[caption id="" align="aligncenter" width="720"] Gambar: http://3.bp.blogspot.com/[/caption]Sitti atau Siti pernah digunakan sebagai panggilan kehormatan yang padanannya sama dengan “Nona” oleh sebagian masyarakat Minangkabau. [Catatan Kaki No. 30 dalam Jeffrey Hadler. Sengketa Tiada Putus. Freedom Institut. Jakarta, 2010. Hal.252] Kemungkinan digunakan oleh masyarakat Minangkabau di pesisir hal mana panggilan ini sangat lazim pada masa dahulunya di Bandar Padang.
Mungkin ada diantara tuan nan bertanya kenapa kami kerap menggunakan kata tuan, engku, rangkayo, serta encik. Bagi orang tua kita nan hidup di masa-masa sesudah kemerdekaan maka mereka akan tiada asing dengan sebutan tersebut sedangkan bagi kita sekarang sudah terbiasa dengan panggilan Bapak & Ibu.
Tuan merupakan kata panggilan resmi untuk para pembesar kerajaan dan pada masa kolonial digunakan untuk memanggil para pejabat kolonial. Namun dalam keseharian kata Tuan menjadi kata ganti untu Uda yang pada masa sekarang sangat lazim digunakan. Kata Uda berasal dari kata Udo yang merupakan kata panggilan yang berasal dari Bandar Padang. Adapun di darek lazim digunakan kata "Tuan".
Engku, merupakan kata panggilan untuk kaum lelaki yang digunakan secara resmi sebagai panggilan kehormatan. Kata ini berada di bawah kata "Tuan" apabila dilihat dari orang yang dipanggil karena panggilan "Tuan" hanya untuk pembesar kerajaan maka kata Engku untuk pembesar digunakan sebagai panggilan untuk pembesar di tingkat nagari. Misalnya Engku Datuk, Engku Bendahara, Engku Ketua, Engku Laras, Engku Penghulu Kepala, Dan juga digunakan sebagai panggilan untuk orang lelaki dewasa yang baru kita kenal sebagai wujud penghormatan dan rasa segan. Panggilan ini digunakan untuk lelaki yang sudah menikah apabila lelaki itu belum menikah maka dipanggil dengan panggilan Engku Muda. Engku demikian biasa ditulis namun dalam pengucapan keseharian masyarakat Minangkabau ialah "Angku".
Rangkayo atau Rang Kayo yang berasal dari kata Urang Kayo (Orang Kaya). merupakan panggilan penghormatan untuk sekalian kaum perempuan yang sudah menikah di Minangkabau. Hal ini berangkat dari anggapan dalam adat bahwa sekalian Kaum Perempuan di Minangkabau ialah Orang Kaya karena atas nama merekalah sekalian harta pusaka yang banyak itu. Lain dengan masa sekarang yang harta pusaka sudah banyak dijual-jual sesuka hati. Adapun bagi perempuan yang belum menikah maka akan dipanggil dengan panggilan Encik.
Encik, digunakan untuk memanggil perempuan yang belum menikah. Berlainan dengan orang Malaya (Tanah Semenanjung/ Malaysia) yang menggunakan panggilan ini untuk lelaki.
Panggilan Rangkayo mulai menghilang dimasa Kolonial Jepang dan mungkin seiring dengan itu panggilan-panggilan lainpun mulai ikut menghilang. Dimasa-masa tahun sembilan puluhan panggilan Tuan masih terdengar oleh kami yang acap dipandankan dengan Nyonya namun panggilan itu mulai menghilangkan digantikan dengan Bapak dan Ibu.
Dari tulisan di atas dapat kita ketahui bahwa di daerah pesisir Minangkabau dikenal panggilan Siti sebagai panggilan kehormatan bagi kaum perempuan berada (bangsawan) dan kini agaknya panggilan itupun sudah mulai raib dari perbendaharaan bahasa orang sekarang.
Sebenarnya masih ada satu panggilan yang sudah lama hilang yakni Puti yang merupakan panggilan kehormatan bagi kaum bangsawan terutama ahli kerajaan di Minangkabau pada masa dahulu atau setidaknya bagi keluarga yang masih memiliki pertalian dengan Pagaruyuang. Puti mungkin sama dengan Puteri dan padanannya ialah Tuan.
Demikianlah sejauh pengetahuan kami tuan, engku, rangkayo, serta encik sekalian..