[caption id="" align="aligncenter" width="1200"] Gambar: https://mir-s3-cdn-cf.behance.net[/caption]Pemakaian puisi, khususnya syair, membedakan masukan Minangkabau ke Poetri Hindia. Tidak ada usaha untuk meniru bentuk-bentuk prosa Eropa. Perempuan-perempuan Minangkabau – terlatih dalam silat lidah – percaya diri dan nyaman dengan gaya puisi Melayu Tradisional. Mereka menulis dalam sajak dan menyiratkan maksud mereka secara akrostik dan dalam metafora. Perempuan-perempuan ini sangat sadar bahwa masyarakat mereka secara mendasar berbeda dengan masyarakat Jawa.
[Jeffrey Hadler. Sengketa Tiada Putus. Freedom Institut. Jakarta, 2010. Hal.252-253]
Dunia kepenulisan sudah lama menjadi bagian dari jiwa dan kepandaian orang Melayu, terutama sekali di Minangkabau. Banyak pujangga (sastrawan) yang dilahirkan oleh negeri ini pada masa dahulu. Namun kini agaknya Minangkabau mulai mengalami proses kemandulan karena anak-anaknya tak lagi dibesarkan oleh dirinya melainkan oleh orang lain.
Syair apakah itu sajak, pantun, gurindam, dan lain sebagainya sudah menjadi kebiasaan bagi orang Minangkabau pada masa lalu. Kepandaian dalam berpantun, membuat perumpamaan, dan bersajak sudah menjadi kebiasaan sehari-hari dalam percakapan. Namun kini, keadaan nan lainlah yang berlaku.
Orang Minangkabau pada masa sekarang tak lagi bangga dengan diri dan kebudayaan negerinya. Mereka lebih banyak berkiblat ke Betawi, apa yang sedang digemari di sana maka akan digemari pula di Minangkabau. Anak-anak Minangkabau telah tumbuh menjadi anak yang tanpa jati diri, tak memiliki kepercayaan diri, dan terkungkung dalam keseragaman yang disebarkan dari Betawi.
Mereka tak lagi memiliki kemapuan berfikir yang kritis, melainkan ikut saja apa kata corong dari Betawi. Mereka takut untuk berbeda dari orang lain, takut ditertawakan dan mendapat julukan "kampungan".
Akankah sastra-sastra Melayu yang ada di Minangakabau akan hilang begitu saja tanpa ada yang mewarisi?