Dalam perspektif masa kini, sebuah produk kebudayaan dipelajari sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Dan apabila menyebut tentang 'kebudayaan nasional' maka di republik ini mayoritas mengacu kepada produk budaya dari satu kelompok budaya tertentu. Kelompok budaya tersebut terletak di pulau utama yang menjadi pusat pengendali republik.
Pembelajaran sejarah di republik ini sendiri mengacu kepada sejarah dan kebudayaan di pulau utama yang tidak memiliki kaitan sejarah dan budaya dengan daerah lain di republik ini. Kalaupun ada maka itu dipaksakan untuk memperlihatkan hegemoni budaya tersebut atas budaya lain di republik kepulauan ini. Dengan mengacu ke wilayah imaginer 'kuno' yang mereka namai dengan 'nusantara' yang merujuk kepada kerajaan fiktif yang menurut mereka sebuah 'kemaharajaan' awal yang berhasil mempersatukan seluruh wilayah pada republik kepulauan ini dengan corak sentralistik.
Hal ini menyebabkan banyak orang daerah yang merupakan produk pendidikan pusat, memiliki kepercayaan diri yang rendah apabila mempelajari sejarahnya. Hampir seluruh wilayah diluar pulau utama menganut sistem yang berlainan dan berasal dari kelompok ras yang berbeda pula. Salah satu pola yang tampak ialah bentuk pemerintahan federasi yang jamak ditemui dibergagai wilayah di kepulauan ini.
Salah satunya di Minangkabau, dimana wilayah Kerajaan yang bernama Minangkabau merupakan federasi dari sekian ratus 'nagari'. Nagari dapat disamakan dengan 'polis' di Yunani yang diselenggarakan pemerintahannya oleh sekelompok penghulu. Penghulu memerankan fungsi legislator, eksekutif, dan yudikatif dengan pembagian yang jelas diantara mereka. Tidak dikenal pemimpin tunggal.
Ditingkat tertinggi juga tidak terdapat kepemimpinan tunggal, dimana dikenal Majelis Rajo Tigo Selo, tiga orang raja. Dibawahnya terdapat Majelis Basa Ampek Balai. Dan demikian seterusnya ke bawah.
Hal ini menyebabkan pola yang terdapat pada setiap nagari berbeda-beda. Baik itu pola pemerintaha, sosial, apalagi budaya. Sehingga setiap nagari tumbuh dan muncul dan corak ragamnya sendiri-sendiri menyebabkan Alam Minangkabau itu sendiri menjadi majemuk (plural). Dengan perbedaan inilah orang Minangkabau hidup turun-temurun dengan segala dialektika yang terjadi diantara mereka. Alam menjadikan mereka arif sekaligus memberikan solusi terkait setiap fenomena yang mereka temui sehingga keseimbangan di tengah perbedaan itu terjalin dan menjadi Adat di Minangkabau.
Salah satu dari sekian banyak perbedaan yang terdapat dalam tubuh masyarakat Minangkabau ialah perihal 'gala' atau gelar. Tersebutlah mamangan dalam adat Minang "Kaciak banamo, gadang bagala" (Kecil bernama, besar bergelar), namun tak semua nagari di Minangkabau menganutnya. Berikut kami sertakan kiriman pada salah satu FB beserta tanggapannya.
Siapa Gelar Kawan?
Banyak yang bertanya ke kami, terutama kawan-kawan sepermainan (masa kanak-kanak). Orang Minangkabau itu kecil bernama, besar bergelar. "Jadi apakah gelar kawan sekarang?" tanya kawan-kawan pada kami.
Termenunglah kami, karena banyak yang kami tanya ke sekeliling, kepada siapa sahaja yang bersua, hampir sama jawabannya "Karena kita orang Luhak Limo Puluah Koto, tidak bergelar, sebut nama sahaja langsung"
Karena kurang puas, kamipun bertanya kepada salah seorang mamak di kampung. Jawabnya singkat "Benar demikian kamanakan, karena kita orang Luhak Limo Puluah Koto, benar tidak memakai gelar. Tapi kalau hendak menjawab tanya dari orang, apakah dari orang Luhak Agam, Tanah Data, atau dari siapapun jua. Maka kamanakan boleh memakai gelar mamak dari pihak ibu ataupun ayah. Misalkan mamak dari ibu bergelar Datuk Paduko Jalelo, maka jadilah gelar kamanakan Sutan Paduko. Atau gelar mamak dari ayah ialah Datuak Kondo, maka boleh diambil gelar beliau menjadi Sutan Kondo.."
