CTS #115 : BERCERITA TENTANG NAGARI MAEK, NAGARI TERTUA DI LIMO PULUAH KOTO[1]
Gambar: Winny Marlina[/caption]
Ciloteh Tanpa Suara | Kemarin saya kedatangan tamu anak muda bernama Mutiara Fransiska asal dari Nagari Maek Kecamatan Bukik Barisan Kab. Lima Puluh Kota. Kami berciloteh bersuara dengannya.
“Selamat buat ananda Mutiara Fransiska lulus Program Studi S2 Kajian Sejarah Universitas Andalas “ujar saya menyapa pertama kali saat datang kerumah.
“Terimakasih engku, untuk itu kami bertambah semangat untuk mengkaji sejarah kampung kami, Maek sebagai Nagari Tertua “ Ujarnya.
“Jika tiara mengkaji Maek berdasarkan Tambo tidak akan selesai penelitiannya, tetapi dikaji dengan arkelogis, linguistis, letak wilayah, kenapa Menhir itu ada di nagari Maek dan mengumpulkan uji karbon, mungkin bisa pendekatan melalui itu. Uji golongan darah kenapa di Nagari Maek banyak golongan dari A dan AB seperti ras Mongoloid atau tubuhnya pendek-pendek seperti Tiara ini perlu juga dikaji. Oh ya, apa yang Tiara ketahui tentang arti Maek atau Mahek ?” Tanya saya.
“Ada yang mengartikan dari Kata “memahat” batu untuk menhir, ada juga yang mengartikan nama ikan yang ada di [sungai] Batang Maek “ jawab Tiara.
Kemudian saya memperlihatkan peta zaman Belanda bertahun 1880 yang berjudul “Kaart Toedjoh Loera, Siliekie en Koto Lawas en Mahi en Kampor Nan Sambilan”. Disitu dijelaskan bahwa tulisannya “Mahi” bukan “Maek” atau Mahat”. Pada zaman Belanda, Mahi merupakan masuk wilayah Onderafdeelingen Puadata dan Mahi dari wilayah Afdeelingen L (50) Kota, dengan tiga kelarasan, yaitu :
Onderafdeelingen Puadata dan Mahi:
1. Kelarasan Kota Lawas-Mahi, terdiri 8 nagari (Koto Tinggi, Baruah Gunuang, Sungai Naniang, Koto Tangah, Banja Laweh, Ampang Gadang, Koto Gadang, Koto Tinggi )
2. Kelarasan Suliki , terdiri 6 nagari ( Suliki, Limbanang, Sungai Rimbang, Talang Anau, Pamdam Gadang , Kurai )
3. Kelarasan Kapor nan Sambilan .
Dari peta terlihat luasnya Mahi dahulunya terdiri dari tiga (3) Nagari: Ampang Gadang, Koto Gadang dan Koto Tinggi. Ohya tahukah Tiara arti dari Mahi ?. “tanya saya.
“Belum tahu” jawabnya singkat
“Mahi adalah bagian dari bahasa Sansekerta selama berabad-abad. Ini adalah nama lain untuk Bumi, dewa perempuan Hindu di Bumi. Jadi, dapat artinya sebagai “Dewi Bumi”. Mahi juga nama sebuah desa di Allahabad, India. Mahi juga nama sungai di Vindhyas dan mengalir melalui India Barat. Jadi boleh dikatakan kampung Tiara adalah “Dewi Bumi” mana tahu Nagarimu yang dikunjungi I Tsing (635 - 713) biksu Buddha Tionghoa yang berkelana lewat laut ke India yang mengatakan dia pernah singah dan belajar pada sebuah nagari yang pada jam 12 siang matahari tepat diubun-ubunnya, arti kata sudah pasti daerah Khatulistiwa dan Maek adalah nagari yang dilalui Kahatulistiwa. Itu tugas Tiara selanjutnya untuk menelitinya “terang saya
“Asik juga berdiskusi sejarah dengan engku Saiful Guci, tidak berlatar belakang pendidikan sejarah tetapi lebih paham dengan Sejarah Nagari Maek “ ujar Tiara.
“Berdiskusi itu harus dengan bahan, buku adalah jendela dunia. Walaupun buku diperpustakaan saya, yang saya kumpulkan sejak tahun 1985 terbakar habis sebanyak 5.000 judul pada Februari 2023 tahun lalu, tetapi apa kata Tan Malaka “Sepanjang toko buku masih ada, selama itu juga pustaka dapat dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan bisa dikurangi”.
