Didirikan : 1568 M
Ibukota : Tanjung Pura.
Bahasa yang umum digunakan : Melayu.
Agama : Islam.
Pemerintahan : Monarki Kesultanan.
Keterangan :
FB Hasan Sanusiy - Kesultanan Langkat merupakan kerajaan Islam yang pernah memerintah di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sejak abad ke-16. Kesultanan Langkat menjadi makmur karena dibukanya perkebunan karet dan ditemukannya cadangan minyak di Pangkalan Brandan. Selain itu, kesultanan ini disebut sebagai negara monarki paling tua di antara monarki-monarki Melayu di Sumatera Timur.
Sejarah berdirinya
Kesultanan Langkat merupakan penerus Kerajaan Aru, yang hancur karena ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh. Pada tahun 1568 di kawasan yang kini disebut Hamparan Perak,[1] setelah berhasil menyelamatkan diri dari serangan Kesultanan Aceh, seorang panglima Deli bernama Dewa Shahdan mendirikan sebuah komunitas pada 1568. Komunitas tersebut kemudian berkembang yang menjadi cikal-bakal Kesultanan Langkat.
Nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura. Hanya saja, pohon itu kini sudah punah.
Dewa Shahdan memerintah Kesultanan Langkat dari 1568 hingga 1580. Setelah Raja Kahar meninggal pada 1673, takhta kerajaan jatuh kentangan putranya yang bernama Badiuzzaman. Pada masa Raja Badiuzzaman inilah, Langkat mulai menaklukkan daerah sekitarnya dengan cara-cara damai hingga ia meninggal pada 1750.
Raja Badiuzzaman kemudian digantikan oleh Raja Hitam, yang pemerintahannya diwarnai oleh serangan Kerajaan Siak. Raja Hitam yang mengungsi terpaksa mengungsi ke Deli, melakukan konsolidasi untuk mencari bantuan guna menyerang kembali Kerajaan Siak. Namun, ketika perjalanan hendak menyerang Siak, Raja Hitam meninggal pada 1818.
Setelah perang dengan Siak berakhir, pada 1855, Aceh menyerang Langkat yang saat itu dipimpin oleh Tuanku Sulan Haji Musa. Perang tersebut dimenangkan oleh Aceh, yang ditandai dengan pengakuan Tuanku Haji Musa atas gelar Pangeran Indra Diraja Amir sebagai pahlawan Aceh.
Masa Kolonial Belanda
Setelah selesai perang dengan Aceh, pada 1883, seorang administrator Belanda bernama Aeilko Zijlker Yohanes Groninger menemukan konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Dengan temuan itu, Tuanku Sultan Haji Musa kemudian memanfaatkannya untuk mengisi perekonomian Langkat.
Akan tetapi, pada 1892, kilang minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha eksploitasi mulai melakukan produksi massal. Berkat ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat menjadi kaya raya akibat pemberian royalti hasil produksi minyak dalam jumlah besar.
Bersama Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat menjadi salah satu negeri terkaya di Hindia Belanda saat itu. Ketika Kesultanan Langkat pada masa jayanya, Tuanku Haji Musa meninggal pada 1893, dan takhta kerajaan jatuh ke tangan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah (1893-1927), Langkat menjalin kontrak politik dengan Belanda pada 1907. Dalam perjanjian itu, batas wilayah Kesultanan Langkat ditetapkan meliputi Pulau Kumpei, Pulau Sembilan, Tapak Kuda, Pulau Masjid dan pulau-pulau kecil di dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei (Binjai), Kejuruan Selesei, Kejuruan Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.
Wilayah Langkat secara administratif dibagi menjadi tiga bagian :
- Langkat Hulu
- Langkat Hilir
- Teluk Haru
Terjadi perhelatan besar pada bulan November 1926, di mana Sultan Ahmad Sulaimanuddin dari Kesultanan Bulungan di Kalimantan Utara meminang putri Sultan Abdul Aziz yaitu Putri Lailan Syafinah. Oleh rakyat Langkat, Sultan Bulungan dikenal dengan nama Sultan Maulana Ahmad. Jarak antara Bulungan dan Langkat jika ditarik garis lurus mencapai sekitar 2.200 kilometer. Arsip Belanda juga mencatat sejumlah foto pernikahan keduanya di Tanjung Pura, yang juga dirayakan dengan tarian Suku Karo.
Pendudukan Jepang
Pengganti Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah adalah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah (1927-1948). Pada masa pemerintahannya, tentara Kekaisaran Jepang masuk dan membuat Belanda mundur. Sejumlah catatan menunjukkan penderitaan rakyat Langkat saat itu. Rakyat diperas dan diperbudak untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang hingga kemerdekaan Indonesia.
Masa Kemerdekaan Indonesia
Ketika proklamasi dibacakan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, kabar bahagia itu belum sampai ke Kesultanan Langkat. Baru pada Oktober, kabar kemerdekaan sampai ke Kesultanan Langkat dan rajanya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah, segera menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.
Setahun kemudian, bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial yang didukung pihak komunis pada 1946, Kesultanan Langkat terguncang kedaulatannya. Keadaan itu semakin diperparah setelah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah wafat pada 1948.[1]
Setelah era Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah, sultan di Langkat praktis kehilangan kekuasaan politiknya dan hanya bertahta sebagai Pemangku Adat dan Kepala Keluarga Kerajaan hingga sekarang.
Raja-raja Kesultanan Langkat
Dewa Shahdan (1568-1580)
Dewa Sakti (1580-1612)
Raja Kahar (1612-1673)
Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar (1673-1750)
Raja Kejuruan Hitam (1750-1818)
Raja Ahmad (1818-1840)
Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (1840-1893)
Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah (1893-1927)
Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah (1927-1948)
Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah (1948-1990)
Tengku Mustafa Kamal Pasha (1990-1999)
Tengku Dr Herman Shah (1999-2001)
Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad Shah al-Hajj (2001-2003)
Tuanku Sultan Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj (2003-sekarang)
===============
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Wikipedia
Di Tanjung Pura tempat kedudukan Sultan Langkat, dua orang puterinya diperkosa oleh kaum republiken. Demi menyelamatkan nyawa ayah mereka, mereka terpaksa bersedia melayani nafsu birahi Marwan dan Usman Parinduri. Kebiadaban mereka ini dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar, “.....kedua puteri itu meraung kesakitan dan setiap rintihan merupakan pisau sembilu menusuk jantung Sultan yang mendengarnya dari kamar sebelah.” Selengkapnya DISINI