Sumber Gambar: https://health.grid.id |
Sudah satu minggu sejak Melanie istriku pamit. Masih kuingat kala itu ia tersenyum dan mengepalkan tangan sambil bersorak "Semangat!". Mata sipitnya menghilang ditelan tawa yang tak berjeda. Ia memang seperti itu, selalu optimis.
Andai saja bukan karena jiwa sosialnya yang tinggi, mana mungkin ia maju menjadi orang terdepan yang siap melayani. Ia memang seperti itu, sejak dahulu kala awal aku mengenalnya.
Pertemuan kami tak sengaja,
layaknya drama Korea aku tak sengaja menabraknya yang sedang berlari
tergesa ke rumah sakit. Ia jatuh, meringis, aku ingin menolong namun
keadaan tak mengizinkan, aku berlalu berlari mengejar waktu, detik
terakhir bertemu ibu.
Ibuku sakit parah dan menurut ayah
keadaannya semakin memburuk, aku yang masih mahasiswa memburu waktu
detik terakhir pertemuan. Alhamdulillah ibu selamat dan dapat melalui
masa kritisnya. Dan hal tak kuduga adalah bahwa ia yang kutabrak adalah
perawat yang selama ini setia merawat ibu. Jodoh memang punya cara unik
untuk mempertemukan dua insan.
"Jangan takut sayang, aku akan baik-baik saja," ucapmu kala pamit.
"Kenapa gak orang lain saja, Bun. Gak mesti Bunda kan?" bantahku.
"Menurut hati nuranimu, tindakan apa yang harus kulakukan di tengah
situasi genting dimana aku dibutuhkan." Ia menatapku lekat.
Aku memalingkan wajah, ia telah tahu isi hatiku. Jiwaku menolak namun hati nurani berkata lain.
"Pergilah Sayang dan segeralah pulang," ucapku akhirnya.
Ketika sekolah dialihkan ke rumah dengan pembelajaran online aku yang
seorang guru pun stay at home [tinggal di rumah] sesuai anjuran pemerintah, tapi tidak untuk
Melanieku, ia harus tetap kerja bahkan lebih keras dari sebelumnya.
Awal menangani pasien Corona ia sempat pulang beberapa kali, menolak
untuk ku sentuh dan terlihat sangat lelah. Ia sempat berujar kekurangan
masker dan alat penunjang lainnya, namun sinar matanya tetap optimis
bahwa badai akan berlalu.
Di sepertiga malam ketika tak
sengaja aku terbangun, kulihat Melanieku berdoa cukup lama dalam
linangan air mata. Segala keluh kesah yang selama ini ia pendam tumpah
sudah di hadapan Rabb. Aku terpana menyadari bahwa sesungguhnya
Melanieku hanyalah wanita biasa, ia lelah, ia ingin berhenti namun
tetap bertahan demi kemanusiaan.
Hari ke-4 ia tak lagi pulang, Melanieku bilang tugas semakin padat dan tak memungkinkan untuk pulang.
[Kami kekurangan tenaga medis, Bunda gak pulang dulu.] Pamitnya dalam
pesan. Ada yang nyeri ketika setelahnya Melanieku sulit dihubungi.
Hatiku mulai meragu.
Aku tetap optimis dan yakin Melanieku
akan baik-baik saja hingga teman kerjanya datang lengkap dengan baju
Anti virusnya melakukan tes pada aku, ibu dan anak semata wayang kami.
"Istri anda postif, jadi izinkan kami untuk memeriksa anda dan keluarga," ucap seorang dokter teman Melanie di rumah sakit.
Jangan tanya hati ini, jangan tanya rasa yang bergejolak, Ya Allah
bagaimana dengan Melanieku kini? Mengapa ia merahasiakan ini dariku?
Aku, ibu dan putra sulungku dinyatakan negatif, namun diharapkan tetap
tinggal di rumah hingga empat belas hari ke depan. Kami ditetapkan
sebagai ODP (Orang Dalam Pengawas).
[Bunda baik-baik saja,
Yah, jangan khawatir. Titip jagoan kita dan ibu ya. Jangan lupa minum
vitamin dan stay at home.] Pesannya ketika kutanya kabar.
Ia selalu seperti itu, lebih mengkhawatirkan kami daripada dirinya sendiri.
[Doain Bunda, Yah.]
Pesan terakhirnya yang kudapat. Firasatku mulai berontak namun hati
tetap menolak. Melanieku pasti baik. Kini kutahu bahwa pesan itu diketik
oleh teman sejawat yang merawat.
"Mana bunda, Yah? Kakak
rindu," ucap putraku. Ia memeluk boneka kucing kesayangannya, hadiah
dari Melanie di ulang tahunnya yang ke-4.
"Bunda kerja, Nak." Aku memeluk tubuh mungilnya. Apa yang harus kusampaikan?
"Kakak rindu Bunda, boleh telpon?" Ia menatap penuh harap.
Aku menggeleng. Ya Allah, ya Allah, kupeluk erat jagoan kami dalam isak.
Ibu yang tetap sehat di usia senjanya tak kuasa menatapku, berkali ia
mengusap sudut netranya. Jangan tanya hati wanita tua itu. Melanie bukan
sekedar menantu tapi lebih dari anak kandung, perginya adalah patah
hati baginya.
Melanie kembali bahkan dalam sendiri....
Aku
pun tak bisa mendampingi. Hanya menatap dari jauh ketika tim medis
mengantarkan separuh jiwaku itu ke tempat peristirahatan terakhir.
Belum sempat kukatakan cinta dan sayang padanya, belum puas pula
kukecup keningnya, belum hilang aroma tubuhnya yang terkadang bercampur
bau alkohol dan tak akan pernah hapus binar harapnya dari ingatku ketika
ia melambaikan tangan pamit untuk pergi kala itu. Saat terakhir merekam
senyum tulusnya.
Ia pergi dengan cara yang paling ia
inginkan, gugur dalam tugas dan kembali dalam senyum. Ia pergi dalam
sendiri namun dengan kebanggaan akan profesinya sebagai perawat dan
entah kenapa hati ini terasa ikut pergi bersama dengannya. Melanie.
***
"Pakai masker terus, Pak, takut virus ya? Takut itu sama Tuhan Pak jangan dengan Corona. Percuma berkopiah tapi gak ada iman."
Aku tersenyum menanggapi candaan tukang parkir yang menyayat itu. Ingin kumaki, kubungkam mulut kejinya dan mengatakan bila istriku harus mati karena orang-orang bodoh sok pintar sepertinya.
"Sudah, Nak. Kita pulang saja." Ibu yang duduk di sebelahku mengenggam jemari ini. Menguatkan.
Aku mengangguk setelah beberapa kali sudut netra tak henti mengembun.
Seandainya semua meredam ego, seandainya taat dan melindungi diri, semua tak akan setragis ini. Tak bisakah mereka yang abai di sana memikirkan bila Melanie Melanie itu tak sendiri ada keluarga yang menanti mereka kembali. Pulang dalam selamat bukan hanya tinggal nama.
End.
(Copas).
__________________________
Disalin dari kiriman facebook Rida Hendrawati
Diterbitkan pada 5 April 2020
Telah diterbitkan situs https://www.netralnews.com
pada 27 Maret 2020