Tulisan ini disalin dari blog; aswilblog.wordpress.com
[caption id="" align="alignright" width="480"] RSCM Dahulu [Pict: Disini][/caption]Artikel ini disusun untuk mengenang salah satu diantara tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang agak terlupakan selama ini dan telah meninggalkan kita 22 tahun yang lalu.
Nama dr. Abdul Halim mungkin tidak terlalu dikenal oleh generasi muda sekarang. Dokter spesialis THT ini disebut oleh Rosihan Anwar sebagai politikus kesasar. Betapa tidak? Tahu-tahu karena situasi dan panggilan perjuangan kemerdekaan, ia terlontar ke gelanggang politik dan berperan sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dari Oktober 1945 hingga Juli 1950. Lalu Januari 1950 hingga September 1950 menjadi Perdana Menteri RI di Jogjakarta (era RIS) dan setelah itu diangkat menjadi Menteri Pertahanan NKRI yang pertama (di masa Perdana Menteri Natsir). Namun ternyata beliau lebih mencintai profesinya sebagai dokter sehingga sisa masa hidupnya dihabiskan di dunia kesehatan.Untuk mengenang jasa-jasa almarhum, dr. Abdul Halim dinobatkan oleh Ikatan Alumni FKUI sebagai salah satu dari 3 tokoh Salemba 6 (FKUI) yang memiliki nilai kejoangan yang patut diteladani. Dua tokoh lainnya adalah dr. Abdurrahman Saleh (pendiri RRI dan perintis AURI) dan dr. Darmasetiawan, yang pernah menjadi Menteri Kesehatan dalam kabinet Sjahrir dan direktur kedua CBZ (kini RSCM).
Dibawah ini adalah sepotong kisah dr. A. Halim di RSUP Jakarta yang disarikan dari buku sejarah lisan terbitan Arsip Nasional R.I. yang berjudul Diantara Hempasan dan Benturan, kenang-kenangan dr. Abdul Halim 1942-1950.
Menjelang Jepang masuk ke Indonesia, Halim sudah berprofesi sebagai dokter dan bekerja di RSUP Jakarta. Direktur rumah sakit yang sebelumnya warga negara Belanda (dr. Bochart) digantikan dengan Prof. Dr. Asikin (almarhum) pada bulan Desember 1942. Bulan Juli 1943 dr. Halim diangkat sebagai Wakil pemimpin kedua, dibawah Prof. Asikin.
Pengangkatan dr. Abdul Halim sebagai Wakil Pimpinan Kedua Rumah Sakit Umum Negeri (sekarang RS Cipto Mangunkusumo) di Jakarta pada tanggal 28 Juli 1943
Selang setahun Jepang berkuasa, Prof. Asikin digantikan oleh orang Jepang dan Halim ditawarkan untuk menjadi direktur di Madiun, tapi ia menolak, memilih untuk tetap di Jakarta. Pada masa itu Jepang mulai menyebarkan pengaruhnya termasuk di lingkungan rumah sakit, sehingga setiap orang diharuskan kirei(memberi hormat) setiap kali bertemu di jalan-jalan lorong di rumah sakit. Halim yang tidak suka dengan cara-cara Jepang malah menganjurkan kepada kolega dokternya untuk menghindar saja jika berpapasan dengan Jepang supaya tidak usah kirei.
Akhirnya Halim dipanggil oleh Prof. Itagaki (Dekan Fakultas Kedokteran) yang berkata: “Sebetulnya tanggal 29 April ini dr. Halim ini akan mendapat bintang, sebagai seorang muda yang sudah bisa memimpin rumah-sakit. Tapi karena kelakuannya anti Jepang, maka tidak jadi. Saudara beruntung masih ada saya. Kalau tidak, saudara akan ditangkap.”
Namun Halim semakin intensif mengikuti pertemuan rutin dengan beberapa tokoh perjuangan, antara lain dengan Prof. Sutomo yang belakangan mengenalkannya dengan Sutan Sjahrir di jalan Tambak 12 Manggarai, rumah Prof. Sutomo Tjokronegoro.
