Abdul Jalil Shah IV (1699-1720)
Kesultanan Johor lama yang terkadang juga disebut Kesultanan Johor-Riau, didirikan di paruh pertama abad ke-16 oleh sultan Melaka yang digulingkan, yang kemudian memerintah bersama dengan para ahli warisnya. Di antara kerajaan-kerajaan serta para penguasa Melayu, Johor merupakan salah satu dari kekuatan politik atau negara yang bersaing ketat untuk memantapkan perannya sebagai ahli waris Melaka; demikian pula ketika kawasan tersebut mulai dikuasai oleh kekuatan kolonial Eropa. Hinga akhir abad ke-16, penguasanya terkadang juga disebut “Kaisar dari Para Raja Melayu”.
Di puncak kemasyhuran dan kewibawaannya antara akhir abad ke-16 dan awal abad ke-18, kesultanan Johor-Riau menerima sumpah kesetiaan dari masyarakat yang tinggal di seluruh kawasan geografik yang mengesankan yang merentang bagian-bagian selatan Jazirah Melayu, Kepulauan Riau (termasuk Singapura masa kini), kepulauan Anambas, Tambelan dan kelompok pulau Natuna, kawasan di sekitar Sungai Sambas di Kalimantan barat-daya dan Siak di Sumatra tengah-timur]. Selain itu, kesultanan Johor-Riau juga menyatakan bahwa orang-orang yang diperintah oleh para penguasa Kampar, bendahara Pahang dan Terengganu adalah kawulanya. Di antara para sekutunya di awal abad ke-17, terdapat Champa yang kewibawaannya meliputi Vietnam selatan masa kini. Penguasa Champa sudah memeluk agama Islam dan menjalin hubungan resmi dengan Johor pada tahun 1606 atau sekitarnya; hubungan akrab tersebut dipertahankan selama beberapa dasawarsa.
Kompleksitas aneka ragam penduduknya dan juga rentang geografisnya telah membentuk ciri kesultanan Johor-Riau yang merupakan sebuah kekuatan politik yang luas dan juga menjelaskan dua segi yang khususnya menarik dalam konteks masa kini; pertama, politik kesultanan Johor-Riau rumit serta multi-polar, kendati hal itu dapat diperdebatkan. Ciri kekuatan politik atau negara Melayu dalam kurun waktu pra-modern adalah bahwa para penguasanya mencurahkan perhatian kepada rakyatnya dan tidak pada lahan atau kawasan, dan struktur kesetiaan penduduknya bersifat mengalir, tidak tetap. Hal itulah yang dinilai sangat menantang oleh para pengamat Eropa untuk memahaminya.
Oleh karena rasa kesetiaan di antara para penduduknya cair, maka terdapat banyak kawasan abu-abu di dalam sebuah rentang geografis negara, terutama di kawasan perbatasan: sudah menjadi rahasia umum bahwa para datuk dan maharaja memberi upeti serta menyatakan kesetiaan kepada lebih dari seorang maharja pada waktu yang sama. Dengan membaca cermat bahan-bahan yang tertulis dalam bahasa Belanda, maka kita dapat melihat bahwa telah muncul sebuah wilayah yang bermasalah antara Kompani (VOC) dengan Johor dalam dua dasawarasa pertama abad ke-18, yaitu menyangkut sebuah kawasan luas yang dikenal dengan nama Patapahan. VOC menyatakan bahwa setiap tahun menyampaikan upeti dan penghormatan kepada Raja Minangkabau di Sumatra, sementara sultan Johor bersitegang dan menyatakan bahwa penduduk Patapahan tunduk di bawah kekuasaannya.
Secara keseluruhan, kesultaanan Johor-Riau menjalin hubungan bersahabat dengan VOC sejak awal tahun 1600, dimulai dengan membuat sebuah persekutuan ad hoc antara Sultan Ala’udin Ri’ayat Shah III dengan laksamana Belanda Jacob van Heemskerk.(1567-1807) Johor merupakan salah satu di antara kekuatan-kekuatan Asia yang pertama kali mengutus sebuah misi diplomatik ke Republik Belanda di tahun 1603. Ketika tiga tahun kemudian para utusan kedutaan Johor itu kembali dengan selamat menumpang armada Laksamana Matelieff, dua buah perjanjian resmi diratifikasi antara Johor dan VOC di bulan Mei dan September 1606.
