[caption id="" align="aligncenter" width="500"] PIcture: https://zurrahmah.wordpress.com[/caption]
Oleh Saiful Gucci.
18 Desember 2014 pukul 6:04
Lewat tulisan, kita kenal sejarah PDRI
CILOTEH TANPA SUARA- Kemarin siang, saya sebagai juri cerdas cermat peringatan Hari Bela Negara yang ke-8 dilaksanakan oleh Badan Kesbanglinmas Kabupaten Limo Puluah Koto bertempat di SMP N I Koto Tinggi Gunuang Omeh. Diakhir acara,seorang peserta bertanya “ bagaimana peristiwa Kota Bukit Tinggi di serang Belanda dan dimana sebenarnya tempat deklerasi PDRI apakah di Bukittinggi atau di Halaban ?” tanya mereka.
Pada masa Perang Kemerdekaan, Bukit Tinggi dijuluki sebagai “ Ibu Kota Kedua Republik Indonesia" Selama beberapa bulan, pada tahun 1947 Wakil Presiden RI Drs. M. Hatta berkedudukan di kota ini. Dari Bukittinggi, Wakil Presiden memimpin dan menggendalikan pemerintahan dan perjuangan untuk seluruh Sumatera.
Pada saat Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua, Bukit Tinggi merupakan kota penting kedua di wilayah RI. Di kota ini berkedudukan Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera (Kompempus) di bawah pimpinan Mr.Teuku Muhammad Hasan dan Markas Besar Komando Sumatera (MBKS) di bawah pimpinan Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera (PTTS) Kolonel Hidayat yang mengantikan Jenderal Mayor Soeharyo Haryowardayo. Dilingkungan markas besar ini Angkatan Laut dan Angkatan Udara, menempatkan wakil-wakilnya, serta jawatan Kepolisian Negara Cabang Sumatera di bawah pimpinan Komisaris Besar Umar Said juga berkedudukan di kota ini.
Bukit Tinggi juga merupakan Ibu Kota Provinsi Sumatera Tengah dibawah pimpinan Gubernur M. Nasrun dan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah (DPRST) di bawah pimpinan H.Ilyas Yakub, sekaligus Ibu kota Keresidenan Sumatera Barat dengan Residennya Mr. M. Rasyid. Divisi IX / Banteng yang sesudah reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Perang di ubah menjadi Subteritorium V di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim juga bermarkas di kota ini. Begitu pula halnya dengan jawatan Kepolisian Cabang Sumatera Tengah di bawah pimpinan Pembantu Komisaris Besar Sulaiman Effendi berpusat di Bukit Tinggi
Sejak November 1948 di Bukit Tinggi ditempatkan sejumlah pejabat pemerintah pusat, Diantaranya ialah Mr. Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran), Lukman Hakim (Komisaris Negara Urusan Keuangan), dan Ir. Mananti Sitompul (Pegawai Tinggi Jawatan Pekerjaan Umum). Untuk membantu tugas Kompempus ditugasi Marjono Danubroto.
Beberapa hari sebelum tanggal 19 Desember 1948 pihak intelijen sudah memprediksi bahwa Belanda akan melancarkan serangan dalam waktu dekat. Mereka berhasil memonitor kegiatan-kegiatan pasukan Belanda yang semakin meningkat di garis demarkasi. Bagian Penghubung Masyarakat (Perma) Subteritorium mengedarkan brosur yang memperingatkan penduduk agar bersiap siap menghadapi perang. Pada suatu kali di awal bulan Desember pernah Letnan Kolonel Abdul Halim menyampaikan laporan kepada Kolonel Hidayat, bahwa Belanda akan menyerang segera. Akan tetapi,Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera (PTTS), Kolonel Hidayat, menepis anggapan itu, dan menjawab "Er is green oorlog voor de 15 de Januari 1949.” (Tidak akan ada peperangan sebelum tanggal 15 Januari 1949 ).
Belanda akan menyerang, paling cepat serangan itu akan dilancarkan pada pertengahan Januari 1949." Atau seperti yang dikatakannya Hidayat kepada Mayor Khairul Basri CH.Rani, "Saya pikir tidak dalam waktu singkat".