Maaf kalau ada salah dalam penafsiran.
Kiriman ini mendapat berbagai tanggapan di kolom komentar, beberapa kami lampirkan sebagai berikut:
@Syafri Antoni:
Kalau kami di Pariaman, bersuku ke ibu, bergelar ke abak (ayah). Suku diwarisi dari ibu secara matrilineal sedangakan gelar diwarisi dari ayah secara Patrilineal. Jadi, pabila ayah bergelar Sutan maka anaknyapun bergelar Sutan pula. Demikian pula halnya dengan gelar Bagindo, Sidi, serta Marah. Maka tersebutlah "Anak Sutan jadi Sutan, anak Sidi jadi Sidi, anak Bagindo jadi Bagindo"
Masing-masing gelar itu (sutan, sidi, bagindo, dan marah) ada nasabnya [asal-usul/sejarah] yang mengikut kepada sejarah pada masa dahulu.
- Gelar Sutan bernasab kepada raja-raja atau bangsawan dari Pagaruyuang yang ada di Rantau Pariaman.
- Gelar Sidi bernasab kepada keturunan Arab yang masuk ke Pariaman dimasa penyebaran agama Islam di Pariaman[1]
- Gelar Bagindo dan Marah bernasab kepada bangsawan-bangsawan Aceh yang ada di Pariaman dimasa Pariaman berada dibawah kekuasaan Kesultanan Aceh.[2]
Letak gelar sutan, bagindo, sidi, dan marah ialah dipangkal nama bukan diujung nama serupa yang berlaku di wilayah Luhak Nan Tigo. Umpamanya jika ayah Si Sulaiman bergelar 'Bagindo' maka jadilah ia bergelar Bagindo Sulaiman, demikian pula dengan gelar-gelar yang lain. Namun ada sumbangnya [keanehan/kerancuan] yang terjadi ketika seorang bergelar Bagindo menjadi sumando ke Darek (Luhak Nan Tigo). Sudah jelas menantu bergelar Bagindo, oleh keluarga isteri dipanggil Sutan jua.
Adapun gelar yang diwarisi menurut garis ibu di Pariaman ialah gelar Sako serupa gelar Datuak atau Rangkayo. Demikianlah kira-kira.
@Muhammad Zaki Bds:
Kami orang Luhak Limo Puluah Koto demikian pula, kampung kami bernama Batu Ampa, di kampung kami "Kecil bernama, besar diberi gelar". Diwaktu helat pernikahan, kami diberi gelar oleh bako, gelar kami Sutan Mudo, walaupun umur telah lebih dari setengah abad, tetap dipanggil Sutan Mudo jua.
@Joni Kusnadi:
Kalau kami dari Solok, selepas menikah, pada malam hari diadakan upacara adat "Batagak Gala:. Maka kami sandang gelar Rajo Bonsu yang merupakan gelar dari mamak kami ratusan tahun yang lalu.
Karena di paruik[3] kami jarang keturunan laki-laki, banyak gelar dari keluarga kami yang belum terpakai. Anggota keluarga laki-laki dalam paruik kami sekitar 150 tahun yang lalu, beliau merupakan mamak dari nenek kami, Rajo Lelo gelar beliau yang belum terpakai hingga kini. Adapun gelar yang telah dipakai baru dua yakni Rajo Sampono yang merupakan gelar dari abang kami yang paling tua. Gelar tersebut dahulu dipakai oleh angku (kemungkinan mamak)[4] dari nenek kami, sekitar 200 tahun yang lalu. Sedangkan gelar yang kami pakai merupakan gelar dari adik dari angku nenek kami yang umur gelar tersebut diperkirakan sama dengan gelar Rajo Sampono. Kami separuik bersukukan Jambak Kuntianyie dari Nagari Kinari, Kabupaten Solok.