Menjelang akhir abad ke-17, terjadi pembunuhan pada tanggal 3 September 1699 atas Mahmud Shah II (1685-1699) yang berperilaku aneh dan tidak berketurunan. Yang bersangkutan merupakan penguasa Johor terakhir dari garis keturunan Melaka (Dinasti Mauli). Untuk mengisi takhta yang kosong Atas usulan Tumenggung Muar, maka para orang kaya (bangsawan) pada 3 September 1699 memutuskan sepupu Mahmud dari fihak ibu, yaitu Bendahara Abdul Jalil untuk menduduki tahta Johor. Ia kemudian memerintah dengan nama Abdul Jalil Shah IV (memerintah 1699-1720).
Namun Abdul Jalil Shah IV tidak mendapatkan dukungan dengan suara bulat dari semua faksi di Johor. Banyak yang mempertanyakan legitimasi kenaikannya kekuasaan Sultan. Beberapa kalangan di Johor, muncul kesangsian dan beberapa di antara mereka memanfaatkan peluang. Para orang laut yang tidak puas karena berpendapat bahwa pengangkatan bendahara menjadi sultan tidak dilakukan sesuai yang semestinya. Sebagai Seorang yang sangat religius, Abdul Jalil Shah secara terlihat kurang berminat untuk memerintah kerajaannya, alih-alih mencurahkan lebih banyak waktu untuk imannya dan kepada istrinya yang berasal dari Aceh, Cik Nusamah.
Orang Bugis yang sudah menetap di Johor dan menjadi semakin mapan di paruh kedua abad ke-17 selama peperangan di Jambi, mereka memanfaatkan kesempatan yang disodorkan oleh krisis pewarisan takhta dengan menuntut lebih banyak kekuasaan untuk Raja Muda Bugis (alias Yang Dipertuan Muda, “raja muda”) Ketidakpastian serta kemurungan yang mencuat akibat penetapan mantan bendara sebagai penguasa Johor yang baru, telah menimbulkan sejumlah kerusuhan yang semakin meningkatkan ketidak-pastian dan merupakan ancaman besar dari dalam di Johor-Riau. Selain dari itu, aksi angkatan laut Siam di lepas pantai Terengganu yang katanya ditujukan terhadap para perompak, telah membuat para pejabat Johor bersiap-siaga untuk bertindak dan juga karena dipicu oleh penguatan benteng-benteng (khususnya di Bintan dan sekitarnya). Timbul kekhawatiran bahwa Johor tidak lama lagi akan menjadi sasaran dalam kampanye angkatan laut baru dari Siam.
Di awal dasawarsa kedua abad ke-18, hubungan bersahabat yang sudah berlangsung lama antara VOC dengan Kesultanan Johor-Riau mendapat tekanan. Titik api yang langsung timbul dalam hubungan yang mengalami tekanan adalah penafsiran berbeda atas ayat 3 perjanjian VOC-Johor yang dimeterai tahun 1689. Raja Muda menolak bahwa warga bebas Belanda dari Melaka diperbolehkan masuk ke kawasan Sungai Siak untuk berdagang, dan juga menolak kehadiran mereka di Patapahan. Ayat 4 dari perjanjian 1689 mengizinkan “kapal dari Melaka” untuk singgah dan berdagang di Patapahan dengan membayar pajak kepada shabandar Johor.
Dari pihak Johor, mereka berpendapat bahwa ayat 3 menetapkan yang berhak untuk datang dan berdagang di Siak hanyalah untuk VOC, dan tidak untuk warga bebas Melaka, dan mereka juga menyatakan bahwa rakyat Patapahan adalah kawula Johor. VOC tidak sepakat dan mengatakan bahwa rakyat Patapahan membayar upeti kepada raja Minangkabau dan tidak kepada penguasa Johor. Ketegangan semakin memuncak di kedua pihak dan masing-masing pihak menyita kapal-kapal dagang dengan berbagai alasan. VOC sangat berkeinginan untuk menyelesaikan masalah tersebut dan mengutus sebuah tim negosiasi ke Johor untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan tersebut dan untuk menegosiasikan sebuah perjanjian baru dengan Johor. Para utusan Belanda berangkat menuju Johor awal Januari 1713, membawa instruksi yang jelas dan tegas dari gubernu Belanda untuk memperoleh kebebasan masuk dan melakukan perdagangan bebas baik untuk VOC maupun untuk penduduk Melaka di Siak.
