Sumber Gambar: https://lifestyle.okezone.com |
Oleh: Asmardi bin Arbi
Disalin dari: http://prri.nagari.or.id/celana.php
Saya ketika itu saya masih bersekolah di SMP dan suka sekali dengan tokoh militer daerah yang jago perang. Mereka yang disebutkan itu punya anak buah, dan langsung memimpin pasukan untuk perang di lapangan. Apa lagi kami melihat banyak senjata senjata moderen buatan luar negeri,
dan kami menyaksikan para pelajar dan pemuda pemuda kampung yang
berlatih manembak.
Senjata senjata itu terdiri dari berbagai jenis, mulai dari pistol
mitraliur, senapan otomatis Garrand yang tidak dimiliki tentara Pusat,
sampai kepada yang besar besar seperti LMG jo Bazooka. Rasa-rasanya akan menang PRRI menghadapi serangan tentara Pusat itu. Kolonel Dahlan Djambek tak banyak disebut, mungkin karena beliau datang
dari Jawa bergabung dengan PRRI, dan pasti tidak punya anak buah di
lapangan.
Ketika tentara Pusat masuk Pesisir Selatan yang beberapa hari sebelumnya didahului dengan serangan udara. Pesawat Mustang menembak kota dan jembatan di Painan, dan saat itu kami sedang belajar. Murid-murid SMP beserta guru-guru kalang kabut berlarian, panik menyelamatkan diri masiang-masiang.
Jejak tembakan peluru berupa lubang lubang di tanah, tampak seperti garis lurus di halaman sekolah.
Alhamdulillah, Tuhan masih melindungi kami, tak ada seorangpun juga yang terkena peluru. Kami sangat heran mengapa senjata LMG yang sudah dilatih cara
penggunaannya tidak digunakan untuk menembak pesawat pesawat terbang
itu.
Siangnya muncul pula kapal Perang Laut, di balik pulau Kereta, di teluk Painan tapi tidak manembak.
Saya yang sedang mamancing ikan di pantai Carocok, mengambil langkah
seribu pulang ke rumah sambil berteriak memberi tahu orang orang di
sepanjang jalan bahwa ada kapal perang di laut.
Barulah subuh besoknya mulai terdengar dentuman meriam dari arah pantai
dan suara tembakan senjata lainnya yang berlangsung hanya kira-kira
seperempat jam, dan tak lama kemudian sunyi. Setelah agak terang hari, kami coba ke luar rumah pergi ke jalan raya Painan. Terlihat banyak sekali berjejer kendaraan militer mulai dari jeep, truk, meriam dan panser memenuhi jalan raya.
Kami baru sadar tidak seimbangnya kekuatan tentara Pusat dengan pejuang
PRRI, makanya tidak ada terdengar perlawanan yang berarti. Semula saya mangira akan terjadi pertempuran hebat, mengingat sanjata
yang dimiliki PRRI hebat-hebat, tapi belum siap digunakan untuk
berperang. Alhamdulillah tidak ada korban, Painan dikuasai penuh.
Mungkin pak M.Natsir sudah tahu bahwa perlawanan dengan senjata tidak
akan menang, dan hanya akan menghancurkan nagari kita saja. Jadi cukup dengan gerakan moral sajo. Itulah sedikit kenangan saya masa PRRI.
Pesisir Selatan adalah daerah yang terakhir dibebaskan dari kekuasaan PRRI, pada
tahun 1959 yaitu sekitar bulan September. Bulan Agustus masih diadakan upacara penaikan bendera 17 Agustus.
Penggerek bendera salah satunya adalah saya, inspektur upacara nya pak Wedana. Tidak disangka sabelum bendera sampai di puncak, salah satu tali pangikat lembaran bendera putus. Bendera tersangkut, tidak bisa naik, tidak bisa turun.
Keputusan cepat diambil panitia, dipanggillah anak Sekolah Rakyat (kini SD) untuk memanjat. Akhirnya bendera bisa naik penuh.Tapi muncul peristiwa baru , ketika akan turun celana anak SR melorot karena putus kancingnya. Peserta upacara susah menahan geli untuk tertawa.
Apakah ini pertanda PRRI sudah salah jalan ? Orang tua saya berdua adalah guru. Keadaan pegawai waktu itu salama 1 tahun sangat sengsara sekali kondisinya tidak menentu, tidak bergaji. Sebagai anak laki laki yang tinggal di Painan, saya menjadi tulang punggung keluarga. Kakak laki laki saya kuliah di UGM Jogja, sedangkan kakak perempuan yang tertua kuliah di PGSLP di Bukik Tinggi. Kakak nomor dua di SGKP Padang, kemudian pindah ke Jakarta.
Untuk makan sahari-hari diusahakan dapat dari sekeliling, beras dikirim dari kampung. Bahan bakar diambil dari kayu kayu kering di belukar bukit Langkisau, dekat rumah. Buah kelapa diambil dari kebun milik papa di Salido, lalu dibawa memakai sepeda. Di belakang rumah ada sawah berawa-rawa, yang saya tanami dengan lalidi alias kangkung. Ikan Puyu ditangguk di sepanjang banda yang kebetulan ada di sebelah
rumah atuk Siangnya saya pergi memancing ke pantai ataupun ikut menarik
pukat nelayan. Inilah sekilas pengalaman saya di masa PRRI, tidak mungkin saya melupakannya. Pada tahun pergolakan, perlawanan tentara PRRI terjadi di tempat tempat strategis di sepanjang jalan menuju Painan dari Padang.
Begitu pula di sepanjang jalan dari Painan menuju Kerinci. Ketika itu kota Kerinci termasuk Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci. Kota Painan tampaknya memang tidak strategis untuk melakukan perlawanan. Kalaupun terjadi tentu banyak korban. Akhir bulan Desember 1959 saya diminta oleh kakak untuk pindah ke Jakarta.Dari Painan naik bis ke Padang dan disambung naik kapal laut Bogowonto di Taluak Bayua. Saya curhat kepada kakak, tidak tahan lagi di intimidasi oleh anak anak
PKI dan OPR/Pemuda Rakyat, karena papa merupakan tokoh Masyumi dan
Muhammadiyah.
6 Maret 2013
______________________________
Disalin dari: http://prri.nagari.or.id/celana.php