Jadi di Nagari Kinari, Kabupaten Solok, ketika sudah besar dan menikah maka kami akan membawakan gelar
sako dan
pusako kaum kami masing-masing. Kalau seandainya tidak ada lagi gelar yang dapat dipakai dikarenakan banyaknya jumlah anggota keluarga laki-laki dalam satu perut itu, maka akan dicarikan gelar dari belahan kaum
[5] disekitar Kubuang Tigo Baleh[6]Sekadar informasi dari kampung kami, Nagari Kinari, Kabupaten Solok terkadang disebut juga dengan Luak Kubuang Tigo Baleh.[7]
@Khabir Rizky Hilma:
Kalau di Nagari Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar sehari sebelum berhelat diselenggarakan acara "Makan Singgang Ayam" di rumah laki-laki. Ketika acara itulah angku [kakek; mamak dari mamak/ mamak dari ibu], mamak, bapak, serta bako bermufakat untuk memberi gelar kepada Si Marapulai sebelum ia dijeput ke rumah Anak Daro.
@Wiendy Jaqurty:
Sicerek sadang babungo
Diambiak ka ganti
Ketek dibari bapak namo
Gadang dibari mamak gala
@Yanto Supriadi Sumabur:
Di kampung kami Luhak Nan Tuo (Tanah Data) tepatnya di Nagari Kampung Adat Balimbing, yang dipanggil gelar itu hanya datuk dan penghulu sahaja. Kalau yang baru menikah tetap dipanggil dengan menggunakan nama.
@Syofyan Effendi Effendi:
Memanglah benar bagi orang Luhak Limo Puluah Koto tidak memakai "Kecil bernama, besar bergelar". Tetapi ada juga satu nagari yang memakainya yakni Nagari Piladang. Kalau nagari lain di Luhak Limo Puluah Koto tidak memakai gelar setelah menikah, kecuali ia menikah dengan perempuan diluar Luhak Limo Puluah Koto. Misalnya kami menikah dengan orang dari Luhak Agam, diminta oleh niniak mamak isteri kami gelar pada kami.
@Benny Bakhrif:
Kalau dikampung kami Ampek Angkek Luhak Agam, setiap akan melepas Marapulai, tetap diberi gelar dan langsung diberitahukan kepada orang ramai[8]. Sesampai di rumah Anak Daro, langsung diberi tahu akan gelar yang telah disandang tersebut "Mohon dipanggil ia dengan gelar tersebut di pasar yang ramai di jalan yang golong.."
Berpulang kepada kita masing-masing apakah akan dipakai gelar itu atau tidak.
@Bakhdar Dt. Tan Marajo:
"Oleh kita orang Luhak Limo Puluah Koto tidak memakai gelar.." itu merupakan jawaban yang salah, karena di Nagari Koto Tangah Batu Ampa yang masuk jua ke dalam Luhak Limo Puluah Koto memakaikan gelar untuk kemanakan mereka yang telah menikah. Kecil bernama, besar diberi gelar merupakan adat Minangkabau bukan Adat Salingka Nagari walaupun ada nagari yang tidak memakaikan gelar kepada kamanakan mereka yang sudah menikah.
@Nanang Hidayat:
Assalamu'alaikum, kalau kami di Nagari Padang Sibusuak, dalam lingkar
Gajah Tongga Koto Piliang, kecil bernama, besar diberi gelar. Ketika kecil dipanggil nama, setelah berkeluarga dipakaikan gelar yang diturunkan dari gelar mamak, terutama mamak tungganai. Maka bergelar kami Muncak Alam.
@Noezafri Amar:
Kalau di Nagari Kinali Pasaman Barat, kalau tuan dipanggil buyuang atau supiak oleh mertua, usah tersinggung pula, itu sebenarnya panggilan kesayangan.
@Hendrizal Sutan Rajo Mudo:
Assalamu'alaikum Wr. Wb, tuan-tuan serta mamak semuanya, izinkan kami bergabung. Kami dari Padang Panjang, sesudah menikah diberi gelar pusaka dari mamak kami Suku Sikumbang Kaum Datuak Putiah, kami diberi gelar Suran Rajo Mudo.