Raja Muda sangat tersinggung, tidak hanya oleh kegigihan para utusan Belanda yang menghendaki negosiasi baru atas sejumlah ayat dalam perjanjian, tetapi beliau juga sangat terusik karena para utusan Belanda dengan gamblang memerlihatkan bahwa mereka tidak mau mengikuti tata cara diplomatik Melayu. Raja Muda mengeluhkan ungkapan-ungkapan yang pendek serta bahasa yang sangat menyinggung dalam surat-surat gubernur Melaka, dan untuk menutupi kedudukannya yang goyah selama bernegosiasi maka sejumlah pihak disalahkan termasuk penerjemah yang dikatakan tidak memahaminya.
Raja Muda juga tersinggung oleh Belanda tetapi perihal lain: pihak Belanda mulai memungut pajak dari kapal-kapal Johor di Melaka – menurut ayat 3 perjanjian 1689 mereka dengan tegas dibebaskan dari biaya-biaya semacam itu – dan Belanda juga telah menyita sebuah kapal Johor di lepas pantai Coromandel di India. Tindakan-tindakan seperti itu sangat menghina dalam kontkes kebudayaan Melayu karena bermakna bahwa pihak Belanda telah merendahkan nama atau nama baik, dan sebuah nama baik sangat penting untuk martabat raja dan merupakan pahala penting di alam baka. Dalam laporan-laporan Belanda dikabarkan bahwa pihak Johor mencegah kapal-kapal Jawa berlabuh di Melaka, dan sebaliknya menyuruh mereka kembali ke pelabuhan Riau (Tanjung Pinang dewasa ini di pulau Bintan).
Hal ini, ditambah dengan keengganan bernegosiasi dengan pejabat-pejabat Belanda yang masih muda, mendorong Raja Muda untuk mengdakan negosiasi langsung dengan Batavia. Sebuah utusan resmi yang dipimpin Laksamana Seri Nara di Raja dari Johor tiba di Batavia pada tanggal 26 April 1713. Surat dari Abdul Jalil IV yang ditujukan kepada Gubernur-Jenderal Abraham van Riebeeck (1709-1713) diserahkan.
Dalam surat tersebut sultan mengutarakan rasa hormatnya serta rasa kasihnya yang besar dan mendalam terhadap VOC dan mengingatkan kedua pihak pada hubungan timbal balik mereka yang sudah berlangsung lama dan berawal di permulaan abad ke-17. Sultan juga memanfaatkan kesempatan ini untuk kembali menyatakan tafsirnya atas ayat 3 dalam perjanjian Johor-VOC 1689 dan menjelaskan bahwa hak untuk bebas masuk dan berdagang diberikan kepada orang Belanda di Siak sangatlah dibatasi dan hanya diperuntukkan bagi kompeni dan bukan kepada warga bebas atau penduduk Melaka. Kemudian ada masalah dengan kapal yang dicegat di Pesisir Coromandel di India. Pihak Belanda berjanji akan mengembalikan kapal beserta muatannya yang telah disita itu.
Sultan memertaruhkan sejumlah kepentingan yang sulit dan beliau paham benar tentang kedukannya yang sukar dalam negosiasi tersebut. Selain merupakan tawaran, maka pujiannya terhadap persahabtan dengan VOC sangat bertentangan dengan ancaman-anacaman yang dilontarkan sebelumnya oleh Raja Muda yang berusaha membuat sebuah perjanjian baru dengan pihak Perancis – salah satu musuh Republik Belanda selama Perang Pewarisan Tahta Spanyol (1701-1714). Sejak awal abad ke-18, Perancis telah mengonsolidasikan kepentingan mereka di kawasan sekitar Teluk Benggala, termasuk juga khususnya Tenasserim dan Kedah.