Sebagai salah satu pimpinan di rumah sakit, Halim secara rutin melakukan rapat dengan para dokter Indonesia. Informasi yang ia peroleh dari Sjahrir disampaikannya kepada dokter-dokter muda, dan juga kepada mahasiswa-mahasiswanya seperti Sudarpo dan Sudjatmoko.Beberapa kalangan menganggap bahwa Halim kemudian berperan sebagai semacam jembatan antara kelompok bawah tanah, seperti Sjahrir cs dengan Bung Karno dan Bunga Hatta. Tetapi anggapan tersebut dianggapnya tidak terlalu tepat. Seperti yang pernah diucapkan dr. Halim dalam sebuah wawancara, “saya dengan Bung Karno sejak dulu kadang-kadang clash. Dengan Bung Hatta saya bukan main rapatnya, hampir setiap hari bertemu di rumahnya. Salah satu buku menulis tentang saya, undergroundman during the Japanese occupation, yang tetap berhubungan dengan Sukarno-Hatta yang bergerak di atas tanah”.
Seperti diakuinya kemudian hari, peran itu dijalaninya tanpa disadari. Halim hanya ingin agar Bung Hatta sebagai salah satu pimpinan pergerakan dapat mengikuti dinamika dan perkembangan pergerakan yang terjadi.Sebagai pemimpin rumah sakit di masa pendudukan Jepang, dokter Halim pernah diminta untuk bertanggung jawab terhadap perkelahian dr. Subandrio dan dr. Darmasetiawan dengan Jepang. Tidak terlalu jelas apa persoalannya, namun kala itu dr. Darmasetiawan memang sudah mata gelap. Dr. Halim dipanggil oleh Prof. Itagaki dan diminta untuk bertanggung jawab. Lalu Halim berkata kepada dr. Darmasetiawan, “Darma you kerja terus, tapi jangan deh ngomong-ngomong. Baca buku aja, dan jangan membuat diri mata gelap begitu” yang dijawab, “saya Lim, apa aje you bilang. Tapi sebelum saya mati, satu Jepang harus saya bawa mati”. Sementara Subandrio diminta oleh Halim untuk pindah ke Bojong.Menurut dr. Halim kemudian hari, dokter-dokter muda kita sudah jijik melihat perilaku orang Jepang dan kalau berpapasan di jalan-jalan di rumah sakit, harus kirei (memberi hormat). Dan dokter Darmasetiawan yang keras, tidak mau kirei sehingga berkelahi dan untung segera dipisahkan oleh Prof. Sarwono.Ketika dr. Halim akan dicopot dari jabatannya di bulan September 1943, sekitar 50 dokter mengajukan permohonan kepada Djakarta Ika Daigakuco agar dr. Halim dipertahankan sebagai wakil direktur. Tetapi tidak digubris oleh Jepang, sementara dr. Halim memilih untuk pindah ke laboratorium.
Akhirnya Halim dipanggil oleh Prof. Itagaki (Dekan Fakultas Kedokteran) yang berkata: “Sebetulnya tanggal 29 April ini dr. Halim ini akan mendapat bintang, sebagai seorang muda yang sudah bisa memimpin rumah-sakit. Tapi karena kelakuannya anti Jepang, maka tidak jadi. Saudara beruntung masih ada saya. Kalau tidak, saudara akan ditangkap.”
Namun Halim semakin intensif mengikuti pertemuan rutin dengan beberapa tokoh perjuangan, antara lain dengan Prof. Sutomo yang belakangan mengenalkannya dengan Sutan Sjahrir di jalan Tambak 12 Manggarai, rumah Prof. Sutomo Tjokronegoro.
Sebagai salah satu pimpinan di rumah sakit, Halim secara rutin melakukan rapat dengan para dokter Indonesia. Informasi yang ia peroleh dari Sjahrir disampaikannya kepada dokter-dokter muda, dan juga kepada mahasiswa-mahasiswanya seperti Sudarpo dan Sudjatmoko.Beberapa kalangan menganggap bahwa Halim kemudian berperan sebagai semacam jembatan antara kelompok bawah tanah, seperti Sjahrir cs dengan Bung Karno dan Bunga Hatta. Tetapi anggapan tersebut dianggapnya tidak terlalu tepat. Seperti yang pernah diucapkan dr. Halim dalam sebuah wawancara, “saya dengan Bung Karno sejak dulu kadang-kadang clash. Dengan Bung Hatta saya bukan main rapatnya, hampir setiap hari bertemu di rumahnya. Salah satu buku menulis tentang saya, undergroundman during the Japanese occupation, yang tetap berhubungan dengan Sukarno-Hatta yang bergerak di atas tanah”.