@Debby Frenky Sutan Diaceh:
Di tempat kami di Nagari Kubang Kota Sawahlunto, pemberian gelar bermacam-macam caranya. Ada yang ketika pengangkatan adat pengukuhan Nan Ampek Jinih, kemudian ketika menikah.
Kalau kami bergelar Sutan Diaceh yang gelarnya berasa dari keturunan perempuan di tempat kami.
@Yulisna:
Pada acara helat pernikahan anak/kamanakan di Padang, ada namanya "Tagak Gala" untuk pengantin laki-laki, setelah akad nikah. Supaya pengantin laki-laki memiliki sebutan gelar pula yang diturunkan dari gelar mamak ke kamanakan. Jadi seperti kata pepatah Minang 'Kecil bernama, besar bergelar'
Asli dari Facebook:
SIA GALA KAWAN ?
Banyak nan batanyo ka ambo, talabiah kawan-kawan sapamainan. Urang Minang tu ketek banamo gadang bagala, jadi siapo lah gala kawan kini ko, tanyo kawan-kawan ambo.
Tamanuanglah ambo. Dek banyak nan ambo tanyo ka sakuliliang, ka sado nan basarobok ; ampia samo jawabannya : dek kito urang Luak Limo Puluah Koto indak ado bagala doh, sabuik namo sajo langsuang.
Dek kurang pueh, batanyo juo lah ambo ka salah surang mamak dikampuang ambo. Jaweknyo singkek " Iyo. Bana nakan. Dek kito urang luak 50 iyo indak bapakai gala doh. Tapi kalau nak manjawek tanyo urang juo, urang luak Agam ataupun luak tanah data atau siapo pun juo. Mako nakan buliah pakai gala mamak dari pihak ayah atau ibu. Misalkan mamak Ibu Datuak Paduko Jalelo ; mako jadilah gala nakan Sutan Paduko. Atau Datuak Kondo mamaknyo ayah, bagala Sutan Kondo nakan lai."
** Maaf kalau ada salah penafsiran atau pemahaman
Tambahan di kolom Komentar:
@Syafri Antoni: Kalau kami di Pariaman, basuku ka amak bagala ka abak. Suku diwarisi dari ibu sacaro Matrilineal, sadangkan gala diwarisi dari ayah sacaro Patrilinial. Jadi, jikok ayahnyo bagala Sutan, otomatis anaknyo pun bagala Sutan kudiannyo. Baitu juo balaku jo gala Bagindo, Sidi jo Marah. Mako tasabuiklah: Anak Sutan jadi Sutan, anak Sidi jadi Sidi, anak Bagindo jadi Bagindo.
Masiang² gala tu (Sutan, Sidi, Bagindo jo Marah) ado nasabnyo mangikuik kapado sejarah maso saisuak.
Gala Sutan banasab kapado Rajo² atau Bangsawan² Pagaruyuang nan ado di rantau Pariaman
Gala Sidi banasab kapado katurunan arab (pendatang) nan masuak ka Pariaman maso penyebaran agamo Islam di Pariaman
Gala Bagindo jo Marah banasab kapado bangsawan² Aceh nan ado di Pariaman maso Pariaman dibawah kuaso kesultanan Aceh
Latak gala Sutan, Bagindo, Sidi, Marah iyolah di pangka namo. Bukan di hujuang namo sarupo nan balaku di wilayah luhak nan tigo.
Umpamonyo: jikok ayah si Sulaiman bagala Bagindo, mangko jadilahnyo Bagindo Sulaiman. Jikok ayah si Taslim bagala Sutan, mangko jadilahnyo Sutan Taslim. Jikok ayah si Rais bagala Sidi, mangko jadilahnyo Sidi Rais.
Sadangkan gala nan diwarisi sacaro Matrilinial di Pariaman adolah gala Sako sarupo Datuak atau Rangkayo.