Tampaknya, bagi penduduk Bukit Tinggi ada hal yang lebih menarik daripada peringatan tersebut, Yakni kedatangan Presiden Soekarno dan rombongannya yang akan singgah di kota mereka, dalam perjalanan ke India. Begitulah, sepanjang hari tanggal 18 Desember 1948 Bukit Tinggi diliputi suasana gembira. Sejak pukul 10.00 para pelajar dan rakyat umum memenuhi jalan-jalan utama untuk menyambut kedatangan Presiden. Ternyata, sampai sore rombongan yang ditunggu itu tidak datang. Menjelang Maghrib, para pelajar dan rakyat membubarkan diri. Namun, di Lapangan Terbang Gadut, ± 5 km dari pusat kota, para petugas AURI tetap dalam keadaan siaga.
Kira-kira pukul 20.00 terdengar suara pesawat terbang mengitari kota. Beberapa kali pesawat terbang itu melintasi lapangan terbang. Orang-orang yang masih menunggu yakin bahwa pesawat itu adalah pesawat terbang yang membawa Presiden Soekarno dan rombongannya. Oleh karena Lapangan Terbang Gadut tidak mempunyai fasilitas penerangan yang memungkinkan pesawat mendarat pada malam hari, sejumlah kendaraan jip dan sedan dikerahkan ke lapangan terbang. Lampu-lampu kendaraan dinyalakan dan diarahkan ke lapangan pacu. Beberapa pejabat penting sudah bersiap-siap dipinggir lapangan untuk menyambut Presiden dan rombongan.
Ternyata, pesawat itu tidak mendarat. Sebaliknya, setelah mengitari kota beberapa kali, pesawat itu menghilang. Mereka yang sedang menunggu kedatangan Presiden pun ber-tanya-tanya apakah yang terjadi. Apakah Presiden membatalkan rencananya untuk singgah di Bukit Tinggi? Atau, apakah penerangan di lapangan terbang tidak cukup untuk memungkin-kan pesawat mendarat?. Ada juga yang menduga bahwa pesawat itu adalah pesawat terbang Belanda yang sedang melakukan pengintaian.
Peristiwa di lapangan terbang itu beredar dari mulut ke mulut. Sebagian besar penduduk yakin bahwa pesawat itu adalah pesawat musuh. Ketegangan pun mulai terasa. Alangkah berbedanya suasana malam itu dengan suasana gembira siang harinya.
Pertanyaan yang berkembang malam itu terjawab keesokan harinya. Kecurigaan pun menjadi kepastian. Pagi tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan serangan udara ke Bukit Tinggi. Beberapa tempat dan bangunan dalam kota dijatuhi bom dan ditembaki dengan roket. Dari pesawat terbang dijatuhkan pula selebaran, berisi pernyataan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan Persetujuan Renville dan gencatan senjata. Tertulis pula dalam selebaran itu bahwa Belanda akan melancarkan aksi polisional untuk membasmi kaum ekstremis. Para ekstremis diminta supaya segera menyerahkan senjata mereka kepada tentera Belanda yang segera akan tiba. (Yang dimaksud Belanda dengan ekstremis ialah anggota Angkatan Perang RI). Dalam selebaran lain disebutkan, berbunyi:
“Hari ini pukul 06.00 pagi. pasukan Belanda sudah bergerak dari Padang dan pukul 13.00 siang akan tiba di Bukittinggi, sambutlah tanpa perlawanan, tentra hendaklah bertugas seperti polisi, polisi hendaknya tinggal di tempat. Senjata serahkan ! , pamong praja/ninik mamak/pegawai-pegawai hendaklah menyambut dengan sikap persahabatan, rakyat umum hendaklah tenang “
Pagi tanggal 19 Desember itu operator PTT Bukit Tinggi, Ajas Baheram, menerima telegram dari Yogya tentang serangan udara Belanda ke ibukota RI itu. Di Bukit Tinggi, serangan udara Belanda dimulai pukul O7.00. Sasarannya antara lain ialah instalasi PTT. Sebuah bom dijatuhkan di Kantor Kawat di Jalan Birugo. Akan tetapi, bom itu jatuh di depan sebuah rumah tidak jauh dari Kantor Kawat dan tidak meledak. Dalam situasi seperti itu, para radio telegrafis PTT masih tetap menjalankan tugas. Mereka masih mengadakan hubungan dengan PTT di Kotaraja, Medan, Sibolga, Pekanbaru, Kerinci , dan Jambi menyampaikan berita tentang adanya serangan udara Belanda di Bukit Tinggi. Barulah sekitar pukul 12.30 mereka meninggalkan kantor.