Seperti diakuinya kemudian hari, peran itu dijalaninya tanpa disadari. Halim hanya ingin agar Bung Hatta sebagai salah satu pimpinan pergerakan dapat mengikuti dinamika dan perkembangan pergerakan yang terjadi.Sebagai pemimpin rumah sakit di masa pendudukan Jepang, dokter Halim pernah diminta untuk bertanggung jawab terhadap perkelahian dr. Subandrio dan dr. Darmasetiawan dengan Jepang. Tidak terlalu jelas apa persoalannya, namun kala itu dr. Darmasetiawan memang sudah mata gelap. Dr. Halim dipanggil oleh Prof. Itagaki dan diminta untuk bertanggung jawab. Lalu Halim berkata kepada dr. Darmasetiawan, “Darma you kerja terus, tapi jangan deh ngomong-ngomong. Baca buku aja, dan jangan membuat diri mata gelap begitu” yang dijawab, “saya Lim, apa aje you bilang. Tapi sebelum saya mati, satu Jepang harus saya bawa mati”. Sementara Subandrio diminta oleh Halim untuk pindah ke Bojong.Menurut dr. Halim kemudian hari, dokter-dokter muda kita sudah jijik melihat perilaku orang Jepang dan kalau berpapasan di jalan-jalan di rumah sakit, harus kirei (memberi hormat). Dan dokter Darmasetiawan yang keras, tidak mau kirei sehingga berkelahi dan untung segera dipisahkan oleh Prof. Sarwono.Ketika dr. Halim akan dicopot dari jabatannya di bulan September 1943, sekitar 50 dokter mengajukan permohonan kepada Djakarta Ika Daigakuco agar dr. Halim dipertahankan sebagai wakil direktur. Tetapi tidak digubris oleh Jepang, sementara dr. Halim memilih untuk pindah ke laboratorium.
Permohonan para dokter di RSUP Jakarta kepada Djakarta Ika Daigakuco agar dr. Abdul Halim tetap dipertahankan sebagai Wakil Pemimpin Kedua Rumash Sakit Umum tersebut.
Daftar nama dokter-dokter yang menandatangani surat permohonan tersebut adalah:
1. Prof. Dr. Asikin Widjajakoesoema
2. Aulia
3. Bahder Djohan
4. Achmad Ramali
5. Diran
6. Sie Boen Liep
7. Oey Eng Tie
8. Tan Wie Oen
9. Moh. Thahir
10. Geno Parsambelan Fand
11. Dajat Hidajat
12. Radja Kamaroedin
13. Soegiri
14. Soeradi
15. Sri Katidjah Moersadik
16. Yap Tjay Heng Hie
17. Slamet Iman Santoso
18. Kho Tjok King
19. Soetan Assin
20. Oetama
21. Dr. Aminoedin Pohan
22. Pamenan Harahap
23. Abdul Azis Saleh
24. Liem No Seey
25. Oey Oen Bio
26. Sarwono Prawirohardjo
27. Goelam
28. Iman Soejoedi
29. Hanifah Wiknjosastro
30. Esmirah
31. Prof. Dr. Soemitro Hadibroto
32. Marsetio
33. Isak Salim
34. Moh. Wonojoedo
35. Dr. Sartono Kertopati
36. Goenawan
37. Djoewari
38. Djua Djing Hwan
39. Khouw Pok Goan
40. Hendarmin Sastrosoepono
41. Moewardi
42. Liem Toan Lien
43. Abdoelkadir Mangkoesoebroto
44. Nahar Jeni
45. Slamet
46. W. Z. Johannes
47. Soehirman
48. Soetjipto Poerwosoeprodjo
49. Soekasah Soerapoetra
50. Soetomo Tjokronegoro
51. Dr. Lie Kian Joe
52. W. M. Tamboenan
53. Soedjati Soemodiardjo
Belakangan setelah lengser dari kegiatan politik, dr. Abdul Halim menjadi direktur RSUP Jakarta dari Juli 1951 hingga Juli 1961. Setelah itu beliau menjadi Penasehat bagian THT RSUP (RSCM), Inspektur Jenderal RSCM (1965-1987) dan Penasehat Pimpinan FKUI dari tahun 1970 hingga akhir hayatnya.
Prof. Dr. Slamet Iman Santoso (kiri) dan dr. A. Halim dalam rapat penerimaan mahasiswa baru UI di tahun 1980 an.
Sebagai pimpinan, dr. Halim terkenal dekat dan penuh perhatian terhadap karyawan rumah sakit dan perawat. Ia pernah menolak permintaan Jepang untuk mengirimkan perawat-perawat bagi pasien Jepang di barak kelas (Pav VI) karena ditengarai hanya untuk main-main. Sekali waktu dokter Halim menjual raket tennis kesayangannya agar dapat membelikan kecap untuk kebutuhan asrama putri.Ciputat, 27 Oktober 2009
https://aswilblog.wordpress.com/2009/10/27/mengenang-kiprah-dr-a-halim-di-rscm/