Rubrik Minang saisuak kali ini menurunkan foto Mohammad Hatta dan tiga kawannya yang baru dibebasakan dari penahanan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda terkait dengan aktifitas mereka dalam Perhimpunan Indonesia (De Indonesische Vereeniging).
Seperti telah diuraikan oleh Harry Poeze dalam bukunya, Di Negeri Penjajah(2008:207-213), setelah Perhimpunan Indonesia (PI) berada di bawah kepengurusan Hatta dan kawan-kawan sejak awal 1923, perkumpulan pelajar Indonesia di Negeri Belanda itu makin radikal. Mereka makin tegas menuntut kemerdekaan Indonesia. Hal ini telah membuat Penasihat Pelajar Indonesia, L.C.Westenenk, yang diberi otoritas oleh Menteri Daerah Jajahan untuk mengawasi para pelajar Indonesia di Belanda, merasa khawatir. Westenenk terus memata-matai Hatta dan kawan-kawannya. Hal itu menuai kritik dari banyak pihak, antara lain dari mantan Residen Sumatra Barat, Le Febvre, dan juga inteletual pribumi Dr. Abdoel Rivai (lihat bukunya, Student Indonesia di Eropa, Weltevreden: N.V. Electr. Drukkerij & Uitgevers Mij. Bintang Hindia, 1928).
Keadaan ini disebabkan oleh beberapa hal: 1) tulisan-tulisan Hatta dan kawan-kawan dalam majalah Indonesia Merdeka, orgaan PI, terkesan makin radikal. Tuntutan kemerdekaan Indonesia makin dinyatakan secara eksplisit; 2) Keterlibatan Hatta dalam Kongres Pertama Menantang Imperialisme di Brussel pada bulan Ferruari 1927 yang diprakarsai oleh tokoh komunis Jerman Münzenberg; 3) tuduhan bahwa Hatta dan kawan-kawan dipengaruhi oleh paham komunis yang sangat anti penjajahan/imperialisme yang disuntikkan oleh rekan-rekannya yang belajar di Rusia (Semaun dkk.).
Tanggal 10 Juni 1927 polisi Belanda melakukan penggeledahan di rumah para pemimpin PI dan menyita berbagai dokumen. Rumah Hatta juga digeledah, tapi waktu itu ia sedang berada di luar Belanda (di Swiss untuk mendampingi mahasiswa Soemadi Sastrodihardjo dirawat di sana karena sakit keras terkena TBC dan akhirnya meninggal; di Paris untuk menghadiri kongres Ligue Internationale des Femmes pour la Paix et la Liberté [Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan]).
Ketika Hatta kembali ke Belanda, ia dan tiga orang kawannya (Ali Sastroamidjojo, Abdoelmadjid Djojoadhinigrat, dan Nazir Pamontjak) segera ditahan oleh polisi. Peristiwa itu terjadi pada 24 September 1927. Mereka segera dijembloskan ke dalam penjara di Den Haag.
Hatta dkk. baru disidangkan pada bulan Maret 1928. Hatta dituntut hukuman penjara selama 3 tahun; Pamontjak 2,5 tahun; dan Sastroamidjojo dan Djojoadhinigrat masing-masing 2 tahun (lihat: Het volk:dagblad voor arbeiderspartij[Amsterdam], 08-03-1928; Het Vaderland: staat en letterkundig nieuwsblad [’s-Gravenhage], 08-03-1928).
Partai Belanda SDAP (Social-Democratische Arbeiderspartij) yang bersimpati kepada perjuangan bangsa Indonesia di Belanda menggalang dana dan simpati publik dan juga mengirim dua pengacara untuk mendampingi Hatta dkk.: J.E.W. Dyus, anggota Majelis Rendah parlemen Belanda, dan pengacara Mr. Mobach. Hatta dkk. pun mengajukan pembelaan di pengadilan. Tim pembela pun mengajukan pembelaan yang mengesankan (Mr. Dyus menghabiskan waktu 4 jam untuk membacakan pidato pembelaannya).
Akhirnya Hatta dan tiga rekannya dibebasakan. Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada mereka (oleh Westenenk) tidak terbukti. Foto di atas mengabadikan detik-detik Hatta dkk. dinyatakan bebas seusai sidang pengadilan terhadap mereka. Dari kiri ke kanan: Pengacara Mr. Mobach, Nazir Pamontjak (berkumis), Abdoelmadjid Djojoadhinigrat, Hatta, Ali Sastroamidjojo dan istrinya, Titi Roelia, dan Mr. J.E.W. Duys.
Demikianlah sekelumit kisah perjuangan empat pemuda Indonesia di Negeri Penjajah, yang, langsung atau tidak, telah menambah energi bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. (Sumber foto: Leeuwarder courant[Leeuwarden],12-03-1928).
Suryadi – Leiden University, Belanda / Singgalang, Minggu 9 Juli 2017
_________________________
Disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri: https://niadilova.wordpress.com