Akan tetapi, apakah ada hubungan PTT Bukit Tinggi dengan PTT Yogya antara pukul 11.00 (selesainya sidang kabinet ) dan pukul 12.30 (saat operator PTT Bukit Tinggi meninggalkan kantor) masih terbuka yang memungkinkan telegram dikirim dari Yogya dan diterima di Bukit Tinggi? Bekas radio telegrafis PTT Bukit Tinggi, Aladin, S.H. mengatakan bahwa setelah PTT Yogya memberitahukan tentang serangan udara Belanda, telegrafis radio PTT Bukit Tinggi terus berusaha berhubungan dengan Yogya. akan tetapi, mereka hanya menerima berita yang dikirim secara round-slip dan diputar terus-menerus yang isinya sama dengan berita pertama, yakni tentang serangan udara Belanda. Panggilan PTT Bukit Tinggi tidak pernah disahuti oleh PTT Yogya. Kemungkinan, para petugas PTT yogya sudah meninggalkan kantor. Berarti, mandat tidak sampai ke Bukit Tinggi. Atau, sampai dikirim, tetapi tidak melalui PTT. Bagaimanapun, mandat atau berita tentang mandat itu tidak sampai kepada Mr.Syafruddin Prawiranegara pada tanggal 19 Desember 1948.
Tokoh-tokoh pemerintahan dan militer di Bukit Tinggi dengan cepat menyimpulkan bahwa Belanda sudah memulai agresi militernya. Sekitar pukul. 09.00 mereka mengadakan pertemuan di Gedung Tri Arga (bekas istana Wakil Presiden). Yang hadir dalam pertemuan itu antara lain ialah Mr.Sjafruddin Prawiranegara , Mr.Teuku Muhammad Hasan, dan Mr.Lukman Hakim (Komisaris Negara Urusan Keuangan). Teuku Muhammad Hasan ketika itu memegang jabatan sebagai Ketua Kompempus. Dari kalangan militer hadir Kolonel Hidayat dan ajudannya Kapten Islam Salim. Kepala Jawatan Kepolisian Sumatera Tengah, Pembantu Komisaris Besar Sulaiman Effendi disertai oleh Komisaris Besar Umar Sahid, Kepala Polisi Sumatera, tampak pula dalam pertemuan tersebut.
Baru saja pertemuan dimulai, ledakan bom dan tembakan roket terdengar kembali. Para peserta pertemuan segera menyelamat kan diri. Mereka belum berhasil mengambil keputusan apa pun.
Di tempat lain, di gedung MBKS, berlangsung pula rapat di pimpin oleh Mayor Kartakusumah. Seperti yang dialami oleh rapat di gedung Tri Arga, rapat di MBKS ini pun belum sempat mengambil keputusan sebab gedung itu dihujani Belanda dengan tembakan dari udara. Para perwira yang mengikuti rapat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Setelah serangan udara reda, barulah mereka melanjutkan rapat di rumah Kolonel Hidayat.
Pada hari itu serangan udara Belanda dilakukan secara bergelombang, yang menjadi sasaran utama ialah Lapangan Terbang Gadut, Markas Divisi IX/Banteng, pemancar RRI, dan stasiun pemancar Pos, Telepon dan Telegraf (PTT). Selain mengebom dan menembaki objek-objek vital itu, Belanda juga menembaki sasaran sipil. Beberapa buah kendaraan umum terkena tembakan yang menyebabkan sejumlah penumpang meninggal dan luka-luka.
Setelah serangan udara reda, Kolonel Hidayat menghubungi tokoh-tokoh lain untuk mengadakan pertemuan kembali. Ia "mendesak" Mr.Sjafruddin Prawiranegara agar membentuk pemerintahan dengan jaminan bahwa seluruh Angkatan Perang berdiri di belakang Sjafruddin Prawiranegara . Ketika sore tanggal 19 Desember itu Hidayat yang didampingi ajudannya Kapten Islam Salim menemui Mr.Sjafruddin Prawiranegara yang masih belum memperoleh kepastian tentang nasib para pemimpin di Yogya.
