Pada tahun 1935 pemerintah
Kolonial Belanda di Agam Tua yang ketika itu dipimpin oleh Controleur Mr.
Mandellar serta Nutzman sebagai Kepala Kebun Binatang Bukittinggi, memutuskan
untuk melakukan penambambahan sarana di kebun binatang yaitu berupa membangun
sebuah Rumah Gadang dengan langgam Koto Piliang di dalam kawasan Kebun Binatang
Bukittinggi (Fort de Kocksche Dieren Park). Peletakan batu pertamanya dilakukan
pada tanggal 1 Juli 1935. Rumah ini memiliki ukuran 36,5 x 10 m2 (luas
2.798 m2) dengan 7 (tujuh) buah gonjong, 9 (sembilan) ruang, berjeniskan Gajah
Maharam dengan anjuangan pada kiri
dan kanan. Kemudian pada tahun 1955/1956 dibuatlah dua buah rangkiang yakni Si
Bayau Bayau dan Si Tinjau Lauik serta satu buah Rumah Tabuah.
Rangkiang (atau disebut juga
dengan Kapuak) Si Tinjau Lauik
digunakan untuk menyimpan padi yang akan digunakan untuk keperluan rumah tangga
kaum. Bentuk rangkiang yang dalam pepatah Minangkabau kapuak jo pusako ini lebih langsing dibandingkan dengan rangkiang
yang lain yakni teridiri atas empat tiang.
Rangkiang Sibayau bayau digunakan
untuk menyimpan padi yang akan digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari
anggota keluarga Rumah Gadang. Rangkiang ini letaknya di ujung kanan dan
terdiri atas enam tiang dengan bentuk lebih besar dari Si Tinjau Lauik. Selain
itu, padi dalam rangkiang ini juga digunakan untuk keperluan upacara adat
seperti pernikahan, pengangkatan penghulu, upacara pernikahan, aqiqah, sunat
rasul, dan lain sebagainya yang diselenggarakan dalam Rumah Gadang.
Bangunan rumah ini difungsikan
sebagai museum yang mengoleksi barang-barang sejarah dan budaya Minangkabau.