Baitu
@Muhamad Zaki Bds: Ambo urang Luhak 50 juo sanak, kampuang ambo banamo Batu Ampar, dek kami yo ketek banamo gadang bagala, waktu baralek di bari gala dek bako, gala ambo Sutan Mudo, walaupun umua lah labiah satangah abaik tatap Sutan Mudo juo.
@Joni Kusnadi: Kalau ambo dari solok, sudah nikah, malam di ado an upacara adat "batagak gala". Mako lakek gala ambo Rajo bonsu, gala mamak ambo ratusan tahun lalu.
Karano di paruik kami jarang berketurunan kilaki, banyak gala kami alun bapakai. Terakhir ado kilaki di pihak paruik kami sekitar 150th lalu, mamak dek nenek ambo. Gala nyo pun alun bapakai lai. " Rajo lelo ". Sadangkan gala yg lah bapakai baru duo " Rajo sampono " Gala abang ambo yg paling tuo, gala tu dulu di pakai dek angku dari nenek ambo, sekitar lebih 200 tahun lalu. Sadangkan gala yg ambo pakai gala dari adiak dek angku nenek ambo tu yg umue gala tu di perkirakan lebih kurang sama dengan gala Rajo sampono. Kami paruik suku jambak kuntianyie, Nagari Kinari, Kabupaten Solok.
Jadi, di Nagari Kinari, Kabupaten Solok. Katiko lah gadang ( lah menikah) akan membawakan gala sako jo pusako kaum inyo masing-masing. Kalau seandainya dak do gala lai karano saking banyaknya kilaki di paruik tu. Di carian gala balahan kaum di sekitar kubuang 13.
Mungkin itu sekedar informasi dari kampung ambo. Nagari Kinari, Kabupaten Solok. Kadang di sabuik juo Luak Kubuang Tigo Baleh.
@Khabir Rizky Hilma: Kalau d PANDAI SIKEK, TANAH DATAR...
Sahari sblum baralek it ado nmo nyo makan SINGGANG AYAM... d rmah laki", pas acara it lah angku,mamak,bapak sarato bako baiyo bakato kato maagiah gala unt marapulai ko... sblum d japuik anta k rmah anak daro.....
Wiendy Jaqurty: Sicerek sadang babungo
Di ambiak ka ganti
Ketek di bari bapak namo
Gadang di bari mamak gala
Yanto Supriadi Simabur: Dikampuang awak di Luhak Nan Tuo nan di Nagari Kmpuang adat Balimbing dipanggia gala tu cuma datuak jo pangulu..kalau nan baru baralek ttp panggia namo ndak ado gala2 diagiah do....
Syofyan Effendi Effendi
Iyo Urang Luak 50 dak dipakainyo Ketek Banamo Gadang Bagala, tapi ado juo di daerah luak 50 suatu nagari nan mamakainyo, Daerah Piladang di Piladang urang tu kalau Lah Nikah di bari Gala, kalau derah lain di Luak 50 dak ado nanmamakai Gala kecuali nyo Babini jo Urang lua Luak 50 contohnyo awak Babini samo urang Luak Agam, di mintak dek Ninik Mamak urang rumah awak Gala awak
Benny Bakhrif
Kalau dikampung ambo Ampek Angkek Agam, satiok malapeh marapulai tatap ba agiah gala...langsung baimbaukan ka nan rami...sasampai dirumah nak daro langsung ba agiah tau siapo gala marapulai ..mohon baimbaukan dipasa nan rami dilabuah nan golong...
Tingga di awak masing-masing katapakaian atau indak gala tu.
Labiah kurang mohon diagiah pancerahan.
Bakhdar Dt Tan Marajo
Dek Kito urang luak 50 indak pakai gala do,itu adolah jawaban nan salah ,karano di nagari koto tangah batu ampa nan masuak juo dalam luak 50 mamakaikan untuak kamanakan nanlah manikah ,ketek banamo gadang bagala adolah adat Minangkabau bukan adat salingka nagari walaupun Ado nagari nan indak mamakai kangala.
Hendrizal Sutan Rajo Mudo
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh dunsanak Jo mamak sadonyo izin bergabung ambo dari Padang panjang, sasudah manikah di agiah gala Pusako dari mamak ambo suku Sikumbang Datuak Putiah, ambo di bari gala Pusako yaitu "Sutan Rajo Mudo"
Debby Frenky Sutan Diaceh
Di tompek ambo di Kanagarian KUBANG kota SAWAHLUNTO.
