Tulisan ini disalin dari tulisan Suryadi Sunuri di blognya niadilova.wordpress.com.
One of street in Bukit Tinggi on colonial time, the name of this street was President Street. This picture taken from front of Bukittinggi Local Regional Assembly building.
Minang Saisuak #266 –Jalan Presidentslaan, Fort de Kock
Fort de Kock (sekarang: Bukittinggi) adalah tempat pelesiran. Kota ini dibangun Belanda untuk para pegawainya yang ingin menghirup udara dingin Eropa setelah kepanasan bekerja di ibukota Sumatra’s Westkust, Padang, yang menurut Parada Harahap dalam bukunya Dari Pantai ke Pantai (1926) panasnya minta ampun.
Foto ini dimuat di salah satu edisi 1928 majalah Pandji Poestaka. Mengutip keterangan pada foto kiriman Zakaria ini, dikatakan: “Inilah salah satoe dari pada djalan di Fort de Kock jang amat bagoes kelihatannya. Djalan-djalan dikota ini tidak datar semoeanja, melainkan ada jang toeroen naik seperti tampak djoega pada gambar di atas ini. Dibelakang kelihatan ada soeatoe djam, Djam Gadang kata orang disini. Djam itoe didirikan atas oesaha t. [tuan] Controleur H.R. Rookma]a]ker (sekarang soedah pindah), sedang atjoeannja (rangrangannja) boeatan toean Opzichter, seorang anak negeri”.
Sebagaimana telah sama kita ketahui, Jam Gadang selesai dibangun tahun 1926. Jam ini adalah hadiah Ratu Belanda Emma kepada Tuan Cotroleur Rookmaaker atas kesuksesannya menjadi administrator kolonial dan juga karena Ratu Emma berulang tahun. Arsiteknya “Opzichter, seorang anak negeri” yang dimaksud dalam keterangan di atas tiada lain adalah Yazid Rajo Mangkuto. Pembangunan Jam Gadang ini konon menghabiskan biaya 3.000 gulden, jumlah yang tergolong fantastis pada waktu itu (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Jam_Gadang#Sejarah; diakses 16-05-2016). Dalam foto ini tampak versi pertama bentuk puncaknya: berbentuk bulat dengan patung ayam jantan yang menghadap ke timur, sebelum diubah menjadi bentuk pagoda di Zaman Jepang dan bentuk gonjong rumah adat Minangkabau di Zaman Kemerdekaan sebagaimana dapat dilihat sekarang.
Tapi lihatlah cara orang Belanda menata kota. Jalan dibuat mengikuti kontur tanah. Pada jarak tertentu dibuat tempat berhenti yang memungkinkan pejalan kaki atau orang yang bersepeda bisa melepas lelah sesaat, sebelum melanjutkan perjalanan lagi. Hal ini masih tetap dilakukan oleh orang Belanda sampai sekarang di negeri mereka. Bila Anda berkunjung ke Belanda, Anda akan dapat menemukan bangku-bangku tempat duduk dalam jarak tertentu di sepanjang jalan, yang biasanya digunakan oleh orang-orang yang bersepeda untuk berhenti mengaso agak sebentar.
Dalam foto ini juga tampak trotoar yang disediakan untuk pejalan kaki. Foto ini betul-betul merepresentasikan cara orang Belanda yang sangat pintar dan efektif dalam membangun infrastruktur. Oleh karena itulah, Negeri Belanda yang kecil itu terasa lapang karena penggunaan tanah, juga di kota, ditata dengan baik.
Sayang sekali, warisan kolonial yang positif ini tidak ditiru, dilestarikan dan dimanfaatkan oleh bangsa kita. Akibatnya, struktur kota-kota kita kini semrawut, membuatnya menjadi tempat yang tidak nyaman untuk dihuni.
Suryadi – Leiden University, Belanda | Singgalang, Minggu, 12 Juni 2016 (Sumber foto: Majalah Pandji Poestaka, No. 50, Tahoen VI, 22 Juni 1928: 1)
disalin dari:
https://niadilova.wordpress.com/2016/06/13/minang-saisuak-266-jalan-presidentslaan-fort-de-kock/
tata kota belanda memang diakui bagus banget
BalasHapusItu nan hilang pada masa sekarang..
BalasHapus