Dendam Kesumat seorang Jongos Belanda
Ini kisah Kimun, seorang jongos. Ia hampir mati di tangan gerilyawan Teuku Umar, karena kedapatan membawa surat pasukan Belanda. Dendamnya ke Teuku Umar sangat memuncak, Walau sudah pulang ke Jawa, tetapi ia meminta dikirim kembali ke Aceh.
Untuk mendapatkan keringanan hukuman, para pekerja dipaksa ini harus menerima tantangan, melakukan pekerjaan-pekerjaan antara pertaruhan hidup dan mati. Kimun salah satunya. Ia mengambil risiko itu, dan berharap lagi menjadi pekerja paksa, setidaknya bisa menjadi jongos, yaitu pembantu atau babu di rumah perwira.
Kisah kenekatan Kimun ini diterbitkan oleh HC Zentgraff dalam buku Atjeh , versi bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1983, terjemahan dari versi asli diterbitkan Belanda dengan judul yang sama. Versi yang dikeluarkan Belanda diterbitkan oleh Kloninklijke Drukkerij De Unie, Batavia.
Dalam buku itu Zentgraaff menjelaskan, Kimun dibawa ke Aceh pada tahun 1896 sebagai pekerja paksa, masa hukumannya 20 tahun. Hukumam bagi Kimun adalah 20 tahun kerja paksa di Aceh. Ia ingin memangkas masa hukumannya dengan berbakti kepada Belanda dibandingkan para pekerja dipaksa lainnya.
Saat kelompok pasukan Belanda dikepung pasukan Aceh, Kimun menawarkan diri mengantar surat dari bivak Belanda untuk pasukan Belanda di daerah lain. Namun, saat itu ia mengantar surat permohonan tambahan tersebut, ia ditangkap oleh pasukan Teuku Umar. Ia berusaha melawan hingga luka parah, kemudian meloloskan diri ke sungai.
Beruntung bagi Kimun, dalam keadaan yang hampir tak lagi bernyawa, saat itu pasukan Belanda sedang bergerak mengapung pinggir sungai sekitar Lambaro, Aceh Besar. Ia ditemukan oleh pasukan Belanda. Ia kemudian diselamatkan. Walau gagal menjalankan tugas, ia dibebaskan dari hukuman kerja paksa. Itulah keberuntungan yang diidamkan oleh setiap pekerja paksa.
Namun Kimun menolaknya, meski dulu sangat mendambakannya. Alasannya, ia dendam kepada kelompok Teuku Umar yang menyiksanya dengan sabetan cambuk , dan merendamnya di sungai. Ia kemudian dipekerjakan sebagai jongos di rumah opsir Grasfland.
Ketika Grasfland meninggal dalam perang Aceh. Kimun pindah ke Lhokseumawe bekerja sebagai jongos di rumah opsir Belanda lainya. Saat sedang membeli limun di toko Cina, ia ditangkap polisi karena dikira pekerja yang melarikan diri. Kimun memukul kepala polisi dengan botol limunnya. Karena tindakannya itu Kimun kembali dihukum kerja paksa selama 10 tahun.
Kimun yang kembali menjadi tahanan dikirim ke Jambi untuk dikirim kerja paksa, lalu dikirim ke Manado. Tak lama di sana, ia dikirim kembali ke Surabaya untuk menjalani dari sisa masa hukumannya.
Di Surabaya ia menjumpai Veltman, perwira Belanda yang akan diundang di Aceh. Pada Veltman ia meminta untuk dibawa kembali ke Aceh. Dendam kesumatnya kepada kelompok Teuku Umar belum hilang. Sampai di Aceh, Kimun bekerja sebagai jongos di Tapaktuan. Tugasnya memasak makanan di bivak tentara Belanda.
Namun, tak lama di Aceh, Kimun mengalami gangguan mental. Ia kemudian diambil oleh seorang kadet Belanda, Hein Meijer. Tapi, Kimun yang emosional kembali membuat ulah, Meijer kemudian menghukumnya.
“Kimun sekarang jadi hilang akal, ia berangkat sendiri dari Tapaktuan menuju Sigli melalui pegununan dan hutan belantara. Tak jelas bagaimana nasibnya nanti dalam pelariannya itu, ”tulis Zentgraaff.
Disalin dari kiriman: Raff be Dahl