-pambarian Gola bamacamcaronyo
Adopulo katiko batagak adek pangkukuhan nan ompek jinih
Lalu kutiko nak babini.
kalau ambo bagolaSUTAN DIACEH..dan gola nu barasar dari katurunan padusi di tampek ambo.
Yulisna
Pd acara pesta pernikahan anak/kmanakan di Padang,ado nmonyo acara"Tagak Gala" utk pengantin lk2,stlah akad nikah.spayo pengantin lk2 ado pulo sebutan galanyo,yg di turunkan dr gala mamak ka kamanakan.jd bak kato adat minang : ketek banamo gadang bagala.
==============================
Kata dalam tanda [] oleh admin
---------------------------------------------------
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Orang Arab yang datang melakukan kontak dengan Pariaman baik itu untuk berdagang maupun menyebarkan Islam. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat setempat, tidak memiliki pemukiman khusus atau menjaga jarak dengan penduduk asli.
[2] Pariaman pada rentang waktu yang lama pernah berada di bawah kekuasaan Aceh. Berbagai versi kenapa bisa jatuh kebawah kekuasaan Aceh, salah satu versi ialah karena Raja Pagaruyuang menyerahkan Pariaman guna melunasi hutang kepada Sultan Aceh. Kemudian Pariaman berganti-ganti diperbutkan oleh bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Perancis, Inggris, dan terakhir Belanda. Terkait gelar, ada yang menyebutkan gelar 'Marah' berasal dari kata 'Meurah'
[3] Paruik, Jurai, Kaum, Suku merupakan tingkatan dari lingkaran komunal. Paruik merupakan keturunan satu ibu.
[4] Ada berbagai macam panggilan terhadap mamak di Minangkabau. Ada yang memanggil 'mak' yang merupakan singkatan dari mamak. Ada yang memanggil 'anduang' dimana panggilan sama juga digunakan oleh beberapa masyarakat untuk memanggil nenek. Kemudian 'angku' juga acap terdengar, dan terkadang mamak dari mamak juga dipanggil 'angku'
[5] Maksudnya belahan ialah kerabat sedarah yang berada di luar nagari asal. Setiap keluarga di Minangkabau memiliki sejarah kedatangan mereka snediri-sendiri di suatu nagari. Ketika mereka berpindah dari satu nagari ke nagari lain - apakah dengan alasan membuka lahan baru, atau dibawa oleh suami - maka mereka akan meninggalkan keluarga asal mereka. Mendirikan rumah tangga baru dengan diterima sebagai kamanakan di nagari baru. Hal ini menyebabkan tidak ada istilah 'pendatang' dalam adat di Minangkabau. Riwayat kedatangan dan perpindahan orang Minangkabau dapat dilacak semenjak mula kedatangan nenek moyang orang Minangkabau dari "Tanah Basa" tatkala Gunung Marapi sebesar telur itik. Pada masa sekarang, banyak orang yang tidak lagi mengetahui sejarah keluarga mereka.
[6] Merupakan bagian dari Luhak Tanah Data namun tidak masuk ke dalam wilayah Luhak Tanah Data. Dikenal juga dengan istilah Ekor Luhak, Kepala Rantau (Ikua Luhak, Kapalo Rantau). Wilayahnya mencakup sebagian besar dari Kabupaten Solok dan Kota Solok sekarang.
[7] Tidak dikenal istilah Luak (Luhak) bagi Kubuang Tigo Baleh, mungkin anggapan ini karena Kubuang Tigo Baleh memiliki daerah rantau dimana selama ini hanya Luak sajalah yang memilikinya. Selengkapnya tentang Kubuang Tigo Baleh, silahkan klik DISINI
[8] Marapulai dilepas dari rumah ibunya, disanalah ia diberi gelar oleh keluarga ibunya dan langsung diberitahukan dan dipanggilkan langsung kepadanya di tengah jamuan (melepas) yang hadir
[9]