaya, Bandung, dan Medan. Sumber tulisan ini mencatat:
“Semendjak itoe keadaan di Pasar Senen jadi beroebah benar. Dahoeloe jang ada disana hanja toko orang Tionghoa semata-mata, tetapi semendjak toko Djohan-Djohor berdiri, toko-toko orang Boemipoetera jang lain didirikan poela. Dan sekarang toko-toko kain orang Boemipoetera soedah sebanding banjaknja dengan toko-toko orang Tionghoa”.Ejaan sekarang Oleh Agam van Minangkabau:
"Semenjak itu keadaan di Pasar Senen jadi berubah benar. Dahulu yang ada disana hanya toko orang Cina semata-mata, tetapi semenjak Djohan-Djohor berdiri, toko-toko orang Bumi Putera yang lain didirikan pula. Dan sekarang toko-toko kain orang Bumi Putera sudah sebanding banyaknya dengan toko-toko orang Cina"
Tampaknya tiga anak muda Minang bersaudara ini adalah kompetitor pedagang Cina pertama di Pasar Senen. Mereka termasuk generasi perantau Minang awal yang sukses mengembangkan usaha dagangnya di Betawi (Jakarta). Seperti sering diekspresikan dalam cerita-cerita lisan Minangkabau, Djohan tiga bersaudara betul-betul menggambarkan dunia perantauan orang Minang: pergi meninggalkan kampuang diiringi sebak sudut mata bunda kandung, dan tanpa modal apapun, untuk kemudian pulang membawa tuah. Kuncinya adalah sifat rendah hati, hemat, dan suka bekerja keras.
Sumber tulisan ini menulis:
“Kadang-kadang […] tampak kedoea saudara itoe melihat-lihat pekerdjaan pegawainja. Air moekanja tenang dan ramah, sedikitpoen tidak tampak ketinggiannja. Akan tetapi dibalik air moeka jang tenang itoe tersemboenji kekerasan hati jang sebagai wadja”.
Ejaan sekarang Oleh Agam van Minangkabau:
"Kadang-kadang [...] tampak kedua saudara itu melihat-lihat pekerjaan pegawainya. Air mukanya tentang dan ramah, sedikitpun tidak tampak ketinggiannya. Akan tetapi dibali air muka yang tenang itu tersembunyi kekerasan hati yang sebagai baja.
Hal itu betul belaka kiranya, sebagaimana dapat dilihat dan dikesan dalam foto ini [gambar di atas]: yang duduk Djohan, dan yang berdiri Ajoeb Rais (kiri) dan Djohor (kanan).
Kisah sukses Handelsvereeniging Djohan-Djohor-Ajoeb menambah lagi pengetahuan kita tentang sejarah perantauan orang Minangkabau di awal abad ke-20, betapa hebatnya orang Minang sejak dulu, bukan hanya sebagai perintis kemerdekaan tapi khususnya mengenai perintis keberadaan para pedagang Minangkabau di Pasar Senen, Jakarta.
Sumber DR.Surya Suryadi
ditulis kembali oleh Herlina Hasan Basri
____________________________
Disalin dari kiriman facebook Herlina Hasan Basri
Diterbitkan pada 10 Mei 2020