Maka banyaklah membaca supaya bisa menjelajah dunia dengan alam pikiran. Untuk itu, mulai sekarang Tiara harus banyak membaca penelitian dari Boedhisampurno, S 1991.” Sisa Manusia dari Mahat dan Belubus, Sumatera Barat. Pada ekskavasi arkeologis yang dilakukan di situs megalitik Ronah, Bawah Parit, Belubus berhasil ditemukan rangka manusia dari penggalian menhir di lokasi tersebut. Di Bawah Parit dan Belubus ditemukan rangka manusia yang berorientasi hadap barat laut – tenggara, sementara di Ronah sebagian berorientasi timur laut – barat daya, dan sebagian lagi berorientasi utara – selatan. Jenis rangka manusia tersebut dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid yang mengandung unsur Austromelanesoid yang diperkirakan hidup 2000-3000 tahun lalu, sebuah misteri yang perlu dipecahkan oleh Tiara.
Menurut Kern dan Heine Geldern, seperti yang dikutip Soekmono “ Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia”. Jakarta, 1973. Migrasi ras Mongoloid dari daratan Asia ke Nusantara telah berlangsung dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama mulai pada masa neolitikum yang membawa budaya kapak bersegi terjadi sekitar 2000 SM yang oleh para ahli digolongkan sebagai kelompok Melayu Tua (Proto Melayu), sementara itu gelombang kedua muncul pada zaman logam yang membawa kebudayaan Dongson yang dimulai 500 SM, digolongkan sebagai kelompok Melayu Muda (Deutro Melayu). Soekmono mengatakan bahwa pada zaman logam ini disamping kebudayaan logam, juga dibawa kebudayaan megalitik (kebudayaan yang menghasilkan bangunan dari batu-batu besar) sebagai cabang kebudayaan Dongson.
Dengan ditemukannya rangka manusia tersebut telah memperkuat teori bahwa telah terjadi migrasi ras Melayu Purba (yang berbahasa Austronesia) ke Luhak Limo Puluah. Oleh sebab itu barangkali kita sepakat bahwa nenek moyang orang Luhak Limo Puluah (bangsa Minangkabau) yang berasal dari daratan Asia, yang telah datang ke wilayah ini mulai sejak zaman pra-sejarah dapat digolongkan ke dalam Melayu Muda (Deutro Melayu). Sebagian diantaranya mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten Limapuluh Kota sekarang. Beberapa menhir yang ada ditemukan disekitar Nagari Maek-Kecamatan Bukik Barisan, Suliki, Guguak , Mungka, Pangkalan, dan Kapur Sembilan menjadi saksi bisu gelombang kedatangan nenek moyang tersebut yang perlu Tiara teliti terus.
Untuk Linguistis cari hasil penelitian Prof Nadra “Mahek Daerah Pertama Yang Didiami oleh Orang Minangkabau Berdasarkan Bukti Linguistis: Kajian Awal, 1999. Jika masih ada bukunya beli dan lebihkan untuk saya satu buah.
Tiara harus melanjutkan penelitian ini dengan mengumpulkan bahasa kuno di Nagari Mahek. Biasanya bahasa kuno ini masih ada dalam Mantra (manto) atau “capak-capak baruak” para dukun atau sebutan Urang Gunuang di Nagari Maek karena mantonyo beda, mana tahu berbahasa Austronesia kuno. Walaupun para dukun ini sudah banyak yang meninggal tetapi anak dan kemanakannya masih banyak yang manaruah manto tersebut “saran saya.
Kami berpisah sekitar pukul lima petang, semoga lahir ahli sejarah kedepan dari Nagari Maek Lima Puluh Kota. Seperti mamak Zulkarnaini Mamak
------------
Jangan lupa lihat catatan saya “Nagari Mahek Nagari 1.000 Menhir” yang saya tulis 30 September 2012 : atau klik DISINI
Saiful Guci Dt. Rajo Sampono | Pulutan Kamis 15 Agustus 2024
==========
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Dalam tulisan ini digunakan dua istilah; Luhak atau Limo Puluah Koto saja dan Kabupaten Limapuluh Kota. Walaupun kata kedua merupakan pemelayuan dari kata pertama namun keduanya menunjuk kepada identitas yang berbeda. Luhak Limo Puluah merujuk kepada wilayah kebudayaan yang wilayahnya pada masa sekarang berada di Kabupaten Limapuluh Kota dan sebagian Provinsi Riau. Sedangkan Kabupaten Limapuluh Kota merujuk kepada wilayah administrasi moderen yang berada di bawah Provinsi Sumatera Barat.