Pada sore itu Mr. Sjafruddin Prawiranegara menemui T.M. Hasan dengan didampingi oleh Kolonel Hidayat dan Islam Salim. Syafruddin Prawiranegara mengatakan bahwa besar kemungkinan Presiden dan Wakil Presiden ditawan Belanda. Jika hal itu benar, berarti telah terjadi kevakuman pemerintahan. Kevakuman itu akan menimbulkan dampak negatif baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri, rakyat tidak mempunyai pemimpin yang akan mereka turuti. Di luar negeri, negara lain akan menganggap bahwa RI sudah lebur.
Menurut Mr.Teuku Muhammad Hasan, sore sekitar jam 06.00 tanggal 19 Desember 1948 datang Mr.Syafruddin Prawiranegara bersama Kolenal Hidayat mengunjugi saya, Ketua Komisariat, ditempat kediaman saya di jalan Atas Ngarai, Bukit Tinggi. Mr.Sjafruddin Prawira Negara dan Kolonel Hidayat mengajak saya untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Sebagai seorang ahli hukum, pada mulanya Mr.Teuku Muhammad Hasan mempersoalkan segi juridis dari pemerintahan yang akan di bentuk itu. Apakah pembentukan pemerintahan itu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum? Namun, tanggung jawab terhadap kelanjutan perjuangan mengatasi aspek hukum itu. Bekas Gubernur Sumatera ini pun berpendapat bahwa sebuah pemerintahan perlu dibentuk untuk menyelamatkan negara yang sedang berada dalam bahaya. Dengan demikian kekosongan pemerintahan dapat diisi sehingga RI tetap diakui oleh dunia internasional sebagai Negara yang berdaulat.
Sore itu pada jam 06.00 sore (18.00 WIB) disepakatilah untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dan disepakati pula bahwa pemerintahan itu akan dipimpin oleh Mr.Sjafruddin Prawiranegara dan Mr.Teunku Muhammad Hasan sebagai wakilnya. Walaupun usia Mr.Sjafruddin Prawiranegara lebih muda dibandingkan dengan Mr. Teunku Muhamad Hasan, ia adalah satu-satunya menteri kabinet yang ada di Bukit Tinggi. Berarti dari segi jabatan, ia lebih senior. Kesepakatan itu akan mereka bicarakan dengan tokoh-tokoh lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kesepakatan yang mereka capai disore hari 19 Desember 1948 itu merupakan deklarasi dari pembentukan pemerintahan yang tiga hari kemudian direalisasikan melalui pengumuman kabinetnya di Halaban .
Pemikiran yang berkembang di Bukit Tinggi dan pada tanggal 22 Desember 1948 direalisasikan di Halaban itu merupakan inisiatif lokal yang didasari oleh tekad bahwa dalam situasi yang bagaimanapun perjuangan harus dilanjutkan. la merupakan keberanian untuk bertindak dan memikul tanggung jawab untuk menyelamatkan bangsa. Inisiatif itu terlepas dari instruksi Yogya yang tertuang dalam mandat Presiden dan tidak pernah sampai di tangan Syafruddin Prawiranegara. Akan tetapi, pemikiran yang berkembang dan inisiatif yang diambil itu sejajar dengan pemikiran di tingkat pusat yang dituangkan dalam mandat tersebut.
Saiful Guci _ Pulutan 18 Desember 2014
Disalin dari Catatan Facebook Engku Saiful Guci
*****
Sumber Pustaka:
Imran, Amrin, et al. “Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam Perang Kemerdekaan”. Jakarta. Perhimpunan Kekerabatan Nusantara, 2003
Marah Joenus. Mr.H.St.Moh.Rasyid : Perintis Kemerdekaan, Pejuang Tangguh. Berani dan Jujur. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. 2000.
Rasyid, et al. “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950”, Jilid I. Jakarta: Badan Pemurniaan Sejarah Indonesia-Minangkabau. 1978.