Nampaknya, perdagangan dengan luar negeri di Riau, tidaklah berkembang pesat pada waktu itu dan bahkan mungkin telah mendapat dampak buruk dari perang Eropa. Selain itu, bukan merupakan langkah bijak untuk menjauhkan Belanda ketika menghadapi kemungkinan penyerangan dari Siam terhadap Johor. Kedudukan beliau dalam negosiasi sangat rapuh dan hal itu tercermin dalam permohonannya untuk mendapat izin untuk menambah muatan beras ke Johor. Laporan Gubernut-Jenderal Van Riebeek kepada para Direktur VOC tertanggal 13 Januari 1713, menyatakan bahwa antara 20 hingga 30 kepal Jawa telah membawa muatan beras dan garam ke berbagai pelabuhan di Johor, termasuk Bengkalis dan Lingga. Akan tetapi, permohonannya untuk muatan tambahan ditolak VOC dengan alasan bahwa terjadi petaka kelaparan di kawasan Bengkalis dan Lingga.
Pada 1715, Bugis yang berkedudukan di Selangor , menyerang dan berhasil merampas Kedah dari tangan Aceh. Sebagai penguasa Selangor, Johor mengklaim bagian dari rampasan perang. Sementara adat Melayu mengalokasikan setengah rampasan untuk tuan, adat Bugis bahagian tuan hanya sepersepuluh. Untuk menegaskan klaimnya, Johor menyerang benteng Bugis di Selangor dan Linggi . Meskipun pasukan Johor secara jumlah lebih unggul, Bugis berhasil mwnghalau serangan itu. Pada 1717, Johor menarik pasukannya dari Selangor. Penolakan orang Bugis untuk tunduk pada tuntutan Johor memperlihatkan kelemahan pada pemerintahan yang semakin meningkat.
Faksi oposisi terhadap Abdul Jalil Shah IV menghasilkan beberapa pemberontakan terhadap dirinya. Kekacauan ini kemudian mengatur panggung bagi tampilnya pangeran dari Siak, Raja Kecil ikut terlibat pada pertikaian denagan Abdul Jalil Shah IV yang kontroversial ini. Permukim Minangkabau di Rembau, Sungei Ujong dan Naning yang sudah ada semenjak pertengahan abad ke-15, mulai menantang otoritas Johor. Pada 1717, Raja Kecil dari Siak muncul di tempat itu, mengklaim sebagai putra Mahmud Shah II dengan ibu dari Pagaruyung. Didukung oleh Minangkabau, ia disambut oleh banyak subyek Johor yang sedari awal tidak puas dengan pemerintahan Bendahara dan berharap untuk pemulihan dinasti Melaka (Mauli).
Pada 1718, Raja Kecil muncul di Sungai Kampar bersama pasukan Minangkabau dan berhasil mengatasi armada Johor. Kemudian ia dapat merebut ibukota Johor yang terletak di Kepulauan Riau. Ia menyatakan dirinya seorang penguasa Johor yang baru, dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah I (Memerintah 1720 hingga 1746), Demikian Sultan Siak mewarisi seluruh wilayah Kesultanan Johor. Setelah kemenangan pasukan Raja Kecil, Abdul Jalil Shah yang diberhentikan diangkat kembali sebagai Bendahara.
Pada tahun 1722, Bugis mengangkat Raja Sulaiman putra Bendahara Abdul Jalil sebagai Sultan Johor berikutnya dari dinasti Bendahara. Antara tahun 1722 sampai 1746, tahta Kesultanan Johor diperebutkan oleh Raja Kecil dan Raja Sulaiman. Dengan didukung oleh Orang Laut, Raja Sulaiman tampil sebagai Raja Laut yang menguasai perairan timur Sumatra sampai ke Lautan Cina Selatan. Secara de facto bertindak sebagai Laksamana dengan membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Pada Tahun 1747 Selepas meninggalnya Raja Kecil terjadi rekonsiliasi dengan Siak. Kedudukan Yang Dipertuan Muda Johor Riau diambil alih oleh Raja Sulaiman dan mengusir Daeng Chelak beserta pengikutnya untuk kemudian memaksanya untuk pindah ke Selangor.
Disalin dari kiriman Riff ben Dahl tanggal 16 Mei 2020
Baca juga:
Surat Sultan Abdul Jalil kepada Gubernur Abraham van - anri.go.id
Sejarah Johor - wikiepedia