Gambar: garuda daily |
FB A'AL - Daerah Mukomuko termasuk wilayah rantau Minangkabau atau dalam tambo Minangkabau disebut “ombak nan badabua” (ombak yang berdebur), yakni daerah sepanjang pesisir pantai barat dari Padang hingga Bengkulu Selatan. Daerah ini pernah menjadi bagian wilayah Kerajaan Inderapura yang berkedudukan di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat hari ini. Sejak masa kolonial Inggris, Mukomuko dipisahkan menjadi bagian administratif Bengkulu, sebagaimana yang telah berlangsung setelah kemerdekaan Indonesia.
Ada beberapa sumber yang menjelaskan mengenai kedatangan orang Minangkabau ke Mukomuko. Pertama, tulisan Sarwit Sarwono dkk. dalam bukunya “Sejarah dan Adat Istiadat Kabupaten Mukomuko”. Buku tersebut diterbitkan oleh Bapeda Kabupaten Mukomuko Tahun 2005. Sejarah kedatangan orang Minangkabau ke Mukomuko dikaitkan dalam memberikan nama asal usul nama Mukomuko. Masyarakat Mukomuko sebagaimana halnya masyarakat Rejang, Serawai, Pekal, dan Lebak di Bengkulu serta masyarakat lainnya di Nusantara, memiliki legenda tentang asal usul daerah mereka. Legenda asal usul nama tempat itu merupakan sejarah yang secara lisan dikembangkan serta disebarluaskan dari generasi ke generasi berikutnya dan diyakini kebenarannya sebagai suatu peristiwa nyata pada masa lampau. Dari cerita legenda pemberian nama asal usul nama Mukomuko itulah dijelaskan awal kedatangan orang Minangkabau ke Mukomuko.
Ada dua versi kisah sejarah asal nama Mukomuko yang dikaitkan dengan kedatangan orang Minangkabau ke Mukomuko. Kedua versi ini ada kesamaannya, tetapi ada pula perbedaannya. Kedua versi ini diyakini kebenarannya yang terjadi pada masa lampau. Versi pertama menyatakan bahwa penduduk Mukomuko pada mulanya bertempat tinggal di suatu daerah yang diberi nama “Padang Ribun ribun”. Penduduknya terdiri dari dua kelompok yang tergabung dalam 7 (tujuh) nenek antara lain:
1) Nenek bergelar Maharajo Namrah;
2) nenek bergelar Maharajo Terang;
3) nenek bergelar Maharajo Laksmana;
4) nenek bergelar Rajo Tiangso;
5) nenek bergelar Rajo Kolo;
6) nenek bergelar Koto Pahlawan; dan
7) nenek bergelar Rajo Mangkuto.
Para sesepuh kelompok ini membentuk suatu negeri dikepalai oleh penghulu adat dari seluruh suku yang ada yang disebut Datuk. Dalam menjalankan tugasnya, Datuk dibantu oleh kepala suku. Setelah beberapa tahun kemudian, muncullah sebutan untuk daerah negeri tersebut dengan sebutan “Teluk Kuala Banda Rami”. Sebutan ini diberikan oleh salah seorang pendatang dari Kerinci.
Karena nama Teluk Kuala Banda Ramai dibuat oleh kaum pendatang, maka para kepala suku mengadakan musyawarah di Padang Ribunribun untuk mencari nama yang sesuai bagi daerahnya. Sudah enam malam mereka bermusyawarah belum juga dapat kesepakatan nama yang mereka inginkan untuk daerah mereka. Akhirnya pada malam ke tujuh, mereka kedatangan tiga orang tamu dari Kerajaan Pagaruyung. Ketiga orang tersebut adalah: Paduko Rajo, Marajo Nan Kayo, dan Marajo Gedang. Salah seorang dari tamu tersebut bertanya kepada pemimpin musyawarah, yaitu Maharajo Namrah, tentang musyawarah yang tengah dilakukan dengan cara duduk berhadap-hadapan atau dengan cara duduk melingkar. Maharajo Namrah menjelaskan bahwa mereka sedang bermusyawarah mencari nama untuk daerah yang mereka tempati. Maharajo Namrah juga menjelaskan bahwa mereka sudah tujuh malam bermusyawarah dengan cara duduk melingkar berhadap-hadapan untuk menetapkan nama daerah mereka.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Maharajo Namrah, tamu tadi berkomentar:
“Berarti sudah tujuh malam kamu ini berhadapan muka (bermukamuka)”.
Mendengarkan ucapan tamu tersebut, serentak para kepala suku menjawab:
“Kalau demikian negeri ini kita beri saja nama ‘Mukomuko’”.
Sejak itulah Padang Ribunribun berubah nama menjadi “Mukomuko”.
Versi kedua mengisahkan bahwa pada awalnya Mukomuko bernama kerajaan “Talang Kayu Embun”. Tahun 1529 terjadi keributan antara kerajaan “Talang Kayu Embun” dengan Kerinci tentang batas kerajaan. Oleh karena itu, Sultan Firmansyah, Raja Inderapura, diperintah dari Pagaruyung untuk menyelesaikan atau bermusyawarah (bermukomuko) di rumah gadang Lunang yang dihadiri oleh:
1) Pemangku Lima dari Kerinci;
2) Depati Laut Tawa dari Mukomuko;
3) Sultan Muhammad Syah dari Inderapura;
4) Dan Penghulu Delapan dari Lunang.
Hasil musyawarah atau bermukomuko di rumah Gadang Lunang pada hari Senin, bulan Maret, 1529, adalah resminya nama Mukomuko dan batas Kerajaan Mukomuko dengan Kerinci.
Jika kita cermati dua versi sejarah asal nama Mukomuko seperti dikisahkan di atas, ada perbedaan dan kesamaan di antara keduanya. Kesamaannya adalah bahwa istilah Mukomuko merujuk kepada “musyawarah” yang dilakukan untuk mencari, menyepakati nama yang sesuai untuk daerah tempat tinggal mereka. Mukomuko yang secara harfiah berarti “berhadap-hadapan” atau berhadapan muka dengan cara duduk melingkar, sehingga satu sama lain saling berhadapan. Sehingga mereka memberi nama daerah tersebut dengan Mukomuko.
Bagaimanapun perbedaan dan kesamaan kedua versi tersebut, namun yang jelas kedua versi tersebut sama-sama menyebutkan bahwa pemberian nama Mukomuko adalah orang yang datang dari Minangkabau. Versi pertama yang datang dari Minangkabau adalah: Paduko Rajo, Marajo Nan Kayo, dan Marajo Gedang. Sementara versi kedua menyebutkan Sultan Firmansyah dari Kerajaan Inderapura. Karena kita tahu bahwa Kerajaan Inderapura adalah di bawah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung. Kalau merujuk kepada kedua versi tersebut, dapat diperkirakan abad-abad XIV atau bahkan abad XIII orang Minangkabau sudah masuk ke daerah Mukomuko. Demikian sejarah kedatangan orang Minangkabau yang pertama kali ke Mukomuko menurut beberapa versi yang diyakini oleh masyarakat Mukomuko.
Selain menurut dua versi tersebut, penulis juga mewawancarai beberapa orang ahli sejarah Mukomuko yang tinggal di Kota Mukomuko, antara lain Abdul Kadir. Abdul Kadir adalah Wakil Ketua BMA, ia juga salah seorang yang paham dengan sejarah Mukomuko. Berdasarkan pengakuan dari Abdul Kadir yang juga mengakui bahwa nenek moyangnya berasal dari Minangkabau, mengatakan kedatangan orang Minangkabau ke Mukomuko sudah berlangsung cukup lama dan tidak diketahui secara pasti tahunya. Karena daerah Mukomuko dalam sejarahnya adalah daerah taklukan Kerajaan Inderapura. Dalam sejarahnya, dari segi pemerintahan mulai dari abad ke-16 sampai dimekarkannya Mukomuko menjadi sebuah kabupaten ke wilayah Bengkulu, artinya dari segi administrasi pemerintahan, Mukomuko bagian dari wilayah Provinsi Bengkulu. Daerah rantau Minangkabau mulai dari Retak Hilir sampai ke Hurai. Jadi, Mukomuko itu bukan daerah rantau orang Minangkabau, tapi daerah sini memang daerah Minangkabau. Karena cerita “Sang Pati Lauk Tawa” adalah orang Minangkabau. Sang Pati Lauk Tawa yang berinisiatif mendirikan Kerajaan Anak Air atau Anak Sungai. Sang Pati Lauk Tawa, tidak bisa dipisahkan dari sejarah Mukomuko. Demikian Abdul Kadir mengungkapkan.
Di wilayah Mukomuko, dulunya terdapat Kerajaan Anak Sungai. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada abad ke-16 dan berpusat di Sungai Selagan. Wilayahnya membentang dari utara Sungai Manjuto hingga Air Urai di selatan. Penguasanya disebutkan sebagai "keturunan raja-raja Pariaman". Kerajaan ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Inderapura, yang wakilnya berkedudukan di Manjuto dengan menyandang gelar Raja Adil.
𝗦𝘂𝗺𝗯𝗲𝗿:
1) Ajisman. 2018. “Orang Minangkabau di Mukomuko dalam Perspektif Sejarah 1945-2003”. Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. 4(2): 939-941.
2) Gushevinalti. 2011. “Visualisasi Adat Asli pada Ritual Pernikahan dan Cilok Kai dalam Komik Kebudayaan sebagai Strategi Pewarisan Budaya Bagi Generasi Muda” (Thesis). Universitas Bengkulu.
3) Wikipedia.
𝗚𝗮𝗺𝗯𝗮𝗿:
1) Pakaian adat pengantin Mukomuko. Pengantin lelaki memakai suntiang. Tradisi pengantin lelaki memakai suntiang ini juga dijumpai pada masyarakat Minangkabau di Inderapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. (https://fitinline.com/.../pakaian-adat-masyarakat-bumi.../)
2) Rumah Adat Putri Beni Alam di Mukomuko dengan atap bergonjong khas Minangkabau. (sumber: Google)
3) Festival Tabut Besanding dan Arak Gedang. Tradisi tabut (tabuik) di Sumatra Barat dapat dijumpai